“Konyol sekali, Ten.”
Yang dipanggil Ten mengalihkan pandang, “apa lagi sekarang?”
“Aku dengar dari percakapanmu dengan Mark barusan, kau akan membunuhku.”
Ten tersenyum, abu rokoknya terjatuh ke lantai marmer. “Taeyong hyung, sebegitu takutnya kau pada kematian, huh? Aku sudah memberimu kehidupan yang layak beberapa tahun belakangan, dan kau menginginkan lebih.”
Taeyong terdiam, ia memandang pria bernama Ten itu tengah terbatuk-batuk di sela kegiatan menghisap linting tembakau. Di samping kanannya, berjatuhan putung-putung rokok yang sengaja tidak dibersihkan, mulai dari varian menthol, light, tobako, sampai yang diyakini Taeyong bisa membuat orang kena kanker paru-paru dalam sekali hisap.
“Bagaimana jika rokok-rokok itu membunuhmu duluan?”
“Kau becanda?” Ten mendesis, “sudahlah, jangan dibahas.”
Bagaimana mungkin hal ini tidak layak untuk dibahas? Taeyong merasakan emosinya jumpalitan di dalam dada, ia dapat mengecap pahit rasa takut naik dari lambungnya, kemudian mendorong-dorong minta dimuntahkan lewat mulut. Ten adalah seorang pembunuh, dan jika bukan karena Mark, ia mungkin akan membunuh lebih banyak. Mark itu orangnya kalem, ia tidak main bunuh sana-sini, ia mempertimbangkan beberapa hal sebelum bertindak.
“Kau menatapku, Hyung,” Ten menyemburkan asap rokok melalui sela-sela giginya.
Taeyong tidak menjawab.
“Astaga kau ini,” Ten beranjak dari tempat duduknya, ia kini berputar dan berhenti di samping Taeyong; memeluknya. Ten membaui aroma kayu manis menguar dari surai karamel milik Taeyong, seperti pai apel yang dihidangkan ketika daun-daun Oktober berjatuhan.
“Sesungguhnya, aku tidak takut mati, Ten.”
“Well, lalu?”
“Aku hanya tidak bisa berpisah denganmu. Itu saja.”
Ten memeluknya lebih erat, “kau membuatku merasa berdosa, Sayang.”
“Jangan panggil aku sayang, aku bukan pacarmu.”
“Tetapi aku benar menyayangimu. Jika aku tidak membunuhmu besok, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Kau tahu? Aku mencintaimu dari awal; dan selamanya.”
Taeyong menjawab dengan ketus, “kau berbohong padaku.”
Kemudian menghilang bersama angin malam.
🌀🌀🌀🌀🌀
Awal Februari tahun 2019, seorang penulis muda bernama Ten duduk di depan meja panjang yang penuh dengan mikrofon. Lampu-lampu kamera dari wartawan datang menyerang bak kilat musim hujan.
“Ten-ssi, mengapa kau menghilangkan tokoh Taeyong dalam novelmu? Bukankah para pembaca menyukainya?”
Rahang Ten mengeras, bersusah payah ia menyunggingkan senyum, “aku sudah mengira kalian akan menanyakan hal tersebut. Pertama-tama, Taeyong adalah seorang psikopat, dia gila. Aku sudah menghadirkannya dalam enam season sebelum ini, dan gara-gara dia, banyak korban berjatuhan. Aku harus membunuhnya, aku harus menghilangkannya.”
“Bagaimana reaksi penggemar Anda, Ten-ssi?”
“Oh ya ampun, mereka marah-marah padaku,” Ten tertawa keras-keras, “banyak ulasan di media cetak dan online yang menyebutkan bahwa Taeyong pantas hidup. Tetapi menurutku, terlepas dari wajah tampannya itu, Taeyong bukan manusia yang baik. Kadang-kadang dia datang dalam mimpiku dan bilang bahwa aku adalah seorang pembunuh.”
Salah seorang wartawan menyeletuk, “bukankah benar demikian?”
“Well, ya. Aku membunuh banyak karakter,” Ten tertawa lagi, “dan Taeyong adalah salah satu yang paling sulit untuk dibunuh. Dia tidak mau dibunuh. Taeyong tahu aku menyayanginya.”
“Itulah sebabnya Anda berpikir keras untuk menghilangkannya dari novel?”
“Ya, tapi editorku, Mark Lee, berhasil meyakinkanku. Dia bilang jika Taeyong tidak mati, The Bodies Left Behind tidak akan bisa berlanjut. Paling tidak, tidak akan ada akhir yang bahagia jika bajingan tengik itu dibiarkan hidup. Kalian tahu, Taeyong bukan pemain utama, tapi dia adalah kaki-tangan Seo Johnny yang sudah kupenjarakan seumur hidup.”
“Apa Anda menyesal telah menghilangkannya?”
Tiba-tiba Ten teringat akan raut wajah Taeyong yang memohon untuk tidak dibunuh.
“Tidak, sama sekali tidak.”
“Seri ketujuh baru saja rilis, kapan Anda berencana menulis seri berikutnya?”
"Kita lihat saja nanti.”
Sesi wawancara tersebut berakhir dengan tepuk tangan meriah. Meski enggan berlama-lama di sana, Ten masih harus melakukan sesi tanda tangan bersama para penggemarnya. Salah seorang gadis muda dengan rambut disemir biru datang dari baris pertama, alih-alih minta tanda tangan di bagian depan, gadis itu justru minta tanda tangan di bagian akhir buku.
“Nona, apa kau tidak salah?”
“Tidak, aku menginginkan tanda tangan Anda di sini.”
Sambil membubuhkan tanda tangan, Ten bertanya, “mengapa?”
“Supaya aku bisa selalu mengingat kesedihan Anda akan Taeyong. Omong-omong, terima kasih telah menghadirkan karakter seperti dia dalam novel Anda. Taeyong itu favoritku, tapi aku tidak akan protes jika Anda membunuhnya, itu hak Anda,” gadis itu tersenyum.
Ten menatap satu kalimat pendek yang sengaja dibubuhkannya dalam naskah pada detik-detik terakhir proses penerbitan; untuk aroma kayu manis yang kurindukan, kupikir aku sudah gila.
Ditutupnya lembar terakhir itu dan berkata, “berikutnya.”