"Clary, Clary ...." Jefferson terus mengejar Clarice yang berjalan menuju pintu keluar aula. Tetapi, entah karena Clarice memang tidak mendengar atau berpura-pura tidak mendengar, gadis itu tetap berjalan cepat. Hingga akhirnya, Clarice berhasil meraih handle pintu, kemudian keluar dari ruangan aula hotel tersebut.
"Clary, maaf." Kali ini, Jefferson benar-benar yakin bahwa Clarice pasti mendengar suaranya, karena mereka sudah berada di luar lokasi pesta sekarang.
Clarice berhenti di depan pintu, kemudian menyandarkan punggungnya ke dinding yang dingin. "Kau tidak perlu meminta maaf untuk sesuatu yang tidak kau lakukan," tukas Clarice dingin.
"Bukan. Itu kesalahanku karena tidak menjaga imagemu di depan Ronald. Cowok itu memang suka bercanda. Aku minta maaf," ujar Jefferson sambil menundukkan kepalanya.
Clarice mengangguk singkat, kemudian berbalik membelakangi Jefferson. Clarice merasakan matanya mulai memanas, dan pandangannya semakin buram karena beberapa tetes air mata yang menggenang di pelupuknya. Clarice menengadah ke atas, mengibaskan tangannya di depan mata supaya air matanya tidak benar-benar menetes. Tidak. Ia tidak akan menangis di hadapan Jefferson, cowok yang baru saja ditemuinya.
Menurut novel P.S. I Like You karya Kasie West yang dibacanya, seorang gadis tidak boleh menangis di hadapan cowok sebelum kencan ketiga. Karena cowok biasanya akan merasa canggung jika melihat seorang gadis menangis. Terlepas dari ini kencan ketiga atau kencan kesekian, Clarice tidak ingin membuat Jefferson salah tingkah. Sesuatu yang menyebabkan dadanya terasa sesak bukan disebabkan oleh Jefferson, dan bukan kewajiban cowok itu untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya di hadapan Clarice sekarang.
"Clary ...," panggil Jefferson sambil menyentuh bahu Clarice dengan berhati-hati. "Maaf." Sekali lagi, Jefferson meminta maaf dengan suara paraunya yang lirih.
Clarice tak tahan lagi dengan ini. Ia sudah tak dapat menahan air matanya dan tak tahan mendengar Jefferson terus meminta maaf. Clarice pun berbalik dan menghadapi Jefferson, dengan matanya yang memerah. "Kubilang bahwa itu bukan kesalahanmu, jadi jangan minta maaf. Jangan bersikap terlalu menyedihkan, Jeff."
"OMG, Clary. Mengapa kau menangis?" Jefferson segera mengusap air mata yang menetes perlahan-lahan di pipi Clarice.
Clarice menghela napas, kemudian menghapus seluruh air matanya sendiri serta menyingkirkan tangan Jefferson dari pipinya. "Aku tidak mungkin masih bisa tertawa santai jika baru saja ada seorang cowok yang mengajakku berkencan satu malam, kan? Itu mengerikan. Bahkan mimpi terburukku tidak pernah memikirkan tentang hal-hal seperti itu," ujar Clarice sambil bergidik ngeri.
"Maaf, Clary. Aku mengerti ketakutanmu."
"Dan, sstt ... jangan banyak bicara padaku. Aku sudah merasa cukup baik dengan adanya kau di dekatku. Jangan mengatakan kata-kata menyedihkan seolah aku tak akan pernah bangkit dari ancaman tadi." Clarice mendesis sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya.
"Okay," jawab Jefferson ragu. Kemudian, Clarice menarik tangan Jefferson—serileks seperti saat ia menarik tangan Noah—untuk kembali memasuki ruang aula. "Sudah cukup baik untuk kembali masuk ke pesta TGIF?"
Clarice mengangguk mantap, lalu menarik handle pintu. "Asalkan kau menjamin bahwa aku tidak akan bertemu dengan Patterson itu."
"Haha ... baiklah. Kau gadis yang kuat, Clary," sahut Jefferson sambil mengikuti Clarice.
***
"Begini. Aku hampir tidak percaya bahwa kau dan Miracle berhasil meyakinkanku untuk datang ke pesta TGIF ini," ucap Clarice sambil menumpangkan kaki kanan di atas lutut kirinya.
"Hmm ... itu pasti karena pesonaku, kan?" ucap Jefferson percaya diri, kemudian meraih toples Tupperware dari meja di depan sofa yang berisi crepes.
"Uhuk uhuk ... tentu saja tidak, Jeff. Kau terlalu percaya diri." Clarice tersedak, kemudian mengambil gelas kaca yang berisi air mineral. Clarice menenggak airnya sampai habis. Kemudian, ia menoleh ke arah dispenser di ujung ruangan untuk mengisi ulang gelasnya dengan air mineral gratis. Namun, ternyata dispenser tersebut sudah kosong.
"Kau mau minuman?" tanya Jefferson sambil menggigiti crepesnya.
"Eh ... ya. Apakah kau tahu tempat membeli minuman di sekitar area ini?" tanya Clarice sambil meletakkan gelasnya. Gadis itu beralih membuka tasnya dan mencari sesuatu dari dalam sana.
"Penjual minuman ada di sebelah tenggara aula. Aku akan membelikan minuman untukmu. Kau mau minum apa?" tanya Jefferson sembari menyumpalkan gigitan terakhir crepesnya.
"Matcha boleh, coffee milk juga boleh," jawab Clarice singkat. Ia tetap berkutat pada tasnya. Namun, pencariannya terhenti karena tiba-tiba ia mengingat sesuatu. Shit. Aku lupa membawa dompet, umpat Clarice dalam hati. Bibirnya mencibir sementara tangannya memukul pelan puncak kepala sendiri.
"Ada apa lagi, Clary?" tanya Jefferson sambil beranjak dari sofa. Sesekali, cowok itu tersenyum dan menyapa teman-temannya yang lewat selagi menunggu jawaban dari Clarice.
"Lupakan. Aku tidak jadi beli minuman," ucap Clarice sambil bersandar di sofa dan bersedekap. Ia menatap miris dispenser di sudut ruangan, berharap seorang petugas cepat datang dan mengisi ulang galon tersebut.
"Kenapa?" tanya Jefferson bingung.
"Aku tidak bawa dompet. Tidak ada uang." Clarice mengangkat bahu sambil meletakkan tasnya kembali.
"Astaga, Clary. Kupikir ada sesuatu lagi," sahut Jefferson sambil menepuk keningnya. "Sudah kubilang aku akan membelikan minuman untukmu." Jefferson pun berlalu menuju ke tenggara aula untuk membeli minuman.
Sementara itu, Clarice memandang punggung Jefferson sambil mengerutkan keningnya. "Ah, ya sudahlah. Aku akan mengganti uangnya saat di rumah," gumam Clarice sambil kembali bersandar di sofa dan mengayun-ayunkan kakinya.
***
Clarice telah menguap beberapa kali pasca Jefferson pergi membeli minuman. Mengapa cowok itu lama sekali membeli minuman? pikir Clarice sambil memberantakkan rambutnya. Ia kembali menyandarkan tubuhnya yang sudah merosot ke sofa, sebelum kemudian ia melihat sesosok cowok yang terlihat familiar baginya. Apakah mungkin cowok itu terlihat seperti ....
Nicholas Maison. Yeah, pasti cowok itu. Clarice mengenali rambut pirang pucat Nicholas. Kebetulan sekali, cowok itu sedang berjalan sendirian, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, dan itu semakin mempertegas aura maskulinnya. Hei, bukankah ini kesempatan baik untuk menjalin hubungan dengannya juga? Lagipula Jefferson lama sekali, pikir Clarice. Gadis itu menegakkan punggungnya, kemudian melambaikan tangan ke arah Nicholas. "Hei, Nicholas Maison!" sapa Clarice sembari menyunggingkan senyum lebar.
Yeah, entalah. Clarice tidak terlalu berharap bahwa sapaannya akan terdengar di tengah-tengah musik heavy metal yang berdentum keras. Meskipun Clarice sedang berada di sudut ruangan yang nyaris kurang penerangan, tetap saja speaker yang tersebar di seluruh aula memperdengarkan musik dengan jelas. Tetapi, ternyata Nicholas menoleh dan tersenyum lebar ke arah Clarice.
"Oh ... hai. Kau Clarice Barack, kan?" balas Nicholas sambil berjalan mendekati Clarice. Cowok itu duduk di sofa di samping Clarice, tetap dalam jarak yang terjaga.
"Ya. Aku tak menyangka bahwa kau masih mengingatku, kita hanya bertemu singkat sekali saat di ruang loker itu," ucap Clarice sambil tersenyum lebar.
"Kubilang kau menarik. Aku tidak akan mudah melupakan sesuatu yang menarik," jawab Nicholas.
Clarice memiringkan kepalanya, kemudian membuang pandangan ke sekeliling ruangan. Sebelum ini, ia benar-benar belum pernah mendengar seorang cowok yang menyatakan ketertarikan secara serius. Ia tahu bahwa wajahnya tidak boleh terlihat memerah di hadapan Nicholas, tetapi rasanya ia tak mungkin menyembunyikan rona itu. Clarice akhirnya mengembuskan napas dan mulai mengalihkan topik pembicaraan.
"Omong-omong, mengapa kau bisa datang ke pesta TGIF Patterson?" tanya Clarice.
"Sederhananya, Patterson memaksaku untuk menghadiri pesta ini," jawab Nicholas sambil terkekeh.
"O, ya? Kau juga mengenal Ronald Patterson?" tanya Clarice tak percaya. Nicholas mengangguk sembari melirik gelas kaca kosong di atas meja. "Wow ... aku tidak mengira bahwa lingkar pertemanan para cowok seluas itu." Clarice tersenyum menyadari fakta baru yang diketahuinya.
"Yeah, kami memang begitu," sahut Nicholas. "Eh ... apakah kau mau minum? Aku akan mengambilkannya." Tanpa menunggu jawaban, Nicholas segera menyambar gelas kaca kosong milik Clarice.
"Te ... terima kasih. Tetapi sebenarnya kau tidak perlu melakukannya. Temanku sedang pergi untuk membeli minuman," cegah Clarice.
"Kalau temanmu datang ke penjual minuman yang terletak di tenggara aula, ia bisa kembali lagi lama sekali. Di sana sedang sangat ramai. Kau akan kehausan. Aku akan mengambilkan minuman dari tempat lain," ucap Nicholas sambil berlalu pergi.
"Oke. Aku dapat menunggunya. Aku sudah berjanji akan minum bersamanya. Kau tidak ...." Clarice berhenti melontarkan argumennya ketika Nicholas terus berjalan tanpa mendengarkannya. "Baiklah. Terserah." Clarice mengangkat bahunya pasrah. Gadis itu mengeluarkan handphone dan earphone—yang hampir selalu menancap di handphonenya—dari dalam tas, kemudian menyumpal telinga dengan musik pop kontemporer yang disukainya. Musik heavy metal benar-benar membuatnya mual. Ia pasti sudah keluar dari aula ini sekarang juga jika tidak ada dua cowok yang sedang membelikan minuman untuknya.
Dua cowok membelikan minuman untuknya? Oke. Itu sebuah kenyataan baru yang unik.
***
Seseorang menyentuh bahunya dengan gelas dingin ketika Clarice tengah memejamkan mata sembari mendengarkan lagu Girls Like You oleh Maroon 5. Clarice pikir, seseorang itu pasti Jefferson. Tetapi, ketika Clarice membuka mata dan mendongak ke atas, ternyata Nicholas yang datang. Aneh. Bagaimana bisa ....
"Hei, katamu penjual minuman di tenggara aula sedang ramai sekali? Bagaimana kau bisa cepat sekali mendapat minuman?" selidik Clarice. Tanpa rasa bersalah, Nicholas mengedikkan bahu sambil memutari sofa dan duduk di samping Clarice. "Tunggu. Apakah kau menerobos antrean?"
"Aku punya caraku sendiri, Clarice," jawab Nicholas misterius. Cowok itu menyodorkan gelas kaca yang sudah terisi cairan berwarna merah keemasan. "Silakan diminum."
Clarice menerima gelas tersebut, kemudian memperhatikan minuman tersebut. Ia mengendus bau minuman tersebut beberapa kali, sebelum akhirnya bertanya, "Minuman apa ini?"
"Koktail," jawab Nicholas singkat.
"Koktail? Koktail apa?" tanya Clarice bingung. Ia masih memperhatikan isi gelasnya sambil mengerutkan alis.
"Koktail buah." Nicholas menjawab lagi-lagi dengan jawaban singkat yang tidak memuaskan.
"Seriously? Aku memang belum pernah minum koktail, tetapi aku pernah bermain game café tentang kedai koktail. Dan koktail yang berwarna seperti ini selalu merupakan koktail beralkohol." Clarice masih ragu untuk menyesap minuman tersebut.
"Tentu saja. Aku tidak berbohong. Cicipi saja. Rasanya semanis limun, kok. Dan itu sangat segar. Kujamin kau akan menyukai minuman itu," ucap Nicholas sambil menyunggingkan senyum maskulinnya yang memesona.
Apakah tidak sopan jika Clarice tidak mau meminumnya? Nicholas telah membelikan minuman untuknya, lagipula tenggorokannya benar-benar kering setelah mengonsumsi beberapa crepes tadi. Clarice menoleh ke sekeliling ruangan, berharap melihat sosok Jefferson yang membawakan matcha atau coffee milk. Namun, kenyataannya Jefferson tidak ada di sekitarnya. Clarice sama sekali tidak mempunyai alasan untuk menolak minuman dari Nicholas.
"Baiklah. Aku akan mencobanya. Awas kalau ternyata tidak enak." Clarice berpura-pura mengancam sambil mengacungkan tinjunya. Nicholas tertawa melihat gestur tersebut, tetapi kali ini Clarice tidak peduli.
Clarice menenggak minuman tersebut, dan rasanya memang ... segar. Ada sedikit rasa limun yang seperti menyetrum lidahnya. Tetapi, minuman dari Nicholas ini memang lezat.
"Bagaimana rasanya? Enak bukan?" tanya Nicholas.
Clarice mengangguk sambil tersenyum senang, kemudian menenggak cairan merah keemasan tersebut lebih banyak.
"Omong-omong, aku masih penasaran tentang ...." Clarice mencoba mengangkat topik pembicaraan untuk mengisi keheningan di antara mereka.
"Apa? Surat? Kalau soal itu, aku mengirimnya karena aku benar-benar tertarik padamu. Aku pernah mengamatimu beberapa kali," sahut Nicholas. Clarice menganggukkan kepalanya perlahan, lalu lanjut menenggak koktail.
"Hei, omong-omong soal surat, aku masih penasaran mengapa gadis sepertimu bisa berteman akrab dengan Miracle. Kalian jauh berbeda. Rasanya seperti melihat kucing dan anjing rukun," komentar Nicholas.
"Aku kucingnya dan Miracle anjingnya?" canda Clarice. Nicole tergelak mendengar lelucon itu. "Yeah, menurutku Miracle sangat menyenangkan. Dia tidak pernah menutup-nutupi sesuatu seperti cewek pada umumnya. Itu yang membuatku nyaman dengannya."
Nicholas mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. Namun, kemudian ia bersuara lagi. "Tetapi gaya pergaulanmu jauh berbeda denganya."
"Uhuh? Itu bukan masalah buatku. Kami hanya berteman dalam kawasan sekolah, rumahku, dan rumahnya. Dan ... tentang gaya pergaulannya, itu alasan yang cukup kuat mengapa aku bangga berteman dengan Miracle. Ia punya pandangan yang sangat luas tentang ekstremnya dunia. Miracle seperti Wikipedia jika ditanyai tentang hal-hal sosial seperti itu," jelas Clarice sambil tertawa.
Nicholas mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis, seolah mengetahui fakta unik baru tentang Clarice. Clarice tidak terlalu memedulikan reaksi Nicholas alih-alih memilih menikmati koktail sambil memutar-mutar gelas kacanya.
Ketika Clarice telah menghabiskan tiga perempat koktail, ia mulai merasa kepalanya semakin berat. Berat untuk berpikir, dan berat untuk diangkat. Benar-benar pusing, dan rasa kantuknya mulai timbul sekarang.
"Ya Tuhan. Jam berapa sekarang? Mengapa Jefferson masih belum kembali?" gerutu Clarice sambil berbalik membelakangi Nicholas. "Pukul berapa sekarang, Nicholas?"
"Sekarang pukul 10.00 p.m. Tidurlah kalau kau mengantuk," sahut Nicholas sambil mengecek arlojinya. "Mungkin Jefferson sedang bertemu dengan temannya. Yeah ... kau tahu, temannya banyak sekali."
Clarice tetap bergeming setelah Nicholas menjawab pertanyaannya. Gadis itu tetap duduk menghadap ke koridor aula yang ramai. Nicholas menoleh ketika tidak mendengar sahutan dari Clarice. Bukankah biasanya gadis ini selalu menyahut setiap ucapan? Mengapa kali ini dia diam saja? pikir Nicholas. Cowok itu menyibakkan rambut Clarice yang menutupi wajah, kemudian memperhatikan wajah polos Clarice yang tertidur pulas.
"Kau manis sekali," bisik Nicholas.