Selamat membaca!
***
Sesampainya Atha di rumah, ia merasa tidak tenang. Ada perasaan bersalah muncul dalam benaknya. Andai saja dirinya tidak mengantarkan ponsel Thalia. Mungkin kejdiannya tidak akan seperti tadi. Tangannya meraih ponsel yang ada di atas nakas dekat ranjangnya. Membuka room chat-nya dengan Thalia. Atha begitu khawatir dengan gadis itu. Dirinya yakin bahwa sekarang Thalia tengah memikirkan semua hal yang terjadi sore tadi.
Atha : Thal, lo gpp 'kan?
Atha : Gue minta maaf soal tadi.
Atha : Tolong jangan terlalu dipikirin apa yg Tasya bilang.
Atha : Gue rasa dia bohong.
Helaan napas lagi-lagi terdengar. Ia masih mengingat apa yang dikatakan oleh Tasya saat di rumah Thalia tadi. Menyampaikan sebuah kebohongan, euh? Dengan mengatakkan bahwa ia dan Atha akan bertunangan. Mengingat hal itu, Atha segera bangun dari posisi berbaringnya, berjalan ke ruangan kerja sang Papa. Ia harus memastikan apakah perkataan Tasya itu benar?
"Pah," panggilnya menghampiri sang Ayah yang tengah mengerjakan segala macam tugasnya. "Ada yang mau Atha omongin."
"Ngomong aja. Papa dengarkan," ujarnya seraya masih membaca segala macam berkas di atas mejanya.
Atha berdecak. Papanya selalu menganggap sepele hal yang akan dibicarakan anaknya itu.
"Kenapa Tasya bilang kalau Atha bakalan tunangan sama dia dan itu atas kesepakatan Papa?"
Papanya mengalihkan fokus pada Atha. Menyimpannya berkas yang semula dipegangnya. "Memang kenapa?"
Atha tidak habis pikir dengan jawaban Papanya itu. Kenapa katanya? Jelas itu semua sangat tidak mungkin. Ia saja tidak suka pada Tasya.
"Pa! Atha bahkan nggak suka sama Tasya. Udah ada seseorang yang Atha harapkan. Bukan dia! Lagipula Atha masih mau lanjut kuliah, Pa!" ujarnya dengan emosi. Papanya sudah menentukan pilihan tanpa memikirkan perasaan anaknya sendiri. Atha berdecih. Sudah ia duga, Papanya memang tidak sayang padanya. Giliran Daren pasti akan ia puji-puji selalu.
"Loh, kamu kan cuma tunangan. Bisa jalani hubungan sambil kuliah juga. Kalau urusan menikah nggak usah buru-buru. Kamu juga harus banyak mengenal Tasya, Atha ... Papa juga sudah mengobrolkannya dengan orang tua Tasya. Tidak bisa dibatalkan begitu saja."
Apa katanya? Mengenal Tasya untuk lebih jauh lagi? Sudah. Cukup sampai perempuan itu menunjukkan sikap aslinya, Atha sudah tau jika dia bukanlah yang terbaik untuknya. Papanya salah menilai.
"Nggak bisa, Pa! Pokoknya Atha nggak mau ada hubungan apalagi sampai terikat sama dia!"
"ATHA!" bentak Papanya.
"Gara-gara bisnis, eh?" tanya Atha dengan sinisnya. "Atha bahkan udah nurutin semua kemauan Papa. Bahkan masalah hubungan harus sesuai kemauan Papa lagi? Asal Papa tau ... aku punya pilihan sendiri!" ujar Atha seraya berjalan keluar ruangan itu dan membanting pintu ruang kerja Papanya dengan keras. Ia merasa sangat marah sekarang. Jika Tasya tau, pasti gadis itu merasa telah menang banyak. Sialan!
"ATHA, PAPA BELUM SELESAI BICARA!"
Atha si keras kepala. Ia terus berjalan dan masuk ke kamarnya.
***
Jika saja hari ini adalah hari libur, Thalia pasti akan merasa tenang agar tidak bertemu dengan Tasya yang bisa menimbulkan rasa bersalahnya kembali muncul. Tapi menunda-nunda pun tidak baik. Akhirnya mau tidak mau Thalia memang harus pergi ke sekolah. Tepat sekali, Tasya berjalan di koridor yang sama dengannya di depan sana.
Thalia. Mempercepat langkahnya dan menepuk pelan bahu Tasya. Membuat gadis itu menengok namun tidak lama kembali memalingkan wajahnya.
"Sya ... soal kemarin—" bahkan belum selesai Thalia berbicara, Tasya mempercepat langkahnya agar bisa jauh-jauh dengan mantan sahabatnya, 'kan? Tasya memang sudah menganggapnya begitu. Seketika jika ingat, maka Thalia akan tersenyum kecut.
Tapi Thalia tidak menyerah begitu saja. Ia tetap menyusul Tasya dan kembali berbicara.
"Sya ... lo harus dengerin penjelasan gue dulu..."
Mendengar hal itu Tasya menatap tajam ke arah Thalia, "Nggak ada yang perlu lo jelasin!" ujarnya.
"Tapi semua yang lo tau semuanya cuma salah paham, Sya. Lo harusnya liat dan denger langsung dari gue maupun Atha. Semua yang mau kita lakukan itu ada alasannya dan itu yang terbaik buat lo."
"Denger langsung dari kalian berdua? Bahkan hal itu bakalan memicu kebohongan yang semakin bertambah. Lo sama Atha nggak bakalan mungkin bocorin rencana kalian sendiri, bodoh! Dan lagi, yang terbaik? Itu yang terbaik buat kalian berdua!" ujarnya seraya meninggalkan Thalia.
Berdiri sendiri di koridor yang masih lengang dari murid, membuat Thalia meratapi nasibnya sendiri dengan miris.
Gue nggak boleh nyerah gitu aja, 'kan? ujarnya bermonolog.
Kakinya kembali melangkah dan masuk. Ia akan terus berusaha agar sahabatnya mau memaafkan dirinya. Tapi lagi-lagi Tasya memang ingin menghindar bahkan menjauhinya. Gadis itu memilih pindah tempat duduk menjadi di sisi lain yang bersebrangan jauh dengan tempat duduk awalnya bersama dengan Thalia.
***
Seberapa besar pun masalah yang ada, hidup tetap berlanjut. Begitu juga dengan semua yang Thalia jalani. Walaupun masalahnya dengan Tasya belum juga mereda, ia tetap melakukan kegiatan seperti biasanya.
Hari libur ia habiskan dengan rebahan penuh dan merenungkan segala macam pemikiran di dalam kamar. Tadinya ia berencana untuk pergi ke rumah Tasya, namun ia urungkan karena sudah pasti gadis itu tidak akan menerima kehadirannya. Ia pun belum siap menerima makian dan penyalahan temannya itu kepadanya.
Memang semua itu sepenuhnya salah Thalia?
Hingga hari ini Thalia mendapatkan pesan dari Ayahnya yang menitahnya untuk menemani Mama Gina membuat kerajinan untuk diikutsertakan dalam sebuah kontes keterampilan. Kebetulan Bundanya juga tidak ada di rumah dan sibuk di toko. Akhirnya ia menyetujui dan segera pergi ke rumah Mama tirinya itu dengan menggunakan jasa ojek online.
"Makasih, Pak," Thalia memberikan uang dua puluh ribu.
Memasuki rumah megah di hadapannya membuat Thalia gugup. Namun semua itu luntur begitu saja saat mengingat wajah lembut Mama Gina. Dengan senyuman yang seringan bulu, ia melangkah mantap ke dalam rumah
Thalia menekan bel rumah. Hingga suara pintu di buka ia masih tersenyum karena merasa senang akan bertemu dengan Mama Gina. Namun senyuman itu luntur saat matanya melihat Atha berdiri membukakan pintu untuknya. Di rumah Mama dan Ayahnya. Mau apa cowok itu ada di sini? Apa Mamanya sengaja menyuruh sang Ayah untuk meminta Thalia datang agar bisa bertemu dengan Atha? Apa cowok itu sudah menceritakan semuanya pada Mamanya?
Sebenarnya Atha sudah mengirimkan belasan bahkan puluhan pesan pada Thalia. Namun satu pesan pun tak ia buka dan tak ia balas. Karena setelah dipikir-pikir, menjauhnya Tasya dan dirinya karena ulah cowok itu. Thalia rasa cara satu-satunya agar ia bisa berbaikkan lagi, dengan menjauhi Atha. Tidak peduli jika sebelumnya Tasya sudah menampar bahkan mendorongnya hingga jatuh. Baginya sahabat adalah kasih sayang dan kehidupan lain selain keluarga.
"Tha—lo ... udah ditungguin Tante," ujar Atha gugup saat berpas-pasan dengan Thalia. Padahal ia tau bahwa gadis itu memang akan datang. Tante Gina yang bercerita padanya.
Thalia menatap datar Atha. Kemudian ia menganggukkan kepalanya singkat dan mulai masuk ke dalam. Namun sayang tangannya ditahan oleh Atha.
"Bisa lepasin?"
Atha menatap sendu pada Thalia, "Thal ... maafin gue ya?"
Thalia tidak menjawab. Ia hanya berontak untuk melepaskan tangannya.
"Gue mohon, Thal ..."
Thalia menghela napasnya, "Lepas!" ujarnya tertahan. Ia masih cukup sadar agar tidak berbicara keras di rumah asing ini.
Atha tidak punya pilihan lain selain melepaskan cekalannya. "Silahkan lo urus masalah lo sama Tasya. Gue nggak mau terlibat masalah kalian lagi. Kalian mau tunangan, 'kan? Ooh ... silahkan tunangan. Semoga bahagia dan jangan pernah ganggu kehidupan gue lagi!" ujarnya. "Satu lagi, gue harap lo bisa ngebuat Tasya yakin, kalo gue nggak sepenuhnya salah!" imbuh gadis itu. Setelahnya ia masuk dan menuturkan pintu rumah Mama Gina dengan keras. Supaya Atha tau rasa!
Di balik pintu, Atha meremas rambutnya. Ia merasa bingung harus bagaimana lagi. Meminta maaf lewat pesan dan secara langsung pun sudah ia lakukan. Namun tampaknya Thalia sudah terlanjur kapok dan tidak ingin ikut campur dengan masalahnya lagi.
***
Menurut cerita Mama Gina, Atha datang untuk meminta doa. Karena cowok itu akan melaksanakan ujian hari Senin nanti. Thalia yang mendengar hal itu hanya ber-oh ria saja. Ia tidak ingin membahas hal yang berkaitan dengan Atha lebih jauh lagi.
Pada akhirnya Mama Gina memaksanya untuk menginap bersamanya karena suaminya—Ayah Thalia—harus pergi ke luar kota. Thalia sendiri baru tau jika ternyata Ayahnya selain seorang pengusaha kafe, ia juga seorang pengusaha dan menjadi seorang direktur. Sebenarnya seberapa kaya Ayahnya itu? Pantas saja Kakek dan Neneknya menolak Bundanya dulu.
"Kamu tidur sama Mama, ya?" bukan sebuah pertanyaan. Melainkan sebuah permintaan. "Mama pengen kenal kamu lebih banyak lagi. Walaupun kamu cuma anak tiri, tapi Mama nggak menganggap kamu seperti itu. Kamu adalah anak kandung Mama," ujarnya seraya merengkuh Thalia pada pelukan. "Mama sangat berterima kasih pada Bunda kamu karena sudah mengizinkan kamu dekat dengan Mama dan Ayah kamu."
Thalia hanya tersenyum. Ia tau bahwa Bundanya memang baik.
Dengan tidak segan Thalia membalas pelukan Mamanya.
Tidak ada yang salah ketika kamu memilih untuk membuka hati untuk orang baru. Bersikaplah sebagaimana ia bersikap padamu. Hormatilah seberapa besar pun ia dibandingkan kamu.
***
Selamat berbuka (bagi yang menjalankannya). Semoga selalu diberikan kelancaran.
Ini cerita, nggak mungkin buat kalian emosi, 'kan? He he.
Jangan lupa berikan vote dan sarannya, ya! Komentar lucu atau apapun juga nggak masalah. Terima kasih :)
TBC