Karena kemarin sudah tanya asal kota, sekarang mau nanya umur lagi. Kalian umur berapa?
Note : Guys, jangan panggil aku 'thor' atau 'mimin'. Panggil aja Mel atau Meg. Orang yang kenal aku deket biasanya panggil Meg, pembaca biasanya Mel. Bagi yang umurnya 19 ke bawah, boleh panggil Kak Meg, Kak Mel. Silakan. Senyaman kalian. Nggak usah thor atau min lagi ya. Kita harus akrab😅
****
Elka dan teman-temannya cukup kaget saat Melody membawanya ke Klasik kafe. Sebab kafe ini juga merupakan tempat mereka sering berdiskusi. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.
Melody membawa mereka ke meja yang berada di sudut kafe itu. Ada sebuah meja cokelat bulat lalu sofa panjang berada di sudut kafe, dan sofa berukuran lebih kecil di tiga sisi lainnya meja itu. Elka dan kawan-kawan memgambil duduk, bersebelahan mengisi sofa panjang. Sementara itu, Rael, teman yang dimaksudkan Melody menatap mereka dengan kening berkerut.
"Hai, El. Kenalin mereka ini temen-temen gue."
"Lo tiba-tiba serindu itu dengan masa SMA kita, Mel?" tanya Rael merasa kasihan. Melody memgerutkan bibir, menatap Rael ingin jengkel. "Lo kangen Rama lagi? Atau ... lo kangen Sam?"
Melody yang duduk di sofa paling dekat dengan Rael itu akhirnya melayangkan tabokan. "Diem lo, bego!"
Tomi berdeham menegurnya, namun Melody tidak peduli, mengabaikan bahwa yang sedang menegurnya itu adalah atasannya sendiri. Bersama Melody, Tomi merasa wibawanya lenyap. Luas biasa sekali gadis urakan ini.
Sejak Melody menyebut nama Rael, Elka membayangkan sosok menyeramkan dan menakutkan. Mungkin lelaki berbadan besar dengan otot-otot tangan yang dipenuhi tato dan gigi gergaji yang siap melahap orang. Mengingat teman Melody itu berkecimpung di pasar gelap, jadi Elka menyimpulkan mungkin orang itu adalah preman.
Nyatanya, Elka dihadapkan dengan seorang lelaki sepantaran Melody, kulitnya tidak terlalu putih namun mulus, bibirnya merah muda dan tipis, alisnya rapi, giginya putih dan berjejer seirama. Badannya bagus, rambutnya dipotong dengan gaya fashionable, pakaiannya pun tak kalah dinamis bersamaan dengan sorot bersahabat dan senyum yang manis.
Intinya, cowok itu ganteng banget!
"Daripada ngeledekin gue, mending langsung saja deh," kata Melody mulai jengah dengan tingkah Rael. "Gimana soal chat gue kemarin?"
"Soal peluru itu?"
"Ya, terus apa lagi, bego?"
"Sesekali, Mel, lo ngomong ke gue jangan kasar begini." Rael mendengus dan merogoh sesuatu dari saku celananya. Sebuah kertas berisi deretan alamat tempat. "Gue bahkan udah cariin alamat si agen penjualnya di daerah Jakarta. Peluru jenis ini memang langka, untuk tembus ke Indonesia aja butuh waktu beberapa tahun dan mengakses pemesanannya pun lumayan sulit. Jadi, bisa dipastikan pemilik peluru ini orang yang cukup berpengaruh dari sisi ekonominya."
"Orang kaya," timpal Melody mengangguk-angguk. "Kira-kira kami bisa ajak si agen ini kerjasama?"
"Soal itu gue belum tahu," kata Rael menyeruput minumannya. "Eh, kalian pesan aja dulu, biar gue yang traktir."
Melody menoleh ke arah empat remaja yang terdiam itu. "Kalian mau pesan apa?"
Saling pandang, mereka berbicara lewat tatapan.
"Gue kayaknya minuman aja," kata Rimba memulai. "Latte."
"Capuccino," lanjut Elka.
"Caramel Machiato," sambung Andra.
"Milkshake." Annisa menambahkan.
"Oke, anak-anak, jadi apakah kalian bisa kenalan sekarang?" tanya Rael dengan senyum yang terkembang hingga membuat matanya menyipit.
Melody memutar mata dengan malas. Dasar playboy abal-abal.
"Lo segitu putus asanya sampe anak SMA mau diembat?"
Rael melotot. "Jaga omongan lo, gue lagi berusaha ramah."
Melody mendengus. "Nggak pantes!" Gadis itu memandangi alamat yang diberikan Rael. "Gini, El, gue masih penasaran sama agen yang lo maksud. Jujur ke gue, lo tahu orangnya 'kan?"
"Iya." Rael mengangguk ringan. "Tapi, gue nggak sedekat itu sampai bisa menggali informasi tentang dia."
"Setidaknya lo tahu tentang agen si penjual ini 'kan?"
Berpikir sebentar, Rael berujar, "Namanya Savier Heru Lanka, orang tua tunggal dari anak yang bernama Savier Haru Lanka. Namanya seperti kembar, iya 'kan? Gue suka deh."
"Jangan salah topik, El." Melody mendengus. "Selain itu?"
"Setahu gue, Heru ini orang Jerman, pindah ke Indonesia sejak lima belas tahun lalu. Dia berkecimpung di pasar gelap lumayan lama, bisa dibilang senior lah. Dilihat dari pekerjaannya saja, kalian bisa tahu sendiri dia bukan orang bego."
"Tentu saja. Lolos dari endusan polisi memasarkan barang ilegal seperti itu, dia pasti orang yang sangat pintar," kata Tomi mendengus di akhir kalimatnya.
"Kalau begitu ini kesempatan kalian meringkus dia?"
Melody berdecak. "Lo pikir hukum kita menerima pernyataan tanpa bukti? Lo sendiri yang bilang dia bukan orang bego!"
Rael mengangkat bahunya. "Ya, sudah. Gue hanya bisa bantu sampai di sini, selebihnya terserah kalian."
****
Pertemuan dengan Rael memang cukup membantu. Alamat si agen penjual peluru itu memang sangat penting saat ini.
Bagi Melody dan Tomi, menjalakan misi dan berhadapan dengan orang semacam Heru ini adalah sebuah kewaspadaan.
Rumah sederhana di hadapan mereka terbilang sepi. Lampunya bersinar terang, tetapi pintunya tertutup rapat lalu tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Sekali lagi, Heru memang orang yang cerdas. Menyembunyikan kekayaannya dengan rumah sederhana ini. Menjadi agen penjual peluru khusus, pasti tidak akan membuatnya miskin.
Enam orang yang masih mematung di depan pagar rendah rumah itu bingung dan ragu untuk masuk.
"Apa Heru mau bekerjasama jika tahu kita adalah polisi?" tanya Tomi.
"Sepertinya tidak," jawab Melody datar.
"Lalu, sekarang bagaiman? Apa kami saja yang masuk?" timpal Annisa.
Tomi tertawa rendah. "Lalu membiarkan kalian terbunuh di sana? Yang akan kalian temui itu penjual peluru di pasar gelap, bukan penjual manisan di pasar malam."
Annisa malah ikut tertawa mendengarkan. Elka mendecak, menyikut Annisa agar diam. "Terus gimana?"
"Ya kali kita diem aja di sini. Mau casting jadi patung?" sahut Andra mulai bosan.
"Kayaknya kita bakalan lolos kalau casting jadi patung atau arca," lanjut Rimba datar.
Melody menghela napas. "Diem deh, ini juga lagi mikir!"
Kemudian, pintu utama rumah itu terbuka membuat mereka kaget dan langsung memisahkan diri satu sama lain, berakting seakan mereka adalah para pejalan kaki yang sengaja ingin bersantai di sana, menikmati kesunyian yang ada di sekitaran rumah itu. Yang benar saja, bahkan kompleks ini sepi, apanya yang dinikmati? Apa sajalah, intinya mereka mau terlihat sibuk sendiri, tanpa dicurigai sedang mengintai.
"Mencari ayah?"
Suara itu membuat seluruh pasang mata menoleh kompak ke asal suara. Seorang lelaki berkaus putih dengan tulisan supreme warna hitam di dada itu, memasukkan kedua tangannya ke saku celana pendek selutut. Rambutnya acak-acakan, kulitnya putih, keningnya tebal, rahangnya kuat menggambarkan ketegasa. Namun, sayang tatapannya seperti orang yang lelah, sayu dan malas.
"Cari ayah?" ulang pemuda itu lagi.
"Eh?" Melody pura-pura terkejut. "Maaf, ya, kami hanya kebetulan lewat sini, kok."
"Kami? Dugaan aku benar, kalian saling kenal."
Bodoh! Tomi seakan memaki Melody lewat tatapan tajamnya. Melody meringis samar.
"Masuklah, ayah sudah menungu. Lagi pula, ayah sudah tahu kalian berdua adalah polisi," ucap anak itu sambil lalu. Sebelum mencapai pintu, anak itu berbalik lagi. "Jangan lupa pitu pagarnya kembali ditutup."
Semua orang melongo, salig bertukar pandangan dengan isi kepala yang penuh tanda tanya.
Hell? Mereka sudah ketahuan!
****
Heru adalah sosok yang sangat jauh dari ekspetasi mereka. Awalnya, mereka berpikir mungkin saja Heru adalah sosok yang dingin dan penuh wibawa, nyatanya tidak lebih dari seorang pria akhir empat puluhan dengan kacamata perak berbentuk bulat yang membingkai matanya, kurus dengan kulit putih pucat dan bibir yag tidak lelah menarik senyum lebar.
Melody bahkan kembali melihat alamat pemberian Rael.
Ini mereka tidak salah alamat 'kan?
"Savier Heru Lanka?" Tomi menyebut nama orang itu, bertanya ingin memastikan.
Pria itu mengangguk senang. "Ya, itu aku."
"Benar-benar di luar dugaan," bisik Rimba kepada Elka yang segera diagguki gadis itu.
"Anda—"
"Agen penjual peluru ilegal?" potong Heru dengan nada ringan. Melody menelan lagi kata-katanya, terlalu terkejut, orang ini mungkin gila? "Jika aku berkata, iya, apakah kalian akan segera membawaku ke penjara?"
"Dengar, kedatangan kami bukan untuk menyelidiki profesimu, Her, kami menginginkan informasi yang lain," kata Melody menyebut pria itu tanpa embel-embel Om atau Pak. Bukankah orang luar negeri biasanya seperti itu? Buktinya, Heru mengangguk tidak masalah di depan sana, terlihat tidak tersinggung.
"Pasti terjadi tragedi yang melibatkan satu korban lagi?" timpal pemuda yang mempersilakan mereka masuk tadi, ia muncul dengan nampan berisi minuman segar di atasnya.
Mereka tidak akan diracuni 'kan? Elka jadi was-was.
"Tenanglah, tidak ada racun di dalam sana," celetuk pemuda itu asal. Elka berdeham, merasa pikirannya bisa terbaca dengan muda. "Ayahku penjual peluru, bukan racun."
Astaga!
Anak ini sarkastik sekali.
"Apa perkataan Haru benar? Ada sesuatu yang terjadi?"
Oh, sekarang mereka tahu siapa pemuda itu. Savier Haru Lanka, putra Heru.
"Ya." Melody mengangguk. "Kejadiannya baru saja tempo hari. Jadi, jika berkenan apa kami boleh mengetahui informasi pemesan peluru itu?"
Heru terkekeh. "Tentu saja tidak."
"Lalu anda akan berdiam diri sementara secara tidak langsung ada korban berjatuhan akibat peluru yang anda jual itu?" desis Tomi menahan geram.
Heru tersenyum, meraih minuman yang disediakan Haru kemudian menyeruputnya dengan sangat santai.
"Tidak ada yang gratis di dunia ini."
Mereka terdiam.
Annisa yang berkutat dengan i-pad di tangannya, mengangkat kepala menatap Heru. "Sepertinya anda harus mempertimbangkan permintaan kami, karena ...." Annisa memperlihatkan layar i-pad-Nya ke wajah Heru. "Saya bisa saja menghilangkan semua satabase yang ada di server penjualan anda. Ding dong, sekali tekan semuanya akan bersih. Dan yah, saya sudah menyalinnya di data i-pad saya."
Annisa tersenyum lebar, mengabaikan wajah terkejut Heru dan Haru dan wajah takjub dari teman-temannya yang lain.
"Sebagai bonus, saya akan menyebarluaskan salinan database anda ke jejaring internet!" lanjutnya dengan nada super riang.
"Jadi, bagaimana?"
Heru berdeham, melirik Haru dengan isyarat sesuatu.
"Saya juga sudah mematikan seluruh akses ke server anda untuk sementara, jadi jangan berpikir untuk mengamankan server anda sekarang," kata Annisa seakan tahu kemana maksud lirikan Ayah dan anak itu.
"Siapa kamu?" tanya Haru terkejut. "B-bagaimana bisa ...."
"Jangan bertanya. Bagaimana kalau kalian bekerjasama dengan baik saja? Oh, atau apa perlu aku mengirimkan satu anak asuhku ke server kalian?" Anak asuh yang dimaksudkan Annisa adalah virus.
"Kamu terlalu meremehkanku, gadis kecil." Suara Heru terdengat dingin. "Kamu pikir keamanan serverku bisa kamu tembus sejauh itu dengan mudah?" Heru terkekeh. "Bahkan rumah ini sudah aku desain dengan keamanan tingkat tinggi, hati-hati saja, kepala kalian bisa sewaktu-waktu meledak tertembak."
Mereka membelalak, kecuali Annisa. Gadis berhijab itu menanggapinya dengan senyum kecil.
"Oh, ya?" Annisa tertawa kecil. "Kalau begitu silakan. Jika sistem perintah otomatis yang telah anda rancang untuk mode pertahanan di rumah ini bekerja, maka aku bersumpah akan melenyapkan diriku sendiri," kata Annisa dingin.
Demi apa pun, Elka tak pernah melihat gadis itu seserius ini. Benar-benar mengejutkan.
"Sebaliknya, bagaimana jika aku mengubah mode pertahanan ini bekerja secara perintah manual?" Annisa bermain di layar i-pad-Nya sebentar, kemudian mengarahkannya lagi ke wajah Heru. "Aku aku masukkan sidik jariku, kemudian boommm! Akan akun arahkan tembakannya pada anda dan putra anda."
Annisa tertawa senang melihat wajah kaku Heru. "Sistem keamanan rumahmu unik. Dari luar terlihat rumit, software yang kalian gunakan juga kompleks, tetapi sayang kalian belum menguasai bagaimana cara membuat password dan id akses yang tak mudah dibobol orang sepertiku."
Hening.
Annisa melebarkan senyumnya. "Gunakan beberapa simbol matematis dan tanda bintang untuk penggunaan password, lalu ubahlah id akses minimal satu kali dalam sagu hari, gunakan software sederhana dengan mode atur otomatis setiap hari. Jangan gunakan aplikask yang menerapkan sistem perintah yang itu-itu saja. Usahakan atur software dengan alarm danger, agar pada lapisan terluar software yang berhasil diretas, alarm berbunyi dan perintah keamanan otomatis dijalankan," jelas Annisa panjang lebar.
"Kira-kira begitulah cara-cara membuat keamanan server."
"Kenapa lo pake acara bocorin caranya, sih?" protes Melody merasa Annisa ini kelewat bego.
Annisa hanya mengangkat bahunya. "Aku kasihan saja, software butut begini dibilang keamanan yang luar biasa. Yang benar saja!"
Serius, kali ini Annisa benar-benar keren. Bahkan, Heru dan Haru membisu dengan wajah pucat pasi. Mereka tak berkutik.
"Gimana? Bisa 'kan?"
Heru tak punya pilihan selain mengangguk.
****
A/N : Harus spam komen di sini, kirim tanggapan kalian soal Annisa.
Ada yang kangen Desca? Coba angkat kaki, eh, angkat tangan.