Kau yang semula menjadi kekuatanku, kini beralih menjadi kelemahan terbesar ku
-- Naya F --
♡♡♡
Jam istirahat kali ini Naya tidak pergi ke Kantin sekolah seperti biasanya, begitu juga dengan Elsa, Yani dan Finda. Semangatnya hilang, Naya tidak menginginkan apapun selain pergi dari tempat itu sejauh mungkin.
Hari ini Naya tampak berbeda dari biasanya, wajahnya pucat, matanya berkantung dan menghitam. Berjam-jam dia menangis dan mengurung diri di kamarnya, kepalanya pun terasa sakit karena terus menangis sepanjang malam.
Naya sangat merasa tidak nyaman selama jam pelajaran berlangsung, dirinya sadar kalau sejak tadi Rendy mengamatinya tampa jeda. Untung saja setelah bel istirahat berbunyi Rendy ikut keluar kelas bersama dengan Wahyu, entah untuk pergi ke mana, Naya juga tidak peduli.
Empat kursi kelas tidak kosong sejak tadi, Naya dan ke tiga kawannya masih berada di sana. Sejak tadi Yani terus mengoceh berharap susana hati Naya menjadi baik, tapi sayangnya hal itu tidak berhasil meski Yani terus bercerita mengenai hal lucu sampai mulutnya berbusa.
Finda, Elsa dan Yani saling melempar tatapan bingung, sahabatnya yang satu ini benar-benar sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Kondisinya sangat memperihatinkan, Naya hanya akan menyiksa diri dengan terus berlarut-larut dalam kesedihan.
Mereka memanglah sahabat Naya, tapi Naya belum juga menceritakan perihal apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak tahu kalau Ayah Naya tidak menyukai kedekatannya dengan Rendy, mereka juga tidak tahu kalau Naya di minta untuk menjauhi Rendy.
Naya sendiri tidak mungkin mau mengatakan semua itu, jika iya, ketiga sahabatnya pasti akan bertanya apa alasannya hingga dirinya harus jauh dari Rendy, sementara alasan terbesar itu melibatkan masalah keluarga Rendy yang kelabu.
"Naya." Panggilan itu membuat keempat wanita yang tengah gelisah terkejut. Tidak ada yang mengetahui kedatangan Rendy dan hanya menyadari kalau dia sekarang sudah berada di dalam kelas.
Rendy mendekat kearah duduk Naya dengan langkah lambat. Tidak seperti biasanya, hari ini dia merasa kikuk dan canggung.
Finda dan Yani memandang Rendy tajam dengan tatapan sinis sebagai ungkapan kekesalannya, sementara Elsa dengan santai berdiri dari duduknya dan mempersilahkan Rendy untuk duduk di samping Naya.
Finda dan Yani berhasil dibuat bingung dengan semua ini, tapi mereka juga tidak mampu berkata apa pun sebelum Elsa mengajak mereka berdua untuk keluar dari dalam kelas. Tapi sebelum itu Elsa kembali menoleh kearah duduk Rendy, dia mengangguk sambil tersenyum seolah mengatakan, "Ini kesempatan mu."
"Naya," panggil Rendy lagi. Sejak kedatangan Rendy beberapa menit yang lalu, Naya belum juga mengatakan sepatah kata pun, dia masih membisu dan tidak membalas tatapannya.
Rendy memandang wajah Naya penuh iba, Naya tampak sangat lemah dan tak berdaya, padahal setahu Rendy; Naya bukanlah gadis yang lemah, dia adalah anak pramuka yang tahan berbagai macam halang rintangan, dia juga mengikuti Drumscorp meski pelatihannya tidak ringan.
"Emm, Nay ... aku mau minta maaf, aku salah. Harusnya aku-" kalimat Rendy terpotong saat dirinya melihat Naya yang membalas tatapannya. Tapi sayangnya, mata sembab dan merah dengan lingkar hitam di sekeliling mata itu membuat Rendy merasa terpukul, dirinya lah yang membuat Naya menjadi seperti ini, kesalahan dan kecerobohannya membuat hubungannya dengan Naya menjadi sekacau ini.
"Rend," panggil Naya lirih. Rendy menatap wajah Naya dengan penuh rasa bersalah.
"Maaf kemarin aku marah besar ke kamu, aku terlalu gamblang ngeluapin emosi." Perlahan Naya mulai berbicara.
"Kalau ada kata-kata yang nggak sengaja nyakitin hati kamu, aku minta maaf ya," pintanya tulus. Rendy mengangguk sedih, mata yang ia tatap kini tidak hanya memerah, melainkan mulai berderai air mata.
"Ini semua juga salah aku, semakin hari aku semakin jauh dari kamu. Andai aja kita tetap berangkat dan pulang sekolah bareng, pasti Karina nggak akan ambil posisi aku." Rendy menggeleng tak terima mendengar opini Naya. Hatinya remuk saat Naya menyalahkan dirinya atas semua yang telah ia lakukan.
"Semalaman aku berpikir, dan aku rasa keputusan aku benar, aku-" Naya memotong kalimatnya, dia menelan salivanya dan membuang napas pelan.
"Aku mau pindah sekolah di Jogja," lanjutnya. Sontak Rendy terkejut mendengar kalimat Naya barusan. Rendy mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali memastikan kalau dirinya sedang tidak bermimpi maupun berhalusinasi. Mulutnya ternganga sambil menggeleng tak percaya.
"Nay?" Rendy masih berusaha memahami semuanya.
"Terima kasih banyak ya Rend, terima kasih kamu udah mau jadi sahabat aku, mau jadi pacar yang baik buat aku." Kalimat itu keluar dari bibir Naya yang bergetar karena menahan tangis. Sementara hati Rendy begitu hancur saat mendengar kalimat-kalimat Naya yang sangat memukul hatinya.
"Sejak aku kenal kamu, aku jadi tahu rasanya punya sahabat cowok, aku tahu saranya diperlakukan layaknya tuan putri. Rend, dari kamu aku tahu rasanya dicintai dan mencintai, dari kamu aku juga belajar arti memahami. Dan dari semua ini, aku belajar jadi orang yang nggak egois, aku tahu kamu juga berhak milih dengan siapa kamu bisa merasakan nyaman, kemarin aku terlalu egois dengan memaksakan kalau kamu cuma punya aku," terangnya sambil tersendu-sendu. Air matanya mengalir mengiringi kalimat pamit yang begitu menyayat hati ini.
"Enggak Nay, kamu nggak boleh pindah, bukan ini yang aku mau." Rendy tak kuat mendengar segalanya, air matanya sampai di pelupuk mata, dia tidak mau diam saja dan membiarkan Naya pergi jauh darinya, Jakarta-Jogja bukanlah jarak yang dekat, Rendy tidak akan mampu menahan Rindu yang terhalang jarak lebih dari 500 kilo.
"Naya tolong maafin aku, tolong kamu jangan pergi. Kamu segitu marahnya sampai mau ninggalin aku? Aku nggak bisa Nay, aku butuh kamu." Rendy menggenggam tangan Naya penuh harap. Naya menangis tanpa peduli jika ada yang melihat mereka. Kekacauan di hatinya begitu berantakan, remuk bagai gelas pecah, lukanya terbentuk sangat dalam, masalahnya datang terus menerus tanpa perlu tahu apakah dia sedang baik-baik saja atau tidak.
"Nay. Aku minta maaf Nay, tolong percaya sama aku, aku nggak ada apa-apa sama Karina, tolong kamu jangan kaya gini ke aku, aku nggak bisa." Telapak tangannya kini menakup kedua pipi Naya yang panas dan basah karena guyuran hujan dari matanya.
"Kamu mau pindah? Oke nggak apa-apa, tapi kita jangan putus ya. Kita setiap hari harus Video Call, aku mau liat muka kamu yang cantik ini setiap hari. Sebelum tidur aku akan Telpon kamu, aku mau denger suara kamu yang gemesin ini. Dan saat liburan, aku pasti pergi ke Jogja, kamu ajak aku jalan-jalan keliling Kota Jogja ya, tapi aku yang bawa motor, dan nggak kurang aku tetep mau jahilin kamu, terus kamu marah-marah sambil cubit perut aku deh, aku nggak akan marah kok, janji." Tak kurang satu pun kalimat yang tak diiringi dengan suara gemetar penuh luka, air Mata Rendy hampir saja keluar, sesak di dadanya terus bertambah.
Sementara Naya hanya bisa menangis dan menangis, dia juga tahu kalau dirinya pasti akan sangat merindukan Rendy, tapi berada terus menerus di Jakarta denagn sisa-sisa kenangan indah bersama Rendy hanya akan terus melukainya, separuh hatinya kesal karena sikap Rendy tempo hari, tapi separuh hatinya lagi tidak bisa berbohong kalau dia masih sangat menyayangi Rendy.
Mata mereka saling mentap sedih, ada kalimat luka dari masing-masing pasang mata, luka yang mencabik hati dengan sangat dalam.
"Kamu boleh pindah Nay, boleh, tapi tetap bawa hati aku ya, tetap jaga hati aku Nay. Bawa hati aku pergi." Rendy memegang pundak Naya dengan erat, seakan simbol ketidakikhlasannya jika Naya harus pergi jauh dari dirinya.
Tubuh Naya yang lemah mendekat, terus mendekat hingga sampai di pelukan Rendy. Dengan pelukan kesedihan tangan Rendy mendekapnya erat, dia tidak bisa membiarkan Naya jauh dari dirinya. Kata putus sudah membuat hati mereka jauh, kemudian pindah ke Jogja akan membuat raga mereka terpisah sangat jauh. Dua keputusan Naya ini mampu membunuh Rendy secara permanen.
Rendy mengelus Rambut Naya, ada sesal di dalam dadanya yang membuatnya ingin teriak sekeras mungkin. Hari ini dia bisa memluk Naya, tapi besok atau lusa, jangankan untuk memeluknya, melihat keberadaanya saja sangat mustahil.
Andai bisa, Rendy ingin sekali menangis dan meluapkan segalanya, sesuatu yang mengganjal di hatinya membuatnya mati rasa, semuanya berantakan dan berjalan begitu saja menghancurkan segalanya.
Rendy mendekap tubuh gadis di hadapannya dengan sangat erat, tubuh Naya sangat lemas sampai-sampai Rendy tidak menyadari kalau Naya kehilangan kesadarannya, dia pingsan di dalam pelukannya.
"Nay, Naya!!!" Panggilnya setelah Rendy melepaskan pelukannya. Kepala Naya masih tersandar penuh di bahu Rendy, beberapa kali dia memanggil manggil namanya berharap Naya lekas membuka mata dan mengatakan seseuatu. Tangan Rendy menggerak-gerakkan tubuh Naya agar kembali sadar.
"Woy, siapapun di luar ... TOLONG!" Teriaknya sekencang mungkin. Bisa-bisanya isi kelas itu bersih kosong dan hanya tersisa mereka berdua.
"ELSA!!!" Teriaknya berharap sahabat Naya itu masih berada di dekat pintu kelas.
Tanpa menunggu lama, Rendy langsung merengkuh tubuh Naya agar kembali ke pelukannya, dia menggendongnya menuju luar kelas.
"Naya," ucap Yani cemas. Ketiga sahabatnya datang setelah mendengar panggilan dari dalam kelas.
"Pastiin UKS nggak di kunci," pinta Rendy sambil berlari membawa Naya yang masih pingsan. Kecemasannya tak terhitung lagi.
Finda paham dan langsung berlari secepat kilat mendahului Rendy dan Naya, setibanya disana dia langsung membuka kedua pintu UKS. Beberapa anak ikut berlari mengikuti Rendy penasaran dengan apa yang terjadi. Apa lagi Rendy dan Naya adalah pasangan termanis di mata anak SMA Nusa Bangsa.
Rendy dengan sigap masuk dan langsung menidurkan tubuh Naya di atas ranjang UKS.
Tak perlu menunggu lama, petugas UKS dan MPR sudah berada di sana dan siap memeriksa kondisi Naya yang memang sejak pagi tidak baik-baik saja.
"Naya kenapa Rend?" Tanya Yani langusng, kecemasan dari keempat teman dekat Naya itu terpancar jelas. Mereka berbicang setelah meninggalkan kabin tempat Naya diperiksa.
Rendy tidak menjawab, dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Mondar-mandir kesana-kemari sambil mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia mengatupkan bibirnya menahan air mata yang sejak tadi membendung.
Kehancuran apa yang sebenarnya terjadi, apakah masalah keluarganya saja belum cukup menghancurkan hati Rendy hingga Naya harus benar-benar pergi jauh meninggalkan, pergi sangat jauh.
Dia berhenti modar-mandir dan duduk di lantai bersanda dinding bercat putih. Dia benar-benar kacau, otaknya tidak bisa ia gunakan dengan baik, sungguh kali ini Rendy tidak bisa berpikir apa pun.
Beberapa menit kemudian akhirnya pertugas UKS selesai memeriksa kondisi Naya, dengan tergesa-gesa Rendy dan ketiga sahabat Naya langsung menghampiri kemudian menanyakan keadaan Naya.
"Sepertinya banyak masalah yang membuatnya Stress, itu sebabnya tekanan darahnya tinggi. Setelah sadar dari pingsan lebih baik dia pulang dulu saja, dia sangat butuh istirahat," terang salah satu dari petugas UKS yang tidak lain adalah Dokter volunteer.
Rendy sedikit lega setelah mendengar penjelasan dari Dokter kalau Naya tidak apa-apa, tapi yang membuatnya kecewa berlebihan adalah Naya menjadi seperti ini karena perbuatannya.
Rendy langsung berlari memasuki kabin tempat Naya istirahat, dia memandang wajah Naya penuh iba, matanya tampak hitam seperti panda dengan bibir pucat. Dia benar-benar hancur saat melihat orang terkasihnya terbaring lemah seperti ini.
Perlahan mata Naya terbuka, samar-samar dia melihat sosok Rendy yang tengah menatapnya penuh ketulusan. Dia mulai menyadari kalau dirinya kini sudah berbaring di ranjang UKS, terakhir yang ia ingat, dia sedang duduk berbincang sekaligus berpamitan kepada Rendy, selebihnya dia tidak ingat, kepalanya yang sakit membuatnya malas memikirkan sesuatu.
"Nay," panggil Rendy setelah melihat gadis di depannya membuka mata. Suara itu mengundang Finda, Elsa dan Yani untuk datang.
Naya menangis lagi, air matanya tak kunjung surut meski dia baru saja pingsan. Dia memiringkan tubuhnya ke arah dinding menjauhi tatapan Rendy yang bisa membuatnya luluh meski ia tak menginginkannya.
Rendy tak kuasa dengan keadaan yang menghapitnya dalam masalah serumit ini. Dia ingin sekali memohon dengan sungguh, mengulangi segala perkataannya tadi saat di kelas agar Naya tidak pergi jauh meninggalkannya. Tapi tangannya begitu berat meski hanya menepuk pundak Naya dan meminta untuk menatap wajahnya.
"Rend." Elsa menarik tangan Rendy agar sedikit menjauh dari Naya.
"Kayaknya waktunya nggak tepat, Naya lagi kurang sehat. Lo juga dengarkan kata Dokter, dia lagi banyak pikiran," ucapnya lirih. Elsa juga ikut pusing dengan masalah diantara kedua temannya ini.
"Aaghhh!!!" Rendy memukul dinding dengan sangat keras, dia tidak lagi memikirkan apakah tangannya akan terluka atau tidak, kehancuran hati Rendy membuatnya patah semangat. Elsa tidak tahu mengenai keputusan Naya yang ingin pindah ke Jogja, andai saja mereka bertiga tahu, kemungkinan besar mereka juga akan merasakan kesedihan.
📄 20 Agustus 2020