TENTANG KAU [ FEEDBACK KE CER...

By Sry_mul

2.3K 1.3K 289

Mencintai dia tanpa suara. Bisa memilikinya hanya di dunia mimpi. Bersamanya hanya sebuah ilusi. Dia, bayanga... More

1. Icha Oktavina Lestari
2. Ayah
3. Comeback
4. Ada Apa?
5.Terluka
6.Titisan Malaikat
7. Usaha Melupakan
8. Kamera Yang Hilang
9. Hujan Malam Hari
10. Kenyataan Pahit
11. Bercerita
12. Tentang Pengharapan
14. Raina
15. Tatapan Kesedihan
16. Sebuah Dukungan
17. Festival Budaya
18. Selir Hati
19. Penjelasan
20. Perasaan Leo
22. Asing
23. Problem
24. Dokter Edi Dan Afgar

21. Egois

25 18 0
By Sry_mul

Jangan lupa vote^^

***

Bagaimana Leo bisa segois ini. Dia bahkan tidak memikirkan perasaanku dan Afgar. Dia hanya memikirkan perasaannya. Tanpa memperdulikan perasaan siapapun.

"Cha?" panggil seseorang.

Aku menoleh ke arahnya. "Ya?"

"Kenapa?" tanya Afgar.

Sekarang ini aku tengah di kantin. Hanya seorang diri. Amel dan Raina sudah di kelas. Awalnya, Amel dan Raina ingin menemaniku, tapi ku tolak. Karena ingin sendiri dulu.

Usai pembicaraanku dengan Leo, aku memutuskan untuk tidak memberitahukan semuanya kepada Amel dan Raina. Walau pasti pada akhirnya Raina bertanya akan perubahan sikapku.

Aku mengeleng. "Gak papa," balasku.

Sejujurnya, aku ingin memberitahukan perihal keputusan Leo pada Afgar. Tapi, aku juga memikirkan hal itu terlebih dulu. Tidak mungkin aku gegabah memberitahukannya. Bisa-bisa mereka bertengkar.

Aku kembali memikirkan perkataan Leo. Apa aku juga egois jika mementingkan perasaanku sendiri? Claudia sedang sakit, ia butuh Afgar.

Aku menghela napas. "Gar?" panggilku.

Afgar menoleh. "Ya?"

"Menurut lo, apa arti merelakan?"

Afgar berekspersi seolah sedang berpikir. "Merelakan itu... sama dengan melepaskan. Kita harus iklas merelakan dia dengan yang lain, walau hati berat melakukannya. Tapi, kalau itu pilihannya, ya mau gimana lag," jawab Afgar.

Aku berusaha menahan air mataku yang akan keluar. Aku mencerna ucapan Afgar. Mampukah aku merelakan Afgar dengan Claudia? Walau bagaimana juga, Claudia lebih membutuhkan Afgar. Dan, satu-satunya cara aku harus rela melihat sikap Afgar pada Claudia.

Jujur, ini sulit. Baru saja hati bahagia mengatahui Afgar juga menyukaiku.

"Cha?" panggil Afgar. "Ada masalah?"

Aku mengeleng. "Dokter Edi bilang, gue bakal cuci darah seminggu dua kali."

Afgar menghela napas. "Gue bakal temenin lo."

"Eh, jangan. Claudia lebih membutuhkan lo. Gue udah ada Bang Farhan."

"Tapi—""

"Enggak! Claudia lebih butuh lo," putusku. "Dia butuh dukungan lo, Gar," lanjutku.

"Lo sama sekali gak nyegah gue?" Aku menaikan alisku.

"Nyegah apaan?" tanyaku.

"Harusnya lo larang gue deket sama Claudia. Itu sama aja gue udah lukain perasaan lo." Aku tau Afgar pasti sangat kesal sekarang ini.

"Gue gak bisa egois. Ada yang lebih butuh lo, Claudia membutuhkan kehadiran lo," kataku.

Afgar bangkit dari kursi, diikuti olehku. Aku tau dia pasti marah padaku. Harusnya Afgar bisa mengerti keadaan. Claudia tentu jauh lebih membutuhkannya. Walau dalam hati aku pun ingin Afgar ada di sampingku.

"Lo egois!" tekan Afgar. "Selama ini gue selalu ada buat Claudia, sekarang giliran gue ada buat lo." Aku menunduk.

Tatapan kecewa yang Afgar layangkan padaku, membuat perasaan nyeri tersendiri dalam hatiku. Aku salah. Afgar jelas kecewa dengan keputusanku.

"Gue ngerasa bersalah sama lo. Disaat lo berjuang dalam diam, gue malah terlihat acuh. Walau kenyataannya gue tau lo suka sama gue," ucap Afgar.

"Gar, lo harus ngertiin gue."

Afgar menarik napasnya. "Lo yang gak ngertiin gue!" balas Afgar. "Gue sayang sama lo, bukan Claudia."

Aku membalasnya cepat. "Tapi, Claudia sayang sama lo." Air mataku sudah mengalir. "Gue cuman orang ketiga diantara kalian! Karena kenyataannya, Claudia orang pertama yang masuk ke dalam kehidupan lo."

"Lupain semua perasaan lo sama gue! Kita sama-sama udah melukai perasaan dua orang. Lupain gue. Hapus perasaan lo sama gue!" pintaku penuh penekanan.

"Jadi, ini yang lo maksud? Lo nanya tentang kerelaan sama gue, karena ada tujuannya," ujar Afgar. "Asal lo tau! Kita juga terluka, gue dan lo sama-sama terluka!"

"Lo gak paham!" bentakku.

Afgar menatapku tajam. "Apa yang gak gue paham?"

"Leo bahkan merelakan cintanya. Dia tau letak kebahagian Claudia itu ada di elo!" balasku tajam. "Jadi, gue mohon, lupain perasaan kita. Gue tau ini gak gampang, gue bakal coba."

"Gue gak mau," balas Afgar. "Gue cinta sama lo, Cha. Jangan memperumit segalanya. "

"Gue memperumit segalanya?" ulangku sambil menunjuk ke arahku sendiri.

"Gar! Di sini lo yang memperumit segalanya," lanjutku.

Kevin, Raina, dan Amel berlari ke arah mejaku dan Afgar. Sepertinya ada yang memberitahu perdebatanku dengan Afgar. Aku juga lupa, jika aku masih di kantin.

"Gar, Cha? Kalian kenapa?" tanya Kevin mewakili.

Aku masih menatap tajam Afgar, begitu juga Afgar. Tidak ada tatapan lembut dari mata coklat Afgar. Hanya tatapan tajam yang aku lihat. Ini kali pertamanya aku melihat tatapan tajam Afgar.

Afgar memutuskan terlebih dulu tatapannya. Ia membalikan badan untuk pergi. Aku menunduk melihat kepergiannya. Dalam hati, aku berulang kali mengucapkan permintaan maaf padanya.

Kevin ikut menyusul Afgar. Aku kembali duduk dengan isakan yang keluar dari bibirku. Harusnya aku bahagia, merelakan orang yang aku cintai demi seseorang.

Raina mengelus punggungku. "Gue tau lo ada masalah. Nanti aja ceritanya kalau lagi tenang."

Aku langsung memeluk tubuh Raina. Yang sekarang aku butuhkan hanya seorang teman dan pelukan teman. Raina mengusap punggungku, berusaha membuatku tenang.

Aku merasa belakang tubuhku berat. Menyadari jika Amel ikut memeluk membuat isakan dibibirku tambah kencang. Untungnya aku memiliki kedua sahabat yang selali ada untuku.

"Cha, tenang ada kita," ucap Amel. "Kita bakal jadi pendengar yang baik buat lo."

***

Saat ini aku, Raina, dan Amel tengah berada rumah Amel. Kebetulan orang tua dan adik-adik Amel sedang tidak ada di rumah. Rumah jadi sepi. Apalagi tidak ada adik-adik Amel.

"Bego!" umpat Raina.

Aku sudah menceritakan semuanya pada Raina dan Amel. Dari awal pembicaraanku dengan Leo sampai pertengkaranku dengan Afgar. Aku sudah duga Raina akan kesal.

Raina mengeram kesal. "Harusnya lo pertahanin Afgar, bukan lepasin dia buat Claudia! Emang dasar bego ya!" bentak Raina.

"Udah dong, Na, jangan menghakimi Icha terus," bela Amel.

Raina menghela napas. "Apa tujuan lo ngelakuin ini!?" tanya Raina masih dengan nada kesal.

"Ini demi Claudia," jawabku.

Raina menarik napasnya. Berusaha mereda amarah dalam hatinya. "Lo terus mikirin perasaan orang lain!" kata Raina. "Perasaan lo terus gimana, Cha?" kali ini suara Raina lebih rendah.

"Lebih baik."

Raina memelukku. "Gue hapal betul hati lo, jangan suka nyiksa hati lo, Cha." Suara Raina bergetar.

"Gue gak papa, kok," ucapku meyakinkan.

Aku kembali memikirkan pertengkaranku dengan Afgar. Dia sangat kecewa padaku. Itu sudah jelas. Keputusan yang tentunya melukai perasaan Afgar.

Disaat aku dan dia sudah saling mencintai, aku harus rela Afgar bersama Claudia. Menyakitkan? Sudah jelas.

Bagaimana pun ini suatu kebahagian tersendiri untukku. Afgar mencintaiku, sama sekali tidak terlintas dipikiranku. Aku seolah bermimpi perasaanku terbalaskan.

"Cha, gue bakal selalu dukung semua keputusan lo." Aku mengangguk dalam pelukan Raina.

Lega rasanya setelah bercerita pada mereka. Walau harus mendengar umpatan Raina dulu. Karena semua ucapan Raina tentu ada benarnya. Dia tidak pernah salah.

Tapi, walau seperti itu, Raina sosok teman yang tersembunyi di balik wajah cueknya. Dia begitu perduli. 

"Hm, gue juga. Jadi, kalau ada apa-apa cerita aja." Aku melepaskan pelukannku pada Raina.

Aku tersenyum mendengar ucapan Amel dan Raina. "Uh, manis banget sih kalian," godaku.

Raina memutar bola matanya. "Yeleh." Aku tertawa mendengarnya.

Satu hal yang aku sadari, seberapa penting persahabatan dijalani akan indah jika salah satunya memiliki masalah dan teman mau menjadi pendengar yang baik. Tidak perlu menjad pemberi solusi yang baik, cukup menjadi pendengar disegala masalah yang diceritakan.

Raina dan Amel melakukan tugas seorang teman dengan baik. Aku merasa menjadi teman yang banyak menyusahkan mereka. Mereka selalu ada untukku. Menguatkan aku ketika semuanya terasa berat.

Mereka selalu merangkulku ketika aku terjatuh. Mengengam tanganku erat. Memberikan berbagai macam arti pertemanan. Dan, aku bersyukur akan hal itu. Tidak ada yang lebih indah dari pertemanan yang dijalin dengan suka dan duka.

"Merelakan memang sulit, kita berdua bakal bantu lo melewatinya."

"Kalian emang sahabat terbaik yang gue punya." Aku tersenyum.

"Ah, Icha, gue terharu dengernya." Muka Amel mengekspresikan wajah so terharu.

"Ini, kan, tugasnya seolah sahabat," kata Raina.

Suara dering ponsel milik Amel terdengar. Ia segera membuka pesan yang tidak aku ketahui siapa pengirimnya. Mungkin operator yang memberitahu pulsa Amel sudah habis atau paket kuotanya menipis. Mengingat semua isi pesan di ponsel Amel hanya berisikan pesan-pesan hari operator.

Aku melihat wajah terkejut Amel. "Lo kenapa?"

Amel menatapku dengan wajah terkejut. "Enggak ada apa-apa," balasnya gugup.

Aku menyipitkan mataku ke arahnya. "Kok gugup?" tanyaku curiga.

"Hah? Enggak kok, gue gak gugup," jawab Amel meyakinkan.

Suara dering ponsel kembali terdengar, kali ini dari suara ponsel milik Raina. Aku melihat wajah Raina sama seperti wajah terkejut Amel. Mereka membuatku penasaran. Pasalnya, secara bersamaan ada pesan yang masuk ke dalam ponsel Raina dan Amel.

"Kalian kompak banget dapet pesannya?"

"Cha, kita pulang yuk. Nyokap gue nyuruh pulang nih." Raina mengalihkan pembicaraan.

Aku mengengerutkan alis. "Bukannya nyokap lo lagi ke rumah nenek lo ya?"

"Ah, nyokap udah balik." Aku menangkap nada gugup di dalam perkataan Raina.

Amel mengangguk mengiyakan. "Gue barusan liat postingan nyokapnya Raina." Dahiku tambah berkerut. Mereka seolah menyembunyikan sesuatu dariku.

"Kalian kenapa sih?" tanyaku mulai kesal.

Suara dering ponselku mengalihkan kekesalanku. Ada pesan masuk dari grup angkatanku. Grup yang berisikan anak-anak satu angkatanku.

Ketika aku akan membuka pola ponselku. Amel merebut ponselku. Aku terkejut dengan tindakan Amel. Saat akan protes, Amel memotong terlebih dulu.

"Eh, kalau kita lagi ngumpul, gak ada yang boleh main ponsel."

Aku berdecak. "Apan sih! Biasanya juga sering," ucapku. "Siniin ponsel gue, ada pesan masuk."

"Cuman operator, bukan siapa-siapa," jawab Amel.

Aku mengeram kesal. "Tadi gue liat ada pesan dari grup angkatan. Siniin Amel!"

"Gak boleh!" ketus Amel.

"Kasiin aja, Mel."

Amel melotot ke arah Raina. "Tapi—"

"Gak papa."

Aku segera merebut ponselku yang berada di tangan Amel. Aku membuka pola ponselku terlebih dulu. Sebelum benar-bener membuka pesan, aku menatap ke arah Raina dan Amel yang seolah menyembunyikan sesuatu dariku.

Tanpa menunggu lagi, aku segera membukanya.

Dadaku tiba-tiba saja sesak melihat sebuah foto yang dikirimkan salah satu teman satu angkatanku. Foto yang membuatku mematung. Foto yang membuat tubuhku menegang. Napasku tidak teratur ketika melihatnya.

Jadi, ini yang sedang Amel dan Raina sembunyikan padaku. Foto Afgar yang sedang memberikan bunga pada Claudia. Difoto itu, Afgar dengan berlutut dihadapan Claudia. Dia seolah-oleh sedang menyatakan cinta pada Claudia.

Mungkin merelakan Afgar memang jalan yang terbaik. Aku tau, pasti sangat sulit. Tapi, aku harus melakukannya agar tidak melukai hati Claudia. Walau hatiku juga terluka.

"Afgar dan Claudia resmi pacaran." Dadaku tambah sakit ketika mendengar pernyataan Raina.

***

Continue Reading

You'll Also Like

195K 664 10
Affair | warning konten dewasa 21+ Yumi, wanita yang kesepian karna sering di tinggal suaminya, merasakan godaan dari Dimas, tetangga barunya yang t...
1.4M 42K 70
‼️⚠️ DILARANG PLAGIAT ⚠️‼️ INGAT ALLAH MAHA MELIHAT ‼️ seorang Gus yang menikahi santrinya sendiri, Sudah banyak cerita seperti itu dan konfliknya sa...
970K 70.7K 55
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
1.4M 49.1K 54
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...