❞bab dua belas❞
•ceartas•
Sudah pukul sembilan pagi tetapi Sang Surya masih enggan menunjukkan sinarnya. Ia lebih memilih bersembunyi di balik segumpalan awan dan terkadang mengintip penduduk bumi yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Mau kemana?" Suzy menatap Yeji dan Hyunjin curiga. Ia khawatir kalau anak kembarnya ini berkeluyuran bersama teman-temannya, sementara ada bahaya yang bisa kapan saja membuat kedua anaknya itu meregangkan nyawa.
"Pak Chan minta kita ke kantornya."
"Oh ... tapi tetap hati-hati, ya. Jangan kelamaan!"
Yeji dan Hyunjin mengangguk serempak sebagai jawaban, kemudian bergegas keluar rumah dan mengendarai mobilnya menuju kantor tempat Pak Chan dan timnya bekerja. Dalam kurun waktu lima belas menit mereka sampai, ternyata di sana juga sudah ada teman-temannya yang hendak masuk ke dalam ruangan Pak Chan.
"Baru datang lo berdua," sapa Renjun.
"Hehe, sorry telat."
"Kebiasaan."
Renjun lalu membuka pintu ruangan, mereka masuk satu-persatu ke dalam.
"Oh, sudah sampai. Duduk dulu." Pak Chan yang sedang merapikan beberapa berkas mempersilahkan kesebelas remaja itu pun duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Saya mau memberitahu hasil autopsi Nakyung tapi sebelum itu saya ingin bertanya, kenapa ada kalian di dalam video ini?" Pak Chan menatap Renjun, Han, Chaeyeon, Yeji, dan Hyunjin satu persatu.
Suasana mendadak menegang untuk beberapa saat, lima dari sebelas anak itu menampakkan raut menyesal. "Video apa pak?" tanya Chaewon ragu-ragu, ia sendiri bingung maksud Pak Chan apa.
"Coba kalian lihat video ini." Pak Chan lantas mengeluarkan ponselnya, kemudian memutar video YouTube yang tadi malam sempat muncul di berandanya dan menunjukkanya pada keenam anak yang ia duga tak tahu menahu soal video yang membuatnya emosi ini.
"Ada yang mengunggah video seorang anak yang dirisak dua tahun lalu di angmort's channel, dan kelima teman kalian ini ada di video itu," jelas Pak Chan.
Haechan, Ryujin, Seungmin, Chenle, Felix, dan Chaewon serempak terkejut mendengar penjelasan Pak Chan. Mereka kemudian mengamati video tersebut dengan seksama, tampak raut kecewa yang tersirat pada wajah mereka.
"Wonyoung ...." gumam Seungmin begitu mendengar suara menggelegar dari adiknya itu di awal video. Tampaknya ia kecewa dengan kelakuan asli adik tirinya di masa lalu, rupanya Wonyoung bisa menjadi orang sejahat ini, jauh sekali dari kepribadiannya sehari-hari.
"Jiheon? Bully?" Alis Haechan menyatu begitu mendengar nama orang yang dirisak, sama dengan nama seorang gadis yang masuk ke hotel bersama Hyunjin di dalam file yang ditunjukkan oleh Ryujin beberapa hari lalu.
"Gue enggak nyangka ...." lirih Chaewon.
"Sekarang kalian bisa lihat deskripsi channel-nya."
'Jiheon tidak akan tidur dengan tenang, sebelum kalian semua meregang nyawa.'
Bagai tersambar petir, kalimat barusan sungguh membuat jantung mereka merosot, rasanya seperti tertusuk oleh tombak panjang. "Sudah jelas kan inti masalahnya apa?" tanya Pak Chan dengan helaan nafas yang terdengar berat.
"Masalahnya adalah kalian."
"Orang-orang itu ingin balas dendam, meminta keadilan untuk mendiang Jiheon."
Suasana menjadi hening. Masing-masing individu sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara Pak Chan mengeluarkan file hasil otopsi Nakyung.
"Sekarang saya mau memberi tahu hasil otopsi Nakyung. Nakyung meregangkan nyawa karena luka tusuk yang mengenai organ vitalnya, yaitu jantung dan ginjal. Diduga meninggal satu jam setelah dua luka tusuk yang didapatkan."
Mendengar Nakyung meninggal karena dua luka tusuk membuat Yeji, Chaewon, Chaeyeon, dan Ryujin tak sanggup menahan tangisnya. Lagi-lagi AngMort berhasil menebas habis nyawa salah satu teman mereka.
Hyunjin mencoba menenangkan Yeji sambil sesekali melirik Ryujin yang sedang ditenangkan oleh Haechan. Fokus Hyunjin untuk saat ini terpecah menjadi dua antara menyelesaikan kasus ini dan memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Ryujin.
"Ah, satu lagi. Saya harap kalian tidak bertingkah seperti anak kecil dengan memecah belah seperti ini, AngMort dan Mediocris itu pintar, akan lebih mudah bagi mereka untuk menghabisi kalian bila pertemanan kalian renggang."
***
Setelah pamit dengan Pak Chan, mereka menuju rumah Haechan untuk melanjutkan diskusinya bersama-sama. Namun, ketika sampai malah tak ada yang memulai berbicara.
Renjun sadar, keenam temannya ini masih tidak percaya dengan apa yang mereka lihat divideo yang tadi ditunjukkan oleh Pak Chan. Ia termenung dalam beberapa saat, hingga akhirnya mengucap sepatah kata. "Maaf..." lirih Renjun.
"Maaf sudah bikin kalian kecewa," lanjut Renjun sembari menatap satu persatu temannya yang saat ini sedang memusatkan atensinya kepadanya.
"Gue enggak nyangka lihat kelakuan kalian dulu," cerca Chenle.
"Kalian bully dia karena apa?" tanya Ryujin.
Tak ada yang menjawab. Hanya terdengar gumaman maaf dari kelima temannya ini.
"Lagi pula ngapain minta maaf sama kita? Harusnya minta maaf sama korban," sahut Seungmin, suaranya bergetar di akhir.
"Kita udah ada niat mau minta maaf, tapi ...."
"Tapi Jiheon keburu meninggal ..." jelas Yeji dengan perasaan bersalah semakin memenuhi dadanya.
Chaewon melebarkan matanya, "Meninggal? Dia meninggal? Jangan bilang lo semua juga bunuh dia."
"Bukan, tapi bunuh diri," jawab Han meluruskan sebelum keadaan semakin kacau.
"Bunuh diri karena dibully?"
"Kita enggak tau alasan pastinya apa, tapi kata pihak polisi Jiheon bunuh diri," jawab Hyunjin.
Ryujin menatap sebal Hyunjin, setelah kejadian kemarin yang menguras emosi dan pikiran sekarang ia harus dikejutkan dengan fakta bahwa Hyunjin ternyata turut andil dalam kasus ini.
"Jadi kita diincar karena kelakuan kalian?"tanya Ryujin sedikit sinis, dan lagi-lagi hanya terdengar kata 'maaf' yang keluar dari mulut kalimat temannya ini.
"Diam, enggak ada gunanya juga kalian berantem, enggak akan mengubah yang sudah terlanjur terjadi. Mending kita fokus mecahin siapa dalang dibalik semua ini," lanjut Haechan mulai jengah.
"Gue izin ke toilet bentar," ucap Chaeyeon, segera bangkit dan berjalan menuju toilet.
"Gue ikut."
Sembari menunggu Ryujin dan Chaeyeon yang sedang ke toilet, mereka membaca satu persatu clue yang didapatkan dari pembunuh itu.
Ting!
"AAAAAA!" Yeji berteriak sembari melempar ponselnya sembarang arah.
"Apa? Kenapa teriak?" tanya Hyunjin panik.
"Gue dapet notif dari ... dari nomornya Nakyung."
Felix segera mengambil ponsel Yeji yang ada di depannya, setelah itu membaca pesan yang dikirimkan kepada Yeji.
Lee Nakyung :
Hai, sudah liat kejutan video dari teman gue? Awalnya, sih, cuma mau dibagikan ke kalian aja, tapi kayaknya kurang seru, hehe. Oh iya, sorry gue bunuh Nakyung, dia iseng sih. Gimana luka tusuk yang gue kasih ke dia? keren 'kan? Bisa tepat sasaran gitu. Salam manis, Peony.
Mereka saling menatap satu sama lain. Otak mereka makin panas saja setelah membaca pesan dari nomor Nakyung tersebut. "Peony? Siapa lagi itu?" ujar Chaewon.
"Kok pada diam?" tanya Ryujin heran ketika melihat kondisi ruang tamu sangat sepi. Di samping Ryujin ada Chaeyeon yang juga bingung melihat teman-temannya yang terkejut melihat eksistensi dirinya dan Ryujin.
"Gue dapat pesan dari nomor Nakyung, orang yang ngirim mengaku kalau namanya Peony," jelas Yeji.
"Peony?" Chaeyeon mengerutkan dahinya mendengar nama asing itu.
"Ini kalau lo berdua mau lihat." Felix menyodorkan ponsel Yeji ke Ryujin dan segera mereka bedua baca pesan yang dimaksud oleh Yeji.
"Teman? Oh, shit! Jangan bilang dia juga termasuk komplotan si Angmort sama Mediocris itu?" Ryujin mengumpat ketika membaca pesan dari 'Peony' yang mengetik kata 'teman'. Ia sangat yakin, 'teman' yang dimaksud adalah Angmort dan Mediocris.
"Tunggu, berarti ada tiga orang yang ngincar kita?" tanya Haechan dengan mata yang melebar.
"Belum ketebak satu, udah nambah lagi? Astaga."
Lagi dan lagi suasana disekitar mereka kembali hening. Memikirkan kapan ini semua selesai? Apakah mereka semua akan selamat? Siapa sebenarnya pelaku yang kurang ajar pintarnya membuat pusing kepala?
"Sebentar Chaey, gue mau ngomong sama lo," ucap Han memecahkan keheningan yang sudah berlangsung selama lima menit itu.
"Eh ... iya, apa?" sahut Chaeyeon terlihat sekali nada takut dan bingung disahutannya itu.
Chaeyeon berpikir Han akan memutuskan hubungannya, hanya saja ia belum siap untuk melepaskan Han dari genggamannya, itulah yang membuat Chaeyeon merasa takut.
Haechan, Seungmin, Felix, Ryujin, Yeji, Hyunjin, Chenle, Chaewon dan Renjun serempak mengalihkan fokusnya ke dua sejoli tersebut.
"Enggak di sini, di belakang rumah Haechan," Han meninggalkan Chaeyeon lalu menuju halaman belakang. Membuat gadis Lee mematung dengan rasa takutnya yang semakin menjadi, tapi gadis itu hanya bisa menghela nafas lalu berjalan menyusul Han.
"Mereka mau ngomongin apa, ya?" tanya Haechan sembari menyenggol lengan Felix.
Entah sejak kapan tetapi kedua kubu kini sudah bersatu seperti sebelum mereka saling tidak percaya satu sama lain. "Ya mana gue tau, ngintip yuk!" ajak Felix kepada teman-temannya.
"Kepo banget lo sama urusan orang!" ujar Chenle.
"Tapi ayo, deh," lanjutnya.
"Sama aja lo!" ucap Yeji lalu menjitak kepala Chenle pelan.
"Diam-diam, jangan sampai ketaujan," kata Chaewon lalu berjalan mengendap-ngendap dan bersembunyi di tembok kiri begitu juga dengan yang lain.
"Gue mau ...."
"Gue sudah tau, lo mau putus 'kan sama gue?" potong Chaeyeon dengan kepala menunduk.
Tunggu, kemana Chaeyeon yang keras kepala dan emosional? Ah, sebenarnya, Chaeyeon sedang berusaha merubah sikapnya. Ia benar-benar menyesal.
Teman-temannya sangat senang ketika tahu Chaeyeon ingin kembali berubah seperti dulu. Walau belum sepenuhnya tetapi setidaknya Chaeyeon sudah berniat untuk memperbaiki sikapnya.
Han menghela nafas menatap gadisnya yang tengah menunduk dengan tangan yang meremas ujung baju. "Lo mikir sampai ke situ, ya?" tanya Han.
Chaeyeon tak menjawab, ia takut ternyata pikirannya salah dan berujung hubungannya kandas.
"Gue padahal mau bilang makasih karena lo balik jadi Chaeyeon yang gue kenal, tapi ternyata lo mikir kita bakal putus. Lo mau kita putus beneran, ya?"
"Enggak ...." Chaeyeon menjawab diiringi dengan gelengan kepalanya.
"Jangan ... enggak mau."
"Maaf ... aku minta maaf, sikapku selama ini bikin kamu kesal, bikin sedih, pokoknya enggak banget. Tapi ... tapi aku janji bakal berubah. Berubah jadi lebih baik." Chaeyeon mendongak menatap Han yang kini malah menatapnya datar. Gadis itu semakin panik melihat respon Han yang seperti itu.
Han sebenarnya mati-matian menahan tawa melihat Chaeyeon yang sedang mendongak menatap dirinya dan ia sadar gadis di depannya ini sedang panik. "Chaey ...."
Chaeyeon menegang mendengar Han memanggil namanya. Oh, tidak apakah hubungannya hanya akan sampai di sini? atau Han tidak akan memaafkannya karena terlalu lelah dengan sikapnya selama ini? Pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi kepala Chaeyeon.
"Kalau dipanggil itu dijawab, Lee Chaeyeon," ucap Han dengan menatap tajam Chaeyeon.
"I-iya, apa?"
Han ingin tertawa ia tak sanggup melanjutkan aktingnya ini. Akhirnya ia memeluk Chaeyeon. "Makasih," ucapnya dalam, tapi Chaeyeon malah menumpahkan tangisnya, ia mengira ini adalah pelukan terakhir dari Han.
"Kok nangis?" Han panik melihat Chaeyeon malah menangis dipundaknya, dan hanya gelengan kecil yang didapatkan Han.
"Kamu masih mikir kita bakal putus, ya? Padahal aku bilang makasih karena kamu udah mau berubah."
"Eh?"
Han meledakkan tawanya melihat raut kebingungan Chaeyeon. Kakak dari mendiang Chaeryeong ini menatap heran Han yang malah tertawa. Tunggu dulu, dia sedang dikerjai oleh cowok di depannya ini?
Dan kini Chaeyeon menatap datar Han yang sudah duduk di tanah dengan memegangi perutnya. "Ketawa aja terus, sampai itu mulut pegal."
"Yah, kirain bakal ada adegan baku hantam, malah lihat orang gila ketawa," ucap Felix lalu berjalan menghampiri Han dan Chaeyeon
Chaeyeon dan Han sontak melihat teman-temannya yang tengah mengintip mereka dari balik tembok. "Gue ikutan ngintip mau lihat sesi berantemnya, malah liat orang pelukan." Haechan menggerutu kesal.
Yeji, Renjun, Han, Chaeyeon, Ryujin, Seungmin, dan Chaewon tertawa mendengar penuturan kedua temannya itu.
Sementara Hyunjin sedang menatap Ryujin yang kini sedang tertawa lepas membuat kurva keatas terbentuk di bibir Hyunjin. Ia berharap bahwa dirinya dan Ryujin bisa seperti Chaeyeon dan Han.
"Hmm, gue mau minta maaf sama kalian. Selalu bikin keributan dan mecah belah kita kayak kemarin. Maaf, ya?"
"Tenang aja, Chaey. Gue sudah maafin lo dan selama ini gue masih menganggap lo itu sahabat gue. Jadi, teletubbies?"
Chaeyeon terharu, ia menjadi tambah merasa bersalah. Teman-temannya yang sudah dia fitnah dan memperlakukan mereka kasar, tapi ternyata masih mau memaafkannya.
"Makasih. Ya, teletubbies."
"Berpelukan!" seru mereka semua.
Dengan suasana baru di halaman belakang Rumah Haechan, mereka semua berpelukan.
Sayangnya, mereka tidak tahu bila salah satu dari mereka itu sedang berdecih pelan dan menatap tak suka, siapa lagi kalau bukan Chenle.
***
"Ayo, gue anterin lo balik ke rumah," ajak Han seraya meraih lengan Chaeyeon.
Chaeyeon mengangguk, kemudian berpamitan singkat pada sebagian temannya yang masih berada di rumah Haechan. "Gue sama Han balik ya, bye!"
"Iya, hati-hati."
Dua sejoli itu masuk ke dalam mobil milik Han, kemudian pergi menjauhi pekarangan rumah Haechan. Suara radio mobil dan langit malam kini menjadi teman perjalanan, semilir dingin dari AC mobil juga mulai menelisik kulit mereka.
"Mau mampir makan dulu enggak? Aku lapar, hehe," tanya Han nyengir, tapi matanya tetap fokus melihat jalanan karena ia sedang menyetir.
"Boleh, aku juga lapar belom makan dari siang."
"Ya sudah, kita makan di restoran seafood aja, ya? Yang deket."
"Oke," singkat Chaeyeon.
Setelah mendapat persetujuan dari kekasihnya, Han langsung melajukan mobilnya ke arah restoran seafood yang ada di kanan jalan.
"Mau pesan apa, kak?" tanya seorang pelayan ketika Han dan Chaeyeon menempati salah satu meja yang tersedia di restoran itu.
"Saya cumi asam manis sama lemon tea aja, mbak," ujar Chaeyeon dan diangguki oleh si pelayan.
"Kalau lo mau apa, Han?"
"Sama aja kayak lo."
"Oke, jadi cumi asam manis sama lemon tea dua ya?" tanya Pelayan itu memastikan.
"Iya."
"Baik, mohon ditunggu," pelayan barusan kemudian pergi untuk memersiapkan pesanan mereka.
"Han, setelah ujian, kamu mau lanjut ke mana?" Chaeyeon membuka obrolan santai, sudah lama sekali ia tidak berbincang-bincang dengan Han selain membicarakan tentang kasus-kasus kematian temannya.
Han tampak menimang-nimang. "Masih belum tahu, tapi aku maunya satu kampus sama kamu, hehe."
"Bisa aja lo, kambing."
"Aku 'kan nggak bisa jauh-jauh dari kamu, Chaey."
"Bucin!" ledek Chaeyeon dengan mulut yang pura-pura memuntahkan isi perutnya. Diakhiri mereka berdua tertawa bersama-sama
Selama beberapa menit mereka berbincang-bincang, pelayan akhirnya mendatangi mereka sambil membawa nampan berisi makanan. Ia lalu menaruh pesanan mereka di atas meja. "Silahkan dinikmati."
"Makasih, Mbak."
Pelayan itu diam sejenak sambil menatap Han dan Chaeyeon, seperti hendak menyampaikan sesuatu.
"Ada apa, mbak?" tanya Han yang sadar kalau pelayan itu belum pergi juga.
"Ehm, tadi sebelum saya mengantar pesanan ini ada bapak-bapak yang nitip surat ke saya, katanya ini buat kalian," pelayan itu berujar, tangannya mengambil secarik kertas dari kantong seragam kerjanya dan menyerahkanya pada dua insan itu.
"Surat?" Chaeyeon menggumam heran.
"Iya, saya permisi dulu kalau gitu," kata pelayan tersebut dan pergi meninggalkan meja mereka.
Han tampak penasaran, ia lalu membuka lipatan kertas yang tadi diberikan oleh sang pelayan.
"Perasaan kita dapat surat mulu, coba bacain Han."
Dear, Han Jisung dan Lee Chaeyeon.
Hai, Chaeyeon! Gue masih inget kalau lo pernah berharap lo yang mati bukan adik lo. Mmm, kalau gue kabulin permintaan lo tapi Han juga ikutan, gimana?
Jadi sekarang berhati-hatilah, kalau ada lampu merah berhenti, kalau lampu hijau jalan. Jangan kebalik, hihi.
Selamat menikmati makan malamnya, karena bisa saja itu makan malam terakhir untuk kalian, hihi.
regards, Mediocris.
"Mediocris ...."
"Itu salah satu komplotannya mereka," ujar Han yang kini wajahnya sudah memucat.
Chaeyeon panik, ia sama tegangnya seperti Han. "Berarti kita adalah target mereka selanjutnya?"
"Iya, kita dalam bahaya sekarang."
***
Lima menit setelah Han dan Chaeyeon berpamitan, Chenle disusul Chaelix, Seungmin, dan Yeji ikut berpamitan pulang.
Tadi, Hyunjin meminta tolong kepada Seungmin untuk mengantarkan Yeji pulang karena ia ingin mencoba berbicara dengan Ryujin. Jadi, Seungmin menyanggupi permintaan Hyunjin setelah tau masalah yang sedang menerpa hubungan temannya itu.
"Ryujin."
Ryujin menoleh ke arah Hyunjin yang memanggil dirinya.
"Ayo, bicara sebentar." Hyunjin mengajak Ryujin menjauh dari kedua temannya yang sedang menaruh fokus ke pada dirinya dan juga Ryujin.
"Ya." Ryujin mengiyakan ajakan Hyunjin dan mengikuti Hyunjin tepat dibelakangnya.
"Gue mau jujur soal masalah kemarin."
Gadis Shin itu tampak tertegun sejenak, walaupun ia sudah tahu jawabannya, tapi rasanya tetap mengecewakan, apa lagi Hyunjin akan mengaku di depannya sekarang. "Ya, silakan."
"Iya, orang di foto itu gue."
Netra Ryujin memandang getir mendengar pengakuan gamblang Hyunjin. Dirinya mencoba untuk tidak menangis tapi kedua matanya sedang tidak bisa diajak kerjasama. Sial.
Hyunjin panik, melihat mata Ryujin yang mulai berkaca dan ujung hidung gadis Shin itu memerah. Ia segera menjelaskan secara detail. "Itu tiga tahun yang lalu dan gue merasa bersalah sama Jiheon, Jin. Gue tahu kelakuan gue salah, salah banget. Pernah bully dan hampir ngelecehin dia, tapi setelah itu perasaan bersalah muncul, serius gue enggak bohong."
"Tapi sayangnya, gue punya ego yang tinggi. Bukannya minta maaf, malah ikut bully dia karena berita yang enggak benar soal Jiheon main ke hotel tersebar. Padahal gue tahu, berita itu cuma dibuat-buat sama Wonyoung dan Chaeyeon. Satu lagi, sebenarnya gue diajak kerjasama sama Wonyoung supaya gue bawa Jiheon ke Geneva waktu itu. Jadi, Ryujin ... please, gue tahu gue salah. Tap—"
"Cukup, lo brengsek banget. Kita break dulu." Ryujin menyeka air matanya lalu berlari masuk kembali ke dalam meninggalkan Hyunjin.
Hyunjin masih mematung tak percaya dengan kejadian yang barusan terjadi. Kepalanya mulai menunduk dan memejamkan matanya sebentar.
"Bro, pulang dulu sana. Biar Ryujin tenangin dirinya dulu." Suara Renjun memasuki pendengarannya.
Pria Hwang hanya memberi respon dengan anggukan kecil, lalu berjalan menuju mobilnya dan keluar dari pekarangan rumah Haechan.
"Chan, gue sama Hyunjin balik dulu ya!" ucap Renjun pamit.
"Oke, hati-hati!"
Haechan berbalik masuk ke dalam rumah dan menemukan entitas Ryujin yang sedang mengelap muka dengan tisu wajah.
"Lo sama Hyunjin jadinya gimana?"
"Break."
"Bercandaan lo enggak banget."
"Gue serius, Haechan."
"Enggak percaya gue."
"Hyunjin ngaku dan dia kasih penjelasannya. Tapi gue sebagai cewek enggak terima dong. Dia kenapa brengsek banget." Ryujin yang melihat raut tak paham Haechan pun akhirnya, menceritakan dari awal hingga akhir.
"Oke, gue terima kenapa lo marah banget sama Hyunjin. Tapi 'kan itu udah lama, Jin? Dia juga udah menyesal. Lo liat Hyunjin sekarang kayak gimana sifatnya. Dia sudah berubah jadi lebih baik," respon Haechan setelah mendengar penjelasan Ryujin.
"Tapi gue belum bisa terima, Chan."
Haechan menghembuskan nafas, "Jangan sampai menyesal karena keputusan lo sendiri, setiap manusia punya kesalahan di masa lalu. Gue punya, lo punya, tapi belum ketahuan aja."
"Gue ambil minum dulu buat lo." Haechan berjalan menuju dapur untuk mengambilkan segelas air minum untuk Ryujin.
Saat mengambil gelas kaca, Haechan mengerutkan dahinya ketika matanya menangkap wujud amplop kecil di atas meja makannya.
"Siapa yang taruh amplop di sini?" Tangan Haechan mengambil amplop itu dan mencari isinya.
"Makan, menerobos, pergi. Hah, maksudnya?"
"Chan! Lama banget ngambil minum doang." Ryujin menghampiri Haechan yang tengah memikirkan sesuatu dengan sepucuk kertas yang sedang dipegang.
Ryujin yang penasaran merebut kertas yang ada ditangan Haechan. Reaksi Ryujin setelah membaca kertas itu tidak jauh berbeda dengan reaksi Haechan saat pertama kali membacanya.
"Lo paham?"
"Maksudnya gimana, sih?"
"Enggak tau gue, makanya tanya lo."
"Telepon Pak Chan aja enggak, sih? Siapa tahu ini clue," usul Ryujin.
Baru saja Haechan ingin menelpon Pak Chan, ponselnya lebih dulu bergetar tanda ada panggilan masuk, langsung saja ia mengangkat panggilan tersebut yang rupanya dari Felix.
"Halo, ada apa, Lix?"
"Han sama Chaeyeon kecelakaan, Chan. Lo ke sini cepatan. Nanti gue kirim lokasinya."
Tubuhnya menegang seketika, Haechan buru-buru mematikan teleponnya dan membuka room chat dirinya dan Felix. "Ayo ke rumah sakit, Han sama Chaeyeon kecelakaan!"
***
"Han, itu maksud suratnya apa?" tanya Chaeyeon gelisah sembari menaruh pelan sendok yang ia pegang. Mendadak tidak nafsu menghabiskan cumi asam manisnya itu.
"Makan dulu, baru mikirin suratnya, oke?"
"Enggak."
"Chaeyeon."
Chaeyeon membuang muka dan memilih tak menuruti perkataan Han.
"Chaeyeon makan, aku..." gantung Han.
"Apa?"
"Aku takut yang ditulis di surat itu benar, kalau ini makan malam terakhir kita," batin Han menatap teduh Chaeyeon.
"Aku enggak mau nasinya nangis," lanjutnya.
Chaeyeon mendengus dan mengambil suapan pada makanannya itu.
Han yang melihat Chaeyeon menuruti kemauannya itu tersenyum, lalu melanjutkan makannya yang sempat terhenti.
Sudah 30 menit mereka berada di restoran seafood dan kedua orang itu juga sudah selesai menghabiskan pesanannya.
Han menggandeng tangan Chaeyeon menuju kasir untuk membayar pesanan mereka, sementara Chaeyeon berusaha menyesuaikan langkah lebar milik Han.
Selesai membayar, sepasang kekasih berjalan menuju parkiran mobil. Han mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Han." Chaeyeon memecahkan keheningan di antara mereka.
"Tadi 'kan di suratnya ditulis lampu merah sama hijau. Memangnya bakal terjadi sesuatu?" tanya Chaeyeon menatap bangunan yang tampak berjalan.
"Semoga, enggak ada apa-apa," jawab Han singkat karena masih fokus menyetir.
"Hm."
Chaeyeon yang merasa bosan melihat bangunan-bangunan yang berjalan mulai memindahkan fokusnya ke arah spion.
Dahi gadis itu mengkerut ketika melihat seseorang yang sepertinya mengikuti dirinya dan Han.
"Kenapa?"
"I—itu perasaan mobilnya seperti mengikuti kita," jawab Chaeyeon panik.
"Hah?"
"HAN! DIA BAWA PISTOL!" teriak Chaeyeon tiba-tiba, ia baru saja melihat siluet pengendara mobil itu mengangkat sebuah pistol.
Han yang panik sekaligus kaget mendengar teriakan Chaeyeon, menambah kecepatannya.
Mobil hitam itu masih setia dibelakang Han. Menyesuaikan kecepatan yang Han gunakan.
"Sial! Lampu merah," maki Han.
"Terobos!"
"Lampu merah harus berhenti, Chaeyeon!" protes Han.
"Lo mau mati di tangan orang belakang?"
Lampu merah semakin mendekat, Han bingung memilih antara menerobos atau menghentikan mobilnya secara mendadak.
Han menginjak gas, memilihbmenerobos lampu merah dengan kecepatan tinggi. Chaeyeon masih mengawasi arah belakang.
"Dia udah enggak di belakang kita."
Han bernafas lega, lalu mencoba mengerem mobilnya untuk mengurangi kecepatannya.
Sayangnya, rem mobil Han tidak berfungsi. Panik, ia mencoba menginjak remnya berkali-kali.
"Han, kok mobilnya makin cepat?" khawatir Chaeyeon saat mobil mereka melewati jalanan menurun.
"Rem ... Remnya blong!"
Mereka berdua dilanda kepanikan, bingung harus bagaimana. Sial, di depan sana sepertinya ada kemacetan, sementara mobil Han, kecepatannya semakin bertambah
Banting stir.
Ide itu melintas di otak Han, tetapi ia tahu itu bisa berakibat fatal. Disatu sisi ia tak mau Chaeyeon kenapa-napa, tapi disatu sisi Han juga tak mau egois jika dirinya tidak memilih opsi itu, bisa menjadi tabrakan beruntun.
"Chaey, maaf."
Chaeyeon yang mengerti maksud Han, hanya mengangguk dan menatap Han sayu.
"Love you."
"Too."
***
Setelah mendapat kabar soal Han dan Chaeyeon, Haechan dan Renjun segera menuju rumah sakit yang dikirimkan oleh Felix.
Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai di rumah sakit itu. Haechan dan Ryujin segera melepaskan helmnya dan berlari masuk menuju UGD.
"Pak Chan!"
Haechan dan Ryujin terkejut melihat entitas Pak Chan yang tengah bertanya dengan salah satu perawat.
"Kalian mau menuju ruang Han dan Chaeyeon yang baru saja kecelakaan?"
"Iya, pak."
"Ayo ke ruang jenazah, kata susternya korban kecelakaan yang baru saja dibawa kesini tidak sempat tertolong."
Tubuh mereka berdua mematung beberapa saat. Tersadar Pak Chan sudah berjalan menuju ruang jenazah, mereka kemudian menyusul dengan langkah besar.
"Mereka kecelakaan kenapa?" tanya Ryujin begitu sampai.
"Menurut saksi mata yang melapor, mobil mereka oleng lalu menabrak pembatas jalan dan pohon, di duga karena rem blong," jawab Pak Chan.
Renjun mengusap wajahnya kasar, menjadi frustasi sendiri. Teman-temannya mulai meninggalkan dirinya satu-persatu.
Pak Chan memperhatikan Yeji, Hyunjin, Seungmin, Chaewon, Felix, Ryujin, Chenle, Haechan dan Renjun. Mereka ada yang sedang menangis, menatap lurus dinding rumah sakit, menutup mukanya karena tangisan yang menjadi-jadi, dan memijat pelipisnya. Ia masih belum menemukan raut kecurigaan sampai saat ini.
"Pak, tadi saya nemu surat di tas Chaeyeon." Yeji menyerahkan surat itu ke Pak Chan.
Pak Chan memotret surat tersebut dan membawanya menuju kantor. "Jadi ini bukan kecelakaan? Tapi sudah direncanakan," gumam Pak Chan yang sedang duduk menjauhi kesembilan remaja yang sedang kehilangan kedua temannya.
Ponsel lelaki yang sudah mencapai umur dewasa itu berbunyi, ia segera mengecek pesan yang masuk
Lee Haechan :
Pak, saya dan Ryujin dapat clue beberapa menit sebelum kejadian.
*sent a photo*
Bang Chan :
Nanti kita ketemu di kantor saya.
Pak Chan menemui orang tua Han dan Chaeyeon untuk membahas beberapa keganjalan di kecelakaan mereka. Lalu pamit untuk mengurus sisanya di kantor miliknya, diikuti dengan teman-teman Han dan Chaeyeon pamit pulang ke rumah masing.
***
Haechan segera melajukan motornya dengan cepat menuju kantor Pak Chan, begitu selesai mengantar Ryujin pulang
"Misi, pak," titah Haechan ketika sudah sampai di kantor Pak Chan dan mengetuk pintu ruangan.
"Clue apa yang kamu temukan?" tanya Pak Chan seraya membukakan pintu untuk Haecha.
"Saya temukan surat berisi clue ini di meja makan saya," kata Haechan dan menyodorkan surat yang ia temukan.
"Makan, menerobos, pergi," gumam Pak Chan.
"Dia bermaksud menunjukkan korban selanjutnya?" tanyanya.
"Kayaknya iya, pak."
"Makan, Han dan Chaeyeon lagi jalan keluar kemarin?" tanya Pak Chan.
"Saya kurang tahu, tapi begitu izin pulang dari rumah saya mungkin saja mereka makan malam berdua," jawab Haechan.
"Kalau misalkan betul, berarti maksud surat yang kamu temukan ini menunjukkan korban selanjutnya."
"Makan, mereka sedang mencari makan. Terobos, kemungkinan yang saya pikirkan setelah saya mengetahui kronologinya itu rem mobil mereka rusak dan menurut surat ditulis tentang lampu merah dan hijau sudah jelas jika mereka menerobos," jelas Pak Chan.
"Dan pergi, mereka berakhir pergi meninggalkan kita semua," lanjut Pak Chan.