Ditto tampak asik bermain ping-pong dengan Dirga. Sorakan dukungan datang dari Ridho, Rangga, dan Galang yang entah sejak kapan sudah berhenti bermain jenga. Sedangkan Ian sendiri sibuk menggenjreng gitarnya tidak jelas. Padahal teman-temannya sudah sangat berisik, ia malah menambah suara dengan suara-suara petikan gitar yang setengah sumbang.
"Wuhuuu! Gue menang! Turun lo pesenin gue latte lagi!" Ditto berteriak senang ketika Dirga gagal menangkis bola yang ia pukul.
Dirga mencebikkan bibir kesal. Ia melempar bet yang ia pegang ke arah Ridho. "Kalah mulu gue, heran!" ia menghentak kaki sambil berjalan menuruni tangga kafe.
"Jangan banyak bacot! Kalah mah, kalah aja!" Ridho melempar lagi bet yang sempat mengenai betisnya.
"Gue sekalian, ya, Ga!" kata Ian yang mendapat tanda jempol dari Dirga.
"Gabut gue, enaknya ngapain lagi nih, gan?" semua memandang heran pada Rangga. Tak biasanya seorang Rangga menjadi oknum gabut. Ia dan Ridho adalah spesies sama yang selalu berhasil memecah kegabutan.
"Lo bisa gabut, Ngga?" tanya Galang heran.
"Sakit ya, lo?"
"Jangan-jangan lo mau mampus ya, Ngga?" Rangga menggeplak lengan Ditto kesal karena ucapan Ditto yang sebarangan.
"Kira-kira dong, kalo ngomong! Gue beneran udah bosen banget nih!"
"Sorry, sorry! Becanda doang gue mah!" kata Ditto sambil memukul kembali lengan Rangga.
"Kalo sampe berantem beneran, nggak bakalan gue pisahin!" ancam Galang pada dua manusia yang kini asik saling memukuli satu sama lain.
"Riri biasanya bawa gosip, nggak nggosip lo?" tanya Ian pada Ridho yang kini siap memegang bet ping-pong bersiap melempar Ian karena asal memanggilnya Riri.
"Riri, Riri! Nama gue Ridho, sat!"
"Panggilan sayang, bego!"
"Jijik gue panggilan sayang dari lo pada!"
"Riri Riri sayangkuuu!" Ridho mendorong jidat Rangga yang memonyongkan bibirnya seolah akan menciumnya dari samping.
"Jijik, anjir! Gue masih doyan cewek!" Ridho berlari menuju belakang Galang meminta perllindungan.
"Lo pada ngapain sih! Heboh amat!" bentak Dirga yang baru saja datang sambil membawa dua latte dan sepiring kentang goreng porsi besar.
"Ga tolongin gue! temen lo tuh!" Ridho menunjuk Rangga yang masih betah memonyongkan bibirnya kearahnya.
"Alay lo, anjir! Biasanya juga gitu!" Dirga meletakkan nampan yang ia bawa di meja yang penuh dengan piring kotor dan sisa-sisa makanan. "Eh, Dit! Gue tadi ketemu si dedek gumush."
"Siape sih, njir, degem-degem?" Galang menatap Dirga jijik karena gaya ngomongnya yang alay.
"Zalva maksud lo?" tanya Ian memastikan. Dirga menggangguk membenarkan.
"Lah dia kan emang disini bego!" kata Ditto ngegas. Jelas-jelas mereka semua tau Zalva disini karena tadi mereka berangkat bersama.
"Maksud gue, dia lagi pesen makanan. Sama yang anak pindahan itu lho," Ditto mengangguk mengerti, lalu mendadak berhenti dan menatap Ian. Ian juga tampak heran.
"Bukannya mereka nggak akur?" tanya Ian mengungkapkan keheranannya.
"Nggak tau lah gue! malah tanya gue!"
"Masa udah akur?" tanya Ditto entah pada siapa.
"Bagus lah, bego! Akur malah heran," sahut Galang tidak mengerti dengan pola pikir Ditto dan Ian.
"Bukan gitu, njir! Shireen pernah ngomong kalau Debora tuh benci banget sama itu anak, ngeselin katanya. Masa tiba-tiba udah akur. Kan aneh!" jelas Ian.
"Ya, kan, Dirga liatnya sama Zalva bukan sama Debora!" Ditto berdecak kesal mendengar Galang dan Rangga yang masih ngeyel.
"Sat! Nggak mau ngeributin yang lain aja dari pada urusan Zalva akur sama Sam lo ributin!" bentak Ditto yang sudah muak dengan pertengkaran tidak penting itu.
"Tapi lo deket banget sama Zalva, Dit. Suka, ya, lo?" tanya Ridho mengganti topik.
"Kagak!"
"Masa?"
"Mampus aja lo, nying!" Ridho menunduk mengiyakan, daripada dibunuh sahabatnya sendiri.
"Jangan mainin anak orang, nggak baik," ujar Galang sok mengingatkan.
"Ngaca lo, bangsat! Tiap malming ganti cewek aja kok gaya-gayaan ngasih tau Ditto!" hujat Rangga yang sebenarnya tak beda jauh.
"Lo berdua bisa ngaca barengan aja nggak? Sama Riri sekalian," Ridho menunjuk dirinya sendiri sambil menatap Ian sok dramatis mendapati namanya disebut padahal ia tidak ikut bacot.
"Ck! Sehari nggak berantem tuh emang nggak bisa, ya?" Ditto menatap nanar teman-temannya.
Ridho menggeleng perlahan. "Emang dasarnya kaya gini sih, Dit. Mau gimana lagi?"
"Eh, tapi, Dit. Gue serius nih tanya. Lo beneran nggak ada perasaan sama Zalva?" tanya Dirga sambil menatap tajam mata Ditto.
"Enggak, nying! Gue beneran!"
"Ngegas terus masnya!" jawab Dirga santai.
"Ditto nggak mungkin suka sama Zalva, lah! Apa kabar otak utamanya Grande kalo Ditto suka sama Zalva," Ian mengerlingkan matanya kearah Ditto yang hampir saja mengundang hantaman dari korban.
"Otak utamanya Grande? Velia maksud lo?" tanya Galang meluruskan ucapan Ian. Diantara mereka berenam, Dirga, Galang dan Rangga adalah anak IPS. Tepatnya Dirga di 11 IPS-1 sedangkan Galang dan Rangga di 11 IPS-2. Sedangkan Ditto, Ian, dan Ridho adalah anak 11 IPA-1, kelas unggulan di Grande.
"Iya, lah! Siapa lagi emang yang lebih pinter dari Velia?" tukas Ridho penuh semangat membanggakan bintang kelasnya itu.
"Emang lo masih sama Velia, Dit? Gue kira habis lo wasting time antar jemput Zalva, lo udah nggak deket sama dia," Ditto menatap Rangga tajam. Ia tidak suka bagian 'wasting time' dalam kalimat Rangga.
"Gue emang deket sama Velia, tapi nggak lebih dari temen. Dan gue nggak pernah merasa antar jemput Zalva itu bagian dari 'wasting time' gue," jawab Ditto tegas yang membuat Rangga sedikit merasa bersalah.
"Lo nggak ngerasa ngasih harapan? Dari kelas sepuluh dulu, Velia udah jelas banget suka sama lo. Lo juga kelihatannya oke-oke aja sama dia. Sekarang lo bilang cuma temen? Nggak salah lo?" tanya Ian menyudutkan Ditto. Ditto sendiri tampak tenang, tidak masalah dengan kata-kata sahabatnya sejak kecil itu.
"Gue nggak minta Velia berharap sama gue. Lagian, sikap gue sama ke semua orang, nggak mengkhususkan Velia."
"Kalo Zalva? Khusus kan kalo sama dia? Kenapa? Katanya nggak suka?" hardik Ian lagi. Teman-temannya yang lain sudah tidak heran lagi. Ditto dan Ian selalu seperti itu, saling menyudutkan dan bertukar kalimat pedas namun nanti berakhir dengan tertawa bersama.
"Zalva adiknya Bang Alfa, kalo lo lupa. Lo sendiri tau seberapa besar kebaikan Bang Alfa ke gue. Nggak mungkin gue nggak mengkhususkan Zalva," Ian menampilkan senyum tidak sukanya.
"Tapi apa lo bisa jamin nggak bakal main perasaan sama dia?"
"Urusan perasaan, itu urusan gue sama Zalva. Lo nggak perlu tau," Ditto bangkit dari duduknya, hendak pergi dari tempat itu. Ridho menahan lengan Ditto, memaksanya duduk kembali.
"Lo nggak bisa kabur, asal pulang. Zalva di bawah, lo sendiri janji mau nganterin dia pulang," ujar Ridho mengingatkan. Ditto kembali melemaskan badan, memaksa dirinya duduk di tempat tadi.
***
Ditto hanya diam saja selama perjalanan menuju rumah Zalva. Ia masih terbawa suasana pertengkarannya dengan Ian di You Caffe tadi. Memang bukan hal baru jika ia dan sahabatnya itu bertengkar. Apalagi saling melemparkan kata-kata tajam. Bahkan mereka pernah saling adu jotos karena masalah sepele dulu waktu SMP yang membuat keduanya harus sama-sama di skors.
Namun pertengkarannya hari ini sedikit berbeda. Ini urusan perempuan. Hal yang selalu dihindari Ditto dan Alfian. Ditto tau, sahabatnya itu hanya ingin dirinya lebih berhati-hati dengan perasaan. Ia tidak ingin Ditto menyakiti apalagi tersakiti. Ian sudah seperti seorang saudara laki-laki baginya. Sayangnya, Ditto bukan orang yang suka dicampuri urusan perasaan.
Motor hitam legam Ditto berhenti tepat di depan gerbang rumah Zalva. Terlihat Alfa baru saja memarkirkan motornya di garasi rumah, sepertinya baru pulang kuliah. Dengan gestur sederhana, Alfa memerintahkan Ditto untuk masuk. Ditto hanya melambaikan tangannya tanda menolak.
"Mmm, thanks Dit!" ujar Zalva sambil melepas helmnya.
Ditto tersenyum senang. "Tumben bilang makasih? Kesambet setan dimana?" tanyanya girang.
"Masih baik gue bilang makasih!" bentak Zalva kesal. Ia mengerucutkan bibirnya yang membuat Ditto gemas.
"Iya, iya. Sama-sama Zha!" jawabnya sambil mengacak puncak kepala Zalva.
Zalva semakin mengerucutkan bibirnya, ia memukul tangan Ditto yang ada di kepalanya lalu merapikan rambutnya kembali. "Tangan lo gatel, ya, kalo nggak ngacak-acak rambut orang!" Ditto hanya menjawabnya dengan kekehan.
Suasana menjadi canggung sebentar. Zalva masih dengan usahanya merapikan rambut yang masih pula diacak-acak olek Ditto. Ditto juga tidak begitu terganggu dengan keluhan-keluhan kecil dan pukulan-pukulan Zalva di tangannya. Ia terganggu dengan pikirannya sendiri.
"Lo tumben banyak diem?" tanya Zalva setelah Ditto menghentikan kegiatannya.
"Lo tumben banyak tanya?" Ditto terbahak melihat Zalva bersiap memukul dengan kepalan tangan kecilnya itu.
"Gue kaget aja gitu. Biasanya bacot sana-sini, mendadak diem gini."
"Nggak papa, sih. Gue pikir lo keganggu kalo gue bacot nggak jelas, ternyata enggak ya?" Zalva berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepalanya.
"Awalnya gue keganggu, sih. Tapi lama-lama jadi biasa."
Ditto hanya tertawa kecil, lalu mengelus puncak kepala Zalva. Zalva terlihat mengerutkan keningnya melihat kelakuan Ditto yang tidak biasa.
"Lo sakit, ya, Dit?"
"Gue lebih tua dari lo, Zha!"
"Ck! Lo sakit?" tanyanya lagi. Ditto menggeleng kuat sambil tersenyum. "Udah gila, ya, lo? Senyum-senyum gitu! Serem, Dit! Sumpah!"
Ditto menyentil mulut Zalva pelan. "Dibilangin susah amat, sih! Gue lebih tua dari lo!"
"Iya, iya! Kak Ditto! Pulang sana! Istirahat! Otak lo udah geser kayanya," perintah Zalva yang langsung diangguki Ditto. Ia memakai kembali helmnya lalu merapatkan jaket ditubuhnya.
"Zha!" panggil Ditto setelah menstarter motornya.
"Apa lagi, sih! Sana pulang!" usir Zalva sambil membentak.
"Nanti kalo gue suka sama lo, lo harus tanggung jawab, ya! Nggak peduli alesan lo, tapi lo harus tanggung jawab!" Zalva terdiam terpaku mencerna ucapan Ditto yang tiba-tiba. "Pulang dulu, Zha! Salam buat Bang Alfa. Assalamualaikum!" setelah mendengar rintihan Zalva menjawab salamnya, Ditto mulai meninggalkan rumah Zalva. Ia kembali bergelut dengan pikirannya.
***
Yang diacak - acak rambut Zalva, yang acak-acakan hati gue:'(
Nih buat yang kangen Ditto~~~
jangan lupa vote comment and share ya readers que!!!
stay save and healthy!