"Kita tidak bisa menutup mulut orang-orang yang menghina kita. Yang kita lakukan hanya tinggal menutup telinga dari kata-kata menyakiti hati"
Satriya_Dewangga
🍂
Bu Ana sudah selesai mengoreksi hasil ulangan murid-murid XII IPS 5 dan langsung membagikannya. "Yang mendapatkan nilai seratus ada Naraya, Arka dan Steven. Yang lainnya remedial besok!" ucap Bu Ana dengan jelas, lantas bergegas meninggalkan kelas.
Arka yang kegirangan langsung mencium kertas ulangannya dan menepukkan ke bahu Raya. "Yes! yuhu... ada untungnya juga gue duduk disini. Thanks ya, Ray buat contekannya."
Raya bergumam dengan malas. Sementara itu, Viola masih tidak terima dengan nilai yang dia dapatkan. Dia yang mengerjakan sampai kepalanya mengeluarkan asap masih saja remedial, sedangkan Arka dan Steven yang modal menyontek justru mendapat nilai bombastis. Sedikit ada rasa kecewa pada Raya dalam benak Viola. Bisa jadi karena Raya memberikan contekan pada Arka atau bisa juga karena dia iri Raya mendapat nilai lebih tinggi.
"Makannya jangan pelit contekan. Tuh, jadi cewek kayak Raya, dicontekin nyantai aja. Nggak kayak biola rusak, di panggil aja sombong amat. Makannya remed."
Viola menekuk bibirnya. Keringat dingin sudah membanjiri pelipisnya hingga wajahnya yang putih menjadi bersemu merah hampir mirip kepiting rebus. Tentu saja dia tersinggung dengan ucapan pedas Arka.
"Heh! Inget janji lo! Lo ngatain gue sekali lagi gue aduin Bu Ana!" ancam Raya dengan mata memelotot.
Arka dengan santainya menanggapi ancaman Raya. "Siap! Tenang aja, Ray... karena gue duduk di belakang lo, sekarang kita cees, oke?!"
"Ogah, gue ceesan sama lo," jawab Raya tak acuh seraya memalingkan muka membuat Arka berdecih. "Sombong banget lo? Oke, nggak masalah kalau lo nggak mau ceesan sama gue, yang penting lo ngasih contekan terus ke gue." Karena kali ini Arka sedang dalam suasana hati yang baik, kata-kata yang di keluarkan untuk Raya mendadak berubah positif.
Sementara Arka masih mengagumi harta karunnya, ada sahabatnya yang menatap dari jauh dengan kilatan rasa iri di wajahnya. Siapa lagi kalau bukan Revan. Dia ingin sekali menggantikan posisi Arka saat ini.
🍂
Raya sudah berdiri di halte sekolah penuh was-was. Separuh wajahnya sudah tertutupi masker mulut berwarna hitam hingga tinggal terlihat kedua matanya saja. Bahkan sebagian matanya juga tertutupi poni. Topi base ball warna hitam pun tak lupa bertengger di kepalnya. Takut kalau sewaktu-waktu paparazi kelas teri di sekolahnya mengambil fotonya diam-diam.
Tanpa permisi tiba-tiba ada yang membuka topinya dari belakang. Kini hawa dingin menyeruak di sekujur tubuh Raya sampai membuatnya menegang seketika.
"Ngapain pakai topi, pakai masker? udah kayak mafia aja lo? Kurang kacamata hitam, tuh."
"Lo?"
Kini Raya sedang berhadapan dengan Satriya yang menjadi penumpang angkutan umum beberapa hari ini. Karena Kemunculannya yang tiba-tiba membuat Raya terperanjat.
Satriya terkekeh melihat ekspresi Raya yang tidak pernah bisa santai. Melihatnya seperti melihat setan di siang bolong. "Kenapa? Masih kaget liat muka gue?" tanyanya dengan nada mengejek.
Raya pun mendengus sebal. Laki-laki di depannya itu memang menyebalkan. "Lo mendingan jauh-jauh deh dari gue!" Raya mengusirnya seraya menganyunkan tangan seperti mengusir ayam hingga membuat Satriya mengerutkan keningnya membentuk lipatan-lipatan pertanyaan. Dia tidak mengerti maksud Raya saat ini.
"Gue nggak mau ada gosip lagi gara-gara deket-deket sama lo, bisa aja di sekitar sini ada paparazi yang siap jadiin kita bahan gosip." Raya mengedarkan pandangannya ke sekitar dengan hati-hati.
Satriya akhirnya mengerti maksud Raya. "Lo nggak suka digosipin?"
Raya hanya membalasnya dengan gumaman. Tahu apa yang harus dia lakukan, Satriya tiba-tiba mencabut earphone dari telinga Raya dan memutar-mutarkannya seperti memainkan yoyo. "Terus gunanya lo pakai ini apa?" tanya Satriya membuat Raya mngernyit heran. Lagi-lagi gadis itu tidak bisa memahami maksud Satriya.
Satriya menghela napas panjang. Susah juga berbicara dengan gadis yang terlalu bayak pikir. "Lo nggak bisa menutup mulut satu persatu orang yang menghina lo. Tapi, lo cukup tutup kedua telinga lo untuk tidak mendengar kata-kata mereka."
Raya memandang satriya sedikit takjub. Meskipun dia sering mendengar kata-kata itu tapi, kali ini rasanya berbeda. Ada seseorang yang mengatakan langsung di depannya.
"Orang lain berhak bicara apa saja tentang lo. Tapi, lo juga berhak melakukan apa saja semau lo." Penjelasan Satriya membuat Raya paham. Benar kata Satriya, Raya tidak boleh takut dengan apa yang dikatakan orang lain tentangnya. Tapi, Raya yang dari awal tidak ingin terlihat oleh orang lain merasa sulit untuk terbiasa dengan hal itu.
Untuk menghargai nasihat Satriya, Raya membuka maskernya dan menyimpannya dalam tas agar Satriya menganggap kalau Raya mendengar kata-katanya. Sedangkan Satriya, dengan santainya memakai topi yang dia rebut dari Raya. Sedikit jengkel dalam hati Raya melihat hal itu. Akan tetapi, kalau dia ribut dengan Satriya akan memicu datangnya paparazi. Alhasil Raya pasrah dan menunggu Satriya yang peka untuk mengembalikan topinya.
🍂
Di dalam angkutan umum, Raya berkali-kali melirik Satriya seperti ada yang ingin dia katakan. Kali ini dia tidak memakai earphonenya karena sedang tidak berselera mendengarkan musik.
"Sat...." Akhirnya keluar juga sepatah kata yang terdengar lirih dari mulut Raya membuat Satriya hanya menjawab dengan gmaman.
"Gue mau turun. Topi gue!" ucap Raya seraya menengadahkan tangannya di hadapan Satriya. Ternyata Raya hanya meminta topinya. Hampir saja Satriya berpikir kalau Raya mulai terkesima dengannya.
"Gue pinjem. Besok gue balikin," jawab Satriya dengan santainya seperti tanpa dosa membuat Raya lagi-lagi harus menarik napas pasrah. Memang hanya sebatas topi. Sebenarnya bisa saja Raya memberikan topi itu pada Satriya. Tapi, topi itu terlalu berharga baginya karena ada kenangan di balik topi itu.
🍂
Setelah kemarin mendapat pencerahan dari Satriya, Raya berusaha menjadi tak acuh seperti saran Satriya. Kasak-kusuk memang masih terdengar di telinganya. Tapi, sekarang dia lebih santai dari pada kemarin. Raya harus berubah. Dia harus melawan pikiran negatifnya sendiri.
Setelah ada pengumuman diadakannya class meeting untuk memperingati hari jadi SMA Pelita, Arka sang ketua kelas sibuk membagi peserta lomba dengan duduk di meja guru seraya mengipasi dirinya dengan kipas angin genggam berbentuk doraemon milik Raya yang dulu dibeli dari Kayla.
"Yang belum ada pesertanya tinggal cerdas cermat sama masak. Siapa yang belum dapet bagian?" tanya Arka lantang di depan kelas didampingi Viola selaku wakil ketua kelas.
Ketika ada pertanyaan kenapa Arka yang badung itu bisa jadi ketua kelas? Jawabannya sederhana, karena tidak ada yang mau dipusingkan mengurus kelas yang banyak maunya seperti kelas XII IPS 5. Akhirnya Bu Ana menunjuk Arka menjadi ketua kelas di tahun ini. Sekalian melatih Arka untuk belajar memikul tanggung jawab.
Karena tidak ada jawaban, Viola langsung membaca daftar peserta lomba dari kelasnya. "Raya, Eza, Fitri sama Angga, Ar."
"Yaudah, Fitri sama Angga masak, Raya lo cerdas cermat sama Eza," ucap Arka menekankan nama Raya seraya menatap si pemilik nama.
Raya membulatkan matanya tidak siap. "Loh, kok gue?" tanyanya Raya dengan terkejut.
"Lo kan emang belum dapat bagian!" jawab Arka seraya memelotot.
"Ta-tapi... jangan cerdas cermat dong," kilah Raya dengan terbata-bata.
"Terus lo mau minta apa, Ray? tadi ditawarin lomba lain nggak mau. Ini tinggal masak sama cerdas cermat. Kalau lo ikut lomba masak, gue nggak yakin. Masak air aja masih gosong."
"Hahahaha"
Satu kelas dibuat tertawa oleh pengakuan Viola. Kata-kata Viola benar-benar memalukan Raya. Tapi, ya memang itulah kenyataannya. Apa boleh buat.
Akhirnya Raya hanya bisa menghela napas pasrah. "Yaudah deh, iya."
"Nah, gitu dong. Gue yakin lo itu sebenarnya pinter cuma lo itu males aja, makannya kepinteran lo itu nggak kelihatan. Yang kelihatan cuma begonya doang."
Bagaimana mungkin baru sehari duduk di belakang Raya, Arka sudah berlagak tahu tentang Raya.
Raya mendengus sebal seraya mengerucutkan bibirnya sampai beberapa centi.
"Oh iya, sama disign gaun recyle lo yang disign, biar anak-anak yang buat," perintah Arka pada Raya. Raya semakin mengerucutkan bibirnya. Sementara Arka menyungingkan seringaiannya di hadapan Raya.
Arka tahu kalau di dalam laci meja Raya sudah penuh kertas yang dia gambari hingga menyerupai sarang burung.
"Fix, semua lomba sudah ada pesertanya. Jadi, kalian tinggal mempersiapkan diri masing-masing. Nggak usah mikir menang atau kalah, yang tepenting kita totalitas untuk menghargai sekolah kita. Dan inget, jadikan moment ini menjadi kenangan di masa mendatang."
Semua manusia di kelas itu di buat takjub. Jarang-jarang Arka berbicara benar seperti itu. Bahkan seumur-umur sekolah di SMA Cendana laki-laki itu tidak pernah bicara yang benar. Tepukan tangan meledek pun terdengar ke segala penjuru kelas mengapresiasi pencapain Arka.
"Wih... kasih tepuk tangan sekali lagi untuk motivator kita, Arka teguh." Semua tertawa mendengar penghinaan Doni pada sahabatnya itu hingga membuat Arka berdecak sebal. Sepertinya Arka memang tidak cocok berbicara serius.
Tak disangka Raya maju ke depan menghampiri Arka. Suasana mendadak hening dan semua pandangan berpusat padanya. Raya berada tepat di depan Arka. Tatapanya menyusuri setiap lekukan wajah Arka hingga membuat Arka mematung, merasakan hawa dingin menyeruak di sekujur tubuhnya. Dahinya mengerut hingga membentuk lipatan-lipatan tanya. Lantas, Raya menyentuh kening Arka dengan punggung tangannya.
"Jidatlo anget kayaknya, Ar," ucap Raya dengan wajah polosnya yang dibuat-buat.
Arka mengumpat sarkas dalam hatinya. Rahangnya mengeras menatap Raya penuh amarah. "Jalan Raya, sialan! Awas lo!" ancamnya pada Raya dan dibalas juluran lidah tanpa dosa oleh Raya. Sekali lagi semua murid XII IPS 5 dibuat sakit perut lantaran puas melihat Arka dipermalukan siswi seperti Raya.
Jangan lupa
Vote ✔
Kalau suka dengan ceritanya
Dan
Comment✔
Untuk krisarnya
Follow juga akun Author
👇
Diahayu_Sn