Bu Yeni banyak menceritakan latar keluarga Bang Ucok ini kepada Hamna agar lebih kenal, katanya. Bu Yeni sendiri merupakan keponakan dari Uwak Mimin yang merupakan pembantu di rumah ini sejak jaman Bu Fatimah masih gadis. Uwak Mimin sampai saat ini masih bekerja di rumah tersebut hanya untuk mengurus ibunya Bu Fatimah dan membersihkan rumah. Ia mengajak Bu Yeni kerja dirumah itu ketika Bu Yeni ditinggal suaminya menjadi TKI 12 tahun yang lalu dan belum ada kabarnya hingga saat ini. Mereka berdua akan pulang setelah jam 5 sore. Kediamannya berada di dekat pangkalan angkot. Posisi rumah Bang Ucok ini tidak terlewati angkot, berjarak 200 meter dari jalur angkot. Jadi jika Bu Yeni dari pasar dan meminta supir angkotnya untuk berhenti di depan rumah Bang Ucok, artinya ia harus menambah sejumlah uang agar mengambil jalur berbeda.
Sudah sebulan ini, Hamna tinggal di kediaman Bang Ucok. Keluarga yang harmonis menurut Hamna. Tidak pernah berlarut larut jika ada masalah. Keluarga ini terdiri dari Bang Ucok yang dipanggil Abah orang asli Medan yang merantau ke Bogor, Bu Fatimah atau dipanggil Ummah, orang asli Bogor. Mereka dulunya adalah mahasiswa di salah satu kampus terkenal di Bogor. Menikah dan akhirnya menetap di sini. Di rumah ibunya Bu Fatimah. Mereka dikarunia 4 orang putra. Yang tertua adalah Bang Rino sedang kuliah di Bandung semester 6 Jurusan Hubungan International, kedua adalah Bang Iman sedang mengikuti pendidikan AkPol di Semarang selepas SMU, ketiga adalah Fauzan seumuran dengan Hamna, masih kelas 9 dan yang terakhir adalah Kiki masih kelas 1 SD.
Hamna pernah melihat keluarga itu berkumpul minggu lalu ketika sang nenek yang juga masih tinggal di rumah tersebut meninggal. Mereka semua tampak menyayangi nenek mereka. Terlihat dari Bang Rino juga Bang Iman yang segera izin dari kesibukannya untuk ikut serta mengiringi jasad sang nenek ditempat peristirahatan terakhirnya . Fauzan juga izin dari sekolah. Kiki yang nangis dan sulit berhenti. Hamna cukup terperanjat dengan situasi terebut. Selama 2 hari, kantin tutup. Hingga Rino dan Iman kembali ke belajarnya masing masing. Mereka menghabiskan waktu bersama. Seakan itu merupakan moment yang langka yang bisa mereka dapatkan.
"Padahal kantin tutup, ummah ga terima pesanan, tapi kok ini dapur ngebul mulu ya?" ujar Ummah dari dapur.
"Kan kalau udah pada ngumpul, berasa bawa rombongan satu RW, ummah." celetuk Abah yang sedang membaca buku di meja makan sambil memakan singkong goreng keju sebagai sarapannya.
"Udah ummah, sini aku bantuin." Tangan Fauzan cekatan membantu ummahnya.
"Cita-cita kamu belum berubah, dek?" tanya Bang Rino melirik ke Fauzan.
"Ga akan berubah, Bang. Yakin 100% tanpa kembalian."
Abah menutup bukunya, kemudian berkata, "Zan, bukannya Abah melarang, hanya Abah mau kamu jadi orang yang nasibnya lebih baik dari Abah dan Ummah. Apa bisa kalau kamu cita-citanya jadi tukang masak saja?"
'Ooo ternyata Fauzan mau jadi koki toh. Pantes tiap malem suka iseng sendiri di dapur'. Hamna cukup mendengar sambil sibuk mengupas udang.
"Apa salahnya sih Bah? Jadi chef itu juga bisa sukses loh. Bahkan udah banyak di TV acara acara kuliner dengan chef yang keren keren." kali ini Fauzan berargumen sambil tangannya terampil mengolah ayam di wajan.
"Tapi itu kemungkinan kecil Zan. Apa kamu ga mau kuliah kayak abangmu tuh? Jadi polisi kek, jadi tentara kek."
Fauzan mendengus kecil. Ia malas menjawab pertanyaan Abah. Sepertinya sudah seringkali ia menghadapi situasi seperti ini.
"Sudah, Bah, ga papa Fauzan ni jadi apapun yang dia mau. Asal halal yang penting berkah. Sukses kan bukan hanya materi, Bah. Masa Abah lupa." seru Ummah menengahi.
Abah menghembuskan nafas cepat "Ya terserah lah" kemudian berlalu masuk ke kamar.
"Makasih ummah" Fauzan terlihat senang ada yang membelanya, tak lupa ia cium pipi ummahnya cepat. "Bonus. Hehehe."
Ummah hanya tersenyum mendapat perlakuan seperti itu. "Hamna, tolong udang kupasnya bawa kemari. Tolong ambil daun jeruk di depan ya."
"Baik Ummah." Hamna menyerahkan mangkok penuh isi udang ke ummah dan berlalu ke depan halaman yang ditumbuhi beberapa pohon dan herbal itu.
"Ummah, itu si Hamna kok bisa kerja disini?" tanya Bang Iman yang sedari tadi memperhatikan Hamna dari meja makan. Ruangan yang berbatasan langsung dengan dapur.
"Ceritanya panjang. Tanya aja sama anaknya." jawab Ummah cuek.
"Ah, ummah ga asik nih. Tanya sama ceu Yeni aja ntar."
"Cie .... cie.... bang Iman suka ya sama kakak Hamna." Tiba tiba Kiki menyela.
"Yeeee, siapa bilang, kan cuma nanya doang." Iman mendelik tidak terima.
"Suka juga ga papa kok. Orang Bang Fauzan juga suka." ujar Kiki sambil jalan santai menuju kamar depan.
"APAAAA?" Teriak Fauzan. "Dasar adek ga bisa jaga rahasia." Ia lalu mengejar Kiki ke dalam kamar sambil membawa spatula.
Semua yang di dapur tertawa melihat tingkah kedua bocah itu. HIngga Hamna kembali dari depan mengambil daun jeruk, tiba tiba suasana kembali hening. Tentu membuat Hamna heran. Karena ketika melewati ruang tamu, ia mendengar suara tawa yang riuh. Namun ia tidak berani bertanya kepada Ummah atau putranya. Ia melirik ke arah Bu Yeni dengan gerakan mulut seolah bertanya 'ada apa?' dan Bu Yeni hanya mengangkat bahu dan tersenyum aneh.
********
Keluarga Bang Ucok ini memang senang makan. Tidak heran jika mereka memang "Big Family". Hanya Bang Iman yang terlihat ideal, mungkin karena tuntutan di Akademinya membuat ia harus senantiasa menjaga berat badan tubuhnya. Yang paling tambun adalah Fauzan. Meskipun ia seumuran dengan Hamna, namun lebih tinggi Hamna. Dialah yang bercita cita menjadi chef terkenal. Hamna pernah ditawari mie godog ketika suatu malam ia memergoki Fauzan di dapur. Dan ternyata rasanya sangat enak.
Setiap malam sebelum tidur, seperti biasa Hamna merapikan semua perabotan kantin untuk siap digunakan esok hari. Ia akan menyiapkan semua hal, mulai dari menambah kertas nasi, plastik kiloan untuk membungkus lauk, piring, pisau, gunting, mangkok stenlis berbagai ukuran, hingga serbet kering dan bersih. Kemudian ia membersihkan meja, kursi di kantin, menyiapkan tissu dengan memotongnya beberapa bagian dan memenuhinya di wadah tisu. Meletakkannya disetiap meja. Memastikan tempat sendok terisi lengkap dan penuh.
Malam itu, setelah membereskan semua, Fauzan datang dengan membawa dua mangkok mie godog yang masih mengepul asapnya.
"Nih, cobain, enak pa ga?" disodorkan satu mangkok ke depan Hamna yang sedang beristirahat sejenak.
Hamna mengerutkan keningnya, menatap mie panas di depannya dan beralih menatap Fauzan bingung.
"Mau ga?" tawarnya sekali lagi "Kalau ga mau, gue makan aja sendiri."
"Eh i- iya, mau. Sini saya cobain." Hamna mengambil kembali mangkok yang hampir diambil oleh Fauzan.
"Awww... panas..." teriak Hamna sambil mengipas ngipas muka dan mulutnya terbuka.
"Ya iya lah, orang baru diangkat dari wajan. Sabar dikit makanya." Dengan tenang Fauzan mengipas mie di mangkoknya dengan buku. "Nih, kipasin aja dulu. Biar ademan dikit." Fauzan mengangsurkan sebuah buku miliknya.
Demi melihat buku, Hamna seperti anak kecil yang mendapat permen lolipop.
Hamna malah sibuk dengan buku pelajaran milik Fauzan yang seharusnya menjadi kipas untuk mendinginkan mie godognya. Ia membolak balik buku pelajaran tersebut dan mulai asyik dan sibuk sendiri.
"Boleh pinjam pensil dan kertas, ga?" Tanya Hamna tanpa melihat ke Fauzan. Tetap fokus pada buku yang ada ditangan nya.
"Buat apa?"
"Mau ngerjain soal yang disini."
"Ooo.... Bagus deh, sekalian sama halaman 23 ya. Nanti tolong tulisin sekalian di buku PR gue."
"Boleh . Makanya cepetan siniin pensilnya."
"Iya bawel." Fauzan langsung menuju ke dalam mengambil alat tulis dan buku PR nya.
"Nih, awas, jangan ada salah loh."
"Hm... kayaknya ini mah gampang deh. Masa' gini aja kamu ga bisa?"
"Bukan ga bisa, males aja ngerjain nya."
"Halah alesan."
Sedetik kemudian Hamna tengah sibuk mencorat coret kertas dan menulis jawaban dari PR matematika di buku Fauzan.
"Nih, dah beres. Gampang." Sembari ini memulai memakan mie godog nya yang sudah hampir dingin.
"Mana coba gue liat." Fauzan melirik ke arah Hamna bergantian dengan buku tulis di depannya.
"Kok bisa sih?" Tanyanya heran
"Lah, kan sebelumnya sudah ada contohnya, tinggal diikutin aja. Makanya jangan males kalau disuruh lihat contoh." Ujar Hamna sambil mengelap sisa kuah di sudut bibirnya. "Eh ini mie enak banget."
"Apa kata gue, enak kan." Fauzan mulai berpikir dan tersenyum lick. "Gimana kalau tiap hari lo bantuin buatin PR, nanti balasannya gue bikinin makanan yang enak enak buat lo?"
Hamna tertegun dengan tawaran itu. "Artinya aku boleh baca buku pelajaran kamu?"
"Bukan cuma baca doang. Bahkan kerjain PR gue. Gimana?"
"Boleh aja, siapa takut."
"Deal?"
"Deal !"
Keduanya berjabat tangan layaknya menyetujui sebuah kesepakatan berharga. Tersenyum dengan motif yang berbeda diantara keduanya.
Sejak malam dimana mereka membuat kesepakatan, Hamna seperti mendapatkan oase ditengah gurun pasir. Ia mendapat kesempatan belajar secara cuma cuma dengan buku buku lengkap. Dapat mengerjakan soal soal layaknya bersekolah, mengasah kembali ingatannya, menambah wawasannya, ini adalah hal yang ia paling tunggu tunggu sejak lama. Ia merasa ringan tatkala Fauzan memintanya mengerjakan seluruh PR dan tugas tugas sekolahnya. Bahkan ia sama sekali tidak keberatan untuk mengajarkan Fauzan ketika hendak menghadapi ujian harian, tengah semester dan akhir semester.
Di sisi Fauzan, tentu ia sangat terbantu dengan adanya Hamna. Tugas dan PR nya bukan lagi momok menakutkan baginya. Mulai dari mengarang indah di pelajaran Bahasa Indonesia, menjabarkan nama dan fungsi masing masing penyusun sel di tubuh manusia pada pelajaran Biologi, hingga rumus rumus jelimet lainnya di Matematika dan Fisika. Menurut Fauzan, semua pelajaran itu tidaklah menarik dibanding dengan mengutak atik menu baru, aneka lauk, dessert, minuman, hingga bakery.
Fauzan memang tidak ingin berlama lama di sekolah umum. Ia memimpikan untuk bisa segera selesai sekolah umum dan masuk ke Sekolah Tinggi Pariwisata. Ia bercita cita menjadi chef di sebuah kapal pesiar. Keliling dunia sambil mencicipi kuliner khas setiap negera yang akan ia singgahi. Ia bertahan di sekolah umum karena Abahnya berjanji, jika ia mendapat nilai yang baik selepas SMU, maka ia berhak memilih sekolah yang ia inginkan. So, bertahan hingga SMU sudah menjadi tekadnya demi mewujudkan impiannya. Saat ini ditambah bantuan Hamna yang akan memuluskan semuanya. Lancar, pikirnya.
"Nih, cobain. Ini namanya Gnocchi." Fauzan menyodorkan sepiring makanan ke arah Hamna.
"Apaan? Susah amat namanya." Dahinya mengernyit kemudian memperhatikan priring dihadapannya.
"Itu makanan dari Italia. Kayak pangsit lah kalo di sini mah. Cobain gih mumpung masih anget."
Hamna melirik sebentar ke arah Fauzan yang sudah lebih dulu mengunyah dari piring bagiannya.. Ia menyendokkan sedikit dan memasukkan ke mulut, mengunyahnya perlahan, "Eh, enak hmmm..... ennyak...." Sambil mengacungkan dua jempol ke arah Fauzan.
"Tuh kan, apa kata gue." Dia membusungkan dan menepuk dadanya berkali kali. "Nah, sekarang lo tolong kerjain PR kalkulus gue ya. Pusing dari siang nih otak liat rumus melilit. Udah kayak bihun goreng aja."
"Hahaha, dasar tukang masak. Rumus aja dibilang bihun. Gimana badan ga tambah lebar tuh." Ejek Hamna.
"Biarin, badan gede gini tuh bakal jadi rebutan orang orang, tau ga sih lo?"
"Lah kok bisa?"
"Kan enak buat dipeluk." Fauzan terkekeh senang.
"Huuuuu....." Hamna melemparnya dengan lap dapur.
Setelah berkutat dengan rumus dan soal, Hamna memanggil Fauzan yang tertidur di meja menunggunya menyelesaikan PR kalkulus.
"Fauzan,.... Fauzan, bangun. Nih udah selesai PR nya." Hamna memukulkan sendok perlahan ke jidat Fauzan.
"Aww... sakit lah."Matanya mengerjap, mengumpulkan kesadarannya. "Emang lo mau kalau otak gue geser?" ucapnya seraya mengusap usap jidatnya, "Bilangin ummah loh."
"Idih... manja amet. Orang mukulnya pelan juga. Kalau aku getok pake ulekan batu tuh, baru boleh lapor Ummah."
"Mana PR nya, emang dah selesai?" tak menghiraukan ucapan Hamna.
"Nih, lihat dulu. Itu no 3 kayaknya ga ada jawabannya. Soalnya ga nemu pake rumus yang ada. Trus no 15, Tanya lagi deh ke guru kamu. Kalau soalnya x = 38, jawabannya 5. Tapi kalau soalnya emang x = 48, aku nyerah. Itu salah ketik atau emang soalnya yang x = 48." Tunjuk Hamna ke soal yang tadi ia sampaikan.
"Ooooo ya udah, besok coba gue tanyain. Thanks ya. Pantes ampe malem banget ini. Susah, kan. Gue juga dah ngerasa bakal susah. Makanya gue males ngerjain." Ucap Fauzan sambil berjalan meninggalkan Hamna.
"Oala, dasar emang males. Pake banyak alesan." Lirih Hamna, namun tetap bisa didengar oleh Fauzan.
"Ngomong apa tadi?"
"Eh, eng..... anu, ga ada."
"Hm.... Ya udah." Fauzan melanjutkan melangkah. Sesaat kemudia ia berbalik, "Hamna..."
Hamna yang masih membereskan beberapa peralatan di kantin itu, kemudian menoleh ke arah Fauzan, "Apa?"
"Emang kamu ga mau peluk aku?"
Hamna melotot tak percaya
*********
"Selamet yeeee. Nih hadiah buat lo." Fauzan menyodorkan kotak kecil bersampul kertas coklat.
"Apaan nih?"
"Hadiah dari Pak Ikmal"
"Buat aku?"
"Ya iya lah. Masa buat Bu Yeni." Fauzan memutar bola mata malas.
"Tapi buat apa?"
"Hadeuuuh...... sini gue jelasin." Saat ini mereka sedang duduk di kantin selepas Isya. Rencana belajar fisika yang katanya Fauzan besok ada ulangan bab 6. Hamna yang sedang membaca materi bab 6 dan mencoba menyelesaikan beberapa contoh soal, melirik ke arah Fauzan.
"Tadi kata Pak Ikmal, soalnya emang dia buat salah. Harusnya x = 38. Dan dia menunggu ada yang protes. Juga yang soal no 3, emang ga ada jawabannya. Itu juga sengaja dia buat. Mau lihat ada ga yang protes. Pas gue tanya, dia seneng banget. Ternyata ada juga yang ga ke jebak sama soal yang dia buat. Karena yang lain malah ga ngerjain sama sekali. Trus dia ngasih kado itu deh. Dia emang dah janji kalau ada yang bisa ngerjain soal yang dia kasih bakal dapat hadiah. Udah buka aja. Kan lo juga yang ngerjain soal."
Mata Hamna berbinar mendengar hal itu. Sesaat kemudian ia mulai membuka bungkus kotak itu dan menemukan sebuah kotak pensil lengkap dengan isinya. Ballpoint 2 buah, pensil mekanik, penghapus, penggaris pendek dan ada buku kecil. "Masya Allah...... Alhamdulillah." Hamna mengamati satu persatu hadiah yang ada di tangannya. "Makasih ya Zan. Salam buat Pak Ikmal. Hehehe"
"Iye, udah deh ga usah lebay. Udah buru, itu fisika gimana nasibnya. Ajarin gue yang bab 6."
"Ishhh, kamu mah gitu. Bentar napa. Ini pertama kalinya loh aku punya tempat pensil sebagus ini. Dulu tempat pensil aku dari kain sarung bantal bekas yang aku jahit sendiri." Ujar Hamna mengenang masa sekolah dasarnya dulu.
Fauzan menyadari kebodohannya dengan berkata tidak baik kepada Hamna. "Eh, maaf ya, bukan maksud gue ga-.."
"Udah ga papa. Thanks ya. Kamu ga mau ambil ballpointnya? Atau pensilnya?"
"Ga ah, udah punya."
"Ok deh. Buat aku semua ya."
"Gih, ambil aja."
"Aku baca dulu materi bab 6 ya."
"Ok, baca aja. Trus tadi ada catatan dikit dari Pak Syaiful. Ada di buku tulis gue tuh. Gue tinggal dulu ya, mau buat Tteokbokki dulu."
"Eh, apa lagi tuh? Susah amet namanya?"
"Udah ga usah nanya, ntar lo juga tau. Mau yang pedes apa ga?"
"Serah deh. Aku sedang aja, jangan terlalu pedes."
"Ok bu guru."
"Sip."
************