Ini sudah sore dan Nyonya Peruglia sudah mengizinkanku untuk kembali ke rumah. Pekerjaan tadi lumayan seru bagiku. Wanita itu dengan senang hati mengajariku cara mengayak tepung, menakar ragi, dan memasukkan adonan pai labu dan kue tart aprikot ke dalam pemanggang kayu bakar.
Hari ini di toko kue, pembelinya tidak mencapai seratus orang. Nyonya Peruglia memakluminya karena musim-musim seperti ini, penduduk Kota Scallian lebih senang untuk menghabiskan waktu mereka di rumah karena tidak mau terkena angin dari utara, atau sekedar mencoba menu baru untuk jamuan malam Natal kelak. Mungkin karena itu juga lah Nyonya Peruglia memutuskan untuk membuat kue setengah dari porsi biasanya dan menutup toko dua jam lebih awal dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Tentu saja. Daun mapel kering lebih menarik daripada roti gandum.
Kini yang ingin aku lakukan hanya satu--pulang ke gubukku yang kayu-kayunya sudah lembap itu, mandi, berganti pakaian, makan malam, lalu mulai berbicara empat mata dengan Tuan Suara-tanpa-nama. Aku harus memastikan apakah betul kalau dia yang dimaksud oleh Nyonya Peruglia di dapur pagi tadi.
Jalanan masih sama. Sepi. Nampaknya kini aku sudah tahu bagaimana jadwal keluar para penduduk di kota dengan rumah-rumah bergagang pintu kepala naga ini. Di siang hari, jalanannya seperti kota mati. Begitu juga dengan di sore hari. Siang harinya tidak jauh berbeda, tapi paling tidak masih lebih hidup ketimbang pagi hari.
Namun, yang anehnya, pada saat memasuki waktu malam dan kota sudah direngkuh oleh warna kelam kematian, penduduk kota banyak yang keluar dari rumah-rumah mereka.
Aku berpikir seperti itu tadinya, tapi aku akan menarik kembali kata-kataku barusan. Jalanan sore Kota Scallian hari ini jelas terlihat perbedaannya jika dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Ada banyak orang yang berjalan membentuk arak-arakan saat aku mengambil jalur kiri di salah satu persimpangan di dekat toko rangkaian bunga.
Mereka tidak memerdulikanku, aku juga tidak memerdulikan mereka. Toh, penampilan mereka tidak aneh-aneh--jika saja mereka memakai topi panjang yang menutupi bagian mata dan hidung mereka serta mantel hitam dengan ujungnya yang memiliki noda bakaran, maka reaksiku pasti tidak akan seanteng ini.
Aku tidak ambil pusing menanggapi hal tersebut. Mungkin saja orang-orang itu ingin menghadiri perjamuan di rumah salah satu pria gempal yang ada di dalam iring-iringan tersebut, bukan? Jadi ya sudah, aku akan meninggalkan mereka sendirian. Untuk apa juga aku mengganggu ketenangan mereka?
Aku sampai ke rumah kurang lebih sepuluh menit setelahnya. Bargin Meath tadi kulihat sedang bermain-main dengan kucing abu berekor lengkung kesayangannya. Wajah pria aneh itu kelihatan bahagia, tapi kucingnya tidak. Kalau pun aku berada di posisi kucing itu, aku pasti akan langsung meronta meminta dilepaskan dari pelukannnya yang bau darah dan peluh itu.
Bersamaan dengan pintu depan yang kututup, malam menjemput. Bagus, aku bisa langsung mandi, makan malam, lalu tidur setelah mendapatkan jawaban dari Tuan Suara-tanpa-nama.
"Sudah pulang?"
"Sudah." Aku menjawab dengan malas. Pertanyaannya lebih terlihat seperti basa-basi daripada ingin tahu benar tentang keadaanku.
Suara itu berdehem tiga kali lalu menyuruhku untuk langsung mandi--lagi, alasannya masih sama..Badanku bau keringat, harus dibersihkan. Untung saja saat ini aku tidak mau beradu mulut dengannya jadi aku langsung menuruti apa saja yang ia ucapkan tadi.
Mandiku cukup lama, itu pun sebab dari gumpalan hitam di dalam bak yang entah bagaimana tidak kunjung hilang dan terus-terusan merengek untuk dibersihkan. Aku tidak punya pilihan lain selain mengambil sikat kasar dan ember untuk menghilangkan cacat di dalam bak mandiku itu.
Baunya sudah benar-benar tidak bisa ditahan lagi dan jika begini terus, bisa saja baunya pindah ke badanku. Demi Pegunungan Alpen, aku tidak mau hal itu terjadi. Mau ditaruh di mana wajahku nantinya?
Aku berpakaian dengan cepat setelah memasuki kamar. Kegiatanku mirip sekali dengan satu hari yang lalu. Mandi, berpakaian, lalu makan. Apa nantinya aku akan seperti ini terus selama tinggal di kota ini? Tidak seru.
Ah, jangan pikirkan itu sekarang, Arthur! Ayo cepat makan agar bisa langsung membuka bahasan dengan Tuan Suara-tanpa-nama.
Setelah menyantap kue sisa kemarin yang belum habis dan belum dicuri cicip oleh tikus, kumbang aneh, atau pun kucing Bargin Meath, aku langsung membuka suara.
"Tuan Suara-tanpa-nama," panggilku sambil mendongak menatap langit-langit.
Suara itu membalas dengan 'iya' singkat sehingga aku langsung menanyakan pertanyaan yang sedari tadi mengganjal di pikiranku. "Bagaimana caramu memberi tahu orang-orang di kota bahwa aku akan bekerja di tempat mereka?"
Suara itu berdehem lagi, tapi kali ini lebih singkat. "Aku bisa melakukannya tanpa harus kau ketahui bagaimana caranya."
"Aku ingin tahu. Bagaimana caranya?"
"Tidak mau," sergahnya. "Yang perlu kau pikirkan sekarang adalah tentang kue apa yang akan kau buat di tempat Nyonya Peruglia esok hari. Ah, benar juga. Ngomong-ngomong, apa saja yang kau lakukan hari ini di toko kue milik wanita itu? Bagaimana, mereka berdua baik-baik kepadamu, bukan?"
Cih. Mengganti topik lagi dia rupanya.
"Aku sudah memikirkan hal itu, jadi aku akan memikirkan hal baru lagi untuk saat ini. Ayolah, bagaimana caranya kau bisa melakukan hal tersebut?" Aku terus menerus mendesaknya, berusaha agar suara itu bisa memberiku jawaban dari pertanyaan yang selama ini kutanyakan.
Ada jeda hening kurang lebih satu menit setelah desakanku yang terakhir. Aku bisa mendengar napasnya yang memberat--sepertinya dia benar-benar tidak mau menceritakan perihal hal-hal ini, yang pada akhirnya akan terus kutanyakan sampai berhasil mendapat jawaban yang diinginkan.
"Dengarkan aku, Arthur. Aku tahu kau penasaran tapi tolong, aku tidak mau membicarakan hal ini denganmu."
"Kenapa?"
"Aku tidak mau saja. Ada masalah?"
"Tentu saja ada!" sungutku. Masalah utamaku adalah pertanyaan tadi, dan dirinya yang tidak menjawab persoalan itu sama saja dengan menambah pelik dari masalah yang sudah ada.
"Jika aku tidak mau, apa yang akan kau lakukan?" Suara itu tidak mau kalah dan balik bertanya kepadaku.
"Aku akan terus bertanya kepadamu."
"Dengarkan aku!" ucapnya dengan nada agak keras. Dia marah. Jelas marah. Aku terkesiap dan berhenti mengoceh. "Aku sudah bilang kepadamu sebelumnya, tepat ketika kau baru saja tiba di depan gerbang Kota Scallian. Jangan terlalu penasaran dengan kota ini dan penduduk-penduduknya. Ingat? Ah, kau ini pembangkang rupanya. Untung saja aku masih berbaik hati tidak mengusirmu dari tempat ini."
Aku mengangguk. Ucapannya barusan memang benar adanya. Dugaanku, jika aku terus melanjutkan, mengusirku dari tempat ini tidak akan lagi menjadi ucapannya belaka.
Begitulah. Hari ini pun, aku masih belum bisa mengetahui jawaban dari pertanyaanku tadi.
Tbc.