Kenapa harus satu kalau bisa dua?
(◍•ᴗ•◍)
"Dia gebetan gue!"
Alis Antariksa terangkat sebelah. Ia memandang Anyelir dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi. Anyelir mengalihkan pandangannya ke arah lain agar tidak bersitatap dengan Antariksa. Mata tidak bisa berbohong, jadi sudah seharusnya mengantisipasi.
"Gebetan lo?" tanya Antariksa seolah tidak percaya. Anyelir mencuri pandang pada lelaki yang berada di sebelahnya. Lelaki itu terlihat menunggu jawaban Anyelir. Mampus, kan!
"Eee ... itu—"
"Bentar lagi jadi pacar gue."
"Eh?"
Anyelir memandang lelaki ber-hoodie hitam itu dengan tatapan tidak percaya. Ia kaget karena lelaki yang bahkan tidak tahu namanya itu ikut bersandiwara. Ia yakin setelah ini, lelaki itu akan menginterogasi Anyelir. Untung cogan, jadi rasanya tidak masalah.
Anyelir kembali memandang Antariksa. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Antariksa terhadapnya. Sebenarnya cukup melelahkan karena berdiri terlalu lama. kaki Anyelir tiba-tiba terasa kram. Namun, ia harus bertahan untuk beberapa saat lagi.
Rahang tegas Antariksa terlihat mengeras. Apa Antariksa sedang marah? Tapi kenapa?
"Lo tau kan sekarang? Jadi, jangan pernah deketin cowok orang lain!" tegas Antariksa tiba-tiba menarik paksa tangan Stefanye. Gadis yang ditarik tangannya itu langsung terhuyung hingga jatuh ke pelukan Antariksa. Anyelir mendecih. Bagaimana bisa Stefanye kehilangan keseimbangannya? Ia yakin, Antariksa tidak terlalu kuat menarik tangan Stefanye. Tipikal gadis lemah, huh? Menjijikkan!
"G-gue ...."
"Ikut gue!" perintah Antariksa dan membawa Stefanye pergi meninggalkan kantin. Anyelir memasang wajah kecewa karena Antariksa pergi bersama Stefanye. Sedangkan ia ditinggal sendirian. Oh, maksudnya berdua. Padahal Anyelir berharap, kehadiran Antariksa ke fakultasnya untuk bertemu dirinya saja. harapan yang sangat mustahil mengingat Stefanye berada di fakultas yang sama.
Kini, tinggallah Anyelir dan lelaki asing yang ia sebut sebagai gebetannya itu. Anyelir menyengir kuda. Ia tidak akan seberani itu jika saja lelaki tadi tidak memasang wajah ramah. Siapa sangka, ia mendapat senyuman manis yang dapat membuat tubuh meleleh?
"Jadi?" Alis lelaki itu terangkat.
"Boleh duduk dulu, gak? Kaki gue terasa kram hehe ...." pinta Anyelir yang dibalas anggukan oleh lelaki itu. Anyelir mendaratkan tubuhnya di sebuah kursi yang kosong. Ia menghela napas lega. Tangannya pun tergerak untuk memijat pelan lutut yang terasa nyeri itu.
"Lo baik-baik aja?" tanya lelaki itu lalu ikut duduk di kursi depan Anyelir.
Anyelir meneguk saliva dengan sukar. Apa ia tidak salah dengar? Rasanya, seperti orang pacaran saja. Terpancar kelembutan dan perhatian penuh yang membuat Anyelir tersipu malu.
"It's okay. Cuma capek aja berdiri lama," ucap Anyelir lagi-lagi menyengir. Jangan tanya alasannya. Karena sudah jelas, Anyelir bahagia karena bisa berdekatan dengan cogan. Maklumi keanehan Anyelir yang satu itu. Dia memang pecandu cogan. Tapi harus cogan yang single. Ia tidak mau mendapat resiko karena menyukai pacar orang lain. Pelakor? No way!
"Kita bisa ke klinik kalau lo mau," tawar lelaki itu terlihat khawatir. Anyelir terkekeh pelan. Ia rasa dirinya tidak sakit separah itu sehingga perlu dibawa ke klinik. Namun, lelaki di depannya itu terlihat khawatir?
"Ada baiknya kita kenalan," alih Anyelir. Sejak tadi, tujuannya hanya satu. Mendapatkan nama lelaki dengan senyum bak mentari itu. Menerangkan hati dan menenangkan jiwa.
"Gak perlu."
Jleb!
Penolakan tersadis dan ter-live yang Anyelir terima. Bahkan nama saja tidak ingin diberitathu, bagaimana bisa dijadikan sebagai kandidat imam masa depan? Cowok ganteng memang sering seperti itu. Terkadang ada modenya untuk songong.
Anyelir mendecih pelan. Namun, beberapa detik kemudian dia mendapati lelaki itu sedang tertawa. Apa ada yang lucu darinya? Anyelir merasa tersinggung.
"Kenapa?" ketus Anyelir yang tidak mau lagi memasang wajah manis atau tebar-tebar pesona. Penolakan di awal sudah menjadi faktor pembatas untuk Anyelir mendekati lelaki itu. Karena itu tidak ada sisi feminine lagi yang perlu ia perlihatkan.
"Gue cuma bercanda. Serius amat. Hahaha ...."
Anyelir melongo.
Garing, Bwambang! Bagian mana yang lucu?
Benar kata kebanyakan orang. Ganteng itu relatif, menurut selera orang yang melihatnya. Awalnya Anyelir terpesona karena pembawaan tenang lelaki itu, tetapi baru beberapa detik mereka duduk bersama ia sudah melihat ada sisi aneh dari lelaki itu. Untung ganteng.
"Baskara. Catat nama gue, Baskara," ucap lelaki itu setelah tawanya terhenti. Anyelir mengulas senyum tipis, akhirnya ia mendapatkan nama lelaki itu.
"Ok. Kalau gu—"
"Anyelir Sweetenia Lovata. Dewi Venus yang jadi mak comblang sewaan, kan?" potong Baskara membuat Anyelir membelalakkan matanya. Sedikit alay memang, tetapi sungguh rasa haru menyelinap di hatinya. Tidak ada orang yang mengenalnya sebaik ini. Jikalaupun mereka kenal, hanya sematan 'Dewi Venus' yang bisa diingat, tidak dengan nama panjangnya.
"Lo terharu?" tanya Baskara membuat Anyelir buru-buru merubah raut wajahnya agar terlihat santai.
"Sok tahu! Yakali gue terharu Cuma karena lo tau nama gue," ucap Anyelir sengaja menutupi kegugupannya dengan wajah jutek. Alibi sekali.
"Gue gak bilang lo terharu karena gue tau nama lo, lho. Lagian siapa yang gak kenal sama lo? Temen-temen gue kalau mau nembak cewek nyarinya elo. Mungkin, suatu saat gue juga bakal nyari lo," ujar Baskara menjelaskan. Telinga Anyelir memerah. Ia merasa malu karena ketahuan terlihat ge'er.
"Eh, tapi kayaknya gak usah deh. Kan udah ada lo yang jadi pasangan gue," lanjut Baskara seraya terkekeh.
"Eh? Ngaco lo!"
Lagi, telinga Anyelir memerah.
"Lo lucu kalau lagi malu. Telinga lo merah," kekeh Baskara.
Baskara ini mudah sekali mencari perhatian. Terlalu ramah dan mudah membuat orang lain terjerat pesonanya dalam waktu yang singkat. Entah kenapa, Anyelir merasa nyaman dengan Baskara yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu.
"Ehm! Yang tadi itu gue minta maaf," alih Anyelir. Baskara mengenyitkan keningnya karena bingung.
"Maaf buat apa?" tanya Baskara.
"Karena udah ngaku-ngakuin lo sebagai gebetan gue," cicit Anyelir merasa malu. Jika diingat-ingat, ia jadi kehilangan muka saat ini di depan Baskara. Lelaki itu tertawa pelan padahal Anyelir rasa tidak ada yang lucu.
"Enggak apa-apa kalau lo ngakuin gue jadi gebetan lo. Bahkan kalau bisa jadi pacar lo. Justru gue mau terima kasih sama lo. Lo ngelakuin itu biar gue gak dibabak belurin sama Anta, kan?" tebak Baskara yang sesuai dengan kenyataan. Anyelir sedikit kaget karena Baskara bahkan tidak masalah jika diakui sebagai pacar. Menanggapi tebakan Baskara, Anyelir mengangguk.
"Antariksa kelihatan marah banget waktu lihat lo sama Stefanye. Gue berpikir kalau cowok marah pasti akan ada adegan baku hantam. Untuk antisipasi, gue buru-buru nengahin."
"Lo kayaknya tahu banget tentang cowok. Tenang aja, enggak semua cowok suka baku hantam kalau marah. Contohnya—"
"Lo?" tebak Anyelir memotong. Baskara tersenyum.
"Tebakan lo bener. Dan kalau lo mau tahu, Anta juga bukan cowok yang suka baku hantam. Kalau mau mati di tangan dia, cukup pake nyinyiran pedas dia aja. itu lebih ampuh gue rasa," kekeh Baskara. Mengingat Antariksa, Anyelir jadi ikut tertawa.
"Tumben lo mau ketawa," celetuk Baskara.
"Kita belum kenal sepenuhnya. Rasanya kata 'tumben' belum cocok dimasukin dalam percakapan," protes Anyelir.
"Ya, lo bener juga. Harus gue akui, Anta memang punya mulut super pedas. Terkadang kalau lihatin orang lain juga suka nggak santai. Kayak ngajak gelud gitu. Sekedar lo tahu aja, Anta suka sensitif kalau berhubungan dengan Stefanye. Ant—"
"Udah mulai jadi lambe turah lo? Kerja di acara gosip apa?"
Suara itu mengintrupsi ucapan Baskara. Baik Anyelir maupun Baskara langsung mengalihkan pandangannya pada si sumber suara. Kenapa Antariksa kembali lagi? Bukankah tadi ia sudah pergi dengan Stefanye?
"Ada yang tinggal?" tanya Anyelir penasaran.
"Ada," ketus Antariksa.
"Apa?"
"Lo."
(◍•ᴗ•◍)