Sujud syukur Al panjatkan kepada Sang Pencipta setelah sampai di rumah sore tadi. Setelah mencari-cari beberapa bulan terakhir ini, akhirnya dia menemukannya, wanita yang Al lihat di Kairo beberapa bulan lalu.
Senja berlalu, hari mulai petang. Al menjalankan salat Magrib sendiri di kamarnya. Selesai salat, dia berzikir dan berdoa. Dua hal itu dianjurankan Rasulullah SAW setiap selesai salat fardu.
Al menengadahkan kedua tangannya. "Ya Allah, aku percaya jalan-Mu memang terjal. Namun, Engkau lebih tahu yang terbaik yang hamba butuhkan, bukan yang hamba inginkan."
Tak habis-habisnya Al mengucap syukur. Tak disangka, ternyata gadis itu sangat dekat dengannya selama ini. Memang skenario Allah itu lebih indah.
"Berikan kelancaran untuk hamba, ya Allah, agar dapat mengenal Neng Ily dengan sebaik-baiknya sebelum kami menyempurnakan ibadah dengan pernikahan. Baik buruknya, hamba sudah siap dan lkhlas menerima."
Selesai berdoa, dia mengusapkan kedua tangan di wajah. Lantas berdiri, melipat sarung dan melepas pecinya. Al keluar kamar dan langsung pergi ke ruang makan. Di sana sudah ada Azizah yang sedang duduk sendiri menunggu Al. Biasa malah dia makan sendiri jika Ilham dan Al sedang dinas. Sebab itu Azizah terkadang merasa kesepian di rumah sebesar itu tanpa teman. Dia butuh orang yang bisa menemaninya melakukan segala aktivitas sebagai ibu rumah tangga pada umumnya, meski sudah ada ART, tetapi tetap saja ada yang kurang.
"Ma," sapa Al menyentuh bahu Azizah, lantas duduk di kursi sebelahnya.
"Al, ayo makan!" ajak Azizah membalikkan piring yang ada di depan Al. "Tadi ada dua santri datang ke sini," kata Azizah sembari mengambilkan Al nasi.
"Santri?" Dahi Al mengerut dan menatap Azizah menuntut penjelasan.
"Iya. Dia diutus Neng Ily mengirim makan malam untuk kita. Katanya ini masakan Neng Ily sendiri loh. Khusus untuk kita," jelas Azizah mesem ke arah Al.
Perasaan Al menghangat, seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Dia menerima piring yang sudah terisi nasi, ayam goreng, sambal tomat, tempe goreng, dan diguyur sayur sop. Setelah berdoa dalam hati, Al menyendokan nasi dan sepotong tempe goreng, lalu menyuapkannya ke dalam mulut.
"Masyaallah, ini sedap, Ma. Tempenya gurih, sayurnya juga segar," puji Al setelah menelan suapan pertama.
"Ternyata Neng Ily pintar masak juga, ya?"
Al hanya tersenyum dan mengangguk. Dia melanjutkan makan malamnya.
"Oh, iya, Ma, apa Neng Ily tanya-tanya sesuatu tentang aku ke Mama?"
"Sejauh ini belum, sih, Al. Mungkin dia butuh waktu untuk membiasakan diri sama Mama. Bisa jadi, dia lebih nyaman tanya-tanya kepada kakaknya. Emang kamu enggak punya nomor teleponnya?"
"Neng Ily itu sejak pulang dari Kairo tidak pegang HP, Ma."
"Oh, iya?" sahut Azizah terkejut. "Ah, masa sih, Al? Mana ada orang zaman sekarang enggak butuh HP?"
"Kata Dokter Rizky, kalau mau menghubungi Neng Ily itu lewat ponsel Kiai Dahlan. Kalau tidak, kirim surat."
"Kenapa begitu, ya? Bukankah ponsel itu banyak kegunaan dan manfaatnya? Eh, tapi tergantung pemiliknya juga sih."
"Entah apa alasan dia tidak mau pegang ponsel sendiri, Ma. Tapi, menurut Al baik juga, dengan begitu dia bisa fokus pada kehidupan dunia nyata. Dapat manfaat untuk orang lain. Dia menyibukkan diri mengajak di madrasah, Ma, sampai sore."
"Apa mungkin dia mau memberi contoh kepada para santriwati?"
"Bisa jadi, Ma. KIta tahu, kalau di pondok itu santri tidak boleh membawa HP."
"Mama tidak sabar ingin menjadikannya menantu, Al," kata Azizah sambil tersenyum lebar kepada Al.
"Sabar, Ma. Semua butuh proses. Insyaallah kalau dilancarkan, tahun ini aku ingin menikahinya."
Azizah mengangguk dan sangat bahagia. Akhirnya mereka melanjutkan makan malam berdua sembari mengobrol santai.
***
Berteman dengan sepi. Sehabis salat Isya, Lili duduk di kursi sembari melamun dan tersenyum memandang ke arah jendela kayu yang masih terbuka lebar. Angin sepoy-sepoy menerpa wajahnya yang cantik.
"Asalamualaikum." Pintu kamar Lili terbuka.
"Wa 'alaikumus-salam," sahut Lili langsung menoleh ke arah pintu. "Umi, ngagetin aja," ujar Lili dengan senyum tak pudar dari bibirnya.
Lili menutup jendela, lantas pindah duduk di tepi ranjang, diikuti Fatimah. Setiap malam Fatimah selalu menyempatkan datang ke kamar Lili. Sekadar menemaninya mengobrol, sharing, atau bercerita sebelum tidur.
"Ada apa nih? Kok senyum-senyum sendiri dari tadi?" tanya Fatimah sukses menciptakan pipi merona Lili.
Fatimah menumpuk bantal dan guling, lalu dia berbaring, Lili juga ikut berbaring di sampingnya. Sejenak mereka saling diam, Lili menatap langit-langit kamar.
"Umi," seru Lili lirih.
"Iya. Ada apa?" sahut Fatimah sangat halus sembari menoleh kepada Lili.
"Ily sudah bertemu dengan pemuda itu, Umi," ucapnya sambil menggenggam kedua tangan Fatimah.
"Ily bertemu di mana?"
Fatimah khawatir Lili akan berubah pikiran dengan keputusannya yang telah menerima taaruf Al.
"Tadi siang, Umi."
"Tadi siang?" tanya Fatimah mengerutkan dahi dan menatap Lili dengan mimik keterkejutan. "Emang Ily pergi ke mana tadi siang?" Fatimah belum juga paham.
"Ya Allah, Umi. Pemuda itu ternyata Dokter Al."
"Ily serius? Enggak salah orang?"
Fatimah juga tak menyangka, ternyata orang yang putrinya ceritakan selama ini adalah teman baik putranya.
"Insyaallah, Ily enggak salah orang, Umi. Kami memang tidak pernah berkenalan secara langsung. Tapi teman Ily yang menunjukan dia dari jarak jauh. Teman Ily juga memberikan fotonya sebelum Ily kembali ke Indonesia. Sebentar, Ily carikan."
Lili lantas turun dari tempat tidur, lalu membongkar laci mejanya. Fatimah yang tadi berbaring, kini duduk di tepi ranjang menunggu Lili.
"Ini, Umi." Lili memperlihatkan foto Al yang sepertinya diambil tidak sengaja sedang menoleh ke belakang mengenakan topi baret.
"Iya, Ly. Ini Dokter Al. Bener," ujar Fatimah yakin. "Alhamdulillah, Allah mempertemukan kalian dengan cara yang baik." Fatimah mengelus kepala Lili yang terbalut kerudung putih.
"Alhamdulillah, Umi. Semoga Dokter Al mau menerima Ily yang apa adanya ini. Kadang Ily minder, Umi."
"Kenapa minder? Putri Umi cantik juga pintar."
"Apa Dokter Al mau sama wanita culun sepertiku?"
"Kamu tadi dengar, kan, jawaban Dokter Al saat Abah memberinya pertanyaan? Insyaallah, dia dan keluarganya mau menerima kamu apa adanya."
"Aamiin."
"Ya sudah, sebaiknya kamu tidur. Besok bangun pagi agar tidak ketinggalan jamaah di masjid."
Fatimah menyibak selimut yang menutupi setengah kasur, lalu Lili berbaring. Setelah itu Fatimah menyelimuti Lili sebatas perut. Foto Al yang Lili pegang, Fatimah ambil dan diletakkan pada nakas.
"Abah pulang pengajian jam berapa, Umi?"
"Mungkin tengah malam nanti. Umi tinggal, ya? Umi mau menyiapkan makanan untuk Abah sahur besok."
"Umi, besok tolong bangunkan Ily, ya? Insyaallah Ily mau puasa Senin Kamis. Sudah sebulan lebih Ily tidak puasa Senin Kamis."
"Tapi, Neng, memangnya sakit mag kamu sudah sembuh?"
Sebelum sakit mag, biasanya Lili rutin puasa Senin Kamis. Namun, terhenti sebulan yang lalu karena dia pingsan selesai mengajar.
"Insyaallah, Ily sudah sembuh, Umi."
"Besok insyaallah Umi bangunkan, ya?" Fatimah mengelus pipi Lili dan mencium keningnya. "Asalamualaikum."
"Wa 'alaikumus-salam, Umi."
Setelah itu Fatimah keluar dari kamar Lili. Selepas Fatimah menutup pintu, Lili berdoa, lantas memejamkan mata.