Ruang tamu dipenuhi dengan suara isak tangis. Sedangkan papa hanya bersedekap di sofa seberang. Aku masih berpelukan dengan mama. Kami masih menangis, padahal dua jam lagi aku harus segera ke desa. Sebuah desa yang masih di kota ini yang entah kenapa seakan tidak pernah disentuh pemerintah, sehingga desa itu tetap dalam keadaan tertinggal dan terbelakang.
“Pa, kenapa kamu gak bikin anak kita pindah tempat sih?” rajuk mama dengan muka memerah dan penuh air mata menghadap papa. Aku masih menyembunyikan wajahku pada pundak mama, isakanku susah berhenti meski tangisku sudah berhenti sejak tadi.
“Kan udah aturan kampus, Ma.” Elak papa dengan nada pasrah.
Aku tidak mengharapkan banyak sebenarnya, tapi mama dan tangisannya membuatku berharap papa mau membantu. Sayang sekali hal itu tidak akan terjadi karena dua jam lagi aku harus sudah sampai di desa. Minggu lalu aku juga sudah menemui kepala dusun yang mana rumahnya akan aku tempati nanti.
“Tapi Papa tuh punya jabatan di kampus masa ya gak bisa minta langsung ke kaprodinya Lia. Kasian dia tuh masa ke tempat antah berantah sih, Pa? Dia tuh anak kita.” Nada bicara mama mulai naik hingga aku tersentak, lalu mama buru-buru mengelus punggungku agar aku tidak jantungan.
“Papa ini cuma di bagian rektorat, mana bisa ngurus ke bagian fakultas apalagi jurusan, Ma.”
“Justru karena Papa di rektorat, Papa punya power dong buat mindah anakku.”
“Anakku juga Ma,”
“Gak ada, bukan anak Papa sebelum Papa bisa mindah Lia ke tempat yang lebih layak.”
Aku gak tahan lagi, akhirnya aku mendongak dan menatap mama kemudian papa bergantian, “Ma, ini bukan salah Papa, oke? Lia gapapa, lagian Lia kan juga udah gede. Entar Lia bakalan nyoba ngehubungin Mama terus, oke?”
Mama menoleh ke arahku, ia mengarahkan tangannya ke wajahku dan menangkup kedua pipiku. “Lia beneran bakal baik-baik aja?”
Aku mengangguk yakin, “Mama jangan salahin Papa lagi dong,” Aku merajuk dan menggembungkan pipi.
Mama akhirnya menganggukkan kepalanya dan mengiyakan permintaanku. Aku buru-buru berdiri lalu pergi ke kamar. Aku harus mandi agar mataku tidak sembap. Sambil mandi, aku membayangkan banyak kemungkinan mengenai keadaan di sana. Pasti sedikit banyak akan jadi mimpi buruk.
Aku memutuskan untuk mengenakan pakaian yang sedikit formal karena ini hari aktif kerja meski aku tidak langsung bertugas, tapi akan tetap ada penerimaan dari sekolah. Mungkin akan sedikit aneh karena aku magang sendirian di sana. Semoga tidak terlalu canggung. Aku menyapukan make-up di wajahku seperti riasan biasa saat kuliah. Aku mengenakan sepatu pantofel, kemeja putih dan celana kain hitam.
Aku menyampirkan jas almamater kampusku di pundak. Setelah siap, aku buru-buru turun.
“Ma, mobilnya udah siap?” tanyaku.
“Udah, Lia rambutnya gak dikuncir aja?” tanya mama menelisik penampilanku.
“Enggak deh, Ma, kemejanya Lia kerahnya agak ke bawah entar branya Lia keliatan.” Jawabku ogah-ogahan.
“Kenapa gak dipake aja jas almamaternya? Kamu gak pake kaus dalem?”
“Big no Mama, PANAS.” Sergahku kemudian menarik papa yang masih duduk di sofa dan hanya melihat kami berdebat.
“Ayo, Pa. Aku gak mau telat.”
Papa akhirnya berjalan di depanku dan memanaskan mobil. Mama mulai mendaftar apa saja yang sudah aku masukkan dalam koper dan tas jinjingku. Aku mengeluarkan ponselku dan memainkannya. Kemudian sahabatku tiba-tiba mengirimkan DM di instagram. Ia mengirim unggahan milik instagram orang yang tidak aku kenal.
Mataku melotot melihat siapa pria yang dia unggah. Sialan Minhyuk! Kekasih yang akhir-akhir ini sudah jarang menghubungiku. Aku kira dia fokus pada tugas akhirnya karena demi apapun dia sudah semester 10. Sayangnya, aku terlalu berpikir positif. Dia jelas berselingkuh. Lihat saja komentarnya di unggahan itu. Instagram milik perempuan itu diprivasi sehingga aku hanya menunggu dari temanku mengenai perkembangan selanjutnya.
Tak lama ia mengirimkan setidaknya dua screenshot dari akun Instagram milik perempuan itu. Isinya adalah komentar dari Minhyuk dan beberapa teman perempuan itu.
Aku menahan air mataku dan langsung masuk ke mobil. Aku menutup pintu mobil dengan keras tanpa memedulikan mama dan papa yang mungkin kebingungan dengan tingkahku.
Aku menghela napas keras kemudian merebahkan diri di kursi belakang. Jas almamter kutarik agar menutupi sebagian wajahku lalu aku memalingkan tubuhku agar mama dan papa tidak melihat wajahku. Aku memilih tidur saja. Setidaknya aku harus menghindari tangisan. Aku tidak mau kedua orang tuaku khawatir dan berujung mengizinkanku ke tempat magang agar aku tinggal di rumah dulu hingga aku tidak lagi bersedih.
Aku harus berubah, tidak manja lagi. Meski aku sendiri tidak yakin dengan hasilnya, setidaknya aku sudah berniat. Mama dan papa terbiasa memanjakanku sehingga beginilah aku.
°°°
Aku merasa bahuku ditepuk dan namaku dipanggil sehingga aku langsung membuka mataku. Mamaku membantuku duduk dan melihat wajahku dengan teliti.
“Adek gapapa? Mau balik rumah?”
Aku merasa memang ikatan batinku dengan mama lebih erat, jadi mungkin mama menyadari aku sedang tidak baik-baik saja.
“Hmm enggak, Ma. Ini udah nyampe?” mama mengangguk sebagai jawaban.
Aku meregangkan tubuhku, meski tidak lebih dari satu jam badanku sudah kaku. Aku meregangkan tubuh kemudian mengenakan jas almamaterku. Kami sudah tiba di rumah kepala dusun yang akan aku tinggali selama tiga bulan kedepan.
“Mama, make-up-nya Lia luntur gak sih?”
Papa hanya geleng-geleng kepala melihatku memperbaiki riasanku sambil melihat pantulan di kaca spion. Aku masih repot mengurus wajahku hingga sebuah tangan kecil menarik-narik celana kainku. Hampir saja aku berteriak tapi tidak jadi kala melihat makhluk mungil di bawahku. Anak kecil itu sangat lucu hingga membuatku gemas. Aku memilih jongkok di depannya agar wajah kami sejajar.
“Halo adek, namanya siapa?”
“Nama—” ia terdiam sebelum kenbali berbicara, “Lolo”.
Mendengar suara khas anak kecil yang menggemaskan dan berbicara per kata dengan kesusahan membuatku ingin memekik gemas.
“Lia, sini ayo masuk!” teriak mamaku.
“Ah iya, Ma, bentar.” Aku menoleh ke rumah kepala dusun lalu ke anak kecil itu, “mau gendong?” tawarku pada akhirnya dan diterima dengan baik oleh bocah laki-laki menggemaskan itu.
“Ohh apa Chenle merepotkanmu?” tanya pemilik rumah.
“Chen—Le?” tanyaku, perempuan yang terlihat ramah itu tersenyum padaku. “Iya anak yang sedang di gendonganmu.”
“Ohh tidak, dia sangat menggemaskan.”
Ibu itu tersenyum kemudian mempersilahkanku untuk duduk. Ia menyuguhkan teh hangat dengan sepiring makanan goreng hangat juga. Aku hanya meliriknya, aku tidak tahu makanan apa yang digoreng itu karena orang tuaku tidak pernah membiarkanku jajan sembarangan. Setidaknya aku harus jajan di tempat yang nama kedai atau restorannya dikenal papa atau mama atau bahkan keduanya.
“Saya Seunghyun, Bu, dan ini istri saya Sandara.” Papa menatapku, “Lalu itu anak kami yang akan merepoti Ibu selama tiga bulan, Lia.”
“Ah gapapa kalo yang ngerepoti cewek cantik gini.” Jawab ibu itu, “Nama Ibu Tiffany, kalo Bapak namanya Donghae. Maaf ya Bapak tadi ada rapat, jadi gak bisa di sini.”
Aku menggeleng heboh, “Gapapa, Bu, Lia ga perlu disambut heboh juga kok.” Lia terdiam sebentar, “Bu, Lia beneran bakal ngerepotin Ibu. Lia gak bisa nyuci, masak dan bersih-bersih.”
“Maaf ya, Bu, dia emang anak Mama.” Sahut mama. Aku hanya cemberut. Salah siapa coba?
“Gapapa, sekalian nanti Ibu ajari kerjaan rumah. Udah semester akhir juga kan?” Tiffany tersenyum lebar sebelum kembali berkata, “Biar jadi calon istri idaman.”
Kedua orang tuaku dan bu Tiffany tertawa lepas sedangkan aku sudah cemberut saja hingga aku merasa kerah jas almamaterku ditarik. Aku melihat ke bawah, Chenle memanggilku dengan tarikan tersebut.
“Tuh kan calon istri idaman, udah disayangi anak kecil. Oh iya di sekolah tempat kamu magang ada anak Ibu yang kelas dua SMP, namanya Jeno.”
“Oh iya Bu,” dalam hati aku sudah merapalkan doa-doa. Aku berharap Jeno dan teman-temannya beserta seluruh siswa-siswi SMPN Neo adalah anak-anak yang baik.
°BERSAMBUNG°