Takdir tidak bisa di prediksi maupun di rekayasa. Semuanya sudah diatur oleh yang maha kuasa. Kini Raisya percaya jika keberuntungan juga ada pada dirinya. Hanya tinggal perihal menunggu waktu yang tepat agar keberuntungan itu datang menghampirinya.
Ketika pagi ini ia diumumkan sebagai putri bahasa dan dianugerahi sebuah selendang juga sebuah tiara putih cantik yang entah berapa harganya.
Bucket bunga yang kini berada dipelukannya menjadi saksi bisu apa yang Raisya rasakan di balik gejolak hatinya yang seperti ingin melompat dari menari-nari.
Naskahnya yang berjudul "Equanimity" nyatanya mampu membuat Raisya bangga. Cerita dari seorang gadis yang benci hujan namun suka bau tanah yang menguap setelahnya. Gadis yang tidak percaya cinta namun kini memiliki cintanya sendiri. Dibalik senyuman ada sepatah kata yang tak bisa ia ucapkan. Dibalik kematian sang ayah ada dalang yang membuat hidupnya seperti wayang.
Baiklah. Sepertinya Raisya akan mencari cintanya. Bukan cinta dalam artian yang sebenarnya. Tapi cinta hidupnya. Selama ini Raisya tidak cukup mencintai hidupnya dan kerap kali menyalahkan tadir. Berkata jika tuhan tak adil dan berkata jika keberuntungan tidak akan melekat pada takdirnya.
Nampaknya kini ia sadar jika takdir hanya sedang menunggu waktu yang pas untuk diberi bumbu keberuntungan. Nampaknya manusia harus dipermainkan dulu oleh takdir agar takdir percaya jika manusia itu pantas diberi sebuah keberuntungan.
Raisya kembali menitikkan air mata tak kala Yoongi bilang ia akan maju sebagai perwakilan Universitas pada ajang lombaa nasional yang akan di gelar oleh perusahaan penerbit terbesar di Korea selatan dan memiliki cabang di beberapa belahan dunia.
"Lombanya akan dimulai satu bulan dari sekarang. 27 oktober nanti kau harus mengirimkan naskahnya," ucap Yoongi. Bagus. Ia punya waktu 1 bulan dan ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatannya.
"Tapi ingat Raisya. Bulan depan adalah masa skripsi. Kuharap kau tidak terkecoh dengan waktu yang terbatas. Jangan mementingkan satu hal dan membuat hal yang lain terbengkalai begitu saja," ucap Yoongi lagi.
Raisya mengangguk. Ia paham. Bahan untuk skripsi sudah ada hanya tinggal di tuangkan saja. Tapi, itu juga tidak bisa dianggap enteng. Sepertinya ia harus mamanage waktunya yang terbatas ini.
Setidaknya jangan buat jadwalnya berantakan.
.
.
.
"Jim? Lombanya dimulai kurang lebih 1 bulan lagi. Kemarin aku sudah mengadakan rapat dengan para anggota. Seperti tahun biasanya, naskah yang lolos akan kita bukukan dan pasarkan seluas-luasnya. Apa kali ini ada yang ingin kau tambahkan atau kurangkan?" tanya Taehyung.
Seperti biasanya, untuk masalah rapat dengan anggota, Jimin jarang ikut karena Hoseok dan Taehyung bilang mereka bisa membantu.
"Tentu. Kita bisa rekrut yang memenangkan kompetisi ini menjadi salah satu editor di perusahaan dan berikan 5 juta won sebagai hadiah."
Taehyung mencatatnya di buku jurnal yang biasa ia gunakan jika mendapat satu perintah atau tugas yang diembankan padanya.
"Baiklah. Aku akan memberitahu ini pada yang lain," ucap Taehyung yang langsung melangkah pergi. Jimin kembali fokus pada layar laptopnya. Memperhatikan insight yang perusahaannya capai. Sampai saat ini sudah bagus dan mengalami peningkatan sebanyak 10 persen dari tahun lalu.
Sekelebat bayangan adiknya yang baru saja pulang sekolah dan langsung mampir ke kantornya sambil menenteng eskrim cokelat ada dihadapannya. Ia rindu adiknya.
Namun dibalik bayangan itu, bayangan lain sedang mencoba masuk dan menampilkan runtutan kejadian kecelakaan naas yang menimpanya beserta keluarganya. Menewaskan dua orang tuanya dan satu pejalan kaki yang entah keluarganya di mana. Jimin tidak tahu. Yang ia tahu, ia sudah memberikan uang kompensasi sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Dalam pikirannya sempat terbesit rasa kesal juga bersalah. Ia kesal karena si pejalan kaki menyebrang tepat sebelum mobil yang keluarganya tumpangi menginjak remnya. Dan ia juga merasa bersalah karena bagaimanapun ini adalah salah ayahnya karena tidak memperhatikan rambu lalu lintas yang menujukkan warna untuk para pejalan kaki.
Mengingat memori itu membuat Jimin kesal. Ditambah lagi kejadian adiknya yang meninggal lima tahun lalu nyatanya membuat kepala Jimin berdenyut tak karuan. Semua pekerjaannya kacau jika Jimin mengingat memori kelamnya. Ia benci hidupnya yang sendiri saat ini. Ia benci takdirnya yang tidak sebagus yang orang lain pikirkan.
Perusahaan yang ia pimpin nyatanya tidak semembanggakan itu untuk Jimin. Ia tidak puas. Apalagi dalam kisah cintanya yang selalu kandas. Jimin kesal.
.
.
.
"Hei? Raisya? Selamat!!" pekik Hyunso yang langsung menghamburkan dirinya pada Raisya yang baru saja datang lewat pintu samping.
Raisya yang terkejut dengan pelukan tiba-tiba ini hanya mampu membalas pelukan yang Hyunso layangkan agar tidak limbung ke belakang.
"Akhirnya adikku maju ke babak nasional. Aku bangga sekali padamu!" ucap Hyunso.
Raisya menghembuskan napasnya. Ia kira ada apa. "Terima kasih, eonni."
Baiklah. Hyunso tidak masalah jika Raisya hanya akan membalasnya seperti itu. Ia mengerti. Raisya bukan gadis pemalu yang seperti kalian bayangkan. Dia hanya malas banyak bicara. Daripada bicara Raisya lebih suka bertindak. Tapi terkadang Raisya juga bisa lebih aktif jika bersama orang yang memang mampu membuat dirinya merasa nyaman.
"Aku akan membawakanmu ayam lemon untuk makan malammu nanti. Eits! Jangan menolak ini adalah hadiah untuk adikku!" ucap Hyunso.
Raisya menyunggingkan senyumannya. Hyunso tidak pernah berubah. Ia masih tetap menjadi kakak terbaik untuk Raisya. Sama seperti Jiwo dan Aeri. Mereka bertiga selalu sabar menghadapi tingkahnya yang kadang tidak manusiawi. Seperti diam ketika ditanya, tidak membalas ketika di sapa, tidak menoleh saat dipanggil. Oke ini terdengar kurang ajar, tapi Raisya kadang melakukan hal kurang ajar itu pada tiga wanita itu dan mereka tidak marah.
"Apa pria itu baru datang?" tanya Raisya seraya menunjuk pria dengan baju hitam dilengkapi topi dan masker dengan ujung matanya.
"Ya, kau siapkan saja seperti biasanya. Kurasa dia akan memesan hal yang sama."
Raisya lantas mengambil apronnya dan menalikannya pada punggung. Membuatkan espresso dan tiramisu. Namun semuanya di luar dugaan tak kala Aeri berkata jika pria itu memesan segelas latte dan juga wafle. Raisya hampir dibuat tersedak. Padahal ia sudah menyiapkan espresso dan juga sepiring tiramisu seperti biasanya.
"Kau yakin eonni?" tanya Raisya lagi.
"Ya. Aku juga bingung. Dia tiba-tiba memesan menu ini. Buatkan cepat nanti dia marah jika terlalu lama!"
Raisya mengangguk lantas meletakkan nampan berisi pesanan yang tidak jadi dipesan itu di pinggir. Mengambil nampan baru dan membuatkan latte juga wafle yang dipesan si pria misterius yang belakangan ini cukup menimbulkan hipotesa yang bercokol di kepala Raisya.
"Eonni? Pesanannya siap."
.
.
.
Raisya menggerutu sebal. Otaknya seolah buntu dan tidak mendapat pencerahan apapun meski ia sudah berjalan-jalan dengan buku jurnal di dekapannya juga pulpen yang terselip di jemarinya.
Dengan kurang kerjaannya, Raisya menghitung berapa banyak guguran daun maple yang sudah jatuh ditanah. Berharap pikirannya diberikan pencerahan setelah menghitung guguran daun maple.
"Astaga." keluh Raisya yang akhirnya mendudukkan diri di bangku taman. Minggu ini ia meminta cuti pada Jiwo untuk mencari udara segar meski masih disekitaran Myeongdong.
Tidak ada niatan untuk pergi lebih jauh karena nantinya akan menghabiskan ongkos yang lebih banyak.
Raisya menghembuskan napas jengah. Membuka kembali lembaran jurnal yang di dalamnya memuat beberapa sinopsis dari beberapa cerita yang pernah ia ketik.
Raisya tidak jadi mengangkat hal-hal seperti satanisme atau mitologi Yunani kuno. Jengah rasanya ketika terus berkutat di perpustakaan kampus namun masih belum ada ide yang muncul.
Ia ingin membuat sesuatu yang sebenarnya banyak orang rasakan, yang setidaknya mampu membuat orang yang membacanya terkejut dengan plot twist yang ia rangkai. Tapi yang jadi masalahnya adalah...
Otaknya buntu dan butuh pencerahan.
Apakah ia harus datang ke gereja dan meminta pencerahan dari seorang pastor?
Tidak. Ini gila. Ia bisa gila jika memikirkan naskahnya. Yang ia butuhkan adalah kembali ke perpustakaan dan membaca buku karya orang lain untuk mencari bahan referensi.
Tenang.
Raisya bukan si plagiator ulung. Ia hanya ingin mendapat pencerahan. Biasanya karya orang lain akan membuat otakmu bekerja berbalik dari cerita yang dibaca.
Well.. Itu untuk otak Raisya setidaknya.
.
.
.
Sorry for late update.
Aku lagi nginep dirumah temen dan lagi bikin sesuatu sampe lupa kalau malam ini aku harus update.
Oh yaa gais
Aku minta tolong ya ke kalian.
Tolong cek akun Ig @Minpark dan tolong love Update terbaru disana.
Gapapa g follow, tapi aku minta kerja sama kalian ya.
Terimakasih semuanya.