Dengan langkah mengendap-endap aku berjalan menuju mobil yang terparkir di depan ndalem. Memantau situasi, menunggu sepi baru berani mendekati kendaraan roda empat itu.
Menghela napas usai berhasil mendaratkan pantat pada jog depan di samping pria berkulit sawo matang. Siapa lagi kalau bukan Kang Fikri. Masih canggung saja memanggilnya dengan panggilan lain, meski pada kenyataannya panggilan 'Mas' yang sama diberikan Fia pada Gus Amir juga kusematkan padanya.
"Kenapa masih mau kucing-kucingan? Repot sendiri kan." Memang aku memilih merahasiakan stausku ini menunggu satu minggu ke depan yang akan digelar akad ulang serta urusan surat pernikahan agar resmi dimata negara pula.
Pingin balas ucapannya tadi tapi malas berdebat. Kalian tahu kan jika kata mengalah sulit tercapai antara aku dan sosok di sampingku jika sudah beradu mulut.
"Kita cari toko baju dulu, aku mau beli sarung atau rok baru buat kamu." Aku menggeleng. Yang benar saja mau berhenti di toko saat posisi kami masih cukup dekat dengan pondok. Tidak, aku tidak mau.
"Ndak, pakai ini mawon."
"Sarung punyamu itu belum ganti dari kemarin, aku ndak mau punya istri jorok." Aku berdecak. Salah sendiri, aku mau balik ke pondok dilarang.
"Pokoknya ndak mau ganti. Ini masih bersih, masih harum," selaku sembari mencium baju yang kukenakan. Sebelum bibirnya kembali bergerak untuk mengucapkan kalimat bantahan.
"Fany, kita mau ke Gus Amir lho. Yakin kamu mau pakai sarung dari kemarin yang belum ganti?" Pingin nyubit orang ini. Kenapa baru ngomong sekarang?
"Kok baru kasih tau kalau mau ke Fia. Tau gitu tadi ambil gamis dulu ke pondok."
"Gamis, ya. Ok kita mampir toko buat beli," ujarnya. Aku hanya diam dan menurut pada akhirnya.
Tiba-tiba kulihat tangan kirinya meraih sesuatu dari jog belakang. Memberikan bungkusan plastik padaku.
"Ini apa?" Tak ada balasan. Dengan isyarat dia memintaku membukanya.
Alangkah terkejutnya aku, dari dalam bungkusan aku dapatkan sebuah hijab warna pastel. Hijab yang menjadi awal mula pertemuanku dengannya kala itu.
"Gus, ..."
"Aku ndak kenal," ucapnya. Aku terkekeh, tau jika dia tidak suka kalau kupanggil dengan panggilan itu.
"Mas, njenengan menyimpan ini? Sejak kapan?"
Kupandang wajahnya. Wajah yang tengah fokus menatap jalanan. Tak urung dia mengukir senyum saat menyadari menjadi objek pandangku. "Iya. Beberapa bulan lalu saat berjumpa dengan Fatimah."
Ingatanku kembali dibuat mundur pada pertemuanku dengan Fatimah Bebe hari lalu serta ingatan ketika Fatimah yang tiba-tiba menangis ketika menghubungiku karena merasa bersalah telah memberikan hijab itu pada Kang Fikri. Semuanya ternyata menjadi jalanku dipertemukan kembali dengannya.
Sosok itu mengusap tanganku dengan sebelah tangannya yang bebas dari kemudi mobil. Membawa tanganku menuju bibir dengan candu disana.
Aku diam, tersenyum tipis. Menyadari hatiku kembali bergetar hebat karena perlakuannya.
****
"Alhamdulillah pengantin baru akhirnya main kesini." Kuremas jemari Fia. Kali pertama aku kemari bersama Kang Fikri dengan status baru pula.
"Fia, udah. Aku malu," ucapku. Meminta Fia mengentikan ucapannya yang hendak menggodaku lebih.
Fia mempersilakan kami masuk, duduk di sofa ruang tamu yang masih saja tampak sederhana seperti dulu.
Ukiran kayu di pintu masih sama, menandakan pintu itu belum ganti sejak dulu. Jajaran lemari penuh kitab masih sama juga posisinya seperti dulu. Rasanya seakan mengulang masa lalu ketika pertama kali datang kemari.
"Sold out, Bro." Kang Fikri terkekeh mendengar ucapan Gus Amir. Dua sahabat itu masih sama saja seperti dulu juga.
"Alhamdulillah, Gus. Maaf kalau kemarin-kemarin sering merepotkan Njenengan." Gus Amir mengangguk. Meraih sebuah kertas undangan kecil kemudian diserahkan pada Kang Fikri.
"Dari Anam. Kemarin ke rumahmu orang-orang rumah pada sibuk, ndak ketemu keluarga ndalem sama sekali. Mau nitip ke Mbak ndalem Ndak enak karena pada repot, jadi dititipkan lewat sini," jelasnya. Memberikan undangan tersebut pada Kang Fikri.
Aku yang sejak tadi asik bercanda dengan putri kecil Fia mendadak jantungku berlarian, melihat sosok Fia datang membawa cemilan disertai melayangkan pertanyaan pada Kang Fikri.
" Gimana ceritanya kok kalian bisa langsung menikah kemarin?" Pipiku memanas, kembali memutar penjelasan Kang Fikri tentang penyebab bisa menikah denganku.
Flashback on
Mata Kang Fikri melebar, sosok pria yang baru saja muncul dari balik pintu membuatnya tak menyangka bisa kembali bertegur sapa. Pria itu masih sama seperti dulu, hanya sedikit perubahan di wajah bagian keningnya karena lipatan kulit pertanda usianya semakin rapuh.
Beberapa tahun silam pertemuannya dengan sosok itu terjadi tanpa sengaja. Bahkan dialah perantara pertemuan sosok itu dengan anaknya.
"Wa'alaikumussalam, Ghofur. Ini anak sampean?" Sosok yang dipanggil Ghofur itu mengangguk, menepuk pelan punggung Kang Fikri.
"Ini yang kemarin kumaksud, Bas. Dia yang mau nikah."
"Kalau ini aku sudah kenal. Dia teman pondok anakku yang kamu lamar untuknya. Ternyata Fikri ini tho."
Seperti ada letupan dalam bilik hatinya. Rasanya Fikri benar-benar gembira. Tak urung membuatnya mengulas senyum. Melirik Abahnya yang menatap seolah bertanya.
"Leres, Bah. Lana di pondok Kiai Yusuf dipanggilnya Fikri."
"Sampean sudah kenal ternyata, Bas. Berarti Alfa sama Lana memang sudah kenal sebelumnya."
Tak lama pemilik rumah tersebut mempersilakan masuk Kiai Ghofur dan Kang Fikri. Meminta mereka duduk di hamparan karpet cukup tebal berwarna coklat.
"Kok ndak bilang kalau kesininya pagi. Kemarin bilangnya malam," ujar Ayah Fany. Tak lama Bunda Fany datang membawa nampan berisikan tiga gelas teh hangat dan dua toples kue yang diletakkan di karpet. Ikut duduk di samping suaminya.
Kiai Ghofur terkekeh pelan. "Anak lanang sepertinya sudah penasaran. Ya Wes, disegerakan saja." Kang Fikri diam, menahan malu sebenarnya, terlepas dari ucapan Abahnya memang benar.
"Kang Fikri gimana kabarnya? Sudah lama sekali kita tidak berjumpa." Fikri mengangguk. Membalas ucapan wanita di depannya, " Alhamdulillah baik, Tante. Tiga tahun lebih sepertinya kita tidak bertemu."
Dua pria berusia kepala lima itu saling bercakap sesekali ditimpali oleh wanita dengan wajah mirip Fany. Membahas banyak hal namun tak lama karena kemudian suasana tiba-tiba hening, merasa saatnya berbincang menuju arah lebih serius.
"Begini, maaf sebelumnya jika anakku Fany tidak ada diantara kita. Dia hanya meminta saya memilihkan dan menurut atas keputusan saya nantinya," jelas Ayah Fany. Menarik napas, menatap sosok pria dengan kemeja merah di depannya. Sang calon mantu tepatnya.
"Jika kalian datang untuk melamar secara resmi, maaf, saya tidak bisa."
Mata Kang Fikri membulat, merasa dijatuhkan usai melambung tinggi. Apa maksud pria di depannya?
"Maksud, Om Abbas?"
"Kalau sampean serius, saat ini juga saya minta keikhlasan untuk mengucapkan ijab qobul dengan mahar sesuai kemampuan."
Kiai Ghofur tersenyum, tahu betul jika sahabatnya ini ingin menjaga anaknya dari fitnah. Berada dalam satu lingkup tak menjamin dua insan itu bisa menjaga untuk tidak saling rutin berjumpa.
Dengan anggukan mantap, Kang Fikri menyetujui permintaan dari Ayah Fany. Yakin, semua yang tengah berjalan kini adalah suatu kehendak untuknya dipersatukan dengan wanita halalnya.
Dalam satu tarikan napas, Kang Fikri berhasil memindahkan tanggung jawab dari seorang Ayah kepada dirinya disaksikan oleh beberapa saksi dari lingkungan sekitar rumah Fany. Dengan mahar cincin perak yang dibawanya.
Terjawab sudah siapa yang dilambangkan cincin perak oleh Abahnya. Al Fany Ramadhani, wanita yang benar-benar sesuai dengan lambang sederhana dari perak, menurutnya.
Usai akad tadi dia berniat memberikan sebuah kejutan pada Fany bahwa status mereka sudah berbeda. Bukan hanya teman lama, tapi pasangan yang akan mengarungi kehidupan bersama. Satu minggu, waktu untuknya mempersiapkan akad yang bukan hanya sah secara agama tapi juga negara.
Flashback off
Tak henti-hentinya Fia tertawa melihat ekspresi tak suka dariku usai mereka membahas masa lalu dengan alasan sudah dituntaskan dengan adanya pernikahan kami.
Dari arah cukup jauh, sosok makhluk kecil dengan peci hitam di kepalanya berjalan menuju kami. Sosok makhluk itu berdiri di depanku, mengulurakn tangan ingin duduk dalam pangkuanku. Aku dudukan bocah usia tiga tahun ini di pahaku sebelah adik kembarannya.
Diusapnya dengan pelan kedua tanganku oleh bocah ini. Memintaku mendekat untuk memiringkan kepala agar dekat dengan mulut kecilnya. Membisikkan sesuatu yang sebenarnya dapat kami semua dengar.
"Nanti dedeknya Tante Fany dados adeknya Mas Zaki sama dek Kia."
Aku tidak mengerti maksud ucapan Zaki. Kala kupandang Kang Fikri, pria itu memintaku mengangguk dan mengiyakan ucapan Zaki.
Entah apa maksud pastinya aku tidak tahu. Yang jelas aku hanya menangkap maksud Zaki yang nantinya akan menganggap anakku seperti adik kandungnya sendiri.
***
Semarang
1 Juli 2020
Revisi 15/4/21