Kanaya berlari dari kamarnya hingga ke ujung tangga. Kemudian ia mengangkat rok abu-abu diatas lututnya, bersiap meluncur dari tangga atas hingga bawah.
Baru saja satu kakinya hendak menyentuh pegangan tangga tiba-tiba sebuah suara menginterupsinya.
"KANAYA MAU NGAPAIN KAMU?!"
Kanaya nyengir saat melihat mamanya yang berada diujung tangga bawah dengan menggunakan daster kebesarannya.
Ditangannya ada spatula yang ia angkat tinggi-tinggi dan diacungkan ke arah Kanaya. "TURUN KAMU!" Katanya setengah berteriak.
Kanaya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hehe iya ma, iyaa" katanya kemudian.
Laura mendengus, tak habis pikir dengan tingkah anak sulungnya itu.
Menurun dari siapa tingkah tengilnya itu.
Padahal seingatnya, dulu semasa SMA ia dan sang suami tidak pernah setengil itu. Kelakuan paling parahnya semasa SMA hanyalah manjat pagar sekolah untuk membolos pelajaran yang membosankan. Sudah itu saja, tidak lebih. Tidak sampai membuat orangtuanya pusing tujuh keliling seperti ini.
Melihat putri sulungnya yang tidak kunjung turun. Laura lantas memukul lantai dengan spatulanya "Cepet turun!" Bentaknya kesal.
"Ee..eh iya ma, ini turun ma piss ma jangan dipukulllll" ucap Kanaya seraya berlari kearah meja makan.
Laura menghela napas, mencoba memperpanjang kesabarannya untuk menghadapi anak sulungnya itu.
Wijaya yang baru saja turun dari kamarnya menatap Laura dengan aneh. "Kamu ngapain ma berdiri disitu pake bawa-bawa spatula lagi?"
"Biasa, Pa. Anak kamu tuh mau coba-coba main perosotan di tangga lagi. Dikira ini rumah taman kanak-kanak apa ya perabotan dipake main-main terus"
Seperti biasa setelah menghadapi Kanaya, Laura akan selalu mengomel pada suaminya.
Apa ya? Ini seperti bentuk protes terhadap sang suami karena tidak pernah memarahi Kanaya jika anak itu berbuat ulah. Biasanya Wijaya hanya akan berkata "Namanya juga anak-anak, Ma"
Kadang Laura sampai heran sendiri, dari segi apa Kanaya bisa dikatakan sebagai anak-anak? Kanaya itu sekarang sudah berusia 16 tahun! Sudah kelas dua SMA.
Badannya juga tidak bisa dibilang kecil apalagi mungil. Tingginya itu 163 cm, bayangkan betapa bongsornya Kanaya dan Wijaya masih mengatakan jika Kanaya itu anak-anak?
Tidak bisa dipercaya.
"Namanya juga anak-anak, Ma" Tuh kan tuh kan apa Laura bilang.
"Belain aja terus!" sungut Laura. Ia kemudian berlalu meninggalkan sang suami yang sekarang tengah tersenyum tipis memandang kepergiannya.
Ia sebenarnya tidak berniat untuk membela Kanaya. Ia hanya ingin menggoda istrinya saja.
Sebenarnya tanpa sepengetahuan Laura, Wijaya sering memanggil Kanaya ke ruang kerjanya untuk dinasehati. Ia bahkan tak jarang menjewer atau memukul bokong anak sulungnya itu jika sudah keterlaluan.
Wijaya menatap malas kearah Kanaya yang sedang menyantap sarapannya dengan tenang. Kakinya dinaikkan satu ke atas kursi persis seperti gadis urakan yang tidak tahu aturan.
"Kaki" ucap Wijaya seraya menendang kaki Kanaya hingga turun ke bawah.
Kanaya mengaduh saat kakinya yang ditendang sang papa membentur meja makan. "Sakit, Pa" katanya memelas.
Namun, bukannya kasihan Wijaya justru tersenyum puas melihat Kanaya kesakitan "Makanya yang sopan jadi cewek, kalau makan kakinya itu yang bener!" Tukas Wijaya memperingati.
Kanaya cemberut, "Iya..iya gak lagi"
"Gak lagi tapi besok diulangin"
"Pagi Pa, Kak" Kiara menyapa membuat dua orang yang sedang saling membuang muka itupun kompak menjawab.
"Pagi Ki" ucap keduanya serempak.
Kiara tersenyum "Tumben kompak" katanya cengengesan. Ia sudah hafal betul kebiasaan dirumahnya setiap pagi.
Pertama, mamanya akan berteriak karena lagi-lagi sang kakak membuat ulah dengan perosotan di pegangan tangga. Lalu, papanya datang dan berdebat dengan mamanya.
Kemudian mamanya memilih untuk kembali berkutat di dapur karena merasa kalah berdebat. Kanaya tidak terima saat dinasehati sang papa di meja makan dan berakhir dengan keduanya yang saling membuang muka.
Lalu mereka baru akan saling berhadapan kembali saat Kiara datang dan menyapa mereka, seperti saat ini.
"Mama masih di dapur, Pa?" Tanya Kiara yang sudah duduk disamping Kanaya.
Wijaya menggedikkan bahunya "Gak tau tuh padahal makanannya udah siap semua"
Kanaya selesai dari sarapannya. Ia kemudian bangkit dan mengambil tasnya yang disampirkan di kursi.
"Pa, Kanaya udah selesai nih, berangkat ya"
Wijaya mengangguk "Salim dulu sama mamamu"
Kanaya berjalan kearah dapur untuk berpamitan pada Laura. Setelahnya gadis itupun melenggang keluar dari rumahnya.
Ia berjalan kearah garasi dengan riang. Ia bahkan sampai bernyanyi saking senangnya, entah senang karena apa yang jelas hari ini ia merasa sangat bersemangat ke sekolah.
"Pak Darko, Nay berangkat ya" sapanya pada Pak Darko yang tengah menikmati secangkir kopi di pos satpam.
"Yo Non, hati-hati"
***
Kanaya berjalan di koridor menuju kelasnya. Beberapa orang menyapanya karena memang Kanaya adalah termasuk murid famous disekolahnya.
Meskipun citranya galak dan cuek tapi tak jarang adik kelas atau teman seangkatan yang ingin berkenalan dengannya.
Hal itu karena Kanaya adalah salah satu murid yang memiliki paras cantik dan segudang prestasi di bidang beladiri.
Ia tidak pernah absen menyumbang piala saat ada pertandingan taekwondo. Baik tingkat provinsi maupun nasional.
Dipersimpangan menuju kelasnya Kanaya melihat Alkana yang sedang berdebat dengan Dea.
Memang, kelas Kanaya dan Dea berdekatan. Hanya bedanya jika dari arah kantor kelas Kanaya berada di sisi kanan dan kelas Dea beserta Alkana di sisi kiri.
"Yah mampus ada si curut"
Kanaya hendak memutar tubuhnya saat tiba-tiba Alkana berteriak memanggil namanya.
Kanaya berdecak "Ah sial!"
"Kenapa?" Tanya Kanaya saat Alkana berada di hadapannya.
"Jangan deket-deket"
Kanaya mengernyit heran, jangan dekat-dekat katanya, bukankah tadi Alkana yang memanggilnya duluan?
"Lah kan yang manggil lo, kenapa gue yang disuruh jauh-jauh? Lo aja sana jauh-jauh dari gue" ujar Kanaya seraya mengibas-ibaskan tangannya seperti gerakan mengusir anak ayam.
"Bukan gue" ucap Alkana nanggung.
Kanaya kadang heran sama Alkana. Sekali waktu dia bisa cerewet banget sampai-sampai ngalahin perempuan cerewetnya. Terus tiba-tiba bisa jadi irit ngomong banget kaya sekarang.
Sebenarnya Alkana ini normal gak sih?
"Lo kalau ngomong yang bener bre jangan setengah-setengah pusing gue"
Alkana menghela napas. Suasana hatinya sedang buruk saat ini sehingga ia malas sekali bicara. Ia ingin Kanaya mengerti tanpa dirinya harus bicara. Tapi Kanaya itu tidak peka jadi mau tidak mau ia harus mengutarakan keinginannya secara langsung.
Alkana menatap Kanaya dengan lekat. Ia kemudian mengambil dua tangan Kanaya untuk digenggam.
Kanaya membeku, ia tidak pernah dmendapat perlakuan seperti itu dari Alkana sebelumnya. Dan itu cukup untuk membuat jantungnya berdebar tak karuan.
"L..lo mau ngapain?" Tanya Kanaya gugup.
Alkana memejamkan matanya sejenak lalu menghela napas berat. Kanaya sebenarnya sedikit bingung dengan sikap laki-laki di hadapannya ini. Kenapa Alkana seperti orang yang sedang menanggung begitu banyak beban?
"Dengerin gue Kay. Seminggu ini gue bakalan pergi keluar kota"
"Oh bagus" sela Kanaya. Bagus jika seminggu ini Alkana tidak ada disekolah. Itu artinya dirinya bisa bebas melakukan apapun tanpa gangguan dari cowok itu.
"Lo seneng?" Tanya Alkana sendu. Kanaya yang tidak memperhatikan raut kecewa dari Alkana pun menjawab dengan mantap. "Jelas dong" ucapnya kelewat bahagia.
Alkana tersenyum, tapi kali ini senyumnya berbeda dan itu sanggup untuk membuat Kanaya tertegun.
Seketika ia merasa sangat jahat dengan jawabannya barusan. "Al, lo gak papa kan?" Tanya Kanaya memastikan.
Alkana lagi-lagi tersenyum dan itu membuat Kanaya takut. "Gue gak papa"
Hening sejenak membuat atmosfir diantara keduanya berubah canggung. Apalagi saat ini Alkana terus menyorot Kanaya dengan tatapan teduhnya membuat Kanaya salah tingkah sendiri.
Lama berdiam di posisi yang sama, akhirnya Alkana mengajak Kanaya duduk disalah satu taman dekat koridor.
"Kay" Alkana menatap Kanaya lekat. "Gue minta selama gue gak ada jangan pernah deket sama siapapun ya. Apalagi sama anak baru itu. Oke?"
"Anak baru siapa?" Kanaya tidak mengerti arah pembicaraan Alkana kali ini. Anak baru? Kanaya bahkan tidak tahu menahu jika disekolah mereka ada anak baru.
"Namanya Fatih"
Deg
"Fa..Fatih?" Ulang Kanaya terbata. Alkana mengangguk "Dia masuk kelas lo dan gue mau lo jangan deket-deket dia"
"Tapi kenapa?"
"Gue cuma gak mau lo ngerasa kecewa untuk kedua kalinya Kay. Gue sayang sama lo dan gue gak mau lo sedih lagi"
"Maksudnya? Lo tau masalalu gue sama Fatih?"
Kanaya tidak percaya ini. Bagaimana bisa Alkana berbicara seperti itu? Ia berbicara seolah-olah ia pernah menyaksikan secara langsung betapa terlukanya Kanaya pada saat itu.
"Gak penting apa maksud gue, yang jelas gue minta lo jangan deket-deket sama dia ya?"
"Kalau gue gak mau?"
"Lo harus jadi pacar gue"
"Dih! Apa-apaan"
Kanaya mendengus, Alkana memang tidak pernah bisa diajak serius.
"Kalau lo mau ngajak gue serius bilang aja, gue siap kok buat halalin lo sekarang juga" Alkana cengengesan sendiri melihat Kanaya yang tampak terkejut dengan perkataannya.
"Lo bisa baca pikiran?" Tanya Kanaya penasaran. Alkana menggedikkan bahunya. Hal itu tentu saja membuat Kanaya kesal.
"Cih! Sok misterius lo!" Alkana terkekeh. Ia lantas mengacak rambut Kanaya sekilas.
Baginya kekesalan Kanaya adalah obat. Obat bagi segala permasalahan yang sekarang sedang membelitnya.
Tadi saat berangkat sekolah rasanya dadanya sangat sesak. Tapi setelah bertemu Kanaya ia merasa lebih baik. Bebannya sedikit terangkat dan perasaannya menjadi lega.
"Ih rambut gue jadi berantakkan Al!" Kanaya cemberut. Ia mencoba merapihkan rambutnya yang berantakan akibat ulah Alkana.
Tapi saat ia sedang sibuk membenahi rambutnya tiba-tiba sebuah tangan menggantikannya. Kanaya mendongak menatap Alkana yang sekarang tengah tersenyum kepadanya.
Tangan laki-laki itu bekerja sangat baik merapihkan rambutnya. Setelahnya laki-laki dengan tinggi diatas Kanaya itu pun mencubit pipi Kanaya pelan.
"Jangankan baca pikiran lo Kay, baca perasaan lo juga gue jago. Yang gue gak jago itu bikin lo jatuh cinta sama gue Kay"
TBC
Lampung, 2 Juni 2020