THE BEGINNING
"SELAMAT pagi, Kak Calea. Sudah rapi, sekarang sarapan dulu."
Seorang pembantu rumah tangga menyapa anak majikannya sambil tangannya bergerak mengoleskan selai varian tiramisu ke atas sebuah roti.
"Pagi, Bi Maya."
Algebra Caleabree. Seorang gadis yang masih menyandang status sebagai seorang pelajar di jenjang sekolah menengah atas. Terlahir tanpa kehadiran seorang ayah, membuat Calea hanya hidup berdua bersama sang Mama.
Calea tidak tahu apapun tentang ayahnya. Bentuknya, rupanya, bahkan namanya saja pun Calea tidak tahu. Setiap Calea bertanya tentang ayahnya kepada Raline—Mamanya, pasti akan berujung terjadi pertengkaran hebat diantara mereka.
Calea bersyukur memiliki ibu seperti Raline. Tetapi, bukankah seorang anak berhak untuk mengetahui siapa ayah biologis mereka? Berhak untuk melihat sosok ayah mereka, entah masih berwujud ataupun hanya tertinggal sebuah nisan yang mengukir nama ayah mereka?
"Kak Calea, tadi Ibu nitipin ini ke Bibi. Katanya, ini brosur sekolah Kak Calea nanti saat pindah ke Jakarta." Setelah membersihkan tangannya menggunakan tisu, Bi Maya memberikan Calea selembar kertas.
Calea membuang napasnya cukup kasar. Sikap Raline tak pernah berubah. Egois dan semaunya. Tidak pernah barang sekalipun bertukar pendapat kepada Calea. Seakan Calea adalah sebuah barang yang hanya boleh dikendalikan oleh Raline. Hal itu membuat Calea sudah terbiasa dengan atmosfer sunyi yang tercipta antara dirinya dan Raline.
Calea mengambil ponsel yang berada di saku roknya. Jarinya bergerak mencari sebuah kontak, lalu memencet tombol telepon. Beberapa detik menunggu, tetapi tidak ada jawaban dari seberang telepon. Calea menghempas kasar ponselnya, lalu mengambil sehelai roti yang sudah disiapkan Bi Maya sedari tadi. Raline pasti sengaja menolak panggilannya.
Melihat raut wajah Calea yang musam, Bi Maya melangkah mendekatkan diri. "Tadi Bi Maya searching sekolah barunya Kak Calea, loh. Sekolahnya bagus, Kak. Nomor 1 di Jakarta. Malah sepertinya, sekolah baru Kak Calea lebih bagus dari sekolah yang sekarang."
"Bibi bakal ikut ke Jakarta juga?"
"Iya dong, Mang Cecep juga. Kak Calea nggak usah khawatir, kita nggak mungkin berpisah," ujar Bi Maya dengan tawanya.
Calea hanya membalas ucapan Bi Maya dengan senyuman. Selepas menguyah habis rotinya, Calea meminum segelas susu vanila hingga tandas. "Terima kasih sarapannya, Bi Maya."
"Ya ampun, Bibi hampir lupa. Ibu juga tadi bilang, Ibu bakal datang ke sekolah Kak Calea nanti. Katanya mau ngambil rapor sekalian mengurus kepindahan Kak Calea."
"Aku udah tahu, Bi. Mama tadi kirim pesan ke aku."
"Oalah, udah tahu ternyata. Bibi pikir belum tahu. Ya sudah kalau begitu, sini Bibi bawain tasnya. Bibi antar sampai depan." Saat ingin mengambil tas Calea, tangan Bi Maya dicekal oleh Calea.
"Nggak usah, Bi. Biar aku aja."
"Bibi aja, Kak." Bi Maya berusaha mengambil alih tas Calea.
"Nggak, biar aku aja. Bibi cukup antar aku sampai teras." Ucapan Calea membuat pergerakan Bi Maya berhenti.
"Ya sudah, ayo ke depan. Sudah jam 07.29 nih. Nanti terlambat." Calea dan Bi Maya berjalan beriringan menuju teras.
"Lagipula kalau terlambat pun tak apa. Hari ini kan bebas karena bagi rapor. Aku datang terlambat pun, guru nggak bakal marah."
"Ya tapi kan lebih baik datang tepat waktu, Kak Calea. Sudah, sekarang masuk mobil. Mang Cecep udah nunggu lumayan lama, tuh." Bi Maya membuka pintu agar Calea bisa masuk ke dalam mobil.
"Calea berangkat dulu, Bi Maya."
"Dadah, Kak Calea. Mang Cecep, hati-hati bawa mobilnya."
"Siap komandan." Mang Cecep membuat gerakan seakan memberi hormat kepada Bi Maya.
"Jalan sekarang Mang Cecep, nanti Kak Calea terlambat." Ucapan Bi Maya membuat Mang Cecep mulai melajukan mobil, siap mengantar Calea ke sekolah.
——————————
Satu jam yang lalu, Calea dan Raline sama-sama melangkah ke auditorium sekolah untuk menerima laporan hasil pembelajaran Calea selama setahun belakangan. Calea dan Raline duduk berdampingan ketika kepala sekolah membacakan nama siswa/siswi yang meraih nilai akhir yang memuaskan.
Waktu menunjukkan pukul dua siang saat Calea baru saja meninggalkan lingkungan sekolah. Sekarang, Calea sudah berada di mobil yang dikendarai oleh Raline. Sebenarnya Calea tidak akan pulang selama ini, bila saja Raline tidak menuntut untuk mengurus kepindahannya hari ini juga.
"Mama belum makan siang. Pasti kamu juga, kan?" Jantung Raline berdegup kencang. Harap-harap cemas, takut Calea menolak ajakan makan siang Raline.
"Iya." Calea membalas singkat pertanyaan Raline sambil sibuk memainkan ponselnya.
Mendengar jawaban super singkat yang diterimanya, Raline menatap Calea. "Kamu kenapa?"
"Kita makan di Claus aja." Bukannya menjawab pertanyaan Raline, Calea malah menyebutkan sebuah nama restoran.
Raline hanya berdiam diri. Bersyukur karena jawaban Calea sesuai dengan yang Ia harapkan. Raline tau alasan mengapa putrinya bersikap seperti ini. Tepat saat mobil berhenti karena lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah, Raline mengambil tangan Calea. Sebelum itu, Ia menyempatkan diri untuk memberi kabar kepada seseorang yang sedang menunggu dirinya dan Calea.
Raline mengelus-elus puncak tangan Calea sambil menatap sebuah tropi beserta piagam yang terletak di kursi belakang mobil. Calea dinobatkan menjadi siswi dengan nilai akhir tertinggi diantara satu angkatan. Betapa beruntungnya Raline mempunyai putri seperti Calea.
Raline tahu dirinya bukanlah sosok Ibu yang sempurna untuk Calea. Tetapi, ini pertama kalinya dirinya menjadi Ibu, kan? Yang namanya manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan tak dapat Raline pungkiri bahwa kesalahan yang telah Ia lakukan kepada sang putri sangatlah banyak. Tetapi, hari ini akan menjadi hari yang penting untuk dirinya dan Calea. Melupakan trauma yang telah menghancurkan hidupnya untuk waktu yang lama, akhirnya Ia akan bertemu dengan kebahagiaan yang sebenarnya hari ini.
Sebelum melajukan kembali mobilnya, Raline mengecup puncak kepala Calea sejenak. "Mama tahu Calea lagi kesal sama Mama. Nanti, waktu sampai di Claus, Mama jelasin."
Ucapan Raline menjadi akhir percakapan mereka. Tujuh belas menit hanya terdengar suara radio mobil yang memenuhi indra pendengaran keduanya. Sampai akhirnya sebuah restoran dengan nuansa menyejukkan menjadi pemberhentian mereka.
Calea membuka pintu mobil dan berjalan mendekat ke arah Raline. Raline merangkul pinggang Calea. Calea tak menolak. Sebuah senyum kecil terlukis di bibir Raline ketika Ia melihat sebuah mobil yang sangat Ia kenal.
"Kita duduk di sana aja yuk." Raline menunjuk sebuah meja yang letaknya tepat di tengah restoran.
"Calea?" panggil Raline halus.
"Kenapa, Sayang?" tanya Raline lagi ketika Calea memberhentikan langkahnya.
"Gapapa," jawab Calea singkat, padahal otaknya sedang mencari jawaban dari pertanyaannya. Sambil terus melangkah, Calea menatap aneh ke arah sebuah mobil yang tadinya ingin memasuki area parkir Claus tetapi tidak jadi karena seorang dari beberapa satpam Claus menghampiri mobil itu dan seakan menjelaskan sesuatu.
Calea menatap Raline yang berjalan di depannya. Hanya ada mobil Raline dan satu mobil berwarna hitam yang terparkir. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Raline sedang merencanakan sesuatu yang tidak diketahui oleh dirinya?
"Hai, Rara." Seorang gadis yang tingginya hanya sedagu Calea menarik ujung seragam Calea secara tiba-tiba.
Calea terkejut, refleks menarik tangannya. Siapa gadis ini? Mengapa tingkahnya seolah sudah lama mengenal Calea? Tapi, Rara? Siapa Rara?Mengapa gadis itu memanggilnya Rara? Apakah gadis itu salah orang?
"Calea duduk dulu." Raline menggeser sedikit sebuah kursi agar bisa diduduki oleh Calea.
Calea tak kunjung duduk. Ia menatap seorang pria dewasa yang juga sedang menatapnya. Memberinya seulas senyum yang tentunya tidak dibalas oleh Calea. Mata Calea kembali teralih kepada gadis yang mengejutkannya tadi ketika tangannya ditarik kembali oleh gadis itu. Gadis itu menyuruhnya duduk. Calea bertambah bingung dengan keadaan saat ini. Siapa mereka? Calea melirik ke arah Raline, meminta kejelasan atas apa yang terjadi.
"Calea duduk dulu, nanti Mama jelasin." Raline bertutur sehalus mungkin agar putrinya mau mendengarkan perkataannya.
"Siapa?" Hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Calea.
"Duduk dulu, sayang. Gimana mau bicara kalau kamu aja masih berdiri gitu." Raline masih membujuk.
"Rara, aku Adelila. Boleh dipanggil Adel, boleh juga dipanggil Lila. Terserah Rara mau manggil aku apa. Tapi, aku lebih sering dipanggil Lila, sih." Gadis itu memberi senyum lebar ke arah Calea.
"Nama saya Calea, bukan Rara." Sudah lelah berdiri, akhirnya Calea mendudukkan diri di samping Raline. Menggeser sedikit kursinya karena merasa kurang nyaman dengan keberadaan gadis super aneh yang berada disamping kirinya.
"Tapi aku mau manggil kamu pakai sebutan Rara. Boleh dong, masa nggak boleh?" tanya Lila dengan tatapan penuh harap.
"Jangan sok kenal. Saya nggak nyaman," hardik Calea membuat semua orang yang berada di meja terkejut.
"Calea, Mama nggak pernah ajarin kamu bersikap seperti itu. Minta maaf sekarang!" Raline menatap Calea dengan tatapan tajam.
"Nggak usah, Tante Mama. Lila yang salah. Harusnya Lila nggak bersikap sok kenal ke Calea. Tante Mama jangan salahin Calea," sela Lila dengan wajah bersalah.
Raline mengelus-elus puncak tangan Lila membuat senyum sinis muncul di pipi Calea. Calea sudah mengerti situasi yang sedang Ia alami sekarang.
"Memangnya kamu pernah ajarin saya apa? Ajarin saya buat tahu caranya bohong, begitu?" Lama terdiam, Calea membuka suara.
Raline menghembuskan napasnya. Calea adalah tipikal anak yang jika dikerasi malah semakin keras.
Secara mendadak, Calea berdiri. Mengambil kunci mobil Raline yang tergeletak asal di atas meja, lalu melangkah menjauhi meja dimana tiga orang itu sedang menatapnya bingung.
"Saya tahu alasan kalian mengajak saya ke sini. Kalau kalian meminta pendapat saya, saya tidak mau. Saya tidak mau sekeluarga dengan kalian. Bahkan saya tidak tau siapa ayah kandung saya, bagaimana saya bisa menerima keberadaan ayah tiri?"
——————————
Matahari sudah terbenam sekitar satu jam yang lalu. Calea masih mengendarai mobil tak tentu arah. Calea memandang langit malam ini. Tak ada yang beda dengan biasanya. Sama seperti hari-hari yang dijalani oleh dirinya, tidak ada yang spesial.
Panggilan masuk kembali datang. Calea melirik ke arah ponselnya tak minat. Untuk kesekian kalinya, Raline menghubunginya. Dering telepon dan notifikasi pesan benar-benar mengganggu Calea. Calea mengambil ponselnya hendak mengubah ke mode hening. Melirik sebentar ke arah depan dan memastikan akan aman jika Ia menggunakan ponsel sebentar, Calea melanjutkan gerakan jarinya untuk mencari logo bulan yang berarti 'Do Not Disturb'.
Tetapi, kesialan datang pada diri Calea. Entah datang dari mana, tiba-tiba seorang laki-laki yang umurnya cukup lanjut berjalan mendorong gerobak satenya. Dengan gerakan cepat, Calea mengubah arah setir mobil.
DUBRAK!
——————————
follow instagram : @batangtumbuh
— Batang Tumbuh, 10 Januari 2022.