Aku pernah jatuh cinta bak angin menerpa semut-semut kecil yang mejadikannya punah. Dan aku juga pernah patah bak petir yang menyambar pohon dan menjadikannya tumbang. Serta, aku juga pernah gamang dengan rasa hambar bak tali yang mengekang paru.
Ini lebih sesak lagi. Antara maju atau mundur. Antara mengurangi gaya atau menambah gaya. Antara terus tinggal atau harus berjalan pergi.
Harusnya ini tidak begitu mengganggu, jika saja Galen tidak bersikap seperti ini. Perihal hati yang harus dilepas, sudah aku ikhlaskan. Mungkin memang aku tidak berjodoh dengan Mas Keanu. Masalahnya sekarang adalah hati Galen itu sendiri.
Memang kami berdua menyambut baik keputusan dari orang tua Galen. Saking senangnya, kami sudah merencanakan wedding organizer mana yang akan dipakai untuk meng-handle pernikahan kami nanti. Baru merencanakam saja. Namun beberapa hari ini, raut wajah itu terlihat palsu.
Seperti tadi pagi ketika aku memekik riang karena merasakan tendangan di perutku, Galen tak tampak seantusias dulu. Dia hanya tersenyum mengelus rambutku sambil lalu.
Beberapa kali kulihat wajahnya yang merenung dengan tatapan kosong. Diajak berbicara tidak nyambung, seperti orang linglung. Tertawa tidak bisa lepas. Dia juga jarang memberikan bentuk kasih sayang yang dulu sering kudapatkan.
Tidak perlu ditanya ada apa gerangan, karena diri ini sudah cukup paham dengan apa yang terjadi pada hatinya.
Ini sesak. Rasa cemas ini tak berhenti menghantui. Takut jika saja Galen berhenti untuk mempertahankan pilihannya.
Pukul 02.00, aku masih terjaga ketika pegas kasur bergoyang menandakan Galen keluar kamar lagi. Hampir setiap hari aku tahu jika dia terus terbangun pada dini hari. Sebenarnya sampai ia bangun, aku juga tidak pernah tertidur. Terjaga sambil menahan sesak. Namun kali ini, aku ingin bertanya langsung.
Sambil mengulum senyum, aku melihat seluet tubuh berdiri di balkon, melawan angin malam. Asap rokok dari hembusannya tertiup angin, mengotori rolling udara ruang teveku. Badannya tidak sekokoh siang hari, di mana dia harus tampak bahagia bersamaku.
Ingin rasanya aku mengajaknya bertos ria, sambil berkata; Hei, Bung! kita sama-sama pandai membohongi hati sendiri!
Dengan langkah dan senyum mantap, aku berjalan dan berdiri tepat di sampingnya, membuat Galen dengan cepat mematikan puntung rokok itu.
"Apa yang bisa dilihat dari atas sini?" gumamku sambil melihat jalan raya di bawah sana yang masih dilalui beberapa kendaraan meski sudah dini hari.
"Kenapa bangun?"
"Tepatnya, aku belum tidur," koreksiku.
Galen merangkul bahuku sambil mengelusi lengan atasku. Mencoba memberi kehangatan walau gagal. Karena malam ini benar-benar dingin.
"Di sini berisik banget, Zel. Terlalu dekat dengan jalan raya. Sebaiknya kamu pindah ke apartemenku. Lebih nyaman dan tenang biar kamu bisa istirahat lebih baik."
Aku bergumam. Dulu ketika kami masih berpacaran, Galen sudah menawari hal ini. Akan tetapi tentu saja aku tolak. Pikirku masa itu, masih pacaran jangan menerima hal yang semewah itu. Apalagi waktu itu, kami sudah berhubungan lebih "jauh". Aku tidak menerima barang yang akan dianggap sebagai bayaran.
"Sewanya belum habis. Lagi pula Manggarai ke rumah sakit Kana juga jauh banget," jawabku.
Galen menghela napas pelan, tak ingin berdebat. Ia sudah cukup paham dengan keteguhan pendirianku, alias kekeras kepalaanku.
Hening beberapa saat, sebelum aku kembali berceloteh. "Kamu tampak buruk beberapa hari ini."
Galen terkekeh. "Bagian mananya yang bikin aku nggak ganteng lagi?"
Hmm ... masih narsis. Aku terkekeh pelan sambil menyeringai. Mataku masih menatap jauh ke gedung perkantoran di seberang yang lebih tinggi dari gedung apartemen ini.
"Kantong mata bengkak dan gelap, frekuensi merokok yang lebih tinggi, jarang bicara, tatapan kosong, tubuh loyo, wajah berewokan. Kamu nggak nge-drugs, 'kan?" tudingku dengan mata menyipit membuat Galen terbahak lalu memelukku erat dari belakang.
Galen terkekeh sambil mengendusi leher dan rambutku, membuatku meremang geli. "Masak iya aku nampak seperti itu?"
Dengan kaku aku mengangguk. "Iya. Alasannya juga kuat; bingung antara memilih mantan pacar yang mengandung anaknya atau istri sahnya di rumah."
Galen berhenti mengendus, kurasakan tubuhnya yang membeku setelah ucapan itu terlontar. Skakmat. Aku tidak lagi penasaran, karena dari bahasa tubuhnya, pertanyaan itu sudah terjawab.
Tenggorokanku terasa tercekat, dengan isak air mata yang mendesak untuk bebas.
Galen membalik tubuhku agar menatap dirinya. Dengan mata merah yang tak kusembunyikan, kubalas tatapan Galen dengan getir.
"Kenapa kamu mikir kayak gitu?"
"Apa aku salah?" balasku sambil berkedip membuat satu tetes air mata telah sukses jatuh.
Galen merapatkan bibirnya, menatapku dengan pandangan menyesal, lalu mengusapi wajahku dengan jemarinya.
"Salah banget. Seharusnya kamu nggak perlu mikirin hal itu, Sayang. Karena semua spekulasi yang muncul di otak kamu, cuma sebagai refleks dari gurat kecemasan dan ketakutan berlebihan yang kamu buat sendiri. Aku tahu kamu, Zela. Kamu cuma takut jika rencana yang udah kamu rancang dengan apik, melenceng dari porosnya, iya, 'kan? Kamu orang yang sangat perfeksionis sampai takut jika semuanya nggak sesuai harapan, termasuk pilihanmu."
Aku terdiam. Sepertinya kali ini Galen benar. Namun aku tetap merasakan keanehan dari sikap Galen beberapa hari ini.
"Tentang sikapku belakangan ini, harusnya kamu sedikit paham. Tadi siang aku ke pengadilan lagi. Tapi entah kenapa proses aku itu dibuat sangat lama oleh mereka. Dengan alasan karena regulasi tentang perceraian yang baru memberikan tenggang waktu untuk suami-istri kembali memikirkan keputusannya. Kayak di kasih waktu untuk rujuk gitu. But, you know me, Zela. Aku nggak sebodoh itu. Ini pasti ada campur tangan dari orang tuaku."
Kali ini aku yang gantian merapatkan bibir, tak tahu harus merespon apa. Aku tahu keputusan orang tua Galen tempo hari tak setulus itu. Tentu saja mereka sangat menyayangi menantunya dan akan melakukan apa pun yang terbaik bagi rumah tangga itu. Aku tidak bisa berbuat apa pun.
"Zel, apa pun nanti yang terjadi, selama apa pun waktu yang dibutuhkan, jangan pernah mikir yang macem-macem, ya! Ketika aku bilang aku memilih kamu, selamanya akan begitu."
"Meskipun nggak ada lagi cinta di dalamnya?" selaku dengan tatapan kosong.
Galen terdiam kaku. Sebelum akhirnya mengalihkannya dengan menyuruhku untuk masuk bertepatan dengan angin kencang yang menerpa kami dan membuat pintu balkon bergeletuk tertiup angin.
Masa bodoh dengan alibi yang lebih condong ke penjelasan yang baru saja dikatakannya. Karena jawaban yang kudapat tetap sama dengan yang pertama. Hubungan kami sekarang benar-benar hambar.
***
Esoknya, aku mengambil langkah berani dengan mendatangi rumah sakit tempat Kana bekerja. Aku sungguh merindukan Kana. Biasanya, jika ada masalah besar seperti kasusku malam tadi bersama Galen, aku selalu bercerita kepada Kana, meskipun anak itu selalu memberi solusi yang di luar kewarasan. Dan saat ini, aku sangat membutuhkan Kana.
Dengan menggunakan setelan yang sama -karena aku tidak pulang dulu selepas ngantor- aku duduk dengan gelisah selama hampir satu jam.
Harap-harap cemas memikirkan bagaimana respons Kana nanti. Apakah nama Azalea masih haram disebutkan?
Ya Tuhan, aku nggak tahu kenapa efeknya bisa sedahsyat itu. Memikirkannya kembali membuatku sedih. Aku menunduk, mengusapi paperbag isi martabak telur kesukaan Kanaya. Kali ini aku tidak berharap banyak, hanya ingin menatap wajah Kana sebentar dan berharap dia mau menerima martabak ini.
Asal kalian tahu, ini bukan martabak telur biasa. Martabak spesial dari toko spesial dengan harga fantastis. Satu gulungannya saja seharga satu box martabak telur yang didagangkan oleh PKL. Benar-benar selera makan orang kaya. Kalau dia berani menolak, kali ini aku yang akan beneran marah.
Setelah penantian yang cukup lama, akhirnya Kana dengan wajah kusutnya muncul bersama wajah berseri milik Dokter Raja.
Dengan tingkah tak sopannya tentu saja. Asal kalian tahu, Kana itu bukan bekerja di sini, tapi masih belajar. Alias masih co-ass! Aku nggak tahu ada hubungan apa antara mereka berdua sampai membuat gadis itu bisa seenaknya bergaul layaknya teman sendiri dengan Dokter Raja, yang notabane-nya adalah konsulen para co-ass dan termasuk dokter senior di sini.
Yeah, apa pun itu hubungan keduanya, aku menyayangkan sikap Kana yang dulu getol menjodohkan kami berdua. Namun jika dikenang kembali, aku sungguh rindu masa-masa itu.
Sambil menahan haru, aku berdiri untuk menyapa. Tapi senyumku malah dibalas dengan tak bergemingnya tubuh Kana. Cukup lama kami saling berhadapan dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata masing-masing, sebelum akhirnya Kana berlari pergi meninggalkanku yang semakin menyalahkan diri sendiri.
"Kana, mau kemana?!" teriak Dokter Raja.
Tubuhku menjadi dingin. Rasa cemas dan kecewa karena telah membuat Kana membenciku segitu hebatnya. Tak ada pilihan lain selain meratapi nasib sambil terus menunduk menahan isakan.
"Zela, maafkan Kanaya, ya? Sepertinya dia belum siap untuk ketemu kamu. Nanti saya coba bicara lagi sama dia."
Tersenyum tipis, aku menggangguk. Lagi pula Kana tidak salah. Semua ini murni salahku.
Dokter Raja masih betah berdiri di depanku dengan tatapan empatinya. Aku tersenyum sambil mengulurkan paperbag yang sedari tadi kugenggam erat.
"Dokter, boleh nitip ini untuk Kana?"
Dokter Raja mengangguk dan mengambilnya. Aku lega, setidaknya aku yakin jika Kana tidak akan menolak makanan. Nggak papa makanan dulu yang diterima, nanti lama-lama pemberinya juga diterima. Harapku.
"Dengan siapa kamu ke sini? Bawa motor sendiri?"
Dengan ragu aku menggangguk. Dokter Raja dengan segudang perhatian pada pasiennya, sudah berkali-kali melarangku keras untuk berkendara sendiri, apalagi malam hari.
"Zela, sudah ber-"
"Berkali-kali saya bilang berkendara sendiri itu membahayakan janin kamu," selaku membuat dokter Raja terkekeh malu. Aku ikut tertawa dibuatnya. "Nggak ada pilihan lain, Dok. Aku harus bisa mengandalkan diri aku sendiri."
Dokter Raja tampak kagum, lalu mengusap rambutku sebentar. Jika saja aku tidak sedang hamil dan terikat hubungan dengan pria lain, tentu aku akan tersipu karena perhatian dari dokter setampan Raja.
"Aku antar pulang, gimana?" tawarnya membuatku menggeleng. Bikin repot saja. Mana bisa aku meninggalkan motorku di tempat ini.
"Terima kasih Dokter, tapi nggak perlu. Mending Dokter sekarang temani Kana, dia pasti lagi butuh seseorang untuk menenangkan diri."
Dokter Raja tersenyum. "Aku yakin Kana itu juga rindu sama kamu, hanya masih gengsi saja."
Aku hanya merespons dengan senyum tipis. Sayangnya yang kulihat tadi tidak seperti itu. Kana dengan wajah marah dan kecewanya, bukan sekadar gengsi.
Setelah itu, aku membiarkan Dokter Raja pergi menemui Kana, dan aku memilih pulang.
Sampai di lorong menuju pintu utama rumah sakit, aku membalikkan tubuh ketika tak sengaja melihat tubuh yang nampak familiar di mataku.
Dari setelan pakaian yang digunakan, aku jelas tahu siapa itu. Pakaian yang sama dikenakan ketika ngantor tadi.
Dan kali ini bersama wanita. Alana? Sepertinya iya.
Aku menghela napas sambil merutuk diri. Nggak seharusnya aku masih peduli dengan Mas Keanu dan kisah cintanya.
TAPI HARUS BANGET YA, PEGANGAN MESRA SEPERTI ITU?!
INI 'KAN RUMAH SAKIT, BUKAN MAL!
***
Mas Keanu kok cpt bgt sih move-on-nya:') sama mantan lagi, ihh gak banget:') sedih aku😥
Warning!
Gak lanjut kalo gak rame!
Mueheheh:*
Kuliah berdaster,
24 September 2020