Jangan lupa ramaikan.
Awas typo!
Happy Reading🌹
🐳🐳🐳
Rasa benci kepada seseorang secara perlahan akan menghilang ketika kita mencoba merasakan ketulusan seseorang yang selalu berbuat baik pada kita, meski kita selalu menyakitinya.
REGRET*
🌹🌹🌹
Icha terduduk lesu di atas bangku itu. Echa dan kedua temannya menghampiri Icha yang hampir saja menangis. Gadis itu duduk di sebelah Icha, lalu mengusap bahunya dengan lembut.
"Sabar ya, Cha. Lo gak sendirian kok. Masih ada gue yang mau temenan sama lo," bisiknya lembut.
Icha mengangguk. "Aku ... aku cuma gak habis pikir aja sama mereka. Memangnya aku salah apa sama mereka?"
"Mungkin mereka hanya salah paham aja, Cha. Udah ya enggak usah dipikirin, nanti sesak napas kamu kambuh."
Icha hanya diam. Kambuh? Sakitnya tidak akan kambuh kalau dia tidak pernah membuang obatnya. Bukannya enggan sembuh, tapi Icha merasa semuanya sia-sia. Hanya inhaler saja yang bisa membantunya untuk bernapas seperti biasa.
Icha dan Echa memilih untuk kembali ke kelas usai membeli batagor untuk dimakan di kelas nanti. Mereka melewati kelas Ufah dan Zahra, tapi dua orang itu hanya menatapnya sinis.
"Gabungnya sama cewek yang gak bener ya jadinya keliatan sifat asli dia kaya gimana. Lebih dari bobrok!" sinis Ufah dan menatap tidak suka pada Icha.
Icha menundukkan kepalanya. Dia tidak tahu harus berkata apa karena dirinya benar-benar tidak tahu dengan apa yang sudah terjadi pada kedua temannya itu.
"Enggak usah didengerin, Cha," bisik Echa. Perempuan itu menjadi iba dengan keadaan Icha sekarang. Dia bingung apa yang sudah dua temannya lakukan pada Ufah dan Zahra sampai mereka begitu benci pada Icha.
***
Malam ini Echa memutuskan untuk menghubungi Chika. Sebenarnya apa yang temannya itu rencanakan pada Icha? Padahal rencana mereka tidak ada yang seperti ini. Mengapa mereka bisa membuat Ufah dan Zahra membenci Icha, bukankah yang benar itu sebaliknya?
"Echa, makan dulu Sayang," ucap Vio dari luar kamar putrinya.
Echa berdecak kesal kemudian menjawab, "Bentar! Orang lagi sibuk juga digangguin terus!"
Johan yang kebetulan lewat karena ingin ke kamarnya, lantas berhenti. Dia menuju kamar itu dengan raut wajah marahnya.
"Mas, jangan. Biarkan saja," bujuk Vio yang menahan lengan suaminya.
"Dia udah kelewatan, Vi, gak bisa dibiarin!" tukasnya. Pria itu menghempas kasar tangan istrinya mendekati pintu di depannya itu.
BRAK!
Johan mendobrak pintu itu dengan sekuat tenaga sampai membentur ke dinding. Dia mendapati Echa yang membelakangi pintu terlihat terkejut.
"Bunda apa-apaan, sih?! Gak usah dobrak pintu bi—" Echa langsung menutup mulutnya rapat-rapat usai memutar tubuhnya. Matanya melotot kaget saat melihat papanya tengah menatapnya marah.
"Pa-pa," lirihnya.
"Benar-benar anak gak tau diri! Gak pernah bisa sehari aja enggak bentak orang tua! Sibuk, sibuk! Sibuk telfonan aja sampai mau ngebentak orang tua! Disuruh makan baik-baik, malah teriak-teriak! Anak kok gak ada sopan santunnya sama sekali!" cecar Johan penuh emosi.
Echa hanya bisa diam dan menunduk. Dia memundurkan langkahnya saat sang ayah berjalan mendekatinya.
"Mas, jangan apa-apain Echa," mohon Vio namun tidak digubris suaminya.
Pria itu meraih tangan Echa dan menggiringnya keluar kamar. Amarahnya benar-benar sudah di tingkat paling atas. Echa benar-benar bisa memancing emosinya untuk keluar begitu cepat.
"Pa, ampun, Pa. Lepasin Echa, Pa. Echa janji gak akan ulangi lagi, Pa," pintanya namun sang ayah semakin cepat menariknya.
Perempuan itu memejam erat saat dirinya dibawa masuk ke dalam gudang rumahnya yang begitu gelap. Johan menghempas tubuh Echa dengan kuat sampai terjatuh dan menubruk kardus yang membuat beberapa di antaranya berjatuhan ke lantai. Pria itu dengan cepat menuju pintu dan menguncinya dari luar.
"Papa!! Pa, jangan kunci Echa di sini! Echa takut, Pa! Papa, tolong keluarkan Echa, Pa!" teriaknya memohon, tapi tidak mendapati sahutan apa pun.
"Bunda!! Bunda, bantuin Echa keluar dari sini! Bundaa, Echa minta maaf, Bun."
Gadis itu mulai terisak pelan. Dia memeluk lututnya karena merasa takut. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Ponselnya. Dia tadi sempat memasukkannya ke dalam saku kardigannya. Buru-buru dia mencari kontak Icha, lalu meneleponnya.
"Assalamu'alaikum," sapa Icha dari seberang sana.
"Waalaikumsalam. Icha, Cha, bantuin aku," ucapnya langsung.
"Kamu kenapa, Cha? Kamu nangis? Ada apa? Apa yang terjadi sama kamu?" tanya Icha panik.
"Cha, kamu bisa kan bantuin aku?"
"Kalau aku bisa, insya Allah aku bantuin, Cha. Aku harus bantuin apa?"
Echa menarik napasnya terlebih dahulu. "Kamu datang ke rumah aku ya, Cha. Kamu bilang ke Bunda atau Papa kalau mau ketemu aku. Aku takut, Cha, di gudang sendirian. Ini gelap banget, Cha."
"Astaghfirullah. I-iya udah kalau gitu, Cha, aku berangkat ke rumah kamu sekarang. Aku nginep aja, ya, takutnya nanti kamu malah dikurung lagi."
Echa tersenyum senang. "Makasih banyak Icha. Maaf gue repotin elo," ucapnya tidak enak hati. Dia benar-benar merasa kalau Icha tulus berteman dengannya. Setelah ini nanti, dia akan bilang pada Chika dan Tasya untuk tidak melanjutkan rencananya. Ada alasan yang akan Echa berikan untuk mereka nanti.
***
Icha yang tadinya sedang menangis di balkon kamarnya, langsung bersiap menuju rumah Echa. Tidak penting menangisi hal yang tidak berguna. Yang penting adalah melakukan hal penting untuk orang lain. Menolong Echa sekarang ini, misalnya.
Berhubung di rumahnya tidak ada orang, Icha langsung pergi begitu saja dengan diantar oleh sopir pribadinya. Perasaannya begitu tidak tenang, membayangkan apa yang tengah Echa rasakan di rumah sana.
"Echa memang bukan anak kandung Tante Vio, tapi dia tetaplah anak kandung Om Johan. Tidak sepantasnya dia perlakukan seperti itu. Jika salah, bisa dinasihati baik-baik, bukan malah dihukum dengan hal yang tidak berfaedah begitu," gumamnya dalam hati.
"Non Icha, sudah sampai," ucap Pak Dio—sopir pribadinya.
Icha mengerjap pelan. "Eh iya, Pak, terima kasih banyak. Oh ya, Pak, Icha mau nginap di sini jadi Bapak langsung pulang saja tidak apa-apa," jelasnya.
Pak Dio hanya mengangguk mengiyakan. Setelah Icha masuk ke dalam rumah itu, Pak Dio langsung melajukan mobilnya.
"Icha tumben malam-malam datang ke sini, ada apa?" tanya Vio dengan lembut.
Mereka sudah ada di ruang tamu sekarang ini. Icha tentu saja merasa gugup karena dia berniat untuk menolong Echa.
"Emm itu, Bun, Echa ada di rumah?" tanyanya sopan.
Vio merubah raut wajahnya. Dia bingung harus menjawab apa pada Icha sedangkan Echa sedang dikurung suaminya di dalam gudang.
"Loh Icha, ya? Ada apa, Nak, datang ke sini malam-malam?" tanya Johan yang tiba-tiba bergabung di ruang tamu.
Icha tersenyum hangat. Entah kenapa setiap melihat Johan, dia selalu merasa bahagia dan hatinya juga menghangat. Pria itu sangat menonjolkan sifat kebapakan yang sesungguhnya ketika bersamanya.
"Icha mau ketemu Echa, Om. Ada tidak?" ucapnya senang.
Johan mengernyitkan dahinya. "Masih manggil Om? Papa kira, Icha mau manggil Papa kaya Icha manggil Bunda," sahutnya yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan Icha.
"Icha takut Om marah kalau Icha panggil Papa." Icha lantas mengulum senyumnya saat kata 'Papa' terlontar dari bibirnya. Dia merasa pria itu sangat pantas untuk dia panggil seperti itu.
"Echa lagi dihukum. Penting banget, ya?"
Icha mengangguk. "Icha kan satu kelas sama Echa, Om. Kebetulan kami satu kelompok dan tadi kelupaan belum ngerjain tugas buat presentasi besok," jawabnya jujur, tapi ada bohongnya. Sebenarnya, presentasinya masih lusa, tapi demi menyelamatkan Echa, Icha menggunakan itu sebagai alasan.
"Panggil saya Papa dulu, nanti Echa saya keluarkan."
"I-iya, Pa. Makasih banyak, Pa," ucap Ibu ha sedikit gugup.
Johan tersenyum lebar. Hatinya menghangat saat Icha memanggilnya seperti itu. Rasa yang sama seperti saat Angga memanggilnya.
"Baiklah. Tunggu sebentar, ya."
"Bunda," lirih Icha sambil menatap Vio yang sedari tadi hanya diam.
"Kamu sedang berbohong ya Sayang? Kenapa kamu mau melakukan hal ini?"
"Maafin Icha, Bun. Icha cuma mau nolongin Echa, kok."
"Ya sudah sekali ini Bunda maafkan. Tidak ada lagi kebohongan untuk besok, oke?"
Icha mengangguk. "Oke, Bun! Bunda, Icha boleh nginap di sini, gak?"
"Boleh banget, nanti tidur sama Echa atau mau di kamar tamu?"
"Nanti aja deh, Bun, Icha tanya ke Echa."
"Ya sudah kalau gitu. Kamu sudah makan?"
Icha diam tidak menyahut. Bagaimana dia bisa makan kalau pikirannya sangat kalut sekarang ini?
"Nanti habis kerjain tugas, langsung makan bareng Echa, ya. Enggak boleh nolak rezeki!"
***
Alhamdulillah update lagi setelah mendapatkan banyak ujian serta cobaan yang sangat menguji kesabaran.
Jangan lupa ramaikan ya teman-teman.
Jazakunallah khairan❤