Ariansyah✔

By si_melon

142K 8.9K 378

Ari (27) begitu penasaran dengan salah satu fans yang baru saja meminta fotonya. Ia merasa jika gadis gendut... More

Ariansyah Pellegri
Varsha Arawinda
Ketika
Namun
Apabila
Jika
Sedangkan
Masih
Jadi
Karena
Sepertinya
Lalu
Padahal
Meskipun
Bahkan
Sebab
Kalau
Dan
Supaya
Sekarang
Setelah
Esok
Selamanya (End)

Nanti

4.7K 293 17
By si_melon

Kandungan Varsha sudah memasuki usia tujuh bulan. Nanti sore Ari akan pergi ke Kota Malang untuk pertandingan Piala Presiden tahun ini. Seperti biasa, lelaki itu selalu ogah-ogahan saat Varsha menyuruhnya packing.

"Kak, ini bajunya bawa berapa?" Tanya Varsha sambil mengusap perut buncitnya, ia menarik selimut Ari.

"Secukupnya, Sayang." Jawab lelaki itu sambil melenguh panjang, bukannya bangun Ari malah kembali melanjutkan tidur paginya.

"Ya udah aku siapin masing-masing lima ya. Trining, kaos, jersey sama sepatu."

"Eh sepatunya bawa dua aja." Gumam Ari.

Varsha beranjak dari posisinya, ia mengambil koper yang sudah terbuka di depan lemari, lalu mengisinya dengan barang-barang suaminya. Wanita hamil itu berusaha menatanya dengan rapi, juga melipatnya sesuai dengan warna yang match. Karena Ari termasuk tipe yang pilih-pilih dalam berpakaian, sekalipun saat pertandingan.

Ting nong ting nong

Suara bel rumah yang berbunyi nyaring berhasil menghentikan kegiatan Varsha. Ia menutup koper yang sudah penuh itu, lalu berjalan pelan menuju pintu utama yang memang tidak jauh dari kamarnya, karena mereka sudah memutuskan untuk berpindah ke lantai satu.

Varsha membuka pintu, menemukan Hilda yang berdiri dengan senyum manisnya. "Loh Hilda! Yuk, masuk masuk." Ia memberi space agar Hilda berjalan melewatinya. Baru setelah itu, ia menyilakan perempuan mungil itu untuk duduk di sofa.

"Ini baru jam tujuh pagi tapi kamu udah sampai sini aja. Padahal rencananya aku ke rumah kamu masih nanti jam sembilan." Varsha membuka tutup toples yang berisi makanan ringan. Ia duduk di seberang Hilda.

"Nggak papa, Sha. Di rumah juga lagi nganggur. Eh iya, gimana kandungan kamu? Cowok apa cewek nih?" Tanya perempuan mungil itu.

Varsha mengusap perut buncitnya. "Eheheh, kandunganku baik-baik aja Hil. Dia sehat. Tapi kalau urusan jenis kelamin, masih kita rahasiakan." Jawabnya dengan raut sok misterius.

"Ish, bikin penasaran aja deh." Keduanya tertawa ringan, hingga tawa Varsha yang lebih dulu berhenti karena mendapati Bi Lela yang sedang berlalu lalang melewati ruang tamu. Kebetulan sekali, ia sedang membutuhkan jasa asisten rumah tangga itu.

"Hm, Bi Lela. Tolong buatkan Hilda minum, ya." Ucap Varsha dengan tersenyum ramah, sebenarnya ia sedikit sungkan meminta bantuan Bi Lela. Ia juga bisa membuatnya sendiri. Hanya saja kehamilan di trimester akhir ini membuat tubuhnya mudah merasa lelah dan kecapekan.

Bi Lela mengangguk patuh, lalu berlalu dari hadapan mereka berdua.

"Sayang!! Ini bajunya udah semua kan?" Teriak Ari dari dalam kamar.

Hampir saja Varsha membalas teriakannya, tapi lelaki itu sudah keluar menampakkan dirinya terlebih dahulu. Tentu dengan muka bantal dan rambut acak-acakannya.

Ari mengucek matanya, "Say.. eh ada tamu." Lelaki itu tersenyum malu, namun tidak memberhentikan langkahnya yang berjalan menuju Varsha. Ia langsung duduk di sebelah istrinya, menyandarkan kepalanya di bahu wanita itu dengan manja. Sampai Hilda terkekeh geli melihatnya.

"Udah sampai sini aja, Hil. Padahal nanti jam sembilan rencananya kita mau ke sana." Ujar Ari setelah menguap lebar.

"Iya Mas, lagi pula aku di rumah nganggur. Terus aku juga baru ingat kalau ada jadwal terapi sama Sasha. Ya udah deh langsung berangkat ke sini." Jelas Hilda untuk kedua kalinya. Ari hanya ber 'oh' ria.

"Kak, sana gih mandi. Nggak malu apa, ada tamu malah kayak gini." Titah Varsha menyikut perut keras Ari, sontak lelaki itu mengaduh kesakitan.

"Iya-iya ini mau mandi, Sayang." Ari mengecup bibir istrinya sekilas, lalu segera berlari menghindari cubitan maut dari ibu hamil itu.

Varsha hanya menggeram, ia menatap Hilda yang sudah senyum-senyum menanggapinya. Dirinya benar-benar malu sekarang, bahkan kedua pipinya sudah memerah merona.

"Nggak usah malu, Sha. Kayak sama siapa aja." Hilda tertawa ringan sembari menyesap teh manis yang baru saja diantar oleh Bi Lela.

Varsha tidak menjawab, lagi-lagi ia hanya tersenyum malu menanggapi ucapan perempuan mungil itu.

***

"Kak, kok tiba-tiba Sasha kangen sama Kak Kumala." Celetuk Varsha saat mengambilkan Ari makan siang. Kegiatan terapinya baru saja selesai, dan kini Hilda sudah bergabung dengan mereka di meja makan.

"Haduh, nggak deh ya. Nggak usah, Sayang. Bahaya!" Larang Ari yang sama sekali tidak setuju dengan ucapan istrinya, ia sudah mengira bahwa Varsha akan meminta izin untuk menemui wanita ular itu.

"Tapi Kak, ini kemauan dede bayi loh. Masa nggak boleh." Lirih perempuan itu sambil mengusap perutnya, Varsha sudah hampir menangis saat menyodorkan sepiring nasi beserta lauk ke hadapan suaminya.

"Hei dengerin aku, aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu dan calon anak kita. Aku takut hal itu terjadi lagi, Sayang." Ari memegang kedua bahu Varsha, mendapati isakan kecil yang keluar dari mulut istrinya. Kalau sudah begini, Ari tidak bisa apa-apa. Padahal ia sangat khawatir dengan Varsha. Bisa saja kan, Kumala berbuat lebih nekat dari sebelumnya.

Sementara Hilda yang masih berada di antara keduanya pun mencoba melihat dari dua sudut pandang. Ia sendiri tidak tega menatap Varsha yang masih sesenggukan di pelukan Ari. Ia tahu bagaimana rasanya jika permintaan ibu hamil tidak dituruti.

"Hm, gimana kalau kita ke sananya bareng-bareng. Sama bodyguard juga. Kalau aku diizinin, aku bisa kok ikut sama kalian." Tawar Hilda membuat Varsha mengurai pelukannya sambil mengusap air matanya kasar.

"Boleh itu, Kak. Please." Varsha menatap Ari yang masih berpikir keras. Lelaki itu menimbang-nimbang usulan Hilda.

"Iya udah deh. Tapi hanya sebentar, ya. Hilda boleh ikut." Ujarnya final. Seketika membuat Varsha dan Hilda tersenyum menatapnya.

"Yeay, terima kasih Kak Ari. Love you!" Varsha mengecup kedua pipi suaminya.

"I love you more, Sayang!" Balas Ari sembarj mengulas senyum.

Lelaki itu berencana akan membawa enam bodyguard sekaligus untuk pergi bersama mereka. Tak lupa juga, ia akan mengabari Fandi untuk memberitahunya bahwa nanti ia akan langsung berangkat ke bandara dari rumahnya sendiri, tidak dari rumah Nadeo.

"Nanti sekalian kita langsung berangkat ke bandara, ya. Aku siap-siap dulu." Jelas Ari.

Mereka bergegas menghabiskan makanannya. Setelah itu, barulah ketiganya bersiap untuk menemui Kumala di rumah Ari dan Varsha.

"Ma! Mama!" Teriak Ari sambil menggeret kopernya. Sejak tadi pagi, Mama nya masih sibuk dengan urusan kafe di ruang kerjanya, di lantai dua.

"Iya Yan! Kenapa?!" Mama balas berteriak.

"Ian pergi dulu! Nanti jam tiga sore Mama nyusul ke bandara ya!!" Ari kembali mengeraskan volume suaranya.

"Iya! Hati-hati!!" Suara mereka begitu menggema di seluruh penjuru rumah, membuat Varsha menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan ajaib ibu dan anak itu.

"Langsung berangkat aja yuk." Ajak Ari kepada dua wanita di hadapannya. Varsha dan Hilda mengangguk, kemudian berjalan beriringan menuju mobil masing-masing.

***

Mereka sudah sampai di pekarangan rumah Ari. Langsung saja Ari, Varsha, Hilda, Fandi, dan beberapa bodyguard itu masuk ke dalam. Mereka mengikuti langkah Ari menuju ruangan di belakang rumah.

Samar-samar mereka mendengar teriakan demi teriakan dari arah ruangan itu. Semakin dekat mereka berjalan, suara teriakan itu semakin keras pula. Varsha terus menggenggam erat tangan Ari yang berjalan di depannya. Nyalinya menciut ketika mendengar teriakan itu.

Mereka berhenti di depan sebuah ruangan yang persis seperti gudang. Berbagai perabotan yang sudah rusak pun menumpuk di sana. Ari memutar kunci, lalu membuka pintunya.

"Kalian masuk dulu!" Ari menitahkan ketiga bodyguard untuk mendahuluinya, sedangkan tiga bodyguard yang lain ia suruh untuk mengawalnya.

"Siap, Bos." Ucap mereka kompak.

Sejak Ari membuka pintu, mereka sudah tidak mendengar teriakan itu lagi. Namun mereka tetap was-was saat berjalan mendekati empat orang dengan keadaan yang jauh dari kata baik-baik saja.

Varsha membekap mulutnya sendiri. Di sana, ia menemukan ketiga preman yang hampir melecehkannya itu dengan terikat di sebuah meja berbahan jati. Juga Kumala dengan tangan dan kaki yang diikat oleh rantai seperti dipasung. Bisa dibilang kondisi kakaknya itu terlihat paling mengenaskan diantara ke empatnya.

Saat Varsha berjalan menghampiri Kumala, wanita itu mulai berteriak lagi. Berbagai sumpah serapah keluar dari mulutnya. Varsha bisa melihat bagaimana Kumala berusaha meloloskan diri dari rantai yang mengikat tangan dan kakinya.

"Pergi kalian! Pergi! Pergi kamu Varsha! Saya nggak butuh kamu lagi! Dasar perempuan tak tahu diuntung!" Varsha terlonjak mendengar teriakan dari Kumala. Setitik air mata lolos dari pelupuknya. Ia tidak bisa melihat kakaknya yang tersiksa seperti ini.

Sementara Ari terus menggenggam tangan Varsha. Ia menguatkan istrinya, mencoba berkata bahwa semua ini memang pantas didapatkan Kumala.

"Pergi kamu ja**ng! Hahaha, dia mencoba membujukku lagi! Hahaha." Kumala tertawa sangat keras, sesekali wanita itu menangis lalu berubah menjadi marah lagi.

"Hm, Sha. Sepertinya, kakak kamu mengalami gangguan jiwa. Matanya terlihat kosong." Ucap Hilda sambil menepuk pelan bahu Varsha.

Perempuan hamil itu menoleh. "Terus, menurut kamu kita harus bagaimana?" Tanya Varsha dengan air mata yang masih membasahi pipi. Kedua bahunya sudah dirangkul oleh Ari.

"Saran aku sih, mending Kak Kumala dibawa ke rumah sakit jiwa aja. Biar bisa sembuh di sana, setelah itu terserah kamu. Mau dimasukin ke jalur hukum, atau kamu selesaikan secara baik-baik." Hilda menatap serius dua sejoli di hadapannya.

Ari mengangguk paham, percaya dengan saran yang diberikan Hilda.

"Ya sudah kalau begitu, kalian bawa Kumala ke Rumah Sakit Jiwa 'Harapan Bunda' ya. Pastikan semua administrasi dan segala keperluannya sudah beres sebelum besok malam." Titah Ari menatap aatu persatu bodyguard nya.

"Siap, Bos." Ujar mereka kompak.

Langsung saja, para bodyguard itu menuruti perintah Ari. Dilepaskannya rantai pada tangan dan kaki Kumala, lalu mereka membopongnya hingga menuju mobil. Tentu dengan Kumala yang terus berteriak, menangis, hingga tertawa-tawa sendiri.

Varsha tersenyum miris, melihat kakaknya yang biasa ia ajak curhat, sekarang malah menjadi orang asing untuknya. Ia masih tidak menyangka jika semua ini akan terjadi padanya.

Perempuan hamil itu bersandar di bahu suaminya, menatap kepergian Kumala dari hadapan mereka. Hingga kini hanya tersisa dirinya, Ari, Hilda, Fandi, juga ketiga preman yang masih terikat di ujung sana.

"Sasha, kamu yang sabar ya. Benar kata Mas Ari, ini sudah menjadi ganjaran yang sebanding dengan apa yang telah dilakukan Kak Kumala terhadap kamu." Hilda mengusap lengan perempuan hamil itu.

Dengan menguatkan hati, Varsha mengangguk. Ia harus kuat menerima kondisi Kumala saat ini. Demi dirinya dan calon anaknya.

***

Pukul 14:45. Ari, Varsha, Hilda, dan Fandi sudah sampai di bandara. Sayang sekali Sisil dan Nadeo tidak bisa melepas kepergian Ari, lagi-lagi karena urusan bisnis yang menghalanginya.

Varsha mendengus. Seperti biasa, drama perpisahan yang diperankan oleh suaminya pun dimulai.

"Sayang, jangan kayak dulu lagi! Kalau ada apa-apa langsung cerita! Jangan dipendam sendiri! Aku nggak mau kalian kenapa-napa." Ari mengusap perut buncit istrinya. Ia menunduk, lalu membisikkan kata-kata manis untuk calon anaknya.

"Nak, kamu jaga Bunda ya! Ingetin Bunda kalau lupa ngabarin Ayah!"

"Awwhhs." Ringis Varsha saat merasakan tendangan di perutnya yang sukses membuat mereka panik seketika. Apalagi Ari yang kini sudah menatapnya khawatir.

"Bayi kalian kayaknya paham deh. Tuh, lihat responnya." Ujar Hilda santai.

"Kelihatannya, pengen jadi atlet juga kayak Bapaknya." Ucap Fandi menimpali.

Ari yang semula cemas pun kembali tersenyum. Lelaki itu mengusap perut buncit istrinya lagi, lalu mengecupnya pelan. Setelah itu, ia beralih menatap kedua mata istrinya.

"Sayang, ingat apa kataku tadi kan?"

Varsha mengangguk.

"Good!, aku pergi dulu ya. Kamu baik-baik di sini. Ah iya. Hilda kalau kamu ada waktu, sesekali mampir ke rumah ya, buat nengok Sasha. Sekalian nemenin juga." Pinta Ari.

"Aku mah selalu siap, Mas." Hilda tersenyum lebar menatapnya.

Varsha mencium tangan Ari, lalu bergantian lelaki itu mencium keningnya lama. Tidak lupa juga mereka berpelukan, Menyalurkan kehangatan yang akan mereka rindukan nantinya.

"I love you!" Ucap Ari setelah mengurai pelukannya.

"I love you too! Hati-hati, ya! Nanti kalau udah sampai Malang, jangan lupa kabari aku!" Ujar Varsha kembali memeluk suaminya. Mati-matian ia menahan tangis di depan Ari. Ia tidak mau kalau nanti lelaki itu akan membatalkan keberangkatannya demi Varsha.

"Iya Sayang, aku pergi dulu ya. Bye!" Dengan berat hati Varsha melepas pelukan mereka.

Ari, Fandi, dan anggota timnas yang lain pun mulai berjalan menjauh sambil melambaikan tangan ke arahnya.

Varsha tetap membalas lambaian tangan itu, meski lagi-lagi air mata berhasil membasahi pipinya. Bahkan ia sendiri tak tahu, entah sudah berapa kali hari ini ia menangis dengan sebab dan alasan yang berbeda.

***

Finally, double up😰 nggak sabar pengen cepet-cepet ending soalnya✌

Happy or sad?

si_melon💜

Continue Reading

You'll Also Like

74.2K 1.8K 34
"Sadari dan bayangkan, jika kau berada diposisiku, antara cinta dan luka, lalu pemenangnya adalah luka, bagaimana perasaanmu?" Kata dari Vitra Mufia...
17.3K 1K 65
Alex Márquez - Merupakan adik dari Pembalap terkenal yaitu Marc Márquez. Hidup nya sangat menyenangkan dengan selalu menghabiskan waktu lajang nya be...
1.3M 87.6K 27
Dilarang ada hubungan antar senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpaksa merahasiakan pernikahannya dengan Cleo selama sat...
98.6K 3.5K 52
Istri mana yang akan rela saat suaminya dipaksa melakukan poligami oleh ibu mertuanya, begitupula dengan Stevani Raziva, wanita yang sudah menjalani...