Happy Reading💗💗💗
=========================================
“Selamat ya sayang atas juaranya. Anak Mama akhirnya naik kelas 12, terus sebentar lagi kuliah, deh, kayak Abang!” Mama berucap bangga padanya sembari merangkul bahunya. “Nggak nyangka dulu yang sering Mama gendong ini udah gede aja, ya.”
Clara hanya tersenyum. Ia tak merespon apapun bahkan ketika sudah masuk ke mobil.
“Clara. Kayanya kita liburannya akhir tahun aja, ya. Abang juga mau persiapan kuliah. Kamu ada wacana bareng temen mungkin?” tanya Mama saat mereka sudah masuk ke mobil.
“Belum ada, Ma.”
“Oke. Kalo ada kasih tau Mama, ya.” Mama tersenyum padanya. “Mungkin kamu bakal bosen. Ada rencana mau ngapain gitu?”
“Ikut Papa main golf.”
“Ya selain itu. Kamu kemana Papa pergi pasti ikut.”
Clara berpikir sejenak. Memangnya apa lagi yang membuatnya jadi produktif selain pergi ke sekolah dan belajar? Olahraga? Lalu apalagi?
“Nggak mau ikut kursus gitu?”
“Belum, deh, Ma.”
“Ya udah.” Mama sepertinya tak punya saran lagi. Clara pun tak punya sesuatu untuk diceritakan. Akhir-akhir ini, ia lebih banyak diam.
“Sesi konseling kamu udah habis, ya, Ra?”
Clara menoleh pada mamanya. “Belum, Ma. Minggu ini terakhir.”
“Oh.” Mama mengangguk mengerti. “Nanti diantar Abang, ya.”
“Sendiri aja, Ma.”
“Kayaknya kamu keseringan pergi sendiri, ya, sekarang.” Mama tersenyum lagi padanya.
“Lagi suka aja.” Sebenarnya Clara hanya ingin menikmati waktunya sendiri. Tanpa perlu ada teman, atau seseorang yang harus ia ikuti seperti dulu. Ia ingin membiasakan saja sendiri seperti ini.
*****
“Abang udah masuk, kenapa kamu nggak keliatan?” tanya Fano saat memasuki sebuah kedai ice cream. “Lantai dua? Sebentar.”
Ia terpaksa naik ke atas. Niatnya tadi ingin langsung pulang setelah mengantar Dela tapi Mama bilang Clara sedang ada di luar. Jadilah ia berinisiatif untuk menemuinya.
Clara ia temukan sedang duduk sendirian di bagian balkon yang langsung menghadap ke laut itu. Adiknya itu hanya menikmati ice cream dalam diam. Sementara remaja di sekitarnya datang berkumpul dengan teman-teman. Kebanyakan duduk di dalam ruangan.
“Kenapa di sini?" tanyanya ketika sudah menghampiri Clara.
“Di dalem berisik,” ucap Clara. Sebenarnya ia tak terlalu suka melihat orang-orang berkumpul. Tapi ia sudah terlanjur masuk ke sini.
“Aku baru sampai. Abang kalo mau pulang duluan aja.”
“Bareng aja. Abang tunggu.”
“Enggak mau. Aku lama,” ucap Clara. Ia merasa keberatan jika ditunggu karena ia ingin menghabiskan waktunya di sini.
“Iya nggak pa-pa.”
Pada akhirnya Clara tak menolak lagi. “Terserah.”
Fano mencicip ice cream dengan rasa bubblegum itu. Clara hanya melirik, kemudian lanjut menggoreskan pensil di sketchbook baru miliknya. Ya, ia punya hobi baru.
“Darimana aja?”
“Dari toko bunga, gramedia, baru ke sini.” Clara menjawab tanpa menoleh.
“Sendirian? Nggak bareng Clarisa?”
“Enggak. Dia jalan sama pacarnya.”
Clara sepertinya tak berniat untuk berbincang dengannya. Sedari tadi Clara hanya fokus menggambar. Sesekali tangannya beralih memegang sendok ice cream. Jadi ia berniat untuk menyuapi gadis itu. Clara menerimanya.
“Udah makan?”
“Belum lapar,” jawab Clara. “Di sebelah ada resto ramen. Enak di sana.”
“Kamu mau?” tanya Fano.
“Enggak. Kalo Abang lapar ke sana aja.”
Kalau saja Fano peka, Clara sedang mengusirnya sekarang.
“Gambar apa?” tanya Fano akhirnya penasaran.
“Yang ada di depan.”
Yang didepan mereka saat ini hanyalah jalan raya. Di sebrang sana ada pohon menjulang tinggi. Tapi karena mereka berada di lantai dua, laut di sana terlihat. Dan itulah yang menjadi objek gambar Clara sekarang.
“Aku bakal lama. Abang pulang aja.”
“Dari tadi nyuruh Abang pulang. Ngusir?”
“Iya,” jawabnya cuek. Sungguh ia tak berniat untuk bertengkar. Hanya saja malas jika ada Fano di sini.
“Kenapa?”
“Lagi pengen sendiri aja.”
“Apa serunya sendiri. Bosen,” ucap Fano. Ia bersandar di kursinya lalu pandangannya teralihkan pada sekumpulan remaja yang sedang tertawa terbahak di dalam. “Liat mereka, Ra. Kumpul bareng sama temennya. Kamu rugi kalo nggak ngerasain itu di usia kamu sekarang.”
“Aku nggak ngerasa, tuh.”
Clara sulit dinasehati olehnya. Fano hanya bisa menghela nafas karena adiknya itu selalu tak sependapat dengannya.
“Banyak teman beresiko buat keributan. Mau liat aku ribut lagi?”
“Ya jangan ribut makanya. Hitung-hitung melatih kesabaran kamu juga. Jadi kamu tahu sifat orang-orang, belajar juga buat terima kehadiran mereka. Karena di dunia ini bukan cuman kamu, Mama dan Papa.”
Clara diam-diam menyimak. Gelagatnya mungkin terlihat serius, tapi sebenarnya fokusnya sedang buyar.
“Kenal sama orang dan bangun relasi itu nggak ada salahnya,” lanjut Fano. Ia melihat tangan adiknya itu sudah menggoreskan pensil tak tentu arah.
“Abang tahu. Kamu lagi berproses.” Kini Clara benar-benar berhenti menggambar. “Jadi, cepat atau lambat kamu akan sadar. Kamu juga butuh orang lain.”
Sebenarnya, Clara benci membahas ini. Karena sebelum Fano, psikolognya itu sudah pernah mengatakannya. Ia masih sulit untuk menerimanya.
“Tapi Abang juga nggak maksa kamu. Satu-satunya yang bisa buat kamu belajar ya diri kamu sendiri. Nanti kamu akan tau sendiri.”
Meski tak mengerti, Clara hanya mengiyakan saja. Tetapi juga merapalkan doa dalam hati.
Gue pasti bisa ngelakuin semuanya sendiri. Toh, jadi mandiri juga.
Clara mengambil ice creamnya dan lanjut memakannya tanpa minat. Rasanya moodnya hilang entah kemana.
“Kenapa?” tanya Fano bingung karena Clara yang langsung mengemasi barang.
“Mau pulang.” Clara berkata datar.
“Katanya tadi lama.”
“Lapar.”
“Mau makan apa?”
“Aku cari sendiri,” jawab Clara. Ia tak berbicara lagi, begitu juga dengan Fano. Ia hanya mengekori sang adik pergi menelusuri jalan. Meski jauh dari tempat dimana ia parkir.
“Mau makan dimana?” tanya Fano membuatnya menoleh. Ia pikir Fano akan marah karena ia berjalan tak tentu arah seperti ini.
Clara melihat sebuah coffee shop yang ada didekatnya. Kalau dilihat dari parkirannya, kebanyakan orang-orang usia dewasa seperti pekerja kantoran, atau mungkin sedang makan siang biasa. Jarang ada anak remaja masuk ke sana.
Tapi fokus Clara bukan itu sekarang. Ia melihat dua pria yang sedang berbincang, duduk di luar dengan kopi masing-masing. Ada juga rokok menemani mereka.
“Hah?” Ia bergumam tak percaya. “Itu… psikolog aku.”
Fano ikut melihat. Ia pikir sejak tadi Clara memperhatikan Papa mereka yang menjadi lawan bicara pria itu.
“Yang di depan Papa itu?”
Clara mengangguk. Hingga pandangan mereka saling bertemu.
“Itu temen Papa, Ra. Kamu emang belum pernah lihatnya.”
Bibirnya langsung berkerut sebal.
*****
“Halo, Clara. Selamat siang. Gimana liburan semesternya?”
Clara tak menjawab. Ia hanya mendudukkan diri tanpa mau bersapa lagi.
“Tadi dianter Abang kamu?”
“Om cerita apa aja ke Papa?”
Panggilan itu berubah saat ia tahu jika pria ini adalah teman papanya. Jangan salahkan dirinya. Tampang pria itu awet muda.
Pria itu tersenyum. Ia mulai mengerti.
“Banyak. Kita teman lama pasti banyak yang kami bicarakan.”
“Termasuk saya?”
Lagi-lagi, ia tersenyum tapi lebih samar.
“Psikolog tidak boleh menceritakan masalah kliennya, Clara. Bahkan dengan psikolog lain saja tidak boleh. Apalagi dengan orang lain.”
Clara masih tak mengubah raut wajahnya. “Bohong.”
“Saya cuman bilang. Kamu mengikuti sesi konseling dengan baik.”
“Ya kalo enggak gitu saya bakal lama, dong.”
Clara tak tahu saja apa isi hati lelaki ini yang sebenarnya.
Buah tidak jauh dari pohonnya.
Beruntung ia orang yang profesional.
“Jadi kamu merasa terpaksa mengikuti sesi ini?”
“Ya,” jawab Clara datar.
“Setelah kamu dengan sukarela bercerita. Masih terpaksa?”
“Ya udah enggak lagi,” jawab Clara malas. Ia duduk dengan benar kali. “Minta maaf, ya, Om. Tapi saya jadi bete pas tau Om temen Papa.”
“Kenapa?”
“Karena saya manggil Om jadi Mas dulu!” Clara bersungut kesal. Pria itu malah tertawa dan akhirnya hanya tersenyum melihat tingkah Clara.
Setidaknya anak ini lebih baik daripada ayahnya.
*****
“Mbak belum masak, kan?” tanya Fano saat meletakkan bahan-bahan yang baru saja dibelinya. Dela hanya mengangguk lemas. Ia duduk di kursi sembari mengamati Fano.
“Fan, aku nggak suka masak.”
“Nggak nyuruh kamu.” Fano mencuci tangannya di wastafel. Dela hanya memperhatikannya sejak tadi.
“Jadi aku bantu doa aja, ya.”
“Makan aja nanti.” Kini ia mengeluarkan semuanya dari dalam totebag yang biasa ia bawa saat belanja. “Kenapa nggak suka masak?”
“Nggak ada skill aku disitu. Terakhir masak gagal semua.”
“Kapan?”
Dela memalingkan wajah. “Dua hari yang lalu.”
“Masak apa?”
“Ah udahlah.” Ia tak mau membahasnya. “Nggak malu kamu punya cewek nggak bisa masak?”
“Nggak. Masih mau hidup aja udah seneng.”
Tangan Dela langsung terangkat memukul lengan pacarnya itu. Ia berdecak kesal. Fano malah tersenyum.
“Lucunya baru sekarang, ya. Nggak lucu pas kejadiannya.”
“Masih dibahas,” ucap Dela ketus. Ia jadi mengingat kejadian dimana ia sedang putus asa, dan Fano menemukannya.
“Lo mau lompat? Kayak amal lo aja banyak aja.” Fano yang melihatnya ada di atas gedung saat itu dengan santainya berbicara dengannya. “Mak lo susah payah nggak mau cepet mati, anaknya malah mau mati dengan mudahnya.”
Tentu hal itu membuatnya jadi langsung murka besar. Ia yang tadinya hendak melompat langsung turun dan menampar wajah Fano dengan sekeras-kerasnya.
But it works.
“Emang orang kayak kamu itu nggak bisa dibujuk. Baru mempan kalo dibuat ngamuk.”
“Pergi aja, deh, lo!”
Fano lagi-lagi tertawa. Ia menghentikan aktivitasnya dan mencondongkan tubuh. Memberi kecupan di pipi itu yang malah menambah sungutan di bibir. Tak ada hentinya Dela mengomel.
“Sini aku ajarin,” ucap Fano sambil mencuci sayur dan bawang yang telah dibelinya.
“Dibilang enggak suka masak.” Dela masih bete rasanya. Kemarin ia bertemu Papa lagi. Seperti biasa, mereka bertengkar.
Fano kini berjalan memutari meja pantry dan meraih pergelangan tangan Dela untuk dibawanya ke wastafel. Gadis itu berjalan dengan terpaksa. Masih dengan wajah yang ditekuk kesal.
“Untuk sekarang kamu memang bisa beli makanan buat diri sendiri. Tapi kalo untuk anak kamu kelak, ya pasti ibunya yang buat.”
“Masih lama itu, Fan. Kepikiran nikah aja belum.”
Fano menuntun tangan Dela untuk mencuci sayur-sayuran. “Apa yang ada di pikiran kamu tentang suatu hubungan, Del?”
“Hubungan apa?” Dela balik bertanya.
“Aku dan kamu.”
Dela memperhatikan air mengalir itu, kini telah dimatikan. Sayur yang ia cuci itu telah diletakkan di dalam wadah. Sebenarnya fokusnya bukanlah ke sana sekarang.
“Kamu mau jawaban apa memangnya?”
“Aku cuman pengen tahu.”
“Aku masih nggak ngerti maksud pertanyaan kamu,” ucap Dela. Ia memperhatikan pacarnya itu tampak sangat telaten menyiapkan bahan-bahan untuk memasak. Jangankan ia. Mengupas bawang saja tidak bisa.
“Kalo kamu sendiri?” tanya Dela.
“Kalau mikirin tentang hubungan, aku nggak bisa main-main. Karena saat aku mutusin buat menjalin hubungan, fokus aku cuman satu tujuan. Untuk serius.”
Untuk saat ini, jantung Dela terasa berdetak tak seperti biasanya.
“Yang pastinya aku nggak punya pilihan selain kamu.”
Anehkah dirinya jika merasa sesuatu yang berterbangan mengobrak-abrik perutnya saat ini mendengar Fano berkata seperti itu?
Dela memegangi perutnya.
“Jadi aku harap kita bisa punya tujuan yang sama nantinya.” Fano melanjutkan. Kini ia menoleh pada Dela. “Bisa enggak kita begitu?”
Meski sudah dibuat melayang tinggi, nyatanya Dela tak punya jawaban untuk pertanyaan barusan.
“Mungkin kita masih terlalu muda nggak, sih, Fan?” Dela berucap canggung. “Aku cuman mau kita pacaran biasa kayak orang-orang lain.”
“Hm.” Fano hanya berdeham. Sepertinya tak akan menyahut lagi karena dari gelagatnya ia hanya ingin fokus memasak sekarang.
Rasa bersalah tiba-tiba menghampiri hati Dela. Fano kini beralih ke kompor karena ingin menumis. Dela menggigit bibir bawahnya. Mustahil bila ia tak bahagia mendengar bagaimana Fano yang ingin serius. Yang mungkin tak ia temukan keseriusan itu di lelaki lain seusia Fano.
Ia maju untuk mendekat. Tangannya terulur mematikan kompor agar mengalihkan perhatian Fano. Kini lelaki itu langsung menghadapnya dengan menatapnya bingung. Kedua tangan Dela kini menggantung di bahunya.
“Tapi aku juga nggak punya pilihan selain kamu, Fan.” Ia menatap kedua mata Fano. Berharap Fano tak akan pernah kehilangan kepercayaan padanya. Ia pun tak mau kehilangan orang yang ia sayangi dalam hidupnya. Karena baginya saat ini dunianya hanyalah Fano.
Hanya dengan berdua. Ia dan Fano. Dela tak akan memperdulikan apa kata orang-orang terhadapnya. Hanya dengan Fano. Dela merasa cukup. Dengan kehadiran Fano yang mau menerimanya seperti ini, ia sangat bersyukur.
“Kamu, nggak akan tinggalin aku, kan, Fan?”
“Nggak akan,” jawab Fano. Tangan yang bertengger di bahunya kini bergerak mengusapnya pelan. Bersamaan itu wajahnya ditangkup dengan lembut hingga mempertemukan bibir merah muda itu ke bibirnya. Dela semakin mengikis jarak dengan memeluk leher Fano di saat pinggangnya langsung dipeluk erat, lalu tubuhnya diangkat ke atas meja. Untuk sesaat, mereka ingin menikmati waktu romantis ini dengan saling bercumbu satu sama lain.
=======================================
Mungkin aku bakal lebih sering update malam. Tapi aku akan usahain update setiap hari. Karena udah mulai digempur tugas, lumayan susah ternyata buat update🙂🙂
Jangan lupa beri vote dan komentar yaaa. Terimakasih sudah singgah. Kalo mau kepoin ig aku, bisa follow @diniaaaaa_timi
See u💗💗💗