"That fucking bastard... should I beat him?" Pertanyaan itu lolos dari mulut Jingga.
Mentari dan Selli kompak menoleh dan menatapnya tak terima.
"Jangan cari-cari masalah baru deh. Lo tinggal tunggu adek lo selesai diobatin. Mendingan lo diem aja disini!" Omel Mentari.
Tapi sebenarnya Jingga memang bukan orang yang pemarah. Tidak sampai semarah ini. Mentari berani taruhan kalau Jingga tidak dikontrol emosinya, ia harus menjemput Jingga di kantor polisi karena menganiaya anak dibawah umur.
Kakak fikir cuma Lentera yang bisa bikin kamu nonjok orang... Ternyata kamu emang se-gentle itu. – batin Jingga
Lalu pintu UGD terbuka dan langsung menampakkan wajah Vina yang bisa dilihat sarung tangannya terdapat banyak bercak darah.
"Keluarga Arjun— pak direktur?" Vina nampak terkejut melihat Jingga yang seperti orang mau mati dan gadis di sebelahnya yang berdarah-darah layaknya zombie.
"Saya kakaknya. D-dia baik-baik aja kan?" Tanya Jingga panik.
"Arjuna sekarang masih dibawah pengaruh obat bius. Kepala bagian kirinya harus menerima 3 jahitan. Lengannya retak. Dan beberapa bagian tubuhnya mengalami luka ringan. Untuk sementara, dia harus dirawat di sini, karena tadi sempat ada gumpalan darah yang menyumbat saluran pernafasan nya." Jelas Vina panjang lebar.
Nyawa Jingga dan Selli bak terbang entah kemana. Mentari langsung memegang tubuh Jingga, kalau-kalau ia tiba-tiba pingsan.
"Makasih banyak Vin" ucap Mentari.
Lalu tak lama ranjang Arjuna lewat di depan mereka, dan naik ke lift menuju ruang inap nya.
"Jingga, lo sekarang ke kantin, pesen jus atau susu atau terserah lo! Intinya lo harus minum sesuatu. Dan kamu... Ohanna— kamu ikut saya sebentar" Mentari bergegas mengatur semuanya.
"Tapi gue—"
"Ga ada tapi tapian! Gw ga nerima penolakan apapun. Just do what I said, okay?" Mentari kembali menegaskan.
Jingga mengangguk pelan "okay"
Lalu Selli mengikuti kemana Mentari pergi. Ternyata ia dibawa ke ruangannya.
"Saya ada baju bersih. Kamu bisa ganti baju dulu" ucap Mentari sambil memberikan sebuah kaus dan celana training bekas kebijakan Jingga dulu yang menyuruh semua karyawannya senam pagi sebelum bekerja.
Namun tentu saja itu tidak bertahan lama. Toh itu cuma formalitas supaya terkesan mengikuti anjuran pemerintah.
"Terimakasih dok..." Ucap Selli dengan suara serak.
Lalu setelah itu Selli mengganti bajunya dan memasukannya ke dalam totebag yang juga diberikan Mentari. Di dalam kamar mandi dia kembali memikirkan Juna. Rasa bersalah kembali menyelimutinya.
Juna pasti marah padanya. Lentera juga. Semua orang pasti membencinya setelah ini, begitu pikirnya.
Selli keluar dari toilet dengan baju yang sudah ganti. Walaupun tidak mandi, ia merasa lebih bersih dari sebelumnya.
"Mau ke ruangan Juna?" Tawar Mentari.
"Juna udah boleh dijenguk?" Tanya Selli takut-takut.
"Boleh. Tapi sebelum itu kita ke kantin dulu. Kamu pasti ga ada fikiran buat makan kan?" Tebak Mentari tepat sasaran.
Karena tidak ada jawaban, Mentari langsung saja menggiring Selli ke kantin. Mungkin karena sudah punya anak perempuan, sikap keibuan Mentari jadi keluar secara otomatis.
Mereka akhirnya makan dikantin. Mentari benar, Selli tidak menyadari bahwa ia sangat lapar. Untungnya Mentari cukup peka untuk masalah seperti ini.
***
"Juna... Kamu udah sadar?" Tanya Jingga sambil memegang ujung ranjang rumah sakit tempat Juna dirawat.
Juna membuka matanya pelan-pelan. Netra nya langsung menyadari bahwa ada Jingga disana.
"Kak Jingga...?" Ucapnya lirih.
Mendengar panggilan Juna itu, mungkin sama mengharukannya seperti seorang ayah yang mendengar anaknya menangis pertama kali.
"Iya... Mana yang sakit?" Tanya Jingga pelan.
"Kepala gue... Sakit banget" Juna benar-benar merasa kesakitan karena efek obat bius sudah hampir habis.
Kepalanya terasa panas dan perih. Intinya hampir pada tahap mati rasa.
"Efek obatnya udah mau abis... Kalau sakit banget kamu bilang aja sama kakak" ucap Jingga sambil menatap Juna layaknya tengah menjaga barang yang hampir pecah.
Juna meringis. Luka jahitan di kepalanya benar-benar sakit. Ia fikir tadi dia mati, ternyata Tuhan masih belum mau menemuinya secara harfiah.
"Untung ga sampe gegar otak. Ngomong sama kakak, siapa yang bikin kamu kayak gini" ucap Jingga yang lagi-lagi terbawa emosi.
Juna menggeleng walaupun sulit "ga usah ikut-ikutan... Ini masalah gue... Selli... Mana?"
Jingga mengerutkan dahinya "Selli?"
Cklek!
Suara pintu terbuka dan menampakkan gadis cantik dengan kaos berwarna hitam dan training abu-abu milik Mentari. Selli masih sangat cantik meskipun matanya seperti habis disengat tawon.
Bak paham bahasa kalbu, Jingga langsung tau kalau perempuan ini pasti yang bernama Selli.
Selli mendekat untuk melihat Juna lebih jelas. Ruangan ini sangat jelas hanya Juna yang menempati. Sepertinya ini ruangan VIP.
Tatapan Selli menatap Juna kasihan. Lalu dia beralih menatap Jingga.
"S-saya bener-bener minta maaf, gara-gara saya Juna jadi harus luka kayak gini" ucap Selli sambil menunduk.
Juna sepertinya ingin menyela, jadi Jingga buru-buru menjawab.
"Kamu ga perlu minta maaf. Saya yakin, kalaupun Juna bisa mengulang waktu, dia pasti bakal tetep milih babak belur daripada biarin kamu kenapa-napa. Semua luka yang ada di tubuh dia sekarang, itu konsekuensi dari pilihan dia buat ngebela kamu. Jadi kamu ga perlu minta maaf kayak gini" ucap Jingga sambil memegang bahu gadis di depannya.
Selli kembali menatap Juna.
"Maafin gue ya Jun..." Ucapnya lagi.
Juna tersenyum "Minta maaf mulu kayak mau lebaran..." Canda Juna untuk mengusir rasa sakitnya.
"Ya abis gue ga tau mau gimana buat bales semua kebaikan lo... Bejat-bejat gini gw masih tau terimakasih" ucap Selli sambil manyun. Ia masih tidak tega melihat Juna kesakitan.
"Ga usah astaga..." Lirih Juna sambil meringis sedikit.
"Gw janji bakal rawat lo sampe sembuh! Gw bakal kesini setiap hari! Gw bakal rajin nyogok orang biar nyatet pelajaran buat lo! Lo ga boleh larang gw, soalnya gw lagi ga mood dilarang!" Ucap Selli panjang lebar.
Kadang Juna lupa, gadis di depannya ini baru pertama kali berinteraksi dengannya hari ini. Tapi bagaimana bisa mereka bersikap seperti sudah berteman setahun lebih??
"Iya iya... Lo mending sekarang kipasin kepala gue... Rada panas abis denger lo ngomong satu paragraf" ucap Juna sambil meringis.
Selli langsung siap mengipas kepala Juna. Jingga yang ada disana hanya bisa menahan senyumnya.
Adek gue emang ada bakat jadi majikan – batin Jingga.
"Dek..." Panggil Jingga.
Juna tidak menjawab, tapi ia menoleh pada Jingga. Selli juga ikut menoleh.
"Lentera... Dikasih tau atau engga?" Tanyanya ragu-ragu.
Juna diam. Ia masih bingung harus bagaimana. Di satu sisi dia mau Lentera menjenguknya, tapi di sisi lain ia tidak mau membuat Lentera khawatir.
"Terserah kakak..." Jawab Juna pelan
"Kakak anggap itu jawaban iya" setelah itu Jingga berjalan keluar ruangan untuk mengabari beberapa orang seperti ayahnya, Pesona, dan juga Lentera.
Ia juga sudah menyiapkan surat dokter yang akan ia titipkan pada Lentera.
Jingga baru saja selesai mengabari ayahnya dan adiknya. Kini ia sedang berjalan menuju ruangan Lentera.
Begitu membukanya, Lentera sedang membaca buku sambil menemani ibunya yang tertidur.
"Kak Jingga?" Tanyanya dengan mata polos.
Jingga menyuruh Lentera untuk menghampirinya. Tanpa pikir panjang Lentera pun menurutinya.
Lentera dan Jingga keluar dari ruang rawat Ayu. Setelah menutup pintunya, Jingga menatap Lentera serius.
"Ada apa kak?" Tanya Lentera
"Kamu mau ikut saya sebentar?" Tanya Jingga masih mencoba menyusun kalimat yang tepat untuk dikatakan pada Lentera.
"Ikut kemana? Aku kan harus jagain ibu..." Jawab Lentera pelan.
Jingga membasahi bibirnya yang terasa kering.
"Arjuna. Dia tadi masuk UGD—"
"H-hah?!" Lentera membulatkan matanya tak percaya.
"Kamu tenang dulu, ya. Dia ga— oke, dia emang kenapa-napa tapi seenggaknya kondisinya udah lebih baik dari sebelumnya. Sekarang dia lagi dirawat disini. Kamu mau ketemu dia?" Tanya Jingga.
Lentera nampak bingung, namun juga khawatir. Ia seperti tidak tau mau menjenguk Juna atau menjaga ibunya.
"Kalau kamu masih mau jagain ibu kamu, gapapa, Juna disana ada yang nemenin" ucap Jingga
"Ada Genta juga?" Tanya Lentera dengan raut wajah bingung.
"Bukan Genta. Tapi... Siapa ya namanya... Selli! Oh iya! Selli! Dia ada di ruangan Juna sekarang" jawab Jingga yang tadinya sempat melupakan nama perempuan yang sekarang sedang ada di ruangan Juna.
"Selli... Disana?" Tanya Lentera lemah.
"Iya. Kenapa?" Tanya Jingga balik.
Lentera langsung menggeleng. Lagi-lagi merapalkan mantra agar tidak melebih-lebihkan yang seharusnya tidak ia rasakan.
"Ya udah aku mau ke kamar Juna" ucap Lentera.
Jingga mengangguk, lalu segera membawa Lentera kesana. Ruangan Juna masih tertutup rapat. Dan begitu terbuka, Selli masih setia mengipas kepala Juna.
Oke, loyalitas seorang Selli patut diacungi jempol.
Perhatian Juna langsung beralih pada Lentera yang memasuki ruangan itu. Jingga juga ikut masuk, tapi ia ditahan dari belakang.
Saat menoleh, ternyata itu Mentari.
"Lo ngapain ikut-ikutan?? Disangka pasien lo bisa sembuh sendiri?" Ucap Mentari sambil menarik jas dokter Jingga.
"Lo ga tau apa gw lagi jadi keluarga pasien?" Balas Jingga sewot
Mentari kesal sendiri jadinya "ari maneh teh teu tiasa ningali, nya?! Itu adek lo lagi dikelilingi cewek cantik, YA JANGAN DIGANGGU LAH, BODOH!"
Jingga mendengus kesal "Ck! Dah lah gw males debat sama bumil!"
Setelah itu Jingga langsung mengambil langkah seribu menuju ruangannya untuk menangani beberapa pasien.
Tapi meskipun sibuk dan tidak melihat keadaan Juna, Jingga selalu berdoa dalam hati agar Juna cepat sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasa.
Sekali lagi, darah lebih kental daripada air.
***
Jingga terdiam beberapa lama di ruangannya. Katanya hari ini Pesona yang akan menjaga Juna di kamarnya. Lentera juga ikut menginap untuk menjaga ibunya.
Hari ini Jingga juga bukan kebagian jaga malam, tapi ia rasa sekali berat untuk pulang. Akhirnya ia menengok kamar Juna terlebih dahulu.
Begitu ia membuka pintu, Pesona masih sibuk di depan laptopnya, ia mesti menyusun beberapa hal berkaitan dengan salon yang akan ia bangun tak lama lagi.
Tentu saja Agung dan Jingga ikut memberikan investasi disana. family is the closest treasure.
"Kak Jingga belum pulang?" Tanya Pesona sambil meregangkan tubuhnya yang pegal-pegal.
"Ga tau, Ann... Mungkin sebentar lagi" jawab Jingga sambil melangkah mendekat ke arah Juna.
Lelaki itu sudah tertidur. Sepertinya semua rasa nyeri di tubuhnya sudah berkurang.
Jingga menarik selimut Juna sampai sebatas bahu lalu mengusap pelan kepala Juna yang tidak luka.
"Cepet sembuh..." Bisiknya. Bahkan Pesona saja tidak bisa mendengarnya.
"Kalian tuh selalu kayak gini... Akurnya kalo salah satu udah tidur. Kapan coba akur beneran?" Sindir Ana, masih tetap sibuk dengan laptopnya.
Jingga terkekeh kecil. Lalu menghampiri adiknya.
"Disangka kakak ga mau akur beneran? Ya mau lah! Cuma kalau Juna emang ga mau— ya kakak cuma bisa perhatian secara ga langsung kayak gini" jelas Jingga sambil bersandar di sofa, tepat disebelah Ana.
Ana menghela nafas. Lalu menatap kakaknya "Can you be honest?"
"Jujur soal apa?"
"Juna pergi dari rumah. Terus kakak pulang-pulang pipinya bonyok. Dan aku rasa, dua hal itu berkaitan" Ana memunculkan spekulasinya.
"—And one more thing, It's almost a week Juna nginep di rumah Genta. Aku jadi heran, kalian berantem separah apa sih?" Ana melanjutkan.
"I can't make sure you won't laugh. Alesannya bener-bener diluar nalar" Jingga mengangkat bahu.
"Just tell me, aku ga bakal ketawa. Kecuali kalau kalian berantem cuma gara-gara rebutan Raisa" ucap Ana yang sangat-sangat penasaran.
"Percaya atau engga, tapi tebakan kamu hampir tepat sasaran" ucap Jingga yang membuat Ana melotot.
"REALLY?! So... Is she Ariana Grande?" Ana benar-benar terkejut karena ia fikir Juna dan Jingga merebutkan seorang artis.
"No no... Ga gitu maksud kakak. Kita ga rebutan Raisa apalagi Ariana Grande. Kita bukan kamu yang bisa berantem sama orang ga dikenal cuma gara-gara ngeliat photocard bias kamu di belakang handphone dia. our problem is a bit more serious than that— even myself still can't believe this" Ucap Jingga yang sedikit terkekeh karena mengingat kejadian lucu yang dialami Pesona.
Anak itu memang ada-ada saja.
"Ya udah kalo gitu kasih tau aku aja sih! Penasaran nih" ucap Ana kesal sendiri karena kakaknya terus muter-muter dunia.
Hening berapa lama sebelum Jingga memantapkan hatinya untuk memberitahu Pesona tentang ini. Bukan masalah apa-apa, hanya saja ia sendiri masih malu kalau melihat alasannya yang sungguh kekanakan.
Tapi cepat atau lambat, Pesona pasti tau. Jadi lebih baik untuk memberitahu kebenarannya sekarang. Daripada ia mendengar versi yang sudah dilebih-lebihkan. Akan terasa tidak nyaman pastinya.
Jingga menghela nafas sebelum mengatakan jawabannya.
"Kakak sama Juna, suka sama orang yang sama" ucapnya.
Awalnya Pesona diam. Tapi kerutan di dahinya timbul seolah ucapan Jingga berasal dari bahasa sansekerta yang tidak dipahaminya.
"W-what?! Kakak bercanda?" Tanya Pesona yang fikirannya masih terbang di awang-awang.
"Kamu bilang kakak suruh jawab jujur. Ya itu jawabannya" Jingga menekankan bahwa ia serius disini.
Ana makin bingung "W-wait!! Ini aku yang salah mengartikan atau..."
"Kakak sama Juna sama-sama suka cewek yang sama. Is it not clear?" Jingga kembali memperjelas.
"Kok bisa?!! J-jadi— kakak yang suka sama anak dibawah umur atau Juna yang suka sama tante-tante?!" Ana shock mendengar jawaban Jingga.
Tapi memang sih, siapa juga yang tidak terkejut.
"Kakak yang suka sama temen Juna" jawab Jingga santai. Seolah ia baru saja menjawab pertanyaan kuis tebak-tebakan berhadiah.
"Are you insane?! Oh Gosh, I still can't believe my ears" Ana bersandar di sofa. Nafasnya tersekat. Dia seperti habis mendengar bahwa ternyata ayahnya adalah titisan Dewa Matahari.
Jingga meminum kopi Pesona yang sepertinya baru ia delivery tadi.
"Secantik apa sih sampe jadi rebutan..." Lirih Pesona tak habis fikir.
"Dia... Mirip Gytha" jawab Jingga pelan.
"Astaga kak! Yang bener aja?! Masa iya suka sama cewek cuma gara-gara dia mirip mantan?! How asshole!!" Ana benar-benar sudah jarang menggunakan kata-kata kasar dari kamus terkutuknya untuk Jingga. Tapi malam ini, ia rasa ia sanggup mengabsen semuanya.
Jingga memutar kedua bola matanya.
"Kamu ga tau gimana rasanya mau mati cuma karena orang yang kamu sayang udah ga bisa kamu temuin lagi! Kamu ga tau gimana rasanya nolak semua cewek karena ga ada yang se-perfect mantan kamu yang udah ga ada!—Dan kamu... Ga tau betapa miripnya mereka sampai bikin kakak gila!" suara Jingga memelan di akhir.
Pesona jadi merasa bersalah sudah mengatakan hal-hal yang tidak diinginkan. Ia tadi benar-benar shock, makanya reflek mengucapkan umpatan tanpa difikir dulu.
"Kalau dia emang se-sempurna itu buat kakak... Ga ada alasan lagi buat aku nentang keinginan kakak. Aku cuma ga mau kalian berantem terus-terusan. I just missing you two!"
Jingga bergerak untuk memeluk Pesona. Terakhir kali Jingga memeluk gadis ini saat dia wisuda. Ia sudah jarang memeluknya karena mereka sudah sama-sama dewasa. Walaupun terhubung secara darah, tapi tetap saja mereka dua orang dewasa yang tidak bisa berpelukan seenak jidat.
"Wanna meet her?" Tawar Jingga.
"Should I?"
"Kakak ga maksa"
"Ok, then"
"Ok apa nih maksudnya?"
"Ok aku mau ketemu"
"Good. Besok kita ketemu"
To be continued
HAI!!!
Sedikit-sedikit aku udah mulai kasih spoiler kedepannya gimana (kalau pada sadar) hehe ><
Jangan lupa vote and comment yang banyak yaaa!!
Emang sih, aku bikin cerita ini bukan karena mau ngejar vote, tapi kan jadi semangat aja gitu :(
Thank uuuu