“Aku tidak sabar menunggumu tinggal di sini.”
Putri Liliane nyaris melompat-lompat seperti anak rusa musim semi sejak menyambut kedatangan Raeli di istana pagi ini. Tidak mencerminkan seorang putri sama sekali jika seperti itu. Di sisi lain Raeli senang punya teman seumuran dirinya.
Selama ini Raeli hanya di temani Anne dan beberapa pekerja di toko roti yang memang lebih tua darinya. Juga di kelilingi oleh Carry dan Kris. Ia tidak punya teman seumuran selain undangan jamuan teh yang nyaris setiap hari ditolak.
Kenapa mereka tidak menyerah saja? Undangan itu ia dapat pasti karena Vivian Rossent terus saja menyebarkan rumor kalau Raeli akan jadi bagian dari keluarga kerajaan. Mereka semua berlomba mendekatkan diri dengan Raeli untuk kebutuhan sosial mereka.
Ya ampun, apa mereka tahu kalau trik seperti itu tidak akan mempan pada Raeli?
“Saya senang Anda yang datang menyambut,” kata Raeli dengan senyum canggung. Pada masa kecil, ia dan putri sering sekali mengganggu pangeran belajar. Tetapi itu dulu sekali.
Liliane tertawa. “Aku senang sekali saat Ibu menyuruhku menyambutmu karena dia harus pergi kunjungan. Ayah juga sangat sibuk. Tristan juga sedang berada di lapangan latihan.”
Ya, biasanya Tristan yang menyambut Raeli. Jangan tanya kenapa pangeran tidak menyambut Raeli. Pertanyaannya, kenapa pangeran harus melakukan itu? Derajat mereka saja sudah beda.
“Saya ucapkan terima kasih, Tuan Putri.”
Liliane merengut. “Waktu kecil kau selalu memanggil namaku. Sekarang lakukan saja itu.”
Raeli tersenyum canggung. “Mana mungkin.”
“Aku akan jadi adikmu.”
Raeli seketika langsung menunduk. Kepalanya terasa meledak mendengar itu. Memang sejak kecil tuan putri dikenal blak-balakan, ternyata setelah dewasa malah jadi tambah parah.
“Wajahmu merah, Raeliana.”
“Apa tempatnya masih jauh?” tanya Raeli, berusaha mengontrol rasa malunya.
Sekarang ia sedang menuju lapangan latihan kesatria untuk melihat pangeran. Raeli menghentikan langkahnya saat itu juga dan menggeleng.
“Raeliana?”
“Ah, maaf.” Raeli langsung melangkah lagi menyusul Liliane.
Ingat, ia ke lapangan latihan karena Liliane yang mengajaknya. Bukan berarti Raeli ingin melihat pangeran.
“Kau tahu, Ayah sangat marah begitu mendengar ada yang menyerangmu.”
Ha? Kaisar sudah tahu? Padahal itu hanya masalah sepeleh, kejahatan kecil yang tidak berarti dibandingkan masalah lainnya. Kenapa kaisar harus tahu itu?
“Tadinya dia mengamuk dan menyuruh untuk orang itu dihukum penggal karena melukai tunangan pangeran.”
“Ha? Aku tidak terluka.”
“Kakak terluka, Raeliana. Itu termasuk pasal percobaaan membunuhan dan menyakiti salah satu anggota kerajaan.”
Anggota kerajaan? Pangeran Ein juga termasuk kesatria. Tidak ada istilah seperti itu. Astaga, ini berlebihan untuk Raeli.
“Dan aku lupa menanyakannya. Apa itu di tanganmu?” Liliane menunjuk keranjang yang ada di tangan Raeliana.
Ah, keranjang yang ia bawa dari rumah. Tadinya Raeli ingin meninggalkan itu di kamar. Tetapi Anne yang memilih tinggal untuk membereskan pakaian Raeli malah menyuruhnya membawa langsung keranjang itu.
“Untuk Kakak, ya?”
Tidak! Jangan semudah itu membaca perasaanku, dong. Raeli rasanya ingin menangis. Belum seharian ia berada di tempat ini rasanya sudah malu setengah mati karena alasan kepindahannya adalah tunangan pangeran. Jelas sekali orang-orang ini ingin cerita romantis dari Raeli dan Pangeran Ein.
Raeli mengangguk. “Sebagai ucapan terima kasih.”
Liliane mengangguk-angguk dengan wajah aneh. “Kurasa dia lebih suka tart lemon yang beberapa hari lalu kau berikan. Kau tahu, dia makan itu setiap jam makan. Sarapan, makan siang dan makan malam.”
“Sesering itu?”
Liliane mengangguk.
Raeli tertawa pelan. Ternyata pangeran punya sisi seperti itu juga dibalik dirinya yang sangat mendominasi?
“Berkat Easter untuk Anda, Tuan Putri.”
Dua kesatria yang berjaga di depan gerbang lapangan membungkuk pada Liliane dan … Raeli?
Aku bukan tuan putri!
Ya, mungkin saja akan jadi tuan putri jika sampai perang usai ia belum menemukan calon suami yang cocok.
“Boleh kami masuk?” tanya Liliane.
“Silakan, Tuan Putri.”
Kedua kesatria itu mendorong gerbang dan mempersilakan Raeli dan Liliane masuk. Melewati lorong pendek sebelum sampai ke lapangan. Lalu berbelok di sisi kiri untuk menaiki tangga ke podium penonton yang dibangun di atas lorong itu.
Kemudian mereka berdua duduk.
Tempat itu berisik sekali dengan teriakan dan dentingan pedang yang saling beradu.
Raeli melihat ke tengah-tengah lapangan. Mencari sosok Tristan. Atau kalau lebih beruntung akan menemukan pangeran.
“Lihat, itu Kakak,” bisik Liliane pada Raeli sambil menunjuk 2 orang yang sedang beradu pedang di sisi lain lapangan. “Dia cukup bagus dengan tangan kiri. Tetapi kupikir tidak setangkas saat ia menggunakan tangan kanannya.”
Dan tangan itu terluka karena Raeli.
“Tetapi dia bilang bagus untuk melatih lagi taangannya yang satu itu.”
Ya, itu hanya kalimat penghiburan agar Raeli tidak terlalu merasa bersalah tentang hal yang membuat pangeran sampai melukai tangannya yang berharga.
Raeli dan Liliane menonton latihan itu dalam diam dari atas. Melihat para kesatria begitu semangat untuk melatih ketangkasan mereka. Tentu saja, negara bergantung kepada mereka untuk memenangkan perang dan membawa pulang tentara yang masih tersisa.
“Raeliana?”
“Ya, Tuan Putri?” jawab Raeli.
“Sudah kubilang panggil saja namaku.”
“Akan kucoba.”
Liliane tersenyum. “Kau menyukai kakak ‘kan?”
“Ya?” Raeli memiringkan wajahnya pada Liliane dengan senyum bodohnya.
Ha?
Liliane kehilangan otaknya? Bagaimana bisa Raeli menyukai pangeran? Kalau memang ia menyukainya, ia takkan mengajukan syarat dan bernegosiasi dengan kaisar. Apa Liliane tahu betapa menyeramkannya berusaha kuat untuk melawan kaisar?
“Maksudku, kau tidak membenci pangeran ‘kan?”
Oh, Liliane membuat pertanyaannya terdengar sangat sederhana.
“Tentu saja tidak. Aku tidak punya alasan untuk membenci pangeran.”
“Tetapi kenapa kau seolah menolak pertunangan ini?”
Belum lagi Raeli akan menjawab, Liliane sudah tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya dan melambai. Raeli pun jadi ikut melihat ke mana gadis itu menatap.
Sial, pangeran dan Tristan sudah melihat mereka. Dan sekarang sedang berjalan menuju kemari.
Tetap tenang, Raeli. Jangan biarkan orang tahu kalau kau semalaman memikirkan pangeran, batinnya.
“Aku hanya merasa tidak cocok untuk pangeran.” Raeli menjawab seadanya, juga untuk menenangkan jantungnya yang sekarang berdetak cepat.
“Omong kosong,” kata Liliane tegas. Itu sempat membuat Raeli terkejut. “Oh, maafkan aku.”
“Tidak masalah.”
“Hanya saja kupikir Ein sangat menyukaimu.”
Tidak. Pria itu tidak menyukai Raeli. Dia hanya mengikuti apa yang kaisar perintahkan padanya. Termasuk perintah untuk bertunangan dengan anak bungsu keluarga Servant yang juga anak teman baik kaisar sendiri.
Di tempat tinggal Raeli sebelum kehidupan ini, orang-orang tidak mengenal rasa suka. Mereka mengenal rasa cinta. Dan rasa suka bisa terjadi kepada siapa saja. Seperti Raeli menyukai Tristan yang lebih mudah diajak bicara.
Kemungkinan bahwa pangeran menyukai Raeli karena sering marah-marah itu juga bisa terjadi.
Lailiane kemudian mendesah dan berdiri. “Ayo, kita turun.”
Raeli juga ikut berdiri, mengekori Liliane kembali turun ke tangga yang langsung disambut dengan Tristan dan pangeran Ein.
“Selamat datang di istana, Nona Raeliana,” Tristan sedikit membungkuk pada Raeli. “Maaf aku tidak bisa menyambut Anda.”
Raeli tersenyum. Selalu saja ramah. Padahal di novel asli, Tristan termasuk pria bengis yang tidak kenal ampun jika menyangkut Rose. Tetapi saat kejadian, Tristan hanya memukul pingsan penjahatnya. Malahan, pria itu tidak membuat hubungan apa pun dengan Rose.
“Tidak apa, Tristan. Tuan putri menyambutku.” Raeli mamberikan senyum. Kemudian melihat pada pangeran Ein sambil membungkuk. “Bagaimana kabar Anda, Yang Mulia?”
“Lebih baik dari biasanya,” jawab Pangeran Ein.
Raeli mehanan diri untuk tidak memutar matanya. Pria ini sengaja, ‘kan? Raeli sudah berusaha untuk seramah mungkin dan berdamai. Tetapi sepertinya akan sulit.
“Oh, Maaf,” Liliane menjeda obrolan. “Bolehkah Tristan pergi bersamaku, Kak? Aku ingin menemui Xain.”
Xain? Oh, pendeta agung tertinggi kekaisaran.
Namun, Raeli pikir bukan itu maksudnya. Ia merasa bahwa Liliane sedang memberikan kedipan atau isyarat aneh di belakangnya, kepada Tristan dan juga Pangeran Ein.
“Baiklah. Aku juga akan menyudahi latihannya. Pergilah lebih dulu,” jawab pangeran.
Liliane menepuk tangannya dan tersenyum lebar. “Kalau begitu selamat menikmati waktunya. Jika butuh sesuatu panggil aku di katedral.”
Raeli berbalik, melihat Liliane sudah melewati gerbang bersama Tristan di sampingnya. Mereka terlihat sangat serasi Raeli pikir. Persis seperti yang tertulis di novel. Hanya saja, Tristan yang di novel terlalu mengejar Rose sampai tidak menyadari keberadaan Liliane.
.
.
Original story by Viellaris Morgen
Jum'at (05 Juni 2020)
Hallo, maaf banget baru update lagi.
Aku nggak lupa, cuma lagi membiarkan aja orang-orang baru membaca sampe kelar chapter terbaru 🤭🤭
Alhamdulillahnya, perlahan pembaca mulai berdatangan.
Welcome buat yanga baru gabung 🤗🤗
Oh, iya....
Kemarin-kemarin aku bingung.
Aku pengen banget Rayli, Ein, Rose, Tristan, Liliane, Ercher, dan semuanya itu punya visual gambar.
Cuman balik lagi. Aku nggak bisa gambar.
Atau barang kali ada yang mau merekomendasikan seseorang yang menurut kalian cocok buat jadi Rayli dan Pangeran Ein?
Boleh komen, Wak. Silakan 😁😁
Tengchyuuuuuu
Satu lagi, nih, Wak. Jangan lupa komen dan vote.
Follow sekalian biar info lebih update kalo aku posting chapter baru 🤭🤭
Bye bye
Fb : Viellaris Morgen
IG : viellaris_morgen