—Prolog—
"Jahat! Lo egois! Selalu merasa paling benar! " murka Raina pada lelaki jakung didepannya.
"Tapi emang gak salah kan?"
"Ngerasa bener sembunyiin hal sebesar itu dari gue?" Gadis itu bertanya balik
"Gak semua harus lo tau Ra." Si lelaki masih setia dengan raut datarnya yang membuat Raina semakin kesal
"Kita udah setuju buat berbagi segalanya! Setelah semua yang udah kita laluin, lo anggap gue apa sih? Lo bilang gue segalanya buat lo. Lo bilang lo sayang sama gue!"
"Justru karena gue sayang banget sama lo, gue sembunyiin ini, gue gak mau membunuh mimpi lo, 20 tahun Ra kita sama-sama, selama itu juga gue liat perjuangan lo buat impian lo itu, gue gak mau semua yang udah lo perjuangin rusak gitu aja, apalagi gara-gara gue."
Raina terdiam mendengar balasan pria di hadapannya, terdengar begitu manis namun menusuk "Tapi gue juga sayang sama lo, Sa. Bukan Cuma karena lo pacar gue, tapi lo juga sahabat gue. G-Gue gak masalah kehilangan mimpi-mimpi gue, asal bukan lo."
"Raina...tolong berpikir lebih dewasa, kita bukan lagi anak remaja belasan tahun yang lagi mabuk cinta, pikirin masa depan lo."
"Lo juga salah satu mimpi gue, asal lo tahu. Lo juga salah satu bagian dari rancangan masa depan bahagia gue.
Ia diam akan balasan sederhana nan jujur yang disampaikan Raina "Gue udah ga punya masa depan."
"Langit! Kok lo ngomong gitu sih?!"
Namanya Mahesa Arkana Langit, sahabat Raina sejak kecil dan merangkap menjadi kekasihnya sejak 4 tahun yang lalu.
"Ya emang gitu kan..."
"Gak ada yang tahu masa depan bakal kayak apa. Yang lo takutkan gak bakal terjadi kok! Kita hadapi sama-sama ya." Saat Raina coba genggam tangan hangatnya, lelaki itu malah menepis alih-alih menyambutnya.
"Hapus gue dari masa depan lo..."
"Maksudnya?"
"Ayo putus."
"Langit..."
"Kemaren lo gak terima kan diputusin karena alasan yang gak jelas. Sekarang lo udah tahu semuanya, alasan gue udah jelas. Jadi ayo benar-benar selesaiin ini."
Hening. Hujan deras November 2017 sore itu terasa senyap disamarkan oleh degup jantung Raina yang berpacu.
"Lo bercanda kan..." lirih Raina berusaha denial dengan tatapan sendu yang Langit berikan padanya. Ia kenal Langit bukan satu atau dua tahun, ia tahu Pria itu bukan tipikal orang yang senang bercanda bahkan cenderung kaku dan serius menanggapi sesuatu, apalagi dalam keadaan seperti ini. Namun Raina tetap berharap setelah ini Langit akan merubah air wajahnya menjadi tertawa dan berkata 'gue Cuma bercanda, gue ga mungkin ninggalin lo.' Lalu memeluk dirinya yang tengah gundah itu.
Tentu saja yang Raina harapkan memang hanya harapan semata karena nyatanya Langit masih di sana dengan seringai yang paling Raina benci
"jujur sikap lo yang kayak gini bikin gue bertanya, Lo pernah gak sih bener-bener mencintai gue?"
"i am, Ra....sampai hari ini."
"Tapi kenapa lo gak bisa egois sekali aja buat merjuangin perasaan cinta lo itu."
Langit menegadahkan wajahnya, mencegah air matanya berhamburan "Lo udah berjuang buat beasiswa itu Ra, jangan disia-siain ya? Gue juga udah cukup menderita dengan takdir ini, sulit banget bagi gue untuk menerima apa yang menimpa gue. berat banget rasanya lo harus tau semua ini sebelum gue benar-benar siap membagikannya dengan orang yang gue sayang. Jadi tolong, jangan buat gue semakin tersiksa dengan rasa bersalah."
"Am I hurt you that much?"
"No, you're not. Tapi keadaan udah berubah, kalau kita sama-sama, hubungan kita Cuma bakal jadi toxic for two of us. Kita harus selesaiin ini Ra, gue gak mau cinta malah merusak kita."
"jadi lo pikir dengan kita selesaiin ini, semuanya bakal jadi lebih baik gitu? Lo bakal sembuh dan gue bakal raih mimpi gue?"
"Anggap aja gitu. Gue Cuma mau kita fokus ke diri masing-masing ya? Lo fokus belajar di sana, gue di sini bakal fokus sama penyembuhan. Kalau emang kita ditakdirkan sama-sama, Tuhan pasti bakal kembali ketemuin kita dengan keadaan yang lebih baik."
"How can I survive without you? How can I let you survive alone, Langit?! What if we can't make it.?"
"We can, Raina. Kan udah gue bilang kita udah hampir toksik karena selalu apa-apa berdua, padahal sebenarnya kita lebih kuat dari pada itu."
Raina menangis, air matanya tak lagi bisa ia bendung, tidak. Langit salah, Raina tak sekuat itu, buktinya sekarang ia peluk tubuh lelaki yang mungkin sebentar bukan lagi miliknya, ia tumpahkan semua air matanya di hoodie abu-abu sang kekasih yang pernah ia belikan di hari ulang tahunnya, ia hirup dalam wangi cedarwood dan mint khas lelaki itu, karena mungkin ia akan merindukan aromanya.
"Belajar yang rajin ya di negeri orang, gak usah ingat-ingat gue, I'll deactive all of my social media. Lo gak usah cari-cari gue."
"lo beneran sampai segininya..."
"kalau perlu, find someone else ya?Yang bisa selalu ada buat lo, yang bisa samperin lo kalau kesepian, yang bisa peluk lo kalau lagi cape, yang bisa memberi lo kebahagiaan more than I can. Kalau pulang nanti kenalin gue sama dia."
Sungguh Raina benci sahutan Langit barusan! Bagaimana bisa ia dengan brengseknya mengucapkan hal seenteng itu seolah ia tak pernah hancurkan hatinya, seolah masih ada keping yang tersisa untuk orang lain, Hati Raina tak sekuat baja.
Dan bagaimana bisa ia tampak tidak tersakiti oleh ucapannya? Oh atau ia memang senang membayangkan wanitanya akan mencintai pria lain? bagaimana bisa hatimu sekuat itu, Langit. Atau kau hanya aktor ulung? Begitu pandai sembunyikan perasaanmu dibalik senyuman secerah langit siang musim panas itu?
"Sumpah...lo brengsek banget."
"I Am..."
Lalu Langit lepaskan pelukan Raina entah karena ia memang sudah muak atau karena pelukan itu hanya menyakitinya bak sedang memeluk kaktus.
"Lo harus udah sembuh kalau gue pulang..."
Hujan sudah berhenti, namun langit masih mendung, begitupun dengan Langit yang satu ini ia Nampak lega telah mengutarakan semuanya, namun mungkin hatinya masih merasa janggal dengan perpisahan ini. "Pulang ya?"
—SKY—
Sunyi adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana sepanjang perjalanan Langit mengantarkan Raina pulang ke rumahnya dengan selamat,. Motor vespa milik langit membelah jalanan kota Bandung dalam diam di tengah hiruk pikuk ibu kota sehabis hujan ditemani aroma petrichor. Ia bahkan tersenyum tulus seperti biasa saat bantu melepas helm yang melindungi Raina sepanjang jalan, ia harus tahan tidak mengecup kening gadis itu seperti yang biasa dilakukannya, namun kegiatan mengusap surai Raina yang berhamburan di tiup angina tetap tak bisa ia lewatkan.
"Gue berangkat minggu depan..."
"iya...Tante Wulan udah kasih tahu..."
"Lo bakal anterin gue ke bandara kan?"
Meski dibumbui pertengkaran hebat, at the end mereka tetap berpisah secara baik-baik. Jadi Raina berharap Langit akan mengangguk.
Dan lagi-lagi yang terjadi adalah sebaliknya"Gue ada jadwal kemoterapi hari itu..."
"Ah...gitu ya."
"Maaf..."
"Gapapa. Gak mampir dulu?"
Nampaknya menggeleng adalah hobi baru Langit sejak hari itu. "Salam sama tante Wulan ya."
"even we're broke up, you can always meet her anyway."
"I will."
Langit tidak segera pergi, ia masih disana menunggu Raina hingga gadis itu mempersilakan.
"Sampai jumpa Langit..."
Kini keduanya saling bertolak belakang, Raina di kamarnya menangis bagaikan air matanya tak pernah habis untuk pria itu.
Begitupun Langit, belum genap 5 menit ia menjauh dari kediaman si gadis hujan kembali mengguyur kota, Langit tak berteduh atau menepi sedikitpun ia biarkan air mata yang tak bisa ia tunjukkan itu langsung tersapu oleh hujan, ia berani bertaruh kalau ini adalah tangisan terhebatnya, ia bahkan tak menangis saat sang ayah tinggalkan rumah, ia juga tak menangis saat tahu dirinya menderita penyakit kronis. Tapi untuk Raina, ia benar-benar biarkan semuanya tumpah ruah. Langit menangis dibawah langit yang juga menangis.
Sakit. Sungguh sakit. Tapi biarlah ia sakit sendirian, Raina tak perlu merasakannya.
Sebenarnya ia sudah terlalu sering membiarkan dirinya sakit sendirian, ini bukan yang pertama kali, namun fakta bahwa Raina juga tak akan membagi lagi rasa sakitnya rupanya lebih terasa memilukan, kali ini ia benar-benar sendirian padahal tubuh dan hatinya sudah lelah dengan lara, jadi mungkin takdir punya cara sendiri agar ia bisa beristirahat.
Brakkk....!
Hujan 22 November 2017 hari itu merubah segalanya. Baru semenit yang lalu ia membenci takdirnya, Kini Langit, si pria 22 tahun itu menghilang.
Dia tidak pergi, namun juga tidak kembali.
Raganya masih utuh terbaring di brankar Rumah sakit,
Beristirahat dalam diam.
sudah hampir dua tahun, namun ia tidak kunjung bangun.
Entah kemana jiwanya melayang saat ini.
Mungkin berkelana mencari sebuah keajaiban.
Keajaiban yang benar-benar merubah segalanya sejak Februari 2019.
Langit bukan hanya bangun dari tidur panjangnya.
Ia juga terlahir kembali.
—SKY—