Part sebelumnya jangan kelewatan ya gais👌 and enjoy! Mari berteori bersama Anmei❤
Ajaibnya, bagaikan kekuatan gaib yang tadi begitu kuat mengunci ruangan itu telah hilang, seketika pintu kayu dan jendela yang telah pecah terbuka dengan sendirinya sesaat setelah Yoongi dan Namjoon keluar melalui jendela yang telah Namjoon pecahkan.
Hingga salah satu dari pria bertubuh besar yang sedari tadi masih berusaha mendobrak pintu kayu ruang musik terjerembab saat pintu tiba-tiba terbuka, beruntung tak terkena api yang berkobar-kobar itu.
Segera selang-selang panjang itu mengeluarkan air deras demi memadamkan api yang semakin ganas melalap seluruh benda yang tersisa.
Namjoon yang menyadari itu hanya bisa mengumpat kesal sembari menggendong tubuh pingsan Yoongi di belakang punggungnya dibantu Ayah Yoongi yang baru sampai di belakang gedung setelah menyadari bahwa Namjoon tak lagi ada di sekitar lorong.
Segera Ayah Yoongi menelepon dokter pribadi keluarga mereka untuk segera datang ke sekolah, sang putra pasti memerlukan pemeriksaan khusus setelah terjebak di dalam ruang yang terbakar hebat dengan tanpa adanya ventilasi apapun sehingga asap yang berasal dari pembakaran benda-benda tersebut sepenuhnya memenuhi setiap sudut ruang. Pasti banyak asap yang tanpa sengaja terhirup oleh Yoongi saat ia terjebak di dalam sana, untung saja kulit lelaki pucat itu tidak tersulut api sehingga meninggalkan luka bakar yang akan merusak kulit indahnya.
"Tolong segera datang ya, Dok. Nanti alamatnya saya kirimkan." ujarnya tergesa setelah menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi dan bagaimana keadaan sang putra saat ini.
"Maaf, Tuan Min. Saya tidak bisa, saya sedang seminar di luar kota." jawab Sang Dokter tak enak hati, sebab ia tahu seberapa perlunya Tuan Min akan jasanya, apalagi keluarga Min memang selalu memercayakan dirinya untuk memberikan pemeriksaan dan perawatan.
"Apa? Dokter tidak bisa datang?"
"Maaf sekali lagi, Tuan. Ah, bagaimana kalau anak saya yang menggantikan tugas saya memeriksa Min Yoongi? Tenang, walau anak saya masih muda, tetapi ia dokter profesional yang handal. Lulusan terbaik dan termuda." tawar Sang Dokter.
"Benarkah? Apa dia bisa? Baiklah tolong minta dia segera datang ya, saya kirimkan alamatnya ke Dokter sekarang. Terima kasih." Mau tak mau Ayah Yoongi setuju sebab bagaimanapun Yoongi butuh pemeriksaan secepatnya.
Lagipula Ayah Yoongi percaya bahwa Dokter pribadinya itu takkan asal merekomendasikan dokter pengganti, apalagi jika memang betul itu adalah anaknya sendiri.
Kini Yoongi di baringkan pada ranjang yang ada di ruang kesehatan, didampingi Sang Ayah dan sahabat. Sedangkan yang lainnya membereskan kekacauan yang terjadi, beruntung tak membutuhkan waktu lama, api berhasil dipadamkan, kini mereka membereskan sisa alat musik yang belum sepenuhnya terbakar.
Sedangkan Cenayang Gong kembali berkomunikasi dengan Miki di salah satu ruang kelas yang ada di dekat ruang kesehatan, juga meminta maaf atas segala kekacauan yang terjadi.
Dua puluh menit kemudian akhirnya Sang Dokter pengganti datang, lelaki muda dan tampan itu langsung disambut oleh Kepala Sekolah yang terlihat kaget ketika menyadari bahwa dokter muda tersebut ternyata anak didiknya di sekolah ini dulu, yang lulus lima tahun lalu.
Hingga selama perjalanan menuju ruang kesehatan yang terletak di gedung dua lantai satu, keduanya berbincang-bincang, saling bertukar tanya-jawab.
Lantas berpapasan dengan Cenayang Gong yang kebetulan baru keluar dari salah satu ruang kelas, Dokter muda itu membungkuk hormat ke arah Sang Cenayang yang juga balas membungkuk kecil.
Cenayang melanjutkan langkahnya yang hendak keluar gedung sekolah demi pergi ke tempat selanjutnya, di mana ada orang-orang yang juga memerlukan jasanya.
Namun seketika langkahnya terhenti dan ia langsung menoleh ke arah punggung tegap nan lebar si Dokter yang baru saja lenyap di balik pintu kaca ruang kesehatan ketika mengingat sesuatu.
'Anak itu..' batin Cenayang saat menyadari bahwa wajah dokter tersebut terasa familier.
"Nah, ini dia, Min Yoongi yang memerlukan pertolongan segera." ujar Kepala Sekolah ketika mereka sampai di dalam ruang kesehatan.
"Perkenalkan, dia Kim Seokjin. Alumni sekolah ini." Ayah Yoongi dan Namjoon bergantian memperkenalkan diri, kemudian mempersilahkan Seokjin untuk segera memeriksa keadaan Yoongi yang tak kunjung sadar.
Ketiganya menunggui Yoongi agak jauh di belakang sang dokter, namun masih di dalam ruangan, memastikan kalau-kalau si dokter butuh bantuan atau apa.
'Seokjin.. kenapa rasanya mirip dengan kata-kata yang Yoongi sebutkan itu? Seok, Hae, Jin. Hanya kata Hae yang tidak ada. Ah.. mungkin hanya kebetulan.' batin Namjoon.
Tak lama setelah Seokjin memberikan pertolongan dasar juga membuat Yoongi menghirup oksigen murni dari tabung oksigen berukuran kecil yang dibawanya, pemuda Min itu mulai terbangun sembari sedikit terbatuk.
"Nah, sudah. Dia baik-baik saja. Hanya terlalu banyak menghirup asap, juga shock ringan." jelas Seokjin sesaat setelah memastikan keadaan Yoongi yang baru saja siuman.
Tiga orang yang ada segera berjalan mendekat ke brankar tempat Yoongi berbaring, dan dokter itu sedikit mundur memberikan ruang pada mereka.
Ayah Yoongi mengusap pucuk kepala Yoongi halus, labiumnya melantunkan doa syukur atas keselamatan dan kesehatan Yoongi saat ini.
"Mi-miki..?" Suaranya parau, segera Ayahnya menyodorkan air mineral menggunakan sedotan yang tadi dibeli Namjoon di vending machine.
"Miki.. eodiga, Appa?" Suaranya masih begitu lemah, namun selemah apapun kondisinya ia pasti mencemaskan keadaan Miki yang diambang sekarat—tentu sebab kita semua tahu bahwa Miki belumlah meninggal.
"Dia ada di kelas sebelah. Kau tenang saja."
Yoongi berusaha beranjak, namun segera Ayahnya tahan, "Jangan, kau masih lemah. Istirahatlah dulu." Yoongi mengerang, ingin melawan namun tubuhnya memang masih lemah.
"Eum.. bagaimana kalau.. Miki..ssi saja yang datang kemari? Kau bisa panggilkan dia ke sini, Namjoon-ssi." tawar Seokjin. Ia terlihat agak ragu ketika menyebut nama Miki.
Namjoon gelagapan, "A-ah.. itu.. tak perlu, Uisa-nim. Miki juga sedang beristirahat di sana."
"Oh ya? Apa dia memerlukan pemeriksaan juga?"
"Ti-tidak. Dia baik-baik saja." Namjoon tak yakin apa sosok Miki dapat dilihat oleh dokter ini atau tidak, sebab memang tak sembarang orang bisa melihatnya, apalagi di tengah kondisi lemahnya saat ini.
Dokter muda itu mengangguk, "Um.. baiklah. Ah iya, Kalian bisa mengajak Yoongi berbincang ringan, namun jangan biarkan ia beranjak dulu sebab keadaannya masih lemah. Mungkin sekitar lima belas sampai dua puluh menit lagi saya akan kembali untuk memberikannya vitamin." jelas Seokjin.
"Mungkin selama itu saya bisa ke kantin.. oh, ini hari sabtu ya? Sekolah libur berarti kantin juga libur?"
"Nee, Uisa-nim. Tapi tak masalah, kalau hanya ingin kopi ada vending machine di sini. Biar saya temani." usul Namjoon.
Keduanya kemudian berlalu dari sana menuju vending machine yang disediakan di tiap gedung, masing-masing membeli kopi dingin kemudian duduk berdampingan di kursi kayu yang berada di tiap depan kelas.
Entah mengapa Namjoon merasa ia bisa menggali sesuatu dari Sang Dokter yang kebetulan namanya mirip-mirip dengan kata yang Yoongi ucapkan waktu itu. Apalagi ketika rungunya mendapati setitik keraguan kala Dokter muda itu menyebutkan nama Miki.
Hanya hening di antara keduanya sampai akhirnya Seokjin membuka obrolan, "Jadi.. sebenarnya apa yang terjadi di sini? Bagaimana bisa ada kebakaran?"
"Ah.. itu.." Bagaimana cara Namjoon menjelaskannya? Apa ia harus mengatakan bahwa kebakaran terjadi karena sebelumnya hendak diadakan pelepasan arwah Miki. Namun apa yang telah terjadi sampai Yoongi dengan nekat melompat ke dalam ruangan yang dipenuhi dengan api itu adalah sebuah kesalahan dari kedua antek-antek Cenayang Gong.
Ah.. tidak-tidak. Mana mungkin Namjoon menceritakan hal yang dirahasiakan selain pada para staf sekolah serta keluarga Yoongi ini pada orang asing. Lagipula bukankah kisahnya aneh sekali bagi orang awam?
"Um.. Tak sengaja terjadi korsleting di ruang musik." bohong Namjoon.
"Ruang musik? Astaga, lalu bagaimana keadaan ruangan itu sekarang? Semuanya habis terbakar kah?" Seokjin terlihat panik.
"Ya.. begitulah. Sebab apinya sedikit lama dipadamkan. Hanya tersisa alat musik yang sudah gosong, tak berbentuk, tak bisa digunakan lagi."
"Sayang sekali.. pasti Miki sedih kalau mengetahuinya." gumam Seokjin pada akhir kalimatnya yang masih bisa terdengar jelas oleh Namjoon yang duduk di sisinya.
"Pardon? Miki? Kim Uisa-nim kenal Miki?"
"Oh? Tidak. Mungkin Miki yang kita kenal berbeda. Tadi aku mau bilang kebetulan aku kenal seseorang yang bernama Miki juga. By the way, panggil saja aku Hyung. Umurku belum terlalu tua kok. Mungkin hanya berbeda lima atau enam tahun darimu."
"Baiklah, Seokjin Hyung." Sungguh, entah mengapa, rasanya dugaan Namjoon semakin kuat walau Seokjin sendiri sudah mengatakan bahwa Miki yang mereka kenal berbeda.
"Eh, tunggu. Jadi.. Seokjin Hyung dan Miki yang Hyung kenal itu sama-sama alumni sekolah ini?"
Seokjin mengangguk, matanya terlihat mengawang, mungkin mencoba mengingat memori masa lalu ketika ia bersekolah di sini.
"Kalau boleh tahu.. apa Hyung dan Miki-ssi lulus bersamaan? Ah, maaf kalau pertanyaanku lancang."
"It's okay. Hm.. tidak. Aku lulus duluan sebab aku kakak kelasnya. Kami berbeda satu tahun." jawab Seokjin ringan sembari menyeruput kopinya.
Namjoon terdiam sejenak, memproses informasi di dalam ruang berpikirnya. Lantas Namjoon mengajukan sebuah pertanyaan, mencoba peruntungannya.
"Miki-ssi.. berjurusan IPS?" Seokjin mengangguk.
"Apa ia.. suka bermain piano?" Lagi-lagi Seokjin mengangguk saja tanpa curiga mengapa bisa Namjoon seolah tahu siapa itu Miki yang dikenalnya.
"Nama lengkapnya.. Choi Miki?" Mungkin ini pertanyaan terakhir yang bisa Namjoon ajukan sebab lelaki itu pun juga tak terlalu tahu banyak tentang Miki.
"Benar sekali. Kenapa kau bisa tahu?" Akhirnya Seokjin merasa janggal juga akan semua ini, lelaki itu berhenti menyeruput kopinya dan beralih melirik Namjoon.
"O-oh itu.. um.. mungkin kebetulan? Ah, bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan lagi?" Namjoon harap-harap cemas.
Terdiam sejenak, lantas Seokjin mengendikkan bahu lebarnya acuh, "Sure, why not. Bertanya padaku tak dipungut biaya juga. Selagi ini bukan konsul, haha." Suara tawanya yang khas mengudara.
"Apa Miki-ssi masih.." Sungguh, Namjoon bingung bagaimana mengutarakan pertanyaan yang bersarang di kepalanya.
Seokjin masih menunggu pertanyaan Namjoon sembari menaikkan sebelah alisnya bingung. "Masih.. sering berkomunikasi dengan Hyung?"
Kini kedua alis Seokjin bertaut saat ia mengernyit heran, "Um.. ya. Tentu. Dia.. Tunanganku." []
What do you think?🌚
See ya on the next update!❤