Play Then Kill

By strugglebam

112K 15.9K 2.6K

[ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | sᴇᴀsᴏɴ 2 ᴏɴʟʏ ᴀᴠᴀɪʟᴀʙʟᴇ ɪɴ ʜᴀʀᴅ-ᴄᴏᴘʏ ᴠᴇʀsɪᴏɴ] "Kamar nomor 1310. Park Jimin, sasaran kepala, t... More

⦇⦈ ACT I ; Apostolí
Prologue
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 05
Chapter 06
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14 A
Chapter 14 B
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Epilogue
⦇⦈ ACT II ; Real'tá
Prologue
1. Masculinity, a Warm Hug
2. I'm Yours, He Said
3. Jeju Island, Sweeter Promise

Chapter 21

2.3K 383 86
By strugglebam

peeps, mau kasih tau kalau twitter aku sudah bisa di akses! kalian bisa reach me out there! untuk eksklusif konten yang sudah di janjikan bakalan di post dalam waktu dekat. dan ya, untuk penghuni Play, Then Kill. aku ada sedikit gift yang bakal aku post juga disana! spoiler2 juga bakal bertebaran!

dan, ya, sedikit warning, mulai chapter 21—dst, plis fokus ya!

fasten your seatbelt, Jije's!



——

Kedai gimbap heaven milik Bibi Jeon memang selalu menjadi tempat favorit yang harus di kunjungi setiap akhir pekan atau paling tidak ketika merasa lapar, namun tak memiliki uang banyak. Kau harus percaya bahwa datang kesana mampu membuat perutmu membuncit senang tanpa perlu memikirkan berapa banyak pengeluaran yang harus kau relakan.

Setelah di pikir-pikir, bagi Jean sendiri kedai ini tak memiliki banyak poin untuk di sanjung (kecuali gimbap tuna dan sup ayam jamur yang sanggup membuat Jean berteriak histeris soal rasa), semua masakan Bibi bisa di nilai delapan per sepuluh. Rumah makan sederhana ini tak terlalu besar, tetapi tidak juga terlalu kecil. Lampu-lampu hiasan cantik yang ketika malam menyala terang menggantung mengikuti dinding. Semuanya nampak begitu sederhana tetapi membuat nyaman. Pengunjungnya pun selalu dapat di tebak—setengah persen dari mereka adalah mahasiswa akhir tahun yang sedang mengirit uang saku, seperempat dari mereka adalah para buruh lansia, sisanya itu para karyawan yang barangkali malas memasak.

Kedai gimbap tersebut menyimpan sejuta keping kenangan berharga untuk Jean dan Taehyung. Selain sosok pendiri sekaligus koki utama yang baik hati, mereka berdua bisa melakukan apa pun disana. Mengerjakan tugas sampai pagi, menumpang makan kendati tak menjanjikan kalau salah satu di antara mereka akan membayar, juga tempat bersembunyi paling aman bagi Jean ketika sedang bertugas, segala hal tentang kedai gimbap ini begitu luar biasa.

Di salah satu meja di sudut kedai, tepatnya sebelah jendela yang menampilkan keramaian daerah distrik Gangnam, Jean menumpu dagunya, memandang ke arah luar dengan perasaan menghangat.

Hari ini Taehyung bilang ingin mentraktir Jean makan karena ia baru saja di terima kerja di salah satu restoran ayam cepat saji tak jauh dari apartemennya sebagai pelayan. Katanya, sih, hanya untuk mengisi kekosongan harinya di waktu libur. Kemungkinan lainnya adalah mereka yang akan jarang bertemu sebab dapat di pastikan Taehyung hanya akan fokus pada pekerjaannya.

Tetapi sejujurnya, daripada memikirkan hal itu, Jean lebih penasaran tentang alasan sikap Taehyung setelah kedatangan Seokjin kemarin. Mungkinkah Taehyung kenal dengannya? Atau hanya marah karena ia menerima tamu laki-laki?

"Jadi, dimana Taehyung? Kenapa sendirian?" bibi Jeon menyapa hangat, meletakkan satu gelas es kopi di hadapan gadis itu.

Jean tersenyum, "Sedang dalam perjalanan kemari, Bi."

"Lalu alasan wajahmu muram begitu?"

"Hanya sedang memikirkan beberapa hal?"

Sebelum benar-benar sempat menjawab, langkah berat seseorang dari arah belakang Bibi Jeon justru membuat atensi keduanya teralihkan secara bersamaan.

Kim Taehyung disana. Pakaian kasual khas musim gugur kemudian rambutnya yang terlihat gimbal. Kedatangannya membawa senyuman manis untuk Jean.

"Hai, sayangku. Apa kabar?"

Tidak. Jangan salah sangka. Pertanyaan itu jelas bukan tertuju untuk Jean, melainkan untuk wanita paruh baya yang kini tengah mengusap lengan Taehyung hangat. Seperti menyambut kedatangan anaknya sendiri.

"Kenapa lama sekali. Kau tidak lihat gadis cantik ini menunggumu, hm?" Bibi meletakkan secuil canda dalam ucapannya. Membuat Taehyung terkekeh sebelum menarik kursi dan duduk di hadapan Jean.

Melepas jaket jeansnya, Taehyung melirik Jean sekilas, "Aku ada urusan, Bi."

Seakan mengerti, wanita paruh baya itu berangsur pergi. Membiarkan Taehyung dan Jean di selimuti hening yang Jean ciptakan tanpa alasan.


"Kau mengenalnya, bukan?"

Cepat atau lambat Taehyung tahu bahwa Jean akan menyuguhkan pertanyaan ini. Dan pemuda itu sendiri berharap bahwa dia akan menjawab dengan lantang, ya, aku mengenalnya, sangat. Dia kakakku, jelas. Bahkan kami sangat dekat.

"Tidak, um, maksudku, hanya sebatas tahu. Siapa yang tidak mengenalnya, bukan? Dia orang penting." Hasil akhir jawaban Taehyung bahkan tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya. Bagus, Taehyung. Benar-benar sebuah awalan bagus untuk berbohong.

Jean menelisik, "Hanya sebatas itu?"

Mengangguk setengah yakin, Taehyung menatap Jean. "Ya, tentu saja. Hanya sebatas itu."

*****

Rintik-rintik gerimis yang sayup terdengar membuat gadis bersurai cokelat gelap itu mengedarkan pandangan ke luar jendela. Menghirup bau hujan, merasakan udara sejuk khas musim gugur. Sensasinya cukup menyenangkan.

Jean membuang puntung rokok keluar jendela ketika mendengar dering ponselnya berbunyi.

Langkahnya terdengar ringan menuju meja rias. Melihat nama Seokjin tertera disana, gadis itu langsung menjawab.

"Ada apa?"

[Besok ke gedung biru, bisa?]

Jean berpikir lambat, "Kau benar-benar ingin mempekerjakanku sebagai sekretaris dadakan?"

Seokjin terbahak disana. Membuat Jean semakin tidak mengerti. Menarik napas pelan, kemudian menghembuskannya, pria di sebrang sana lantas berdeham. [Kau ini ada-ada saja. Jelas tidak, lah. Kupikir kau sudah bisa menjalani misi lagi]

Jean terbelalak. Dia tidak salah dengar, kan? "Ma-maksudmu—"

"Mhm, iya. Kuyakin kau tahu maksudku. Sudah cukup 'kan liburan panjangmu?"

Song Jean mengangguk girang, "Ya, tentu saja. Aku bahkan bosan bergelung dengan kasur setiap hari."

"Besok pagi datang ke gedung, oke?"

*****

Biasanya di akhir pekan, atau liburan akhir semester, Taehyung akan mencuri waktu senggang Jean dengab mengajaknya menjelajah banyak tempat dan mereka akan berlibur bersama. Entah Taehyung yang dengan baik hati mentraktir atau Jean yang justru mengalah membayar semua makanan, mereka dapat mengatur itu belakangan. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, Taehyung merasa apa pun yang ia lakukan selalu melibatkan Jean dalam hidupnya. Itu menyenangkan.

Tetapi sabtu ini justru berbeda. Penghujung hari yang dingin, meja-meja yang kotor dengan piring dan gelas di atasnya, Taehyung masih senantiasa memakai seragam cokelat kebesaran dari pemilik restoran dengan gambar ayam di bagian depan baju dan topi putih yang tak Taehyung sukai sama sekali—sebab Taehyung tahu dia terlihat jelek memakainya. Akhir pekan barangkali menjadi waktu sial bagi beberapa orang. Karena sebagian dari mereka—para pekerja paruh waktu sepertinya harus bekerja ekstra dan bukannya beristirahat.

Saat suara lonceng di atas pintu berbunyi, menandakan ada yang masuk, Taehyung buru-buru menegakkan tubuhnya, "Selamat datang, silahk—" Sisa-sisa kalimatnya melebur di udara sebelum Taehyung sempat menyelesaikan ucapannya. Irisnya berkedip empat kali dengan cepat, seolah berusaha menyadarkan diri. Kemungkinan kecil ia sedang berhalusinasi, atau, tidak sama sekali. Benar.

Park Jimin disana.

Taehyung melepas lap kotor dari tangannya, menatap lekat sosok di depan sana seperti cahaya yang telah lama redup, kemudian kembali bersinar atas izin semesta.

Dua tahun?

Empat tahun?

Atau, lima tahun?

Berapa lama Taehyung tak melihatnya? Dia terlihat baik-baik saja, bukan?

"Orenmaniyeyo, Park Taehyung." // (sudah lama tidak bertemu)

*****


Aroma pie cokelat yang masih hangat menguar menyambangi indra penciuman. Menghipnotis pemuda Kim itu dalam sekejap. Ah, benar, harusnya bukan Kim, tapi Park muda. Taehyung kembali menelaah lagi, kira-kira sejak kapan dia terbiasa dengan marga Kim? Sejak pertengkaran mereka? Atau sejak mengenal Jean? Taehyung agaknya sudah lupa. Tetapi kini, melihat presensi nyata sang kakak, bagaimana mereka melewati masa kecil hingga dewasa hanya berdua membuat Taehyung merasa bodoh karena sembarangan merubah marganya. Seharusnya dia tak melakukan itu.

"Jalmothaesseo, naega." Jimin menatap sang adik yang menunduk di depannya. "Maafkan aku," // (aku bersalah)

Lidah Taehyung mendadak terasa kelu.

"Untuk apa?" jawabnya berbisik,

Kini mereka duduk berhadapan di salah satu meja di sudut restoran. Sejak kedatangan Jimin, Taehyung belum berniat menatap pria yang usianya lebih tua darinya itu dalam waktu lama.

"Semuanya," Jimin memotong pie cokelat tersebut dalam potongan sedang. Memberikannya pada Taehyung sebelum kembali melipat tangannya di atas meja. "Meninggalkanmu, membiarkanmu melakukan pekerjaan bodoh itu, membiarkanmu tinggal sendirian, tidak menemukanmu lebih cepat. Semuanya. Hyung minta maaf untuk itu semua."

Taehyung justru tak menggubris, memilih melahap kuenya dengan mulut yang terisi penuh. Berusaha bersikap acuh kendati jelas bohong kalau Taehyung tidak peduli. Jelas bohong lalau Taehyung tidak terkejut melihat kedatangan Jimin beberapa waktu lalu. Jelas saja... jelas saja dia bohong kalau seandainya Taehyung merasa tidak senang bertemu lagi dengan pria ini.

Sedang Jimin disana justru terkekeh. Menuangkan segelas coke dan menuntunnya ke depan Taehyung, "Hei, pelan-pelan. Kau bisa memakan semuanya, aku tidak akan minta."

Nyatanya memang benar. Taehyung hanyalah Taehyung. Tidak ada yang berubah bagi Jimin. Anak muda itu masih terlihat sederhana, juga selalu makan dengan lahap. Ketika ucapanmu di acuhkan olehnya, itu bukan karena dia tidak peduli. Justru mengartikan sebaliknya, Taehyung akan mendengar dengan hatinya semua perasaan yang kau sampaikan.

"Bagaimana kuliahmu?"

Taehyung mengangguk, "Baik."

"Yang membayar tagihan apartemen, siapa?"

"Ibu."

"Ah, rupanya Ibu tidak pernah mendengar ucapanku." Jimin mengeluarkan dompetnya. Mengambil satu kartu kredit dan memberikannya pada Taehyung, "Mulai sekarang gunakan ini untuk keperluan harianmu. Kuliah dan tagihan apartemenmu, aku yang akan membayarnya."

Taehyung mulanya enggan menerina, tapi Jimin lebih dulu peka. Menyadarkan tubuhnya ke kursi kemudian melipat tangannya di depan dada, "Jangan menolakku kali ini. Kau adikku, kau tanggung jawabku. Sekarang aku tidak akan membiarkan dirimu lontang-lanting sendirian lagi. Atau aku akan menembakmu,"

Taehyung terbatuk setelah kalimat Jimin terucap. Ia buru-buru meneguk air dan mengusap sudut bibirnya. Melihat Jimin terkekeh membuatnya sedikit lega. Jimin disini sekarang. Kakaknya tidak pergi meninggalkannya. Padahal, Taehyung pikir dia bisa benar-benar tinggal sendirian.

"Hyung," Taehyung membuat Jimin mendongak, keduanya saling bertatapan. "Aku tidak pernah membencimu," []





p.s; peeps, kalau berkenan, boleh kunjungi cerita aku yang judulnya 'skywishes' boleh? karena disana sepi banget, aku mau tau harus lanjut cerita itu atau nggak? karena jujur aku udah tulis beberapa next part:') terima kasih banyak!

Continue Reading

You'll Also Like

13.6K 2.4K 34
Lengkara, sebuah bangunan yang membuat kehidupan tujuh gadis muda mulai berubah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . FIKSI! pict from Pinterest sta...
189K 13.8K 39
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
46.6K 3.5K 39
jaemin adalah siswa korban bully jeno. tapi semakin dia mengenal jeno, semakin dia mengetahui sisi lain dari jeno. Bukanya membenci, jaemin malah jat...
33.2K 2.8K 29
Yuta tak tau takdir membawanya kepada renjun. Anak yang dirinya temukan berada di wilayah villa tempat menetap sementara yuta, renjun ditinggalkan b...