Udah siap mental kan buat baca?
Oke, here we go☺️
*****
"Kamu akan selalu di hatiku, walaupun ajalmu sudah menyapa terlebih dulu."
*****
Dengan langkah terburu-buru, Cakra terkejut hebat ketika ia menemukan seseorang perempuan duduk di salah satu kursi rumah sakit dalam keadaan rapuh dan tak berdaya, "Ameh!"
Salma menundukkan kepala sedalam-dalamnya diiringi isakan hebat berkat tangis yang tumpah dengan tidak terkontrol, "Astro.. hiks hiks.. kenapa sih dia nekat ke jalan kayak gitu.. gue nggak mau Astro kenapa-napa."
Cakra duduk disamping Salma, ia mengelus punggung perempuan itu agar Salma bisa tenang, "Astro pasti nggak papa kok."
Cakra merutuki diri sendiri, kalau saja ia tidak dikompor-kompori oleh dua curut Noval dan Angga, ia tidak akan meninggalkan Salma dan membiarkan kejadian ini terjadi.
Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah jadi bubur dan tidak bisa diubah sampai kapanpun.
Walaupun Astro adalah laki-laki menyebalkan bagi Cakra, ia tidak mau Salma sampai tersakiti karena kehilangan orang yang dia sayang. Cakra tidak ingin Salma bersedih.
"Meh, kita berdoa aja semoga Astro bisa sembuh, jadi jangan ditangisin lagi, oke?" Cakra semakin memperingatkan untuk tidak berlarut-larut.
Salma menatap Cakra lekat, dan dengan sekali hentakan, ia menarik baju Cakra agar laki-laki itu bisa melihat arti kesedihan begitu dalam di matanya, "Cak, Astro sekarat! Dia mau mati! Dan gue harus berhenti nangis? Apa nggak ada saran bodoh yang lain?"
"Meh.."
"Astro.. harusnya dia nggak kesana! Kenapa sih dia malah nyelametin gue!?" Raung Salma sendiri lalu menenggelamkan kepala di kedua tangan, menaruh semua kerapuhan disana.
Merasakan Salma tidak akan menghentikan kesedihannya, Cakra menoleh kesamping, dimana Kiki tengah mematung bagaikan ditarik nyawanya. Bahkan mata Kiki terlampau kosong dan tidak menyiratkan arti apa-apa.
Setelah diberitahu oleh pihak sekolah bagaimana kecelakaan itu terjadi, Cakra jadi ingin mendengar pendapat Kiki, karena dia alasan Astro bisa sekarat seperti ini. Tapi, perempuan tersebut malah diam menatap ke depan, tidak ingin bereaksi apa-apa.
"Ameh! Kiki!" Suara dari orang yang baru datang membuat kepala Cakra refleks ke sumber suara, sementara Kiki dan Salma sibuk dengan dunianya masing-masing.
Juju datang ke arah tiga orang tersebut, dan terlebih dahulu ia menghampiri Salma, "Meh, Astro gimana? Dia nggak papa kan?"
Tetapi, karena masih berduka atas nasib Astro, Salma memilih tidak menjawab, ia tetap menunduk bagaikan orang tuli.
Mengetahui kalau kabar Salma sedang tidak baik-baik saja, Juju hanya bisa menghela napas, "lu nggak mau jawab ya?"
Perempuan berparas manis tersebut akhirnya beralih menghampiri Kiki di sudut dinding, "Ki! Lu nggak papa kan? Ada yang luka nggak? Gue khawatir banget sama kalian," tanya Juju melihat keadaan Kiki dari atas sampai bawah, dimana keadaan bajunya sangat kotor dihiasi tanah dan lututnya sedikit robek sekaligus memar.
"Astaga Ki! Kaki lu!" histeris Juju, "mending sekarang kita obatin ya, nanti kalau infeksi gimana!?"
Walaupun mendengar syok hebat dari Juju, Kiki tetap diam membisu seperti patung.
"Kiki! Ayo!" Tarik Juju sangat khawatir akan keadaan temannya itu.
"Ki!"
"..."
"Kiki!" Juju menarik paksa tangan perempuan tersebut, karena tidak ada pergerakan sedikit pun.
"..."
"Ki, gue nggak ma.."
"DIEM!"
Suara gertakan dari Kiki membuat Juju tersentak, apalagi dilihat begitu tajam dan menusuk seperti predator yang akan menerkam mangsa. Sungguh, untuk menelan saliva sendiri pun Juju tidak sanggup.
Pandangan Kiki jatuh ke seorang perempuan di dekat kursi, tanpa berlama-lama lagi Kiki menghampiri perempuan itu dan menatapnya ikut tajam.
"Lu.. mau ngapain?" Cakra mulai siaga, sudah menjadi rahasia umum Kiki selalu kasar dengan Salma.
"Ki, ini rumah sakit, nggak usah bertindak bodoh," sinis Cakra tidak ingin ada kericuhan di sekitar sana.
Dengan mengabaikan ucapan Cakra, manik mata tajam Kiki tetap fokus ke arah Salma, "Meh," panggil Kiki bernada ketus.
Dan untuk kesekian kalinya Salma tetap diam dan menangis sesenggukan, memilih untuk menundukkan kepala dan tidak perduli pada situasi yang ada.
"Meh!" nada Kiki makin tajam.
Cakra ikut melihat Salma, ia mengerutkan kening karena Salma tetap tidak menjawab panggilan Kiki, "Ki, Ameh lagi sedih, nggak usah ganggu dia," ucap Cakra berspekulasi.
Kiki mendecak sebal, dan dengan anarkis dia mendorong bahu Salma sekeras mungkin, "GUE NGOMONG SAMA LO!"
"KIKI! JAGA BATASAN LO!" Cakra menahan punggung Salma agar tubuh lemah perempuan itu tidak terjengkang ke belakang akibat dorongan Kiki tadi.
Karena mengetahui Kiki sudah emosi, Salma akhirnya mendongak walaupun sebentar, kemudian menunduk lagi.
Kiki yang merasa tidak diperhatikan, segera menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar.
"Ki, ayo kita obatin luk.. KI! LO NGAPAIN!?"
Nasehat Juju terpotong begitu saja, disaat hal tidak terduga terjadi pada Kiki.
Perempuan yang akrab disapa Kiki tersebut tiba-tiba saja merosot ke bawah, lebih tepatnya ia bersimpuh tepat di hadapan Salma.
Air mata dari Kiki keluar begitu deras ketika ia menundukkan kepala, ekspresinya pun berubah drastis, yang tadi sangat tajam dan bringas berubah menjadi perempuan lemah dan tidak bertenaga.
Salma juga ikut terkejut, apalagi melihat Kiki tepat berada di bawah kakinya.
"Ki! Bangun," Salma menarik tangan Kiki agar ia bangun kembali, tetapi Kiki tetap keukeuh untuk berada di posisi tersebut.
"Ki.."
"Maafin gue," suara isakan dari Kiki mampu membuat semua orang terdiam, begitupun Salma.
"Ki, mending sekarang lu bangun."
"Maafin gue, Meh, gara-gara gue Astro sampe sekarat, gue minta maaf!" nada yang keluar dari mulut Kiki begitu menyesakkan.
Kiki menggelengkan kepalanya merasa sudah tidak lagi berdaya, "Meh, selama ini gue jahat sama lu, gue selalu ambil kebahagiaan lu, gue selalu buat hal nggak baik sama lu, gue minta maaf. Gue nggak pantes dianggep sahabat.."
Mendengar Kiki berucap melantur, Salma menolak, "lu kenapa? Lu nggak salah."
"Gue salah! Kenapa sih lu selalu anggep gue orang yang baik! Lu tahu Meh rasanya? Malu! Gue malu semalu-malunya kalau lu selalu anggep gue sahabat!" Kiki berteriak frustasi mengutarakan semua isi hatinya.
Juju yang melihat sahabatnya berkata dengan menyakitkan sontak ikut pedih, apa benar yang berbicara sekarang adalah Kiki?
"Lu tahu, Meh? Alesan gue jauhin lu dari Astro!? Lu nggak tahu kan alesan bodoh gue ini?"
Salma menatap Kiki dengan pandangan terpukau, bahkan ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Kiki terisak dengan keras, ia menundukkan kepala sangat malu kepada diri sendiri, "gue iri sama lu, Meh. Lu selalu dapetin hal yang gue nggak bisa dapetin, lu punya keluarga kaya, lu punya kakak terkenal, lu bisa temenan sama siapa aja, bahkan Juju lebih deket sama lu daripada sama gue! Dan sekarang liat? Cakra, Astro, semua orang lebih respect sama lu! Sementara gue? Nggak ada orang yang ada di deket gue! Gue iri banget sama lu, Meh! Andai, gue bisa jadi lu, tapi tetep aja. Gue orang jahat, gue nggak bisa jadi orang baik kayak lu."
Juju menganga lebar menelaah ucapan Kiki tadi, ia tidak menyangka pikiran Kiki bisa seliar itu.
Kiki tertawa sendiri seolah menertawai nasibnya, "tapi, walaupun gue orang jahat, gue bisa ngambil semua kebahagiaan lu. Gue bisa misahin lu dari Astro, dan ngasih Astro buat Juju! Biar apa? Biar lu sesekali menderita dan ngerasain apa yang gue rasain selama ini! Dan saat itu juga gue menang, gue bisa dapet respect banyak, terus Juju lebih deket sama gue daripada lu yang nggak ada apa-apanya."
"Ki, lu berdiri sekarang juga," ucap Salma tidak ingin mendengar kesakitan hati Kiki lagi.
"Nggak! Mentang-mentang gue ini orang yang rendah, lu bisa ngatur gue begitu! Nggak, Meh, nggak!" Kiki menangis lagi walaupun nadanya sangat sangar.
Kiki menghapus air matanya kasar, "tapi lu tahu? Gue cuma dapet respect itu sebentar, setelahnya gue malah dihujat sana-sini. Gue mau bales dendam lebih parah sama lu dengan cara baikan sama lu dan nusuk lu diem-diem, tapi apa yang gue dapet? Lu malah tetep kayak orang bego dan nerima gue apa adanya! Lu mau bikin gue tambah iri, Meh? Maksud lu gitu kan?"
Salma semakin terisak mendengar ucapan Kiki, apa sebegitu menyakitkannya menjadi Kiki? Sampai-sampai ia lemah seperti ini.
"Dan sekarang, setelah lu nyelametin gue, dan Astro kena dampaknya, lu tetep nggak nyalahin gue, Meh? Lu nggak mau ngusir gue gitu? Kenapa Meh? Gue ini orang jahat, gue nggak pantes dimaafin!" Kiki meraung-raung keras seperti orang depresi.
Setelah puas menampakkan kesedihannya selama ini, Kiki makin menunduk ke bawah dan sekarang ia memegang kaki Salma seperti orang bersimpuh disana.
"Ki! Bangun nggak!? Nggak, lu nggak boleh kayak gini!" Salma akhirnya berdiri dari kursi lalu menarik Kiki agar ia tidak melakukan hal tidak wajar.
"Biarin Meh, anggep ini permintaan maaf gue! Jangan buat gue malu lagi, gue mau nebus semua kesalahan gue," Kiki tetap keukeuh untuk bersujud di kaki Salma.
"Juju! Bantuin gue!" Salma meminta pertolongan Juju, dan seketika itu juga Juju langsung tersadar dan ikut membangunkan Kiki.
Kiki meronta-ronta setelah bangun dari kaki Salma, "Ju! Lu apaansih? Lu mau ngeledek gue juga dengan bangunin gue kayak gini?"
Salma memegang tangan Kiki erat, "Ki, walaupun lu jahat, nggak punya perasaan, suka nyakitin orang. Lu tetep sahabat gue, Ki! Dan selamanya akan begitu."
"Lu mau bik.."
"Gue nggak mau bikin lu malu! Lu sahabat gue dan kita ini sama, harusnya gue yang malu sama lu, karena gue punya sahabat seteguh lu, maafin gue, Ki," ujar Salma menatap Kiki.
"Lu nggak boleh minta maaf, gue yang salah!" Kiki menolak.
"Mau siapapun yang salah, gue tetep mau lu jadi sahabat gue," Salma bergumam tulus.
Kiki makin menangis mendengar perkataan Salma, walaupun manis namun tetap menyakitkan hatinya sendiri.
Dan di detik itu juga, Salma memeluk Kiki dengan erat dan penuh kehangatan, "makasih Ki, udah ngungkapin semua perasaan lu ke gue selama ini."
Kiki tersentak dipeluk begitu saja oleh Salma, "lu.. maafin gue, Meh?"
Tanpa berpikir kembali, Salma menganggukkan kepala cepat, "di dalam persahabatan nggak ada kata maaf."
"Walaupun gue nggak pantes dimaafin?"
"Lu tetep sahabat gue."
Kiki memeluk erat Salma dan menumpahkan tangisnya begitu banyak disana.
Melihat begitu banyak rasa penyesalan sekaligus perdamaian di pelukan mereka, Juju menghampiri Kiki dan Salma, kemudian ikut memeluk kedua sahabatnya dengan terharu.
Disamping ketiga sahabat itu berpelukan, hati Cakra menghangat seketika, akhirnya mereka bertiga bisa mengerti satu sama lain.
"Permisi, apa kalian wali dari pasien Astro?" Seorang dokter yang baru datang berhasil menguraikan pelukan tadi.
"Iya, Dok," Salma menganggukkan kepala.
Dokter tersebut menghela napas disertai kesedihan melihat ekspresi Salma.
"Astro kenapa, Dok?" Salma makin panik.
Pria paruh baya yang disebut seorang dokter itu memandang Salma pasrah, "pasien mengalami cedera otak yang sangat berat dan parah."
Jantung Salma semakin berdentum kencang, "terus, Dok?"
"Pasien mengalami koma dengan waktu penyembuhan tidak bisa ditentukan. Juga karena pergeseran saraf otak terbilang parah, kemungkinan besar akan memakan waktu cukup lama untuk sadar kembali."
Dan saat itu juga, dunia Salma runtuh seketika tanpa bisa dikendalikan.
*****
2 minggu kemudian..
"Apa selama dua minggu ini belum ada perkembangan dari Astro, dok?" tanya seseorang laki-laki dewasa kepada wanita paru baya dengan setelan jas putih di depan.
"Kemungkinan kecil, Lang," balas dokter tersebut menaruh kacamata tebal di atas meja.
Galang menghembuskan napas panjang, ia tidak menduga keadaannya akan menjadi seperti ini. Astro yang seharusnya bisa menghirup udara bebas di luar, harus dua minggu bertahan dirumah sakit dan terpaksa menghirup oksigen bantuan karena koma yang tak berkesudahan.
Benar, setelah dinyatakan koma di Bandung dua minggu lalu. Astro langsung dipindahkan ke Jakarta untuk ditangani langsung oleh dokter kepercayaan Jeremi. Yaitu istrinya sendiri. Dan karena Astro penerus perusahaan, setiap hari Dokter Bunga harus menyampaikan keadaan Astro kepada orang suruhan Jeremi, yaitu Galang.
"Menurut Dokter Bunga, kapan Astro akan sadar dan sembuh seperti biasa?" Galang bertanya kembali, masih belum puas dengan jawaban sebelumya.
"Saya tidak tahu pasti, tapi saya berspekulasi bisa sampai satu bulan, dua bulan, itu pun akan menimbulkan resiko besar di otaknya."
"Resiko besar? Maksudnya?"
Wanita di seberang meja Galang tertunduk sedih, "benturan keras di otak Astro sangat kencang, sehingga membuat saraf-sarafnya agak terganggu. Dan hal itu bisa berdampak sedikit pada Astro jika ia sadar dari koma nanti."
Galang menggigit bibir gelisah, ia pikir semakin hari Astro akan semakin siuman, tetapi nyatanya semakin hari Astro malah semakin parah. Entah sampai kapan rekan kerjanya itu akan sadar.
"Sekarang kamu berdoa saja, Lang. Serahkan pada Tuhan, pasti Tuhan akan memberikan jalan yang baik. Bagaimanapun Astro anak saya juga, saya nggak mau dia kenapa-napa," nasehat Dokter Bunga agak sedih menepuk bahu Galang untuk menyemangati laki-laki dewasa tersebut, walaupun Astro bukanlah anak kandungnya, ia masih mencintai Astro seperti anak sendiri, dan tidak akan membiarkan Astro terlalu lama dalam kesakitan.
Ting!
Suatu pesan notifikasi masuk di ponsel Galang, Galang segera mengambil benda pipih itu di saku kemejanya dan membaca pesan tadi.
Ameh : Kak Galang, keadaan Astro gimana?
Galang terdiam membaca pesan dari Salma, setiap hari perempuan itu selalu saja menanyakan hal yang sama tanpa bosan. Sebenarnya Galang ingin sekali menyampaikan kalau Astro sudah sembuh, tapi sampai sekarang pun, hal itu tidak terjadi juga.
Galang : Astro masih sama kayak kemaren.
Galang : Nanti malem lu kesini aja, temenin Astro.
Seusai mengetik pesan kepada Salma, Galang akhirnya berdiri dari hadapan si Dokter, berniat untuk pergi.
"Jika ada perkembangan dari Astro, nanti kamu orang pertama yang saya hubungi, saya janji," ujar Dokter Bunga menyalami Galang.
"Baik, Dok, terimakasih."
*****
"Gimana kondisinya? Masih sama?"
Salma menengok ke arah Kiki dan Juju di bangku samping, "iya, kata Kak Galang, Astro masih kayak kemaren."
Kiki mengusap punggung Salma berusaha menenangkan, "udah Meh, tenang aja, pasti Astro sembuh dari koma, gue yakin."
Juju ikut menganggukkan kepala, "iya, gue juga yakin. Astro nggak mungkin ninggalin kita."
Mendengar ucapan penyemangat dari kedua sahabatnya, hati Salma sedikit melega, "makasih ya, Kiki, Juju."
"Sahabat emang selalu saling support kan?" Tanya Kiki meminta jawaban.
"Iya dong!" Salma tertawa kecil dan dibalas tawaan lagi oleh kedua perempuan yang sedang berkumpul disana.
Setelah tertawa, Juju meminum jus jeruknya di meja lalu melihat kursi kosong disamping Salma, "oh ya by the way, si Cakra nggak masuk kenapa? Gue lupa nanya."
Mata Salma melirik kursi Cakra, "tadi malem sih dia bilangnya mau latihan buat lomba minggu depan."
"Apa? Tadi malem? Dia ngomong gitu sama lu?" Tandas Kiki dengan pertanyaan beruntun.
Salma yang polos mengangguk, "iya."
"Lu sama dia suka telponan tiap malem?" Juju ikut menimpali.
"Iya, sering sih," kata Salma lagi.
Kiki dan Juju saling melihat satu sama lain, kemudian ke arah Salma dengan tatapan aneh, "lu nggak curiga gitu sama gerak-gerik Cakra? Gue aja yang bukan lu bisa ngerti maksud tuh anak."
"Ngerti gimana maksudnya?" Salma jadi bingung.
Kiki mendecak, "lu tuh polos apa kelewat polos sih? Ini nih yang gue nggak suka dari lu, kelewat pinter, jadi bablas dah!"
"Emang kenapa?"
Juju tertawa mendengar ucapan Salma, betapa sahabatnya itu sangat tidak peka.
Kiki menggerakkan jarinya untuk menyuruh Salma mendekat, dan Salma mengikuti perintah perempuan tersebut.
Setelah telinga Salma berada di dekat wajahnya, Kiki membisikkan sesuatu yang membuat Salma syok hebat, "Cakra suka sama lu, bego!"
"HA!?"
"Ssssttt!!" Kiki dan Juju menempelkan jari mereka masing-masing di bibir, ketika keterkejutan Salma begitu kencang dan membuat semua siswa melirik mereka dengan bertanya-tanya.
Tetapi, bukannya malah diam, Salma malah tertawa terbahak-bahak, bahkan ia memegang daerah sekitar perut akibat tertawa geli, "Cakra? Suka sama gue? Ngaco lu pada!"
"Dih dibilangin!" Juju gemas sendiri.
"Nggak mungkin, mereka tuh sama kayak kalian, sahabat gue. Nggak mungkin dia suka sama gue," kepala Salma menggeleng masih tertawa.
"Nah karena dia itu deket sama lu, makanya dia suka. Lu tuh nggak peka banget sih! Gue gemes pengen nyubit!"
"Awh!" Tangan Salma mengusap lengannya dimana terdapat bekas cubitan Kiki yang kelewat sadis, bahkan sampai meninggalkan jejak kemerahan.
"Kiki main nyubit-nyubit aja," Juju tertawa kecil.
"Lagian, gue gemes banget, bukannya ngedengerin malah ketawa!"
Tangan Salma terlepas dari lengan disaat sakitnya sudah mereda, ia melihat kedua sahabatnya dengan seksama, "dengerin ya, Cakra itu sahabat gue. Terus juga si Cakra tahu kok gue sayang banget sama Astro, nggak mungkin lah dia suka sama gue."
Kiki tersenyum miring, "terus lu pikir Cakra bakal nyerah gitu aja? Inget, lu itu cuma pacaran sama Astro, bukan nikah. Jadi, kalimat putus masih bisa dikeluarin kan?"
*****
Sehabis bertempur dengan kehidupan sehari-hari di sekolah dan di rumah, disinilah Salma sekarang, menyempatkan waktu untuk menjenguk Astro.
Karena besok kegiatan sekolah akan libur, tidak seperti hari-hari lain, Salma berniat untuk menginap di kamar pasien.
Dari dua minggu lalu, keluarganya sudah Salma ceritakan siapa Astro dan bagaimana sifatnya, apalagi Kak Lisa mendukung dirinya dan Astro, jadi Salma mendapat ijin dengan mudah dari Bunda maupun sang Papa, asalkan ia dan Astro masih berada di tempat umum.
Salma menatap Astro lekat, laki-laki itu masih menutup mata dan di bagian hidung dibantu dengan alat bantu pernapasan.
Kesedihan menyeruak kembali di hati Salma, ia menunduk dalam, "Astro, kapan bangun? Udah dua minggu lho ini, lu nggak kangen apa sama gue? Gue kangen banget sama lu.."
Napas Salma tertahan lagi setelah mengucapkan kalimat tersebut, "oh ya, gue, Kiki sama Juju udah baikan lho, terus juga Kak Lisa ngedukung hubungan kita, harusnya kita udah sama-sama sekarang, tapi karena lu nggak bangun-bangun.." perkataan Salma terpotong, tak sanggup menahan kesedihan luar biasa.
Salma mengusap rambut Astro penuh kerinduan, "Tro, cedera di otak lu parah banget ya? Kalau nggak sembuh-sembuh, lu kapan bangunnya? Masa iya nunggu gue lulus, S1, S2, S3, lama-lama gue jadi perawan tua dah gara-gara nungguin lu."
"Eh, nggak sampe S3 deh, nanti otak gue meledak gimana," cicit Salma menyengir lebar.
"Tapi bangun dong Tro, gue kangen banget sama lu, kita baru aja ngerasain pacaran dua hari, masa lu mau ninggalin gue?" Salma sedih kembali, kini ia menggemgam tangan Astro erat menumpahkan semua air matanya di tangan itu, merasa tidak kuat lagi untuk menahannya.
"Coba aja waktu bisa diputer, gue bakalan cepet-cepet lari ngejar Kiki sampe dapet, dengan begitu lu nggak bakalan ketabrak, dan masih sama gue sampe sekarang," Salma berandai-andai.
Lama menumpahkan air mata di tangan Astro, Salma jadi teringat sesuatu, "eh tapi lu nggak mungkin kan sampe amnesia?" ujar Salma tiba-tiba, "masa iya nanti lu lupain gue, nanti kalau bener kejadian, lu lupa dong kita udah pacaran? Ya Tuhan jangan sampe deh, ubah sikap dingin lu tuh susah banget Tro, serius! Butuh berabad-abad buat jadiin lu cowok romantis."
Benar, setiap Salma menjenguk dia selalu seperti ini, mengoceh-ngoceh tidak jelas, berharap Astro akan bangun dan marah-marah karena ocehan tidak bergunanya. Tapi, sudah lama Salma melakukan itu, Astro belum bangun juga.
"Tro, kapan sih lu bangunnya? Lu nggak ngerti definisi kangen ya? Kangen itu.."
Titttttt
Suara dari elektrokardiogram alias EKG, yang merekam aktivitas kelistrikan jantung Astro tiba-tiba berbunyi sangat nyaring dan kencang, membuat kalimat Salma terpotong dan fokus kepada monitor disamping brankar.
Dengan segera Salma berdiri darisana dan menekan tombol bantuan dokter diatas brankar, "Astro! Lu nggak boleh pergi! Lu harus tetep ada disini!" Salma panik sendiri.
"Ini kenapa dokter belum dateng sih!?" kesal Salma, ia cepat-cepat mengambil aksi untuk keluar ruangan Astro dan memanggil tenaga medis yang berlalu lalang.
"DOKTER! TOLONGIN ASTRO!!!!!!" teriak Salma kepada dokter Bunga alias Mama dari Astro yang tengah berlari kesana karena panggilan Salma tadi.
Dokter Bunga segera memasuki ruangan Astro, sementara Salma disuruh untuk menunggu diluar, dari luar Salma mengintip, Dokter Bunga sedang menggesek-gesekkan defibrillator atau alat pacu jantung dibantu kedua suster disana, dan setelah pasangan defibrillator itu menempel di dada Astro, laki-laki tersebut mengejang seperti orang terkejut.
Sungguh, melihat Astro dilakukan begitu, Salma makin terisak menangis, pasti menyakitkan untuk Astro.
"Tinggikan ketegangannya!" Perintah Dokter Bunga keras kemudian ia berusaha lagi menggesekkan kedua Defibrillator di tangan guna untuk menghantarkan sinyal-sinyal listrik ke arah jantung agar jantung bisa berdetak normal kembali.
Seluruh tubuh Salma makin bergetar mendengar suara EKG bergerak lebih nyaring dan memekkakan telinga, bahkan suara itu terdengar sampai keluar.
"ASTRO! KAMU HARUS SADAR!" Dokter Bunga menggelengkan kepalanya, merasakan anaknya tidak menerima sinyal jantung sama sekali yang ia kirimkan.
"Tinggikan tegangannya!!!" Suruh Dokter Bunga makin tegas.
Salma menutup mulutnya sendiri menahan tangis kejar, ia segera berbalik memunggungi jendela, ia sangat lemah dan tidak sanggup lagi menahan tubuhnya. Salma juga tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa melihat Astro dalam keadaan gawat serta sekarat seperti ini.
Sampai Salma meratapi nasib menunggu Astro yang sebentar lagi akan menjemput ajal, tiba-tiba Salma teringat sesuatu. Sesuatu yang sangat penting dan bisa merubah segalanya.
Mata Salma terbuka lebar mengingat hal itu, dengan keberanian luar biasa, Salma menghapus air mata di pipi secara kasar lalu pergi berlari menuju tempat yang harus ia tuju sekarang.
"Demi Astro, gue rela ngelakuin apapun."
*****
Karena jarak rumah sakit dengan tujuannya terlampau dekat, hanya butuh beberapa menit Salma bisa sampai.
Manik mata Salma menatap gedung besar di hadapan, nampak menjulang tinggi serta menakutkan jika dilihat terlalu dekat.
"Gue.. harus lakuin ini," ucap Salma dan tanpa berpikir panjang lagi ia mulai memasuki gedung tersebut.
"Permisi, sedang apa anda kemari?" Suara seseorang wanita muda menghentikan langkah Salma ketika memasuki ruangan penting.
Kepala Salma menengok dan berujar serius, "ada barang Dokter Bunga ketinggalan disini, saya disuruh ngambil."
Wanita berpakaian formal di hadapan Salma mengerutkan kening sedikit curiga, "apa benar?"
"Iya! Sekarang, apa saya boleh masuk?"
Wanita tadi akhirnya mengangguk walaupun agak ragu, tapi bagaimana lagi, Dokter Bunga sangat berpengaruh pada pekerjaannya.
Setelah diberikan izin oleh sang wanita penyambut tamu, Salma segera berlari ke dalan ruangan cukup besar, dimana ruangan itu adalah bagian terpenting dari gedung disana.
Tanpa mengetuk, Salma membuka pintu di ruangan tujuannya, ia menelanjangi sekitar, tidak ada siapa-siapa disana. Apa karena orangnya sedang berada di tempat lain?
Tidak perduli dengan tidak ada kehidupan di dalam, mata Salma jatuh tepat ke sebuah ruangan pojok dengan lampu warna-warni beraura misterius.
Meski gemetar, langkah Salma tetap menghampiri ruangan itu, ia masuk ke dalam dan melihat sebuah mesin besar terpajang sangat megah.
"Mesin penambah umur? Emang bener? Bukannya itu cuma nama doang?" Mata Salma membulat tidak percaya.
"Iya, dan lu jangan deket-deket sama mesin itu! Bahaya!"
Ya, sekarang dihadapan Salma adalah mesin penambah umur, dimana mesin itu sangat bahaya jika didekati menurut Astro tempo lalu. Tapi, sekarang ia berani mendekati mesin itu dengan suatu alasan.
Mendengar peringatan Astro, Salma tidak tahan untuk bertanya, "bahaya? Emang cara kerjanya gimana!?"
"Nggak penting lu tahu," kata Astro ogah-ogahan.
Merasa keingintahuan Salma sudah meningkat, ia merengek saat itu juga, "gimana, Tro? Gue pengen tahu.."
"Mau ngapain sih?" Astro mulai sewot.
"Ya pengen tahu aja.."
Astro menatap wajah Salma, terpancar ekspresi memohon disana, beralih dari wajah Salma, ia melihat mesin dihadapannya kembali, "cara kerjanya cukup gampang, lu cuma masukkin nama panjang orang sama tanggal lahirnya, setelah dikonfirmasi lu bisa langsung masuk ke pintu itu, nanti orang yang lu tulis namanya disana bakalan dapet setengah umur lu."
Salma meremas-remas tangan sendiri, jantungnya berdetak sangat hebat, apa benar mesin dihadapannya ini bisa menambahkan umur seseorang seperti yang dikatakan Astro?
Jika begitu, apa bisa dia memberikan setengah umurnya pada Astro?
"SELAMAT DATANG DI MESIN PENAMBAH UMUR! SILAHKAN MASUKKAN NAMA ORANG DAN TANGGAL LAHIR YANG INGIN ANDA BERIKAN UMUR!"
Tulisan otomatis keluar tiba-tiba dihadapan Salma, membuat Salma terkejut hebat, "Astagfirullah!" Katanya mengelus dada sendiri.
Tetapi terkejutan Salma tidak sampai situ saja, sebuah papan ketik lcd keluar seketika dari mesin.
"Silahkan masukkan nama dan tanggal lahir di atas papan ketik!"
Setelah mendengar perintah, Salma semakin gelisah, apa ya harus melakukan ini? Tapi.. jika tidak dilakukan, bagaimana Astro?
"Gue harus lakuin ini," kata Salma tidak berpikir panjang lalu segera menekan nama Astro Noval Jeremi disana.
"Silahkan masukkan tanggal lahir."
Entah sudah takdir atau bagaimana, Salma mengingat tanggal lahir Astro, tepat dimana saat dia melihat kartu pelajar Astro sewaktu drama musikal di sekolahnya dulu.
"Target terkonfirmasi! Silahkan masuk dan berikan umur anda!"
Tubuh Salma bergetar seketika saat perintah sudah terkonfirmasi, pintu mesin penambah umur yang terbuat dari kaca terbuka dengan lebar, menunggu seseorang untuk masuk ke dalam.
Mata Salma terpejam untuk menguatkan diri sendiri, ini adalah keputusan terberatnya. Dan ia tidak ingin berpikir pendek.
Disatu sisi ia takut kalau mesin ini berfungsi sesuai ucapan Astro, tapi di sisi lain ia mengkhawatirkan keadaan Astro, apa lelakinya akan baik-baik saja jika ia tidak masuk ke dalam mesin di depan?
"Tapi.."
"Tapi?" Salma makin ingin tahu.
"Tapi resikonya gede, walaupun lu ngasih setengah umur lu ke orang lain, sisa kehidupan lu di dunia ini cuma 10 hari, itupun termasuk lu bakalan pingsan 3 hari dalam keadaan membeku setelah keluar dari mesin itu," jelas Astro memberitahukan bagaimana cara kerja mesin penambah umur.
Mulut Salma terbuka lebar, "berarti sisa umur orang yang ngorbanin umurnya sendiri sisa 7 hari dong!?"
Kepala Astro mengangguk, "iya."
Salma makin panik menyadari ucapan Astro saat itu, 7 hari? Apa benar setelah ini kehidupannya hanya 7 hari? Tidak ada tambahan?
Ah, Salma sebenarnya tidak ingin percaya. Ia berpikir hal ini adalah usahanya saja, tetapi, jika benar bagaimana?
Salma membuka matanya kembali, melihat mesin di depan, dan tanpa disadari ia malah melajukan langkahnya ke dalam.
"Gue si.. ap," cicit Salma.
Namun, belum sempat langkah Salma masuk, ia memundurkan langkahnya kembali, jadi ragu-ragu.
Salma menggigit bibir sendiri, sampai-sampai sebuah pikiran merasuki dirinya lagi.
"Gue bakalan ada disamping lu, dan gue bakalan lindungin lu dari apapun, dimanapun, dan siapapun yang buat lu ngerasa terpuruk."
Napas Salma tertahan seketika, ia mengambil oksigen banyak-banyak disana, Astro saja bisa untuk melindunginya, masa ia tidak bisa?
Salma meneguk salivanya berat setelah siap mengambil sebuah keputusan, "oke, gue masuk," katanya sambil melihat jam yang ia kenakan, tertera pukul 12 lewat 5 malam.
Sehabis memastikan waktu dan mengambil keputusan bodoh, dia sukses masuk ke dalam mesin penambah umur, dan membuat pintu mesin tersebut tertutup sangat rapat.
"ARGGGGGHHHHHHHH!!!"
Cklekkk
"SIAPA DISANA!?"
Mata Galang terbuka lebar ketika ia mendengar suara rintihan keras disaat membuka pintu ruangan Astro, apalagi melihat mesin penambah umur tiba-tiba berfungsi tanpa ada rencana.
"ARRRRGHHHHHHHHH SAKITTTT!!"
"AMEHHHH!!!"
Byurrrr
Galang refleks melempar kopi yang ia pegang sedari tadi, lalu cepat-cepat berlari ke mesin besar di pojok ruangan.
"AMEH! LO NGAPAIN!?" teriak Galang menggedor dan membuka paksa pintu mesin penambah umur di depan, namun hasilnya nihil.
Karena sudah dirundung kepanikan luar biasa, Galang menekan semua tombol disana untuk membatalkan proses. Walaupun ia tahu, sekali masuk tidak akan bisa keluar lagi.
"AH! BUKA DONG!" Galang meraung-raung tidak jelas, keringat dingin sudah menjalar di tubuhnya. Bisa habis dia jika Salma benar-benar masuk kesana.
Mata Galang tertuju pada papan layar diatas pintu, tertulis 'Astro Noval Jeremi'. Semakin membuat perasaan Galang campur aduk.
"Proses akan sukses pada waktu 3 detik.."
"3.."
Galang masih berusaha memencet ratusan tombol disana agar mesin berhenti.
"2.."
Brukkkkk
Dengan nekat Galang menendang pintu kaca itu, tapi hasilnya masih sama. Bahkan retakan pun tidak ada.
"1.."
"Ameh! LO GILA!" Galang menurunkan badannya sendiri, sudah lemas dan pasrah akan hasil yang akan menghantam mereka setelah ini.
Dan saat itu juga, ekspetasi Galang terjadi, pintu akhirnya terbuka, menampakkan seseorang perempuan sedang memejamkan mata dan terlihat sangat lemah.
"Ameh!" Galang segera berdiri dan menangkap tubuh perempuan tersebut. Pasti ia sangat merasa kesakitan.
"Ameh.. lo nggak waras! Kenapa lo masuk sih!?" Tanpa Galang sadari, air matanya menetes, apalagi kondisi tubuh Salma nampak membeku dan dingin seperti batu es.
"Sorry, Tro, gue telat.." Galang makin menangis, apalagi mengingat bagaimana reaksi Astro nanti jika mengetahui Salma sampai melakukan ini.
Tut tutttt
Suara dari ponsel Galang berdering, laki-laki itu segera mengambil ponsel tersebut di jasnya.
"Hallo," sapa Galang masih terisak.
"Hallo Galang! Kamu kenapa?" Di ujung sambungan terdengar khawatir.
Galang menggeleng untuk menyembunyikan kesedihannya, "nggak papa Dokter Bunga, ada apa Dokter menelpon saya?"
Wanita yang disapa Dokter Bunga itu akhirnya menjawab, "Astro, Lang! Astro!"
Galang ikut panik, "Astro kenapa, Dok!?"
"Keajaiban terjadi! Akhirnya Astro berhasil melewati masa komanya!"
*****
To be continued..
Tertanda
Inwinxx,