Ablasi adalah pengikisan yang disebabkan oleh air. Erosi oleh air bermula saat air yang mengalir menimbulkan gesekan tanah yang dilaluinya.
.
.
"Jangan lupa makan Ya." Gayatri hanya menggumam begitu Meta tiba-tiba datang ke ruangannya dan memperingatinya untuk makan. Gadis itu masih sibuk menatap layar laptop yang menyajikan data-data yang berhubungan dengan kasus yang ia dan tim tangani. Kali ini ia mendapat bagian untuk mengulik data-data si pelaku yang cukup menguras pikiran Gayatri. Gadis itu masih sibuk melacak identitas asli mereka yang lumayan susah untuk di ungkap.
Meta mendengus ketika diabaikan oleh Gayatri, ia tahu jika Gayatri belum makan sejak pagi. Gadis itu berangkat pukul 8 pagi dan sampai sekarang pukul 7 malam belum menyentuh makanan sama sekali. Hanya minum dan istirahat untuk melaksanakan kewajibannya saja.
"Gue mau keluar. Mau nitip apa lo?" Meta menyerah ketika Gayatri tak kunjung mengindahkan permintaannya. Lebih baik ia mencari makan untuk menghadapi Gayatri yang kepala batu.
"Nasi goreng pak gendut Ta." Sahut Gayatri cepat. Meta kembali mendengus. "Giliran ini baru mau. Dasar!" Cibirnya.
"Apalagi?" Tanya Meta kembali.
"Jeruk hangat satu sama nitip susu UHT dan kopi botol. Kopinya jangan kopi susu, tapi kopi hitam, merek kayak biasa."
"Hah! Banyak maunya lo." Dengus Meta kemudian. Gadis itu lantas bergegas keluar dari ruangan yang terdiri dari sekat-sekat tetapi kini hanya tersisa Gayatri seorang. Sedangkan Gayatri di tempatnya terkekeh pelan dengan mata yang fokus menatap layar laptop.
30 menit kemudian, Meta kembali ke kantor. Gadis itu menenteng banyak bungkusan makanan.
"Nih nasi goreng level setan sama pesenan lo."
"Totalnya berapa?"
"30 ribu." Lalu Gayatri menyodorkan uang ke Meta, "Makasih Metaku."
"Hm.. Yoi. Makan dulu gih habis itu lembur." Perintah Meta kemudian.
"Iya bentar." Sementara itu Meta memakan makanannya di kubikel dekat Gayatri. Gadis itu sudah tak sabar menyantap mie goreng pak gendut. Pak gendut merupakan penjual nasi goreng maupun mie goreng yang terkenal di daerah sana dan sudah menjadi langganan Gayatri dan Meta. Pak gendut merupakan nama beken si penjual dikarenakan badannya yang besar dan tak lupa orangnya yang ramah serta lucu.
Di sisi lain Gayatri masih fokus. Beberapa kali mencocokkan identitas yang ada sampai matanya menemukan satu kejanggalan.
"Ini gue nggak salah lihat?" Gayatri menatap foto seorang pria dengan kemeja dan topi hitamnya. Tak lupa kaca mata hitam juga. Pria itu berdiri di dekat bandara di Malang. Terlihat gagah namun misterius.
Dengan cepat Gayatri mengecek tanggal dimana foto itu di ambil. Dan, "Dam*!"
Meta yang sedang mengunyah makanannya langsung terhenti. Kemudian kepalanya melongok ke arah Gayatri. "Ada apa Ya?"
"Nasi goreng tolong bukain. Gue laper." Ucap Gayatri dengan mata yang masih menatap monitor laptop.
"Ck! Gue kira apaan!" Tak ayal Meta membukakan wadah styrofoam yang berisi nasi goreng ke Gayatri.
"Makasih."
"Nggak bisa itu mata nggak ke laptop mulu? Gue liatnya kesel sendiri Ya. Makan dulu, baru lo kerja lagi. Dasar kepala batu!" Gerutu Meta kembali. Ia kesal dengan Gayatri yang tak kunjung memakan makanannya.
Gayatri kemudian mengusap wajahnya kasar. Wajahnya mendongak sambil mendengus keras. "How can?"
Tak tinggal diam, Gayatri langsung mencari data lain. Gadis itu langsung menelusuri jejak pendidikan pria tersebut dengan cepat sembari menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. Sedangkan Meta hanya bisa menggeleng melihat Gayatri yang begitu semangat bekerja seperti ini.
"Salah satu universitas teknik di Munchen?" Gumam Gayatri saking tidak percayanya. Ia merasa tak asing dengan salah satu universitas terbaik di Jerman itu.
Matanya memejam sebentar. Lantas secara reflek juga Gayatri memijit pangkal hidungnya. Merasa jika hari ini sangat penat. Bukan hanya secara fisik, termasuk mental, batin dan pikiran ikut tereksploitasi.
Merasa lelah, Gayatri memakan nasi gorengnya kembali dan menatap Meta yang juga menatapnya penasaran. "Kayaknya otak gue mulai eror deh."
"Mungkin nggak kalau orang bangsawan terlibat narkoba?" Tanya Gayatri tiba-tiba pada Meta.
Meta mengerutkan dahinya dalam. Tak ayal ia tetap menjawab, "Nggak ada yang nggak mungkin Ya." Gayatri langsung menghembuskan nafasnya pelan ketika mendengar jawaban Meta.
"Besok ikut gue ya Ta. Ada misi penting."
*****
"Pak, es kelapa mudanya dua." Setelah itu, Gayatri mendekat ke Meta yang sudah duduk manis di warung es dekat jalan raya itu.
"Lo yakin Ya?" Tanya Meta lagi. Mereka berdua tengah duduk di warung es kelapa muda dekat salah satu perusahaan berskala besar di Jakarta.
"Makasih pak." Ucap Gayatri begitu pesanan mereka datang.
"Hmm."
"Kita mau cari siapa sih emangnya?" Tanya Meta dengan nada lirih dan juga penasaran.
"Ada lah. Yang penting kita disini dulu. Jangan sampai bikin orang curiga sama kita." Ucap Gayatri pelan. Matanya masih awas di sekitaran sana. Sementara dirinya masih fokus menyedot es kelapa muda. Panas-panas begini memang cocok minum es kelapa muda.
Kemudian Gayatri agak melongok ketika mobil jenis hummer keluar dari gedung megah di depannya. Gadis itu langsung beranjak dan membayar semua pesanannya tadi dengan cepat.
"Mbak ini uangnya kebanyakan, nggak ada kembaliannya." Ucap penjual es kepala muda itu. Gayatri memberinya uang seratus ribu.
"Ambil aja kembaliannya ya pak. Makasih." Tanpa berucap lagi, Gayatri menyeret Meta yang masih menyedot sisa-sisa air kelapa dengan penuh perasaan. Setiap tetesnya sangat berharga bagi gadis pemburu gratisan itu. Sedangkan bapak penjual kelapa itu langsung mengucapkan terima kasih walaupun Gayatri tak mendengar.
"Njir gue baru minum Gayatri. Ah lu emang gaada akhlak!" Gerutu gadis itu. Sementara Gayatri sudah menyodorkan helm ke Meta.
"Cepet dipakai. Gue nggak mau kehilangan jejak."
Dengan cepat Gayatri dan Meta menyusul mobil hitam tersebut. Gayatri sudah hafal dengan plat nomor mobil tersebut sehingga bisa memilih banyaknya mobil di jalanan.
Meta tak bertanya lebih. Saat ini Gayatri sedang fokus dengan pekerjaannya. Dirinya hanya menemani gadis itu demi suksesnya kasus yang Gayatri pegang.
Gayatri mengendarai motornya dengan cepat. Gadis mampu menyalip di antara padatnya kendaraan. Gadis itu sebisa mungkin mengimbangi jenis mobil sport tersebut.
Sampai pada akhirnya mereka sampai disebuah rumah sakit di daerah Jakarta Selatan. Gayatri langsung membanting stir motor untuk menepi ke kiri jalan. Matanya masih awas menatap mobil yang berhenti di depan rumah sakit tersebut. Lantas mata Gayatri menatap plang rumah sakit tersebut. Gadis itu agak tersentak ketika rumah sakit tersebut tak terasa asing di telinganya. Gadis itu baru saja ingat dan mendengar ketika sang ayah mengatakan pada dirinya jika-
"Ya, itu bukannya-"
Ucapan Meta menggantung. Gadis itu masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Lantas Meta menatap Gayatri yang hanya bisa menatap datar. Gadis itu pasti tak karuan sekarang.
*****
"Kabar lo gimana Bang? Makin kece aja lo." Raksa terkekeh. Kemudian menyalakan rokok yang sempat ia bawa dari barak tadi. Laki-laki itu memang merokok, tapi tidak akut, hanya saat tertentu saja. Bisa di hitung jari dalam sebulan. Dan entah mengapa malam ini dirinya ingin merokok. Mereka sedang duduk manis di teras rumah yang terasa sejuk di malam ini.
"Rokok Han?" Raksa menawari rokok pada Farhan. Laki-laki muda itu menggeleng. "Gue udah kecanduan rokok luar bang. Gila emang! Selama di Amerika rokok mahal tapi gue malah ngebut rokok!"
"Jangan keseringan." Farhan lalu sama-sama mengeluarkan rokok dengan kadar nikotin tinggi yang mana hanya ditemukan di luar negeri. Laki-laki itu lantas memantik dan membakar ujung rokoknya, menghirup asapnya dan mengeluarkan dengan perlahan.
Farhan terkekeh, "Lo juga bang. Jangan keseringan ngrokok. Gue aja pengen stop."
"Gue ngrokok sebulan bisa di hitung jari. Satu bungkus ini sisa bulan lalu. Nggak musti gue ngrokok. Gue masih sayang sama badan gue."
"Tapi bukannya tentara kayak ada notice buat nggak ngrokok ya bang?"
Raksa kembali terkekeh, "Memang kita dianjurkan untuk tidak merokok demi kesehatan dan stamina kita. Tapi yah namanya manusia. Gue kalau suntuk sama tugas, paling rokok sebiji bisa balikin mood. Tapi juga kadang gue milih ngopi. Makanya gue bilang kalau gue sebulan bisa di itung jari. Dan mungkin bungkus rokok gue ini adalah bungkus terakhir yang gue beli. Gue juga sadar kalau rokok nggak baik. Gue nggak mau nyiptain perokok pasif. Gue juga masih mikir nanti tentang istri anak gue. Walaupun jarang rokok, tapi gue tetep pengen berhenti rokok. Hidup tanpa rokok jauh lebih menyenangkan dan sehat."
"Yap bener. Gue yang rokok kayak dosa sama badan gue. Untung gue nggak nyandu alkohol. Nggak tau lah kalau iman gue lemah pas di US." Sahut Farhan kemudian.
"Biasanya kalau udah bercampur budaya dengan luar, mindset ikut berubah. Apalagi lo tinggal di negara liberal." Farhan mengangguk membenarkan. "Hampir semua temen gue di sana udah standar brengsek kalau di sini. HS sama dugem udah kegiatan sehari-hari. Tapi untungnya mereka nggak ngebully temen yang ada prinsip buat nggak hidup kayak gitu. Mereka menghargai bahkan ada yang nggak peduli sama hidup orang lain. Kalau mau pesta bareng ayok, tapi kalau nggak ya silahkan."
"Lo termasuk kuat iman ya Han?" Laki-laki yang bekerja di perusahaan media terbesar di dunia itu tergelak. "Kalau gue nggak di kolokin papa sama mama tiap hari buat tetep lurus ya mungkin agak belok. Tapi gue ada prinsip sih kalau gue bakal tetep jadi Farhan apa adanya."
"Lo gimana bang? Lancar kan pekerjaan lo? Gimana rasanya sering di kirim ke hutan dan daerah operasi?" Tanya Farhan kemudian.
"Yah begitu. Harus siap kitanya."
Farhan kembali memantik rokok keduanya, lantas menghembuskan nafasnya bersamaan dengan asap rokok. "Itulah alasannya gue nggak mau jadi tentara. Banyak resikonya."
"Beruntung lo di didik sama Om Umar. Anaknya punya kebebasan."
Farhan terkekeh kembali. "Tapi Bang Faiz tetep jadi tentara kok. Cuma gue sama Teh Shasa yang keluar dari zona nyaman. Bahkan kita berdua ngambil mimpi yang sering di remehkan orang lain."
Farhan adalah laki-laki pecinta dunia jurnalistik. Laki-laki itu sangat tertarik dengan dunia informasi dan digital. Oleh karena itu, Farhan memilih bekerja di media dan rezekinya juga ia bisa bekerja di perusahaan media yang tersohor di dunia itu. Sedangkan Shazia yang merupakan kakak perempuannya adalah seniman yang berfokus pada karya seni lukis. Sering bolak-balik keluar kota dan negeri untuk pameran. Hanya abangnya yang pertama yaitu Faiz yang memilih untuk meneruskan sang ayah untuk menjadi TNI, tetapi Faiz memilih TNI AL.
Tiba-tiba Shazia datang membawa nampan berisi makanan dan minuman. Memang Raksa sekarang sedang main di rumah Om Umar karena Farhan yang kebetulan pulang ke Indonesia. Dulu sewaktu masih kecil, Raksa lebih sering bermain dengan Farhan, Faiz dan anak-anak lainnya. Walaupun mereka terpaut jarak 2 tahun, tetapi mereka tetap akrab satu sama lain.
"Nih ada Bang Raksa teh. Biasanya teteh sering nanyain ke papa tentang Bang Raksa sok bicara lah." Ucap Farhan pada Shazia yang sudah memerah mukanya. Perempuan itu mendelik kesal kearah adik tengilnya itu.
"Teteh malu-malu kucing ih." Goda Farhan lagi.
"Apa sih Han! Nggak jelas kamu!" Tak ayal Farhan tertawa, Shazia lalu memilih masuk daripada di ceng-cengin oleh adiknya itu.
"Bang Raksa udah ada pacar?" Tanya Farhan tiba-tiba.
Raksa yang meminum teh hangat hampir tersedak dengan pertanyaan Farhan barusan. "Eh sorry bang. Kayaknya topik sensitif nih sampai mau keselek." Farhan terkekeh dengan respon yang di berikan oleh Raksa. Baginya sangat lucu melihat Raksa yang kaget ditanya seperti itu.
"Nggak lo nggak Hira nanyanya pacar mulu. Bosen gue dengernya."
"Kan emang jatahnya lo menikah bang. Teh Hira aja udah nikah."
Raksa mengangguk. "Tapi gue belum siap Han. Menikah bukan karena kita cukup umur atau kita udah matang secara finansial. Menikah itu ketika kita sudah siap sepenuhnya, utamanya batin. Karena gue tahu jika berumah tangga nggak sesimpel dengan orang-orang yang mengatakan menikah itu suatu hal yang harus di segerakan. Bukan masalah itu. Banyak kok pasangan yang menikah tapi kehidupan rumah tangganya nggak bahagia. Mereka menikah dan menyatukan dua kepala tapi masih sama-sama egois dan mengedepankan perasaannya masing-masing."
"Bener. Banyak yang menikah bukan karena siap semuanya, tapi karena sesuatu yang jadi tren."
"Makanya gue nggak mau keburu-buru."
Farhan terkekeh. "Lagian lo sama kayak teh Shasa. Kalau di tanya kapan nikah. Bilangnya nanti kalau udah siap. Terus keluarlah teori dan penjelasan dia yang bikin mama papa diam seketika."
"Teh Shasa hampir mirip sama teh Hira. Mereka berdua sama-sama punya ciri. Mereka berdua nakal di masa kecilnya. Tapi juga cerdas. Gue kadang kalah omongan sama teh Shasa." Tambah Farhan lagi.
"Kapan lo balik ke US?" Tanya Raksa. Nampaknya ia tak ingin berlama-lama membahas tentang perempuan.
"Sehabis libur tahun baru palingan bang. Rata-rata mereka pada libur natalan sama tahun baru. Yah kayak sini lah kalau lebaran."
Kemudian Om Umar datang. Laki-laki paruh baya itu ikut nimbrung dengan Raksa dan Farhan. "Gimana kabarmu Sa?"
"Siap. Alhamdulillah baik Om." Om Umar justru tertawa. "Santai aja kali Sa. Disini bukan antara atasan sama bawahan loh. Om cuma mau ngobrol aja sama kalian."
"Untung Farhan bukan tentara." Celetuk laki-laki muda itu. "Halah kamu itu." Sahut om Umar cepat. Seperti biasanya, Farhan hanya bisa tersenyum konyol.
"Gimana lancar Sa?"
"Alhamdulillah lancar Om."
"Masih di kirim operasi juga?"
Raksa terkekeh. "Masih Om."
Lantas mereka terlibat obrolan ringan selanjutnya. Obrolan khas laki-laki yang tentunya berbeda dengan bahasan yang biasanya di obrolkan oleh perempuan. Mereka bahkan lebih banyak membahas strategi perang ketimbang berbicara lain. Hal itu membuat Farhan sempat kesal karena tak paham dengan apa yang mereka bicarakan.
.
.
.