Hwanwoong selalu membenci suara bel tanda kelas berakhir. Ketakutan langsung membuat tubuhnya bergetar hebat. Ia berusaha membereskan buku-bukunya tapi orang-orang itu datang lebih cepat.
"Wah ini tugas yang tadi baru disuruh Pak Guru ya? Berikan!"
Hwanwoong tidak bisa membantah karena tubuhnya sudah ditarik paksa oleh yang lain. Di sekolah khusus lelaki ini, sebagai yang bertubuh kecil, Hwanwoong memang selalu jadi bulan-bulanan. Mereka sering mencoret-coret buku dan mejanya, merobek tugasnya, dan memukul tubuhnya.
Seperti kali ini, tubuhnya diperlakukan layaknya bola, dioper ke sana dan ke sini. Tidak ada yang menolongnya di kelas, tidak pernah ada yang menolongnya saat penindasnya beraksi. Bahkan Keonhee dan Dongju yang dulu adalah teman baiknya langsung mengambil ponsel mereka dan merekam Hwanwoong. Lelaki itu tahu bahwa videonya sudah tersebar di internet dan sering menjadi bahan tertawaan. Ini adalah rutinitas kecil, rutinitas harian, dan lelaki itu harusnya sudah merasa terbiasa. Walaupun tubuhnya sakit sampai bahkan membuatnya harus bolos sekolah saat wajahnya babak belur, seharusnya hal ini tidak lagi menyakitkan.
Tapi mau dilihat bagaimanapun Hwanwoong selalu ingin berteriak di depan wajah mereka. Kenapa dirinya? Kenapa mereka harus menindas dirinya? Kenapa mereka tidak berpura-pura saling tidak menganggap kehadiran satu sama lain saja? Kenapa mereka harus menyakiti Hwanwoong? Kenapa mereka harus memukuli Hwanwoong? Terkadang tubuhnya yang babak belur membuatnya tidak bisa melakukan satu-satunya yang ia inginkan. Menari. Akhir-akhir ini ia sering terluka karena perilaku penindasnya dan mereka telah menghancurkan satu-satunya mimpi Hwanwoong. Lelaki itu tidak bisa lagi menari. Kalau ia memaksakan dirinya, ia hanya akan menghancurkan dirinya sendiri. Tubuhnya tidak lagi fleksibel seperti dulu. Bahkan menunduk saja membuat tubuhnya nyeri.
Hwanwoong terjatuh karena didorong seorang lelaki yang bertubuh jauh lebih tinggi dan besar darinya. Bukan keinginan Hwanwoong juga untuk tumbuh dengan tubuh begini. Dan karena ketakutan selalu memenuhi dirinya, ia seperti lumpuh, tidak bisa bergerak. Karena itu penindasan ini tanpa akhir, Hwanwoong tidak berdaya menolong dirinya sendiri.
Saat para lelaki itu puas dengan rutinitas mereka, semuanya keluar. Meninggalkan Hwanwoong yang kehilangan kacamata dan kertas-kertas tugasnya yang berserakan di depannya. Hwanwoong berusaha meraba-raba mencari kacamatanya.
"Ini yang kau cari, kan?"
Hwanwoong mendongak dan ia menerima kacamata yang diulurkan oleh Seoho, sahabatnya. Hwanwoong memakai kacamatanya lalu membereskan barang-barangnya. Bahkan isi tasnya juga dihamburkan tadi.
"Maaf."
Hwanwoong menoleh ke Seoho. "Untuk apa?"
"Harusnya aku tidak keluar duluan tadi. Maaf aku ada sedikit urusan dengan Youngjo. Seharusnya aku tahu bahwa aku tidak boleh keluar di saat seperti ini. Seharusnya Youngjo juga tahu."
"Ayolah, tidak apa. Dan kau pergilah makan, aku harus menyalin ulang tugasku."
"Ayo kita makan bersama," ucap Seoho berusaha riang.
Hwanwoong menggeleng. Kantin adalah tempat yang paling ia benci selain atap dan tempat bak sampah. Karena di sana ia selalu menjadi bulan-bulanan. Lebih baik ia kelaparan daripada kelaparan dan dipukuli.
"Tunggu di sini, aku akan membelikannya untukmu."
"Seoho, tidak perlu!"
Tapi Seoho seolah tidak mendengar. Ia membantu Hwanwoong berdiri lalu berlari keluar. Lelaki itu memang selalu bertingkah sesuai keinginannya dan tidak pernah berpikir dua kali. Jadi Hwanwoong membiarkan lelaki itu dan mulai membereskan mejanya. Ia juga harus mengerjakan tugasnya. Banyak yang harus ia lakukan.
"Hei, Hwanwoong, sendirian saja?"
Saat tengah fokus pada pekerjaannya, seseorang menyapa Hwanwoong. Lelaki berkacamata itu menoleh untuk mendapati seseorang yang baru kembali ke kelas setelah menjadi orang pertama yang keluar. Itulah Youngjo, belakangan ini lelaki itu tampak terobsesi untuk menangani penindasan yang terjadi di sekolah.
"Seperti biasa. Kau ini kebanyakan berbasa-basi padahal kita sekelas dan bukannya baru kenal," Hwanwoong tersenyum singkat. Pandangannya terarah pada gulungan poster dan lakban di tangan Youngjo. "Kau masih ingin mengurus tentang penindasan? Sudahlah, Youngjo, bahkan guru-guru kita tidak peduli. Tahu sendiri kepala sekolah mengatakan bahwa sekolah kita bebas dari yang namanya penindasan. Kalau sempat guru mendengar kau masih mengatakan untuk menghentikan penindasan padahal bagi mereka hal itu sudah tidak ada kau akan terkena masalah."
"Lebih baik aku terkena masalah daripada membiarkan kau dan yang lain terus-terusan menjadi korban."
Hwanwoong memaksakan sebuah senyum. "Aku baik-baik saja. Selama aku tidak melawan, mereka tidak akan melakukan hal yang aneh, kan? Kau juga tahu sendiri bahwa aku sudah terbiasa dengan ini semua."
"Tetap saja semuanya sudah kelewatan! Aku tahu apa yang ada di pikiran kalian, apa yang ingin kalian suarakan, jadi aku akan mengusahakan itu."
Youngjo memang terlalu baik. Ia bukanlah bagian dari OSIS, ia juga bukan ketua kelas. Tapi ia sangat peduli dengan orang-orang di sekitar dan terkadang ia pun menjadi sasaran. Karena bagi pelaku penindasan, Youngjo terlalu banyak bicara dan mereka harus menutup mulut lelaki itu. Terkadang Youngjo akan berkeliling dengan megaphone-nya dan mengatakan tentang hal-hal yang menyangkut penindasan. Ia juga sering menempelkan di mading tentang hal ini juga. Dari dulu teman baiknya adalah korban penindasan, jadi ia tidak ingin ada yang mengalami hal yang sama lagi. Dan bagi Youngjo, sebagai salah satu teman baik Hwanwoong, ia tidak ingin Hwanwoong menderita lebih lama lagi.
"Memuakkan."
Youngjo dan Hwanwoong otomatis menoleh ke sumber suara berat itu. Orangnya adalah Geonhak. Siapa yang tidak kenal dia? Akhir-akhir ini pamornya naik setelah bergabung ke geng yang terkenal hebat dan tidak terkalahkan. Hwanwoong langsung cepat-cepat membuang pandangannya sementara Youngjo menggelengkan kepalanya.
"Geonhak, sebaiknya kau tidak ikut-ikutan mereka. Kau kan dulu ikut denganku. Kau juga tahu apa bahayanya penindasan."
Geonhak mendengus. "Menggelikan. Hentikan usahamu. Selama bukan kita korbannya, hal itu bukanlah masalah besar."
"Korbannya adalah teman kita sendiri. Kau masih bisa diam saja melihat itu semua? Aku sungguh tidak mengerti kalian."
Hwanwoong meraih jas Youngjo. Ia menggeleng kecil. Ia tidak ingin Youngjo bertengkar dengan Geonhak. Lelaki itu juga benar, selama ia bukan korban sebaiknya tidak usah membela korban atau akan menjadi korban juga. Hwanwoong juga tidak ingin melihat Youngjo ikutan jadi korban setelah sering menyaksikan Seoho selalu bertengkar karenanya dan berakhir babak belur. Semakin dibahas soal penindasan, Hwanwoong semakin merasa tidak berdaya. Semakin ia merasa tidak berdaya, semakin tidak ada yang bisa ia lakukan.
Youngjo melirik Hwanwoong dan memutuskan untuk menurutinya. Memang Youngjo tidak suka pertengkaran. Jadi ia tidak ingin bertengkar lagi dengan temannya sendiri. Kalau dipikir-pikir entah bagaimana hubungan keenamnya bisa kacau. Mereka adalah teman SMP dulunya dan begitu beranjak SMA ternyata ada begitu banyak perubahan yang dialami begitu mereka tumbuh.
Keonhee dan Dongju pada dasarnya memang ramah dan populer, jadi mereka dengan cepat langsung mendapat banyak teman baru. Geonhak pada dasarnya juga disegani karena kesan pertamanya menakutkan jadi ia diajak bergabung dengan sebuah geng yang terkenal disegani bahkan di sekolah lain. Youngjo juga tampaknya tahu apa yang harus ia lakukan, ia hanya melakukan hal baik. Sementara Seoho selalu menjalani hidupnya dengan santai. Tapi berbeda dengan Hwanwoong, begitu masuk SMA ia malah menjadi korban penindasan. Ia terlalu baik jadi selalu dimanfaatkan. Perlahan satu persatu temannya sudah tidak lagi berdiri di depannya untuk melindungi. Bahkan Keonhee dan Dongju hanya mementingkan popularitas mereka dengan mengunggah video saat Hwanwoong ditindas untuk memperoleh popularitas.
Hwanwoong juga tidak ingin melibatkan teman-temannya lebih lanjut. Tapi tampaknya Seoho dan Youngjo merasa bertanggungjawab untuk melindunginya. Bukan sekali dua kali Seoho membela Hwanwoong saat ada pertengkaran. Tidak jarang Seoho juga ikut terluka dan kalah karena lawannya terlalu banyak dan ada lebih banyak lagi yang hanya menonton.
Hwanwoong membenci dirinya yang lemah. Andai saja ia bisa lebih kuat. Andai saja ia bisa membela dirinya sendiri. Andai saja ia bisa membalas pukulan-pukulan mereka. Kalau saat itu tiba, Hwanwoong tidak akan kabur. Ia akan menghadapi orang-orang yang menindasnya.
Akhirnya jam pulang datang. Akhirnya minggu sekolah berakhir. Mereka akan liburan selama dua hari ke depan, alias akhir pekan. Hwanwoong senang saat liburan datang karena ia tidak perlu bertemu dengan penindasnya. Jadi ia cepat-cepat keluar dari lingkungan sekolah bersama Seoho dan Youngjo.
"Kami akan menginap di apartemenmu! Orangtuamu masih belum pulang kan?" ucap Seoho riang.
"Baiklah, tapi tidak ada apa-apa di rumahku."
"Kalau begitu ayo kita belanja dulu," ajak Youngjo.
Seragam Youngjo sudah terbuka dan menampakkan baju kaosnya yang berwarna hitam. Sementara Seoho tidak pernah memakai kemeja sekolahnya, ia malah memakai baju kaos dengan jaket serba hitam dan ditutup dengan jas sekolah. Hanya Hwanwoong yang memakai seragam dengan baik, bahkan memakai sweater tanpa lengan di dalam jasnya. Penampilannya yang terlihat culun ini memang menarik minat penindasnya. Pada dasarnya orang suka mengincar seseorang yang ia nilai lebih lemah darinya. Karena itu Hwanwoong selalu menjadi korban.
Setelah berbelanja, mereka mengobrol sambil berjalan kaki ke apartemen Hwanwoong yang tidak jauh dari sini. Kediaman Hwanwoong memang selalu menjadi tempat berkumpul mereka karena letaknya strategis. Biasanya mereka berenam akan berjalan bersama, tapi sekarang hanya ada tiga. Rasanya sepi, tapi Seoho tidak ingin membiarkan teman-temannya merasa sedih karena mereka tidak lagi lengkap seperti biasa.
Ketiganya masuk ke apartemen Hwanwoong. Pemilik rumah langsung menuju kamarnya. Ia menyalakan lampu dan betapa terkejutnya melihat bahwa kamarnya tidak kosong seperti bagaimana ia tinggalkan.
"Siapa kau!" seru Hwanwoong terkejut sampai menarik perhatian Youngjo dan Seoho.
"Apa itu? Ada masalah, Hwanwoong?" Youngjo dan Seoho langsung berlari mendekati kamar Hwanwoong dan mereka langsung terkejut. "Astaga! Siapa gadis itu?"
Di dalam kamar Hwanwoong sedang berbaring seorang gadis. Ia memakai pakaian Hwanwoong, sedikit kebesaran untuk gadis mungil itu. Gadis itu berkulit pucat dan rambutnya berwarna hitam legam. Ia terlihat kurus dan saat tidur begini ia terlihat damai sekali.
"Hwanwoong! Kau diam-diam pacaran ya? Sampai membawanya ke kamarmu! Ternyata kau tidak sepolos penampilanmu. Aku sudah tertipu," Seoho menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku jadi merasa menyedihkan karena seumur hidup tidak pernah pacaran. Kenapa juga aku harus masuk ke sekolah khusus lelaki. Seharusnya aku bersekolah di sekolah campuran, berkencan, dan hidup bahagia."
"Dia bukan pacarku! Aku juga terkejut karena aku tidak mengenal dia siapa."
"Benar juga kata Seoho. Seharusnya kalau kau ingin menghabiskan waktu dengan pacarmu jangan mengiyakan kami untuk berkunjung. Aku tahu kita sudah lama dekat tapi aku menghargai privasi, sungguh. Jangan lupa pakai pengaman ya."
"Youngjo! Kalian salah paham. Sungguh aku tidak mengenal dia siapa. Jangan tinggalkan aku, kalau dia pencuri bagaimana?"
Ribut-ribut di ambang pintu membangunkan sosok yang mereka perbincangkan dari tadi. Gadis itu terbangun dan ia langsung duduk. Ia juga sama terkejutnya seperti mereka.
"Kalian siapa!" serunya terkejut. "Ah sebentar! Kalian pasti pemilik rumah ini. Dan seharusnya kalian yang lebih bingung ya karena aku tiba-tiba muncul. Aku terjebak di sini, di dunia modern ini."
"Dunia modern apanya? Ini masa sekarang!" ucap Youngjo tidak percaya.
"Aku sampai sekitar siang tadi dan aku memiliki kesimpulan bahwa sepertinya ada yang membutuhkan bantuanku. Singkat cerita aku merasa terpanggil ke mari padahal sebenarnya aku adalah seorang ksatria pada abad pertengahan. Jadi sepertinya ada yang memanggilku, atau ada yang berharap sesuatu?"
Sebuah fakta gadis yang tidak berbahaya ini adalah seorang ksatria dari abad pertengahan saja sudah mengejutkan. Tapi yang paling mengejutkan Hwanwoong adalah ia yang meminta sesuatu. Ia yang berharap untuk menjadi kuat. Apakah gadis ini adalah jawabannya?
Hwanwoong langsung mendekat dan meraih tubuh gadis itu. "Apakah kau nyata? Aku, aku yang meminta sesuatu."
"Kau yang meminta untuk...."
Hwanwoong langsung menutup mulut gadis itu dan menggeleng. "Nanti kita bicarakan. Jangan bilang apa-apa pada temanku. Ini rahasia."
"Menarik," gadis itu tersenyum lebar begitu Hwanwoong menjauhkan tangannya. "Sepertinya hal ini akan menjadi menarik."
"Kelihatannya kau terlalu santai untuk ukuran tersesat di tempat yang tidak kau ketahui," komentar Hwanwoong.
"Aku ini ksatria wanita yang paling ditakuti dan disegani. Aku hampir menjadi kepala pasukan, kau kira aku tidak bisa bertahan hidup di mana saja dan kapan saja? Ini soal gampang."
"Halo, masih ada kami berdua di sini. Bagaimana Hwanwoong? Kau ingin kami menemani di sini?" tanya Youngjo khawatir.
"Ayo kita makan malam dulu, lalu jika kalian ingin pulang, pulanglah. Aku tidak apa-apa ditinggal hanya berdua di sini "
Kalimat Hwanwoong membuat mereka khawatir. Keduanya tidak tahu ada urusan apa mereka berdua, tapi biasanya Hwanwoong tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Bagaimana kalau gadis ini adalah penipu? Bagaimana kalau Hwanwoong sedang dijebak? Tapi Hwanwoong tampaknya memiliki urusan tersendiri dengan gadis ini. Apakah tidak apa-apa jika ditinggal hanya berdua?
Mereka langsung menyiapkan makan malam tanpa membahas soal kedatangan gadis itu. Malah mereka hampir lupa kecuali terkadang saat akan bertabrakan mereka akan terkejut sendiri. Betulan tidak apa-apa jika ditinggal hanya berdua?
Entah bagaimana, tapi mereka berempat sudah duduk melingkar di sekitar meja makan. Gadis itu tampak lahap sekali makan sambil bertanya makanan apa yang mereka sajikan dan terbuat dari apa. Sebenarnya hanya makanan instan yang dipanaskan, tapi gadis itu bertingkah seolah makanan mereka adalah berasal dari kelas atas. Kalau sudah begini gadis itu tidak tampak berbahaya.
"Ngomong-ngomong kita belum berkenalan," mulai Youngjo setelah makan malam sudah habis disantap. "Aku Youngjo, dan ini temanku, Seoho. Lalu inilah tuan rumah, Hwanwoong."
"Perkenalkan, aku Robin."
"Robin? Seperti nama lelaki," komentar Seoho.
"Benar, jika aku memotong rambutku menjadi pendek, aku akan terlihat seperti lelaki. Sayangnya aku tidak terlalu tinggi jadi pasti hanya akan dianggap seperti anak kecil. Walaupun begitu aku cukup ditakuti asal kalian tahu."
"Coba ceritakan tempat seperti apa kau berasal," pinta Hwanwoong.
"Aku berasal dari sebuah kekaisaran yang lebih mementingkan kekuatan daripada darah yang mengalir di tubuhmu. Kau bukan keturunan kaisar? Tidak masalah. Asalkan kekuatanmu sebanding dengan Kaisar, maka kau bisa menjadi penerusnya. Aku cukup beruntung karena memiliki kelebihan fisik jadi aku bisa cukup kuat."
Youngjo, Seoho, dan Hwanwoong menatap gadis itu ragu. Masa dari tubuh sekecil ini bisa memiliki kekuatan yang tersimpan?
"Aku bisa berduel dengannya dan ia akan kalah telak," Robin menunjuk Seoho.
"Jangan!" sela Hwanwoong cepat, ia tidak ingin Seoho ataupun Robin terluka. "Tidak baik bertengkar."
Ekspresi Robin tampak mengejek, seolah mengatakan tidak baik bertengkar tapi kau sendiri ingin kuat. Hwanwoong tahu ia pasti terlihat munafik, tapi ia ingin menjadi kuat untuk melindungi dirinya, bukan untuk berkuasa.
"Sudah malam, sebaiknya kalian pulang," Hwanwoong langsung mengalihkan percakapan. "Tinggalkan saja piring-piringnya, aku yang bereskan."
Seoho dan Youngjo menurut karena mereka tidak ingin mengganggu privasi Hwanwoong. Tapi sebelum berpamitan keduanya berpesan untuk menghubungi jika ada yang mencurigakan. Hwanwoong langsung mengiyakan dan mereka akhirnya pergi. Sekarang hanya tinggal Hwanwoong berdua dengan Robin.