Author's note : Bagian awal chapter ini udah kalian baca di cuplikan kemarin, dan udah ditambahin jumlah wordsnya.
"Coba dipikirin lagi deh, Run. Damar emang kurangnya apa?"
Aruna menatap Ira. "Serius deh, Ra. Lo masih harus nanyain soal Damar di setiap obrolan gue sama lo? Lo emang punya obsesi terpendam sama dia? Lo naksir?"
Ira langsung menggeleng. "Ya nggaklah. Gue paling anti naksir sama laki-laki yang sudah punya pasangan." Ira lalu menambahkan. "Yaaa, meskipun hubungan kalian nggak bisa dibilang hubungan yang normal."
Aruna mendesis. "Ya. Bilang aja kalo gue orang jahat."
"Nah, lo nyadar kan sekarang?" Ira mencomot kentang goreng. "Jujur nih ya, Run. Gue nggak pernah bisa berhenti ngomongin soal Damar sama lo, karena gue rasa lo udah keterlaluan. Dari awal, gue nggak pernah setuju sama tindakan lo. Okelah, Eryk nikah karena dijodohin. Tapi kan nggak lantas lo ngambil keputusan yang bodoh."
"Gue cuma mau nyenengin orangtua gue, oke? Lo nggak akan bisa ngerti karena lo bukan gue."
Ira tersenyum. "Ya, karena gue nggak tau gimana perasaan lo. Lo mau bilang gitu kan?"
Aruna menyesap lagi soda kalengan yang tadi diambil dari lemari es.
"Udah deh, Ra. Bilang aja lo mau nyeramahin gue terus. Gue manggil lo ke sini buat curhat soal Eryk, eh tapi lo malah ngomongin soal Damar. Jangan bikin gue jadi pihak yang paling jahat lho ya?"
"Astaga, Ruun. Emang yang paling jahat lo kan?"
"Yang paling jahat itu mamanya Eryk. Paham?"
Ira melipat tangan di depan dada. "Ya tapi nggak harus...,"
Bunyi bel terdengar.
"Siapa?" tanya Ira.
"Damar." Aruna menjawab singkat. Ia membuang napas panjang. Bungkus rokok beserta asbak dimasukkannya ke dalam laci kitchen set. "Lo masak apa kek, biar rame."
"Padahal gue baru mau pamit pulang. Lo sih, bilang Damar kemungkinan nginap di rumah orangtuanya."
"Ya mana gue tau dia bakal balik cepat? Udah lo masak aja cepetan." Aruna melangkahkan kaki meninggalkan pantri. Bel berbunyi lagi untuk ketiga kali.
"Lo pulang?" kata Aruna setelah pintu terbuka.
Damar melewatinya setelah mengucapkan salam. Damar mungkin tahu ada tamu di rumah, jika ia memerhatikan dua pasang sepatu wanita di depan pintu masuk tadi.
"Kenapa? Rumah ini juga masih rumah saya."
"Ya. Emang lo yang beli ya kan?" Aruna membalas cepat. Ia mengikuti langkah Damar. "Ira lagi masak. Kali aja lo pengen tau, siapa tamu gue dan lagi ngapain."
Damar tidak merespon, ia hanya memilih melakukan apa yang ingin dilakukannya dalam diam. Ia meminum air putih, dan terdengar membalas sapaan Ira.
"Maaf ya, dapurnya mau diberantakin. Aku mau masak random aja sih. Oh, ya, kamu suka masakan pedas nggak?" tanya Ira kepada Damar.
"Saya masih kenyang."
"Oh, nggak pa-pa. Buat makan malam kan? Suka gurame asam manis?" tanya Ira lagi.
"Di kulkas nggak ada gurame, Ra." Aruna masuk ke pantri dan bersedekap. "Lagian tadi lo mau masak tom yam kan?"
"Abis kayaknya lo pernah bilang kan Damar doyan sama gurame asam manis?" Ira mengambil panci yang kemudian diisi air.
Aruna mengerutkan kening. "Emang gue pernah bilang gitu ya? Gue nggak pernah ingat."
"Emang ya ingatan lo tuh pendek banget."
Aruna memang tidak bisa mengingat apakah ia pernah mengatakannya atau tidak sampai Ira mengingatkannya.
"Yang waktu kita makan bareng di resto masakan Sunda itu lho, Run."
Ingatannya memang pendek jika menyangkut Damar. Tapi waktu itu ia tidak mengatakannya karena faktor kesengajaan. Mungkin waktu itu ia kehabisan topik pembicaraan?
Bagaimana mungkin ia bisa mengingat makanan kesukaan Damar?
"Oh, ya. Dam. Kamu pasti tau dong makanan favoritnya Aruna?"
Aruna melotot ke arah Ira.
"Nggak penting banget deh tuh pertanyaan. Nggak usah dijawab. Nggak bakal inget juga."
"Ayam goreng tepung." Damar menjawab singkat, sebelum menambahkan lagi. "Burger nggak pake pickles."
Aruna menggeleng-geleng. Nggak mungkin Damar mengingat makanan kesukaannya. Damar terlalu benci padanya untuk mengingat makanan favoritnya.
Ira bertepuk tangan.
"Kalian memang cocok."
Aruna menggeleng. "Nggaklah. Tau makanan favorit nggak mesti jadi alasan kecocokan. Kebetulan aja ingat kan?"
Ira tersenyum. "Kalian tuh cocok tau nggak?"
Aruna melemparkan tatapan tajam kepada Ira. Ira malah balik melemparkan senyuman puas.
"Nggak usah skeptis gitu dong, Run. Ntar lo jatuh cinta sama Damar ya kan? Gimana, Dam? Sahabat gue? Dia cantik dan baik hati kan? Tenang kalo soal masak dan nyuci, gue bisa ajarin kok. Lo nggak bakalan nyesel punya isteri kaya dia."
Aruna sudah bersiap membunuh Ira detik itu juga.
"Dia yang pasti menyesal punya suami kaya saya."
"Ng..." Ira terlihat mencoba berbicara lagi, tapi kalimat tadi terdengar begitu serius. Tepatnya ia kehabisan kata.
"Kamu jadi ngebuat Ira nggak betah." Aruna lalu berjalan mendekat dan kini berdiri di samping Ira yang memberikan isyarat kepadanya untuk tidak membalas ucapan Damar. Damar beranjak dari kursi dan beberapa detik kemudian terlihat menaiki tangga. Menyisakan keheningan.
"Udah. Wajarlah dia ngomong gitu." Ira mengecilkan volume suaranya. "Damar serem juga ya kalo ngomong?"
"Dia benci banget sama gue. Ya, kaya gue peduli aja."
Ira menyenggol lengannya. "Kan gara-gara lo juga dia jadi bersikap begitu. Lo yang udah nyalain api trus lo mungkin berharap dia nggak benci sama lo?"
"Lo kan tau alasan gue, Ra?"
Ira membuang napas. "Mending lo lupain Eryk aja deh."
"Lo pikir bakal semudah itu? Gue juga lagi perjuangin hak gue. Denise itu ga pantes buat Eryk."
"Terus terang, gue mulai males dengar omongan lo." Suara Ira terdengar ketus. "Walaupun begitu, gue juga bakal nggak bosan nasihatin lo untuk ngebuka mata dan hati lo. Ngeliat kenyataan di depan lo, Run. Gue cuma nggak mau lo hancurin semuanya."
Aruna mendengarkan semua ucapan Ira dengan seksama.
Ia memang belum bisa menerima kenyataan.
Ia bahkan tidak pernah berpikir untuk benar-benar melepaskan Eryk.
Rencananya harus tetap berjalan mulus. Mendapatkan Eryk.
Dan jika tidak, ia sendiri yang akan hancur.
***
Dua jam kemudian, Aruna masih berada di pantri. Ira sudah pulang sekitar sepuluh menit yang lalu. Ia jadi punya banyak waktu untuk menyendiri. Damar juga tidak kunjung muncul untuk makan malam.
Aruna melepaskan celemek yang sebetulnya tidak banyak berguna saat memasak bersama Ira tadi. Tepatnya ia membiarkan Ira menyelesaikan masakannya sendiri sementara ia hanya mengamati. Ia tidak akan membantu Ira saat Ira sedang menasehatinya. Ira pun tidak menyuruhnya untuk membantu. Kata Ira, dirinya bukan tipe orang yang mudah disuruh mengerjakan sesuatu, jadi Ira malas menyuruhnya, meski hanya sekadar membantu memasak. Aruna mengatakan akan mencoba membersihkan dapur yang direspon Ira dengan lirikan meremehkan.
Ira jadi semakin menyebalkan akhir-akhir ini, namun ia tetap membutuhkan kehadirannya karena Aruna selalu butuh teman untuk mengobrol. Menurutnya, ia lebih nyaman menghabiskan waktu bersama sahabatnya itu meskipun dengan resiko menerima beraneka petuah hingga sindiran-sindiran yang kadang mampu memerahkan telinga.
Aruna membersihkan tangannya menggunakan sabun dan air yang mengalir dari keran. Setelah mengeringkan tangan, ia naik menuju lantai atas. Ia masih tidak yakin apakah akan mengajak Damar makan malam bersama, menyuruhnya makan malam sendiri, atau apapun namanya.
Saat pintu terbuka, ia melihat Damar tengah menatap ponsel. Saat melihatnya datang, Damar bergeming, dan kembali menatap ponsel, kali ini dengan jari-jari yang bergerak pada monitornya. Ia tidak melihat dengan jelas, jadi ia hanya mengira-ngira.
"Kalo lo lapar, atau mau makan malam, udah siap di meja makan." Aruna mengucapkannya pelan-pelan. Ia tidak pernah cemas apakah Damar mendengarkan atau malah mengabaikannya. Ia benar-benar tidak ingin peduli. "Gue nggak akan ganggu kalo lo mau makan. Lo bisa makan sendiri."
Aruna melirik ke arah Damar. Tidak ada sahutan. Damar masih sibuk dengan ponselnya.
Ia tidak akan membiarkan Tom Yam yang lezat itu tidak termakan. Damar harus memakannya.
"Go Food?" gumam Aruna.
"Balas chat WA." Damar mengangkat wajahnya sekilas. "Kenapa?"
"Mungkin lo lagi nggak pengen makan masakan di rumah."
Damar beranjak dan meletakkan ponselnya di atas meja yang terletak di depan sofa yang tadi didudukinya. "Kalau nggak dimakan sekarang, bisa jadi besok nggak ada yang makan."
Aruna tersenyum masam.
***
Matahari masih belum beranjak terlalu tinggi saat Damar tiba di rumah orangtuanya. Sejak masih di dalam mobil, ia sudah mencium aroma masakan dari dalam rumah. Masakan khas ibunya yang membuatnya selalu merindukan rumah. Ia selalu berpikir, bagaimana jika seandainya ia tetap tinggal di sana setelah menikah, ia tentu tidak akan pernah seharipun melewatkan aneka masakan ibu yang sangat enak.
Daisy membukakan pintu dengan wajah penuh keceriaan. Mereka bertukar senyum sebentar, kemudian bersama-sama berjalan menuju dapur.
"Bu,"
"Damar?"
Ibu segera menghentikan kegiatannya mencuci kangkung dan berbalik untuk memeluk Damar.
"Kamu sehat-sehat aja kan?"
"Iya, Bu. Sehat kok."
"Kamu kurusan."
Damar tersenyum. "Oh, ya?"
"Iya. Kamu sibuk ya sampai jarang makan? Atau banyak pikiran?" Suara ibu yang lembut mencecar Damar. Ia sudah menyiapkan jawaban sebelum ibunya bertanya semakin jauh.
"Tepatnya lagi banyak kerjaan, Bu."
Ujung-ujung bibir ibu tertarik membentuk senyuman, meskipun wajahnya masih mengguratkan perasaan cemas.
"Jangan terlalu sibuk. Nanti kamu sakit."
"Ibu jangan kuatir begitu." Damar melepaskan pelukan ibu dan segera mencari tahu dari mana sumber aroma harum yang ia cium saat memasuki rumah tadi. "Ibu masak apa sih? Wangi banget."
"Ibu masak rawon. Masa kamu udah lupa sama aromanya?"
"Oh, ya?"
Entah apa yang sedang ia pikirkan sampai aroma rawon, masakan kesukaan ayahnya sampai ia lupakan. Tapi kemudian ia melihat panci satunya lagi yang berisi tumisan sambel. Jelas perpaduan kedua aroma tersebut cukup membingungkannya. Ibu nampaknya mengerti dan akhirnya mengakui kalau memang aroma keduanya bisa tercium dalam waktu bersamaan.
"Nah, sekarang kamu jelasin. Kenapa Aruna nggak ikut ke sini?" tanya ibu saat Damar selesai mencicipi kuah rawon yang masih mengepul itu.
Pertanyaan yang sama ketika Aruna tidak datang bersamanya. Ia harus membiasakan diri dengan pertanyaan tersebut karena hal itu akan sering terjadi ke depannya.
"Ada urusan penting yang nggak bisa ditinggalin, Bu."
Atau tepatnya, Damar memang merasa lebih baik jika Aruna tidak ada di sana bersama mereka. Ia tidak mau ketentraman dan kedamaian rumah itu jadi terusik karena kehadiran Aruna.
"Masa tiap ke sini, dia ada urusan penting terus? Kamu ke sini juga biasanya pas akhir Minggu kan?"
"Bu, kalau ibu nggak percaya, ibu bisa telepon Aruna sekarang."
Untuk lebih meyakinkan, Damar meminta ibu menghubungi Aruna menggunakan ponsel yang tadi ia simpan di atas meja.
"Ya, ibu percaya. Tapi lain kali, kalian cari waktu di mana kalian bisa datang ke sini sama-sama. Ibu sama bapak pengen ngobrol-ngobrol sama Aruna."
"Buat apa?" Tanpa sadar Damar mengeraskan suara.
Ibu mengernyitkan dahi.
"Maaf, Bu." Damar membuang napas panjang. "Bisa kan kita nggak membahas soal Aruna lagi?"
"Tapi Aruna itu menantu Ibu, jadi wajar kalau Ibu bertanya."
Damar menghela napas berat. Selama ini ia berusaha bersikap wajar jika ibu atau ayah menyebut nama Aruna dan membahasnya. Namun lama kelamaan ia merasa tidak lagi bisa mengendalikan perasaan, sementara keluarganya selalu bertanya tentang Aruna.
Ia hanya tidak membahas sesuatu hal yang bisa merusak suasana dan terutama sampai menghilangkan nafsu makan.
"Baiklah, kalau itu mau kamu. Ibu nggak akan bertanya lagi soal itu."
"Maaf, Bu."
Ibu menggeleng. "Nggak perlu minta maaf, Damar. Kamu nggak salah."
***
"Udahan ah."
"Tapi kan masih pengen cium kamu."
Denise menggeleng tapi akhirnya pasrah menerima kecupan di bibirnya. Eryk, suaminya jadi semakin romantis akhir-akhir ini. Tepatnya setelah mengetahui jika ia tengah mengandung.
"Udah. Kamu buruan ke kantor. Nanti telat."
"Iya, iya. Ini juga udah mau berangkat."
***
"Brengsek!!"
Aruna sampai tidak sadar memukul kemudi di hadapannya. Ia baru saja melihat dengan mata kepalanya sendiri jika Eryk mencumbu mesra Denise.
"Liat aja nanti."