"Eh iya, bicara tentang ayahku, aku lupa memberitahu sesuatu pada kalian."
"Sesuatu apa?"
"Sepertinya... ayahku tahu sesuatu tentang tattoo ini."
Makan malam tersaji dengan lengkap di meja, hanya saja pikiran Wonjin terlalu dipenuhi oleh percakapannya dengan Jungmo, Taeyoung, dan Seongmin tadi siang. Terutama informasi penting yang dibeberkan Jungmo.
"Beberapa waktu yang lalu aku nggak sengaja menemukan ini."
Wonjin ingat lelaki itu mengeluarkan sebuah kartu berwarna keemasan dari dalam sakunya. Sebuah kartu dengan gambar yang jelas sangat familiar bagi keempat orang itu.
"Itu apa? Gambarnya sama seperti tattoo kita?"
"Aku juga nggak tahu ini kartu apa. Tapi kemungkinan besar ayahku tahu sesuatu. Aku belum sempat menanyakannya karena ayahku masih di luar kota. Begitu pulang nanti aku akan bertanya."
Sepanjang ingatan Wonjin, Jungmo bercerita tentang kecurigaan lelaki itu pada ayahnya yang mungkin tahu sesuatu. Ditambah keberadaan Kang Minhee yang... bukankah seharusnya sudah dikeluarkan dari sekolah karena terlalu sering membolos? Tapi sepertinya pihak sekolah tidak ada niat untuk menendang laki-laki tinggi itu. Dan mungkin... ayah Jungmo tahu.
Lalu pikiran Wonjin beralih. Ia juga teringat cerita Seongmin tentang Minhee yang sepertinya mengenal orang tua lelaki mungil itu.
Dan memorinya juga merekam perkataan Taeyoung tentang dirinya yang dibawa ke rumah Seongmin saat sakit karena orang tua Seongmin adalah dokter.
Tunggu—
Dokter?
Ayah Jungmo, orang tua Seongmin, dokter, mungkinkah ayah Wonjin juga tahu sesuatu? Saat Wonjin sakit, ayahnya juga membawanya ke dokter kan?
Mungkinkah dokter itu adalah orang tua Seongmin?
"Wonjin lagi memikirkan apa, Sayang? Kelihatannya serius banget sampai makannya sedikit-sedikit."
Kedua obsidian Wonjin yang tadinya menatap ke sembarang arah, beralih pada kedua orang tuanya yang duduk di hadapannya—juga sedang menyantap makan malam seperti dirinya.
"Emm... bukan apa-apa, Bu," jawab Wonjin. Ia menatap kedua orang tuanya, haruskah ia bertanya? Haruskah ia bercerita?
Wonjin meneguk minumnya sedikit sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada kedua orang tuanya.
"Yah, Bu, ingat nggak waktu Wonjin nggak masuk sekolah karena sakit?" tanya Wonjin membuka topik.
"Iya, ingat. Kenapa?"
"Ternyata sewaktu nggak masuk, ada lima orang lain yang juga nggak masuk di sekolah Wonjin. Lagi sakit juga. Yang dua orang satu kelas sama Wonjin, yang tiga beda kelas," cerita Wonjin. Ia mencoba membaca raut ayah dan ibunya, menelisik apakah ada kejanggalan yang dapat ditangkapnya.
"Hmm... apa memang lagi musim sakit ya?" gumam Ibu Wonjin. "Kamu jaga diri ya. Jangan kecapekan. Takutnya ngedrop lagi."
Wonjin mendesah pelan. Kecewa dengan jawaban ibunya. Apa memang kedua orang tuanya tidak tahu menahu soal ini?
Tapi Wonjin tidak menyerah. Ia kembali memutar otak mencari celah untuk bertanya lebih lanjut.
"Tapi aneh nggak sih. Masa sampai sebanyak itu yang nggak masuk? Apalagi karena sakit semua," lanjut Wonjin.
Wonjin melirik ibunya. Ia dapat melihat raut khawatir tersirat pada wajah cantik ibunya.
"Aduh apa lagi ada wabah ya?" gumam Ibu Wonjin. Wanita itu menoleh pada suaminya yang terlihat tidak begitu cemas. "Ayah, teman Ayah kan dokter. Memang nggak bilang apa-apa ke Ayah waktu Wonjin periksa?"
Pandangan Wonjin ikut teralih pada ayahnya. Alisnya terangkat mendengar perkataan ibunya.
Dokter?
"Teman Ayah nggak bilang apa-apa, Bu. Mungkin memang cuaca lagi nggak bagus buat kesehatan."
"Waktu itu Wonjin periksa di teman Ayah?" tanya Wonjin.
Ayahnya mengangguk.
"Iya. Itu kan malam-malam. Tadinya Ibu minta Ayah bawa kamu ke rumah sakit. Tapi Ayah bilang mau dibawa ke dokter teman Ayah," sahut Ibu.
"Hmmm gitu."
Wonjin kembali diam. Tidak ada informasi yang didapatkannya. Ayahnya sulit sekali dibaca sedangkan ibunya... entahlah ia tidak tahu apakah ibunya memang tahu tentang kejanggalan yang dialaminya atau tidak.
"Teman Ayah itu... Dokter Ahn Junghoon bukan?"
"Kamu tahu darimana?"
Allen tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya saat mendapat pesan dari seseorang untuk makan malam bersama. Ia terlihat bersemangat menapakkan kakinya memasuki restoran tempatnya janji bertemu.
Kedua obsidiannya mengedar, mencari sosok yang ingin ditemuinya. Senyumnya mengembang saat dapat menemukan sosok itu di salah satu meja restoran.
Tanpa mengulur waktu, Allen langsung mengayunkan kakinya menghampiri sosok tersebut.
"Daddy!"
"Allen, sini duduk!"
Masih dengan senyuman lebar di bibirnya, Allen menarik kursi di hadapan lelaki yang merupakan ayahnya tersebut.
"Kamu nggak bilang Mami kamu kan?"
"Enggak kok, Dad."
Lelaki paruh baya itu terlihat tersenyum setelah mengusak pelan rambut Allen.
"Daddy udah pesanin makanan buat kamu," kata Ayah Allen.
"Thank you, Dad."
Allen benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya hingga senyum di bibirnya terus mengembang. Bisa dibilang momen ini adalah hal yang langka dan mungkin belum tentu bisa Allen rasakan lagi.
Allen Ma.
Terlahir sebagai putra semata wayang di keluarganya membuat lelaki itu lebih sering merasakan sepi pada masa kanak-kanaknya. Tumbuh dengan kedua orang tuanya yang sibuk bekerja menjadikan Allen lebih pendiam dari anak-anak seusianya.
Namun tidak masalah bagi Allen.
Selama kedua orang tuanya menyayanginya dan mereka terus ada di samping Allen, lelaki itu tidak keberatan.
Hanya saja angan tinggalah angan.
Usia Allen baru memasuki tahun ke sebelas saat ia disuguhi pertengkaran kedua orang tuanya. Allen pikir dengan kedua orang tuanya di rumah bisa membuat Allen menghabiskan lebih banyak waktu dengan mereka. Sayangnya kepulangan mereka dari bekerja selalu saja diisi dengan keributan-keributan yang Allen tidak mengerti.
Hingga tepat saat usia Allen menginjak dua belas tahun, kedua orang tuanya resmi berpisah.
Kenapa?
Allen tidak tahu.
Yang ia tahu, ibunya memenangkan hak asuh atas dirinya dan selalu melarangnya pergi menemui ayahnya. Dan Allen benci itu.
"Oh ya, Allen, ada yang ingin Daddy bicarakan sama kamu."
Suara berat sang ayah mengalihkan fokus Allen. Lelaki itu mengangkat kepalanya, menatap ayahnya penug tanda tanya.
"Apa, Dad?"
"Sebenarnya—"
"Sayang, udah lama?"
Belum sempat Ayah Allen memulai pembicaraannya dengan sang anak, tiba-tiba seseorang datang menginterupsi percakapan mereka.
Netra Allen menatap tak suka wanita yang tiba-tiba menimbrungi quality time-nya dengan sang ayah. Tapi siapa wanita ini?
"Ah, iya, Sayang, kenalin ini Allen. Anakku yang sering aku ceritakan."
Sayang?
"Allen, kenalin. Ini Tante Dajung. Dia... calon istri Daddy."
Hah?
Kedua netra Allen membulat. Ia mengerjap menatap dua orang di hadapannya. Telinganya... tidak salah mendengar kan? Siapa tadi kata Daddy-nya? Calon istri?
"Maksud Daddy?" tanya Allen—tak mau mempercayai pendengarannya.
"Allen, Daddy akan menikah lagi sama Tante Dajung."
Allen menatap tajam ayahnya, juga wanita di samping ayahnya yang masih bergelendot mesra pada ayahnya. Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras.
Ia tidak suka.
Ia tidak butuh ibu baru.
Brak!
Sepasang calon suami istri itu tersentak saat tiba-tiba Allen menggebrak meja di hadapan mereka. Pemuda itu beranjak dari duduknya, menatap tajam ayah dan calon istrinya.
"Maaf, Dad, Allen lupa ada tugas sekolah yang belum Allen kerjakan. Allen pulang dulu."
Dan tanpa menunggu suara dari sang ayah, lelaki itu langsung beranjak meninggalkan kedua orang yang masih terkejut dengan tindakan Allen tersebut. Langkah Allen bergerak cepat, menuntunnya keluar dari restoran.
Ia hanya ingin pergi secepatnya.
Ia... benci ayahnya.
Bruk!
"Aduh."
"Maaf."
"Allen Ma?"
Gerakan Allen terhenti. Ia yang akan melanjutkan langkahnya setelah tak sengaja menabrak seseorang, mendongak menatap siapa yang baru saja memanggil namanya.
Seketika Allen langsung memalingkan wajahnya begitu mengenali orang tersebut.
"Serim? Loh? Ini siapa?"
"Eh, Ayah, dia teman sekolahku, Yah."
Allen melirik lelaki tinggi yang berdiri di samping Serim. Ia menganggukkan kepalanya—mencoba bersikap sopan.
Tak ingin berlama-lama, Allen pun segera bergerak—melanjutkan langkahnya untuk pulang tanpa mengindahkan keberadaan Serim dan ayah lelaki itu.
"Ck. Nggak sopan."
"Serim, nggak boleh gitu."
"Ayah lihat sendiri, disapa bukannya menyapa balik malah kabur tanpa kata-kata. Itu teman yang aku ceritain, Yah. Yang sombong nyebelin itu."
Serim mendengus memperhatikan sikap Allen—menyinyiri lelaki yang dianggapnya tidak sopan itu.
"Namanya siapa tadi?" tanya Ayah Serim.
Lelaki itu menoleh pada ayahnya setelah memperhatikan kepergian Allen yang tanpa pamit. "Allen Ma," jawabnya.
"Allen?"
"Iya, kenapa, Yah?"
"Nggak apa-apa."
Hallo, maaf ya aku baru update. Masih ada yang nungguin cerita ini kan? Semoga kalian nggak bosan ya. Btw makasih buat 2k votesnya ❤