Ghalea masuk dengan semringah.
"Ini beneran mobil baru Yo? Buat gw?" Ghalea benar-benar sudah sembuh,
Ah Ghalea tidak pernah sakit, betul kata Omnya tidak perlu mencemaskan Ghalea, mungkin tulangnya terbuat dari baja.
"Enak aja lo, ngutang nih mobil," Setyo menjawab cemberut.
"Kenapa milih item? Kan unyuan yang merah kayak dulu." Ghalea protes.
"Ini punya nyokap gw Lee, iya ntar gw beli yang merah, Ayla merah aja apa ya yg murah?"
"Ck, Fortuner dong minimal."
Setyo mendelik.
"Heh, si Anjing mobilnya Rush lo mau naik?"
Ghalea mengikik sebentar, Setyo ini benar-benar menghibur.
"Jaman dulu dia pakai beat merah sih, baru sekarang aja pakai mobil."
Gadis dengan kemeja maroon dan celana hitamnya bercerita dengan santai.
"Wah beat merah, fiks fakboy nih, kartu nya three nggak?"
"Nggak sih."
"Trus apa?"
"Axis!"
HAHAHA! Mereka tertawa bersama.
Ghalea lagi-lagi menumpang sama Setyo. Ibra sedang menikmati bulanmadunya. Sudah seminggu pasca semuanya. Ghlaea bersyukur cacat ditubuhnya tidak seberapa, wajahnya terselamatkan.
Jauh dari semuanya ia bersyukur juga temannya sehat wal afiat.
"Gw nanti langsung pulang ya Lee, lo ada butuh apa ntar wassap, nanti malam habis jaga gw bawain." Setyo tetap menjadi teman yang pengertian.
"Apa ya Yo? Gw bisa masak sih, apa lo mau dimasakin ntar?" Ghalea berpikir keras berusaha membalas jasa Setyo walau rasanya tidak mungkin.
Ghalea tidak enak atas apa yang terjadi kepada mobil Setyo, meskipun Setyo bilang pihak asuransi akan mengcovernya dan Ghalea tidak perlu memusinskannya, namun rasanya tetap saja mengganjal.
"Terakhir lo masak telur balado, perut gw mules lho Lee. Udahlah gausah, lagian kaki lo masih pakai perban gitu segala belagu." Setyo melarang. Mereka sudah sampai kontrakan Ghalea dengan selamat.
Setyo dengan sabar memapah Ghalea dan membantu guru pencak silat BlackWidow itu rebahan dengan benar dikasurnya.
"Inget! Calling gw kalau ada apa-apa."
"Kalau ada ya, paling kecoak mampir disini, udah seminggu nggak dipel, debu doang. Lo lain kali beresin dulu kan bisa,"
Definisi dikasih hati minta jantung adalah Ghalea.
"Masih mending lho gw sapu tadi pagi. Iye deh, mohon maaf ya tuan putri, hamba salah." Setyo berujar sengit.
Memang benar dari tadi pagi dia sudah membersihkan kontrakan Ghalea, minus ngepel, karena dia buru-buru. Bhakan kulkas Ghalea sekarang berisi berbagai macam makanan kesukaan Ghalea.
Setelah memastikan Ghalea bisa ditinggal, Setyo cepat-cepat pergi karena dia punya kewajiban jaga siang. Sejak Ghalea cuti sakit, dia kerap mendapat jatah dobel.
Setyo memandang Ghalea, gadis itu tersenyum tulus sambil melambaikan tangannya.
***
Kecoak benar-benar datang menghampiri Ghalea, namun apa dayanya, kakinya pincang, pada perutnya ada sedikit luka goresan, dan tangannya masih pegal semua.
Sore ini, jangan sampai rambutnya copot karena bertengkar dengan setan yang sama.
Ghalea sungguh lupa mengunci pintu. Kecoak menerobos masuk hingga membangunkannya.
Telfon Setyo aja apa ya? Tapikan Setyo kerja. Tapi...
"Kak... Kakak bisa kan, telfon mas Arez dan suruh dia kesini sekarang..." wajahnya menghiba tapi Ghalea tetap waspada, kecoa satu ini pernah mempermalukan dirinya, menamparnya, dan menjambaknya. Ah, intinya Vanya itu berbahaya.
"Nya, aku nggak tahu kenapa kamu kesini, kalau kamu masih bisa pakai mata, lihat keadaan aku, buat berdiri saja susah. Jujur aja, aku lagi ngga menerima tamu."
Di luar dugaannya Vanya menangis, menangis hingga suaranya habis. Dua jam Ghalea disiksa suara tangisan itu. Dia merasa kasihan, Vanya adalah dirinya versi lebih waras.
"Sejak Kakak nggak pernah pulang, mas Arez selalu kesini setiap hari," Vanya mulai menuturkan info yang sebetulnya tidak perlu didengar Ghalea.
WAit, kenapa VAnya mengetahui sedetail itu?
"Aku ke RS dan dengar kalau kakak kecelakaan, aku sempat bersyukur kakak dikabarkan koma, aku berharap kakak mati saja, tapi sayang doaku tidak dikabulkan, aku melihat rumah kakak setiap hari untuk mengetahui kapan bendera kuning dipasang disini, tapi yang aku lihat justru mas Arez."
Ghalea terperangah, sepertinya dia betul-betul butuh bantuan, gadis ini, menyeramkan.
"Kak, apa kakak tidak bisa membujuk mas Arez supaya baik lagi padaku dan kakak bebas mengencani siapa saja, aku tidak peduli. Tapi jangan Arezku kak."
Jangan Arezku?
Gadis gila, Ibunya saja lebih percaya padaku kenapa kamu mengklaim memilikinya?
Kecemburuan Ghalea tersulut. Dia kalut.
"Vanya, jauh sebelum kamu kenal Arez aku sudah kenal dia lebih dulu. Kamu mungkin masih pakai seragam putih biru waktu aku dan Arez masih naik motor beat merah yang sering bocor, yang sering mogok, dan boros bensin. Bu Rianti, maaf saja, beliau lebih suka aku memangil dia Mama, kamu tahukan bagaimana akrabnya kami waktu itu? Kamu sungguh masih ingin memaksa Arez menjadi Arezmu?"
Tangis Vanya pecah lagi.
Kini Ghalea murni iba.
"Kak," Vanya memelas.
"Ghal," suara penuh kelegaan dan Arez tanpa memperhatikan siapa yang bersimpuh didekat Ghalea, Arez nekat memeluk gadis yang baru saja pulang dari RS dengan leganya.
"Aku dengar kamu--"
"Ada VAnya." Ghalea memotong tidak enak. GAdis belia itu menahan tangis.
Tak terduga, Vanya justru memeluk Arez seakan ini adalah hari terakhir dihidupnya.
Lalu tanpa sempat berkata apa-apa lagi, dia pergi.
***
"Iya Yo, gw gapapa, yawdah lo sana jaga dulu..."
"Maaf ya Lee, gw janji besok pagi..."
"Yo, lo juga butuh istirahat, udah gapapa, besok lo pulang aja dulu, masih sanggup gw kalau cuman jalan kedepan ngambilin orderan gofood doang mah."
"Yawdah bilang ya ntar gw gofoodin"
"Itu Setyo?"
Ghalea menaruh hpnya kaget,
Coba aja setyo tahu kalau disini ada Arez,
"Iya... Vanya gimana?" Ghalea berusaha bersikap seolah pelukan bak teletubbies tadi hanya iklan semata. (Iklan yang bikin sakit mata)
"Kenapa kamu tanya? Kan dia tadi pergi."
"Mas, kamu gaboleh lho begitu ke Vanya, apalgi kakaknya temanmu,"
"Vanya emang begitu, biarin aja. Yang paling penting adalah aku gasuka liat Setyo begitu ke kamu."
Ghalea mengedikkan bahu, kenapa harus nggak suka?
"Pokoknya jangan mau lagi diperhatikan seperti itu."
"Setyo cuman teman yang baik, itu saja, di RS dia juga yang ngerawat aku, tidak baik kalau kamu seenaknya saja seperti itu."
Ghalea berusaha menjelaskan, memberi pengertian.
"Ghal, mana ada pertemanan antara cewek dan cowok. Aku yakin kamu tidak, tapi Setyo? Andai dia tidak mengharapkanmu kenapa dia tidak segera cari pendamping buat dirinya. Bukannya Setyo sama aku juga lebih tua dia?"
Ghalea membuang nafas lelah. Dia tentu saja tahu perbedaan masing-masing umur diantara mereka.
"Ghal," Arez terus nerangsak meminta perhatian. Meminta jawaban.
"Apa salahnya sih? Aku juga menolong kamu, bahkan sama Setyo."
"Aku yakin kamu nolong aku karena kamu cinta aku."
Arez menjawab lugas.
"PD sekali, bukannya kamu tahu aku menolak panggilan kamu?"
"Kamu bahagia dapat telfon dari aku terus kamu reject."
Ghalea menggelengkan kepala.
"Kamu tahu? Kamu narsis." Ghalea berkomentar pelan.
"Kenapa kamu masih menolak untuk bersama?" Arez mengejar lagi.
Rupanya pemuda ini masih cemburu dengan sobat Ghalea.
"Memangnya kamu meminta?"
"Mana mungkin aku sampai tiap hari ke sini kalau tidak cari kamu."
"Bisa saja kamu cari Vanya,"
"Ghal, aku tidak bercanda ya, kalau mau aku pacarin dia. Aku tahu kamu suster dan kamu ngerti bagaimana psikis dia. Jadi, kamu harusnya lebih pintar."
"Mas Arez..."
"Apa kamu cuma memilih kaum steril daripada pekerja seperti aku?"
"Kamu tau aku tidak begitu."
"Lalu?"
"Memang aku dan kamu tidak akan menjadi kita mas, kamu banyak dikelilingi yang cantik seperti Vanya, pilih saja satu dari mereka."
"Cantik belum tentu menarik,"
"Datang ke rumah juga belum tentu mencintai."
"Ghalea, kamu terlalu dimanja Setyo, jadi melunjak."
"Bukan begitu,"
"Makanya jangan. Kalau ada apa-apa kamu bisa telfon aku,"
"Setyo lebih dekat."
"Aku lebih dekat. Aku kenal lebih lama, aku lebih mengerti dan menyayangi kamu. KAmu juga lebih milih aku daripada Setyo kan?"
"Kamu kayak anak TK."
"Ghal... Pls..."
"No..."
"Ghal, kamu benar nggak mau disisiku kayak dulu?"
"Tidak."
"Tidak menolak?"
Ghalea tersenyum sekilas, kemudian menunjuk pintu, "kamu kalau sudah selesai bisa keluar lewat situ,"
***