Pagi, Guys. Oke, 16663 kata in aku persembahin untuk kalian. Aku tahu ini masih banyak typo, jadi maaf ya: (
Okay, ini aku last update karena akhir cerita hanya ada di pdf ya
Bab 17
"Sebentar lagi ujian," Adele merebahkan kepalanya ke atas meja. Dia dengan malas menggerling pada Naruto yang sejak tadi pagi terlihat lesu sekali. Lihatlah ekspresi lesu dan lamunannya. Padahal hari sudah hampir sore dan gadis itu masih saja asyik termenung. Adele menghela napas lalu menendang meja dimana tangan Naruto bertumpu. Dagu gadis pirang itu hampir terjatuh karenanya.
Naruto yang tersentak dari lamunannya, mendelik pada Adele. Sahabatnya itu sangat suka sekali mengganggu! "Apa, sih, Dele?"
Adele menegakkan dirinya. "Kamu itu yang apa? Dari tadi pagi lesu saja terus," decaknya remeh melihat kadar kebosanan selalu saja hinggap di wajah sang sahabat.
"Hari ini sangat membosankan. Gak ada yang asyik," desah Naruto seraya menatap gelang yang pagi ini Edward berikan sebelum pria itu bersama vampir lain dalam coven Cullen.
Gelang itu sangat sederhana. Dengan untaian rantai silver platinum berbentuk bulat kecil ditambah gantungan panjang yang diujungnya terdapat dua diamond serta dua lonceng kecil. Terlihat sederhana, tapi sangat berarti baginya.
Naruto mengukir senyumnya ketika melihat namanya dan Edward terukir di kedua gantungan hati tersebut. Jujur saja, dia tak terlalu menyukai perhiasan yang menempel di atas kulitnya. Itu sangat menganggu. Karenanya, apabila Sasuke atau siapapun itu memberikannya aksesoris semacam ini, dia tak akan memakainya. Akibat ketidaksukannya itu, baik teman-teman maupun mantan kekasihnya tak lagi pernah memberikan benda semacam gelang, kalung, atau cincin. Jika jepit, itu masih baik-baik saja. Mereka lebih memilih memberikan boneka atau voucher makan ramen. Sebenarnya hadiah favorit Naruto, ya, voucher Ramen Ichiraku:).
Gadis pirang itu menggelengkan kepalanya dengan geli. Ia sendiri heran mengapa dia mau saja memakai gelang ini. Apalagi rasanya sangat nyaman sekali. Seperti... dia yang jauh terasa menjadi sangat dekat.
Ah... Naruto semakin merindukan lelaki yang selalu membuat pipinya memerah itu.
"Pandangin saja terus, Nar! Pandangin sampai puas!" cibir sakartis Adele yang lagi-lagi diabaikan. "Yang kangen sama orang itu gini. Sahabat sendiri dianggurin!"
Naruto mengalihkan pandangannya. "Siapa juga yang kangen Edward!" serunya salah tingkah. Ia, 'kan, malu dipergoki kayak gitu....
Adele mendengus. "Aku gak nyebut nama Edward, kok!" dia berdiri lalu menggendikan dagu ke pintu; mengajak Naruto pulang dengan bahasa isyarat.
Naruto ikut berdiri dan mengikuti langkah kaki sang sahabat.
Saat keduanya berjalan berdampingan, Adele berkata kembali, "Lagian kemana coba Edward dan saudaranya? Mereka baru saja balik sudah pergi lagi saja. Padahal sebentar lagi ujian."
Naruto langsung mengerutkan kening. "Ujian? Kapan?"
"Lusa, lah!" balas Adele yang dengan santai merangkul gadis disampingnya. "Bukannya aku telah memberitahumu minggu kemarin?"
Naruto mengulum bibirnya. Ia baru ingat kalau mereka ada ujian sebentar lagi. "Mereka harus pergi. Sepupu Carlisle sakit parah. Jadi, mereka semua menjenguknya," jelas Naruto lalu menoleh pada Adele. "Kapan ujian selesai?"
Adele manggut-manggut. Dia tampak menghitung-hitung hari dengan tangannya yang bebas. "Gak lama, kok. Hanya dua minggu kurang, mungkin. Satu minggu teori, sedangkan sisanya praktek," jawab gadis itu.
"Dua minggu?" beo Naruto seraya mengangkat alisnya. "Lama banget. Kalau gitu mereka gak boleh lama-lama di sana."
Adele mengetukkan kepalanya pada sisi kepala Naruto "Itu kamu tahu! By the way, kamu dan Kurama jadi, 'kan, nginap di rumahku?"
"Hm," gadis itu mengangguk. "Kalian gak keberatan, 'kan?" tanyanya tak enak.
Adele bertos dengan siswa yang ada di depan loker ketika mereka berbelok untuk keluar gedung. Itu Rudolf, teman Adele saat balapan.
"Gak, lah! Lagian senang kali. Aku ada yang nemenin. Mama sama Papa juga lagi pergi keluar kota. Bareng sama saudaraku yang lain," balas gadis cuek itu. "Mau tungguin Kurama, gak?" tanyanya saat melihat motor pria tampan itu sedang kosong.
"Tungguin, deh! Bentar lagi juga selesai," ujar Naruto melirik pada pintu gedung yang terbuka. Menurut, Adele menarik tangan Naruto untuk duduk di atas tangga depan gedung..
Benar saja, lima menit kemudian Kurama keluar dengan kunci motor yang ia mainkan. Melihat punggung kedua gadis yang dikenalnya, Kurama menjitak kepala mereka.
"Ngapain disini? Bukannya pulang malah nongkrong di sini!" cibir pria itu meski ia tahu kalau Naruto sedang menunggunya.
"Kami menunggumu, tahu!" seru Naruto berdiri diikuti Adele. Keduanya menepuk-nepuk bagian belakang celana yang mungkin saja kotor.
"Kamu, 'kan, gak tahu rumahku dimana! Itu sebabnya kami menunggumu," ujar Adele sebal dengan delikan Kurama. Ish, masih untung dibiarkan menginap!
Kurama memutar matanya. Dia memang tak tahu, tapi dirinya dapat melacak Naruto. "Iya, iya, cerewet. Ya sudah, ayo, pulang dulu!" katanya menutup obrolan lalu melangkah melewati keduanya.
"Eh, kok, pulang? Bukannya kita akan menginap di rumah Adele?" tanya Naruto yang tak mengerti. Ia mengejar Kurama dan bertanya dengan kepala yang agak dimiringkan.
Adele tidak memiliki kebodohan milik Naruto. Setidaknya IQ-nya tinggi sehingga tanpa penjelasan pun, gadis itu sudah mengerti. "Memangnya kamu ingin Kurama memakai bajuku?" tanyanya menunjuk Kurama. Ia dengan cepat berada di samping Naruto. "Kamu ikut motornya atau van-ku?"
Mendengar Adele menunjuk dirinya dengan kalimat itu, Kurama semakin mendelik. Ia memberhentikan laju langkahnya dan melotot pada gadis bau itu. "Aku gak akan pernah mau pakai baju baumu!" serunya dengan penekanan, "Untuk Naruto, dia ikut motorku."
Adele melangkah maju tanpa takut. Kepalanya mendongak angkuh. "Aku juga gak akan mau minjamin bajuku ke kamu! Kamu akan merusaknya!" desis gadis itu dengan sorot pandang menantang. Ia langsung menggenggam tangan Naruto. "Naruto akan bersamaku!"
Naruto mengerjap. Ia yang berdiri di tengah persiteruan itu memiliki kebingungan dalam hatinya. Gadis pirang itu memperhatikan kedua insan yang rasanya ada petir di antara mereka.
"Oh, dengan senang hati aku melakukannya," ujar Kurama dengan seringai tergantung di wajahnya. Lalu ia menggenggam tangan lain milik Naruto. "Aku saudaranya. Dia ikut denganku!"
Adele mengangkat alisnya. "Maka pakailah bekasku!" desis gadis itu kemudian menarik Naruto lebih dekat kepadanya.
Kurama menegakkan tubuhnya. "Gadis bau! Pakaian barumu saja, aku gak mau. Apalagi bekasmu! Itu menjijikkan!" serunya mengikuti perbuatan Adele; menarik Naruto.
"Kamu pikir aku apa sampai jijik kayak gitu,"katanya sakartis, "dasar apel busuk!" sahutnya lagi kembali menarik Naruto.
"Gadis bau! Gak mandi sampai bau kayak gitu," ejek Kurama dengan tatapan menantang. Tarikan Naruto kembali terjadi.
Pertengkaran itu berlanjut hingga kedua tangan Naruto kebas akibat ditarik terus-terusan. Mukanya memerah menahan kesal. Ia muak ditarik-tarik! Pusing, tahu!
"Adele! Kurama!" serunya kesal. "Berhenti!" titah Naruto dengan sentakan di tangannya. "Jangan tarik-tarik aku!"
Kedua insan itu spontan menjauhkan tangannha dari tangan Naruto. Meskipun berhenti, jelas keduanya tak ingin kalah. Mereka saling melotot sampai-sampai Naruto akan mengira bola mata mereka akan jatuh. Membayangkannnya, bulu kuduk gadis itu langsung merinding.
Naruto menggelengkan kepalanya. Ia mengusap-usap tangannya yang digenggam kedua insan itu dengan perasaan kesal.
"Bisa, tidak, sih, kalian kalau bertemu gak berantem," sungut Naruto kesal. Keduanya terdiam dan saling mendengus. Mereka memalingkan wajah dengan perasaan sebal.
Naruto berdesis kesal. "Aku akan ikut ke motor Kurama—biar cepat. Jadi, kita bisa langsung ke rumahmu setelah mengambil baju-baju kami," katanya ketika Adele sudah ingin mendramatisir.
Kurama menyunggingkan senyum kemenangannya. "Rasakan!"
"Kuuu!"
Adele mencibir. "Dasar apel busuk," guman gadis itu kesal. "Kalau gitu aku pulang, ya?? Kamu tahu rumahku, 'kan?" tanyanya pada Naruto. Gerah lama-lama kalau sama Kurama. Daripada nungguin pria jelek itu, mending dia pulang, nyiapin makan malam.
Naruto nyengir. "Kamu lupa, ya? Aku, 'kan, buta jalan."
Adele ingin sekali memaki gadis ini. Untung sahabat. Kalau bukan, heum, sepatu nyasar ini. Iya, ke wajah Kurama. Bukan wajah Naruto. Sayang, si pirang cantik, sih.
"Ya sudah nanti pakai GPS saja," potong Kurama cepat. "Aktifin GPS kamu!" serunya kasar pada Adele.
Adele berdecak. Sialan memang pria ini. Tapi, melihat mata Naruto yang menatapnya harap, makian Adele tenggelam di tenggorokannya. Mau tak mau, gadis itu mengangguk dan membuka ponselnya. Berbarengan dengan Kurama yang juga mengeluarkan handphone-nya.
"Siniin! Biar aku atur dulu," ujar Kurama menyodorkan tangannya pada Adele. Diam-diam senang karena gadis yang sama-sama pemberontak seperti Naruto itu patuh.
Dengan enggan, Adele menyerahkan ponselnya. "Ini," katanya cemberut.
Kurama menekan tombol power pada handphone milik Adele. Wallpaper kartun favorit gadis itu terlihat bersama dengan tampilan pengunci. Ponsel itu disandi.
"Sandimu," ujar Kurama datar seraya menyerahkan kembali ponsel milik Adele.
Dengan cemberut, Adele menekan beberapa angka di tampilan lalu layar ponsel menampilkan tampilan home. Selesai, dia kembali menyerahkan ponselnya.
" Memangnya bisa, Kuu?" tanya Naruto penasaran. Ia menjulurkan lehernya; mencoba melihat jelas apa yang sedang dilakukan partner-nya.
Kurama tersenyum. "Tentu saja. Memangnya kamu pikir siapa?" katanya sombong.
Adele mengerjap. Kurama tak tahu kalau senyum si rubah telah membuat mata Adele sejenak terpaku padanya.
Untuk pertama kalinya, Adele melihat senyum Kurama.
Bibir yang selalu menyunginggan senyum sinis atau seringai padanya itu kini tersenyum. Meski tipis, setidaknya Kurama sangat jarang tersenyum yang menjadikan senyumnya saat ini lebih mengena. Sudah beberapa bulan kenal dengan kedua saudara Uzumaki ini, dia bahkan tak pernah melihat Kurama tertawa dan menangis untuk Naruto. Kedua saudara ini sangat berbeda. Suram dimana yang lainnya sangat terang.
Wajah Kurama sangat tampan. Ada kemiripan dengan Naruto di sana. Tak heran kalau pria itu menjadi yang kedua tertampan setelah Edward. Ditambah senyum yang menambah aura hangat Kurama... dia menjadi lebih bersinar.
Pipi Adele memerah, tapi dalam kilatan pipi itu kembali normal. Dia menggigit bibirnya. Kenapa dia bisa terpesona, sih!? Pada akhirnya, diiringi kutukan pada dirinya sendiri, Adele menerima ponselnya dengan cepat. Tanpa memeriksanya, Adele langsung berkata, "Aku pergi. Kita ketemu di rumah." Selepasnya, ia berlari menuju van-nya.
"Dia malu," sela Naruto melihat punggung sang sahabat dengan senyum geli. Well, walau bingung kenapa, tapi untuk pertama kalinya, Naruto merasakan emosi malu pada Adele. Tak ia sangka wanita yang sepertinya selalu menggoda orang lain dapat merasakan malu juga.
Kurama yang tak begitu memperhatikan, mendengus. Dengan tatapan bosan, pria itu kembali memasukkan ponselnya pada saku celana lalu menaiki motornya.
"Ini, pakai helm-mu!" perintahnya sembari menyerahkan helm putih model wanitanya. Tanpa penundaan, Kurama memakai helm dan memanaskan motornya untuk menunggu Naruto yang sedang memalai helm.
"Kuu, tolong ini," katanya menunjuk pada tali helm. Dia mengangkat kepalanya dan membiarkan Kurama mengencangkan tali helm di bawah dagunya.
"Sudah. Ayo, naik!" ajak pria itu lalu menaikkan gasnya. Menerima berat yang baru saja naik ke motornya, Kurama mulai membelokkan kendaraanya menuju parkiran. Dengan kecepatan tinggi, pria itu mengendarai motonya menembus sinar jingga mentari.
Kurama mengebut. Itu sudah biasa dan Naruto juga senang. Ada semacam tantangan dan kebebasan ketika menaiki motor dengan kecepatan Kurama. Untung, lah, pria itu telah mengontrol motornya dengan sangat baik. Atau kalau tidak, keduanya mungkin akan jatuh dengan keras.
Dengan kecepatan lebih dari 65km/jam, motor Kurama dapat sampai dengan sangat cepat. Hanya membutuhkan waktu kurang dari duapuluh menit ketika mereka biasanya menghabiskan waktu sekitar tigapuluh menitan untuk sampai ke sekolah. Memang jauh, tapi dengan jarak ini, setidaknya Keluarga Cullen dan Hale dapat beristirahat dengan tenang.
Naruto turun dari motor disusul dengan empunya motor. Kurama sengaja tak memarkirkan motornya di bagasi. Lagipula mereka akan menggunakannya lagi. Karena itu, motor ditinggalkan di depan rumah.
"Kuu, kita akan menginap berapa hari?" tanyanya pada Kurama ketika keduanya membuka kunci rumah.
"Sampai Alice datang. Kata Edward, setengah dari mereka akan datang lebih cepat," jawab Kurama ketika dirinya melempar asal tasnya lalu duduk di depan televisi.
Naruto juga meletakkan tasnya di samping Kurama. Tapi, dia tak mengikuti pria rubah itu dan hanya pergi ke dapur. Tak lama, gadis itu keluar dengan dua gelas air putih. "Minumlah dulu," katanya lalu menenggak habis air di gelas. "Aku ke atas. Ambil baju-baju," lanjut Naruto seraya menaruh gelas di atas meja.
"Sekalian bajuku," titip Kurama agak berteriak karena Naruto telah berjala menaiki tangga. Suara persetujuan dari gadis pirang itu terdengar. Dia pun tersenyum puas lalu menyalakan televisi untuk mengusir kebosanan ketika menunggu Naruto.
Di depan lemarinya, Naruto berhitung. Berapa hari mereka kemungkinan menginap, ya?? Mungkin empat hari. Dengan pikiran itu, kedua tangan Naruto terjulur; mencari beberapa setel pakaian yang dirasanya pantas. Tak lupa bersama dengan dalaman serta alat mandinya. Semua itu Naruto kumpulkan di atas ranjang bersama dengan beberapa buku untuk pelajaran esok hari.
Naruto tak bisa melipat pakaian. Lipatannya akan selalu berantakkan. Karena itu, tak repot-repot melipatnya saat semua kebutuhan masuk ke dalam tas besar. Dia merapikan isi tas agar masih muat dengan beberapa pakaian yang harus ia ambil.
Semua itu hanya membutuhkan sepuluh menit baginya selesai. Dengan puas, gadis penyuka makanan manis itu menutup resleting tas milik Kurama itu. Tanpa kesulitan, Naruto membawa tasnya yang memiliki berat hampir 1kg tersebut. Mungkin lebih. Naruto tak pandai dalam mengira-ngira. Mematikan lampu kamarnya, Naruto turun dengan tas besar di punggungnya.
"Sudah?" tanya Kurama memastikan. Ia menoleh; mengalihkan pandangan dari televisi. Gadis pirang itu tampak aneh dengan tas besar di punggungnya. Bibir Kurama tersenyum geli melihat itu. Dengan sentakan, dia berdiri setelah mematikan televisinya
"Sudah," jawab Naruto mendekati Kurama. Sigap, pria berambut jabrik itu mengambil alih tasnya dari Naruto.
"Makasih," gumam gadis pirang itu setelah merasakan beban di punggungnya telah diangkat.
"Sudah semua? Gak ada yang tertinggal?" tanya Kurama mengingatkan. Dia tak mau harus bolak-balik pulang hanya untuk mengambil barang yang tertinggal.
Naruto menggeleng. "Gak ada, kok. Sudah semua."
Kurama menatapnya tak percaya. "Benar? Kamu, 'kan, pelupa."
"Ish! Kalau gak percaya, cek saja tasnya!" seru kekasih Edward itu. Dengan datar, Kurama mengangguk lalu menaruh tas di lantai; membukanya dan memeriksa apa saja isi tasnya.
"Charger handphone kita mana? Gak ada," ujar jelemaan rubah itu seraya berdiri. Ia berkacak pinggang. "Apa kubilang. Untung saja aku mengeceknya!" seru si rubah.
Naruto nyengir. "Iya, deh, maaf. Aku ke atas lagi, ya. Cari charger," balas gadis itu dengan kedipan mata polosnya.
Kurama mendorong kening inangnya. "Jangan menatapku begitu. Sudah sana panasin motor. Biar aku saja yang ke atas," ujarnya lalu melangkahkan kaki ke lantai dua.
Naruto mengusap keningnya seraya memperhatikan punggung bijuu berekor sembilan iti. Dengan bersungut, gadis pirang itu mengambil kembali tasnya kemudian menaruhnya di atas meja sekalian mengambil kunci motor Kurama.
Kurama mengambil laptop serta charger-nya dari kamarnya. Ia masuk ke kamar Naruto dan langkahnya terhenti di pintu. Hidungnya mengernyit merasakan bau yang bukan milik Edward maupun Naruto. Ada bau lain di san. Bau yang sama manisnya, tapi bukan bau keduanya.
Kening Kurama berkerut. Ia menipiskan bibirnya ketika matanya mengedar ke seluruh ruangan. Pada akhirnya, mata hitam rubah itu terhenti pada meja rias. Dengan tergesa, ia menghampiri meja rias dan menemukan kalau sisir Naruto telah hilang dari tempatnya. Matanya semakin menajam.
Tangan Kurama merogoh saku celananya. Mencari kontak Edward, dihubunginya pria itu melalui panggilan. Hanya perlu beberapa deringan sambung, Edward segera mengangkat teleponnya.
"Ada yang masuk ke rumah. Vampir lain. Aku bisa mencium baunya," ujar Kurama serius memperhatikan sisir yang menghilang.
Di sebrang sana, Edward mengepalkan tangannya. Sudah ia duga vampir itu akan mengancam keberadaan sang kekasih apabila Naruto terus tinggal di rumah. "Apa yang ia ambil?"
Kurama menjawab, "Sisir Naruto. Kupikir itu untuk baunya."
"Jangan biarkan Naruto sendiri, Kuu. Dalam tiga hari, Alice dan wanita lainnya akan pulang," ujar Edward agak merendahkan suaranya.
Kurama menjawab dengan dengungan sebagai isyarat menerima. "Apa yang terjadi di sana?"
"Kami belum menemukan sarang mereka. Visi Alice selalu diganggu yang membuat kita masih menebak-nebak dimana persembunyian para vampir itu," jelas saudara tertua Cullen tersebut. "Banyak yang menghilang dan beberapa jasad ditemukan tragis. Sepertinya jasad-jasad itu adalah percobaan yang gagal."
Kurama memejamkan matanya. Kondisi semakin memburuk. Naruto tidak boleh mengetahui kondisi di Seattle secara rinci. Ia tahu kalau gadis itu mengetahuinya... Naruto pasti akan melompat ke kota itu dengan tergesa.
"Jangan biarkan Naruto mengetahuinya," tutup Kurama sebelum memutuskan sambungan. Tanpa penundaan, rubah itu mengambil charger di atas kap meja lalu keluar kamar seolah tanpa ada yang terjadi.
Kurama memberhentikan motornya di depan rumah yang tampak asing baginya. Rumah itu tak terlalu besar. Lebih kecil dibanding rumah keluarga Cullen. Dengan taman kecil di depan teras, rumah itu tampak lebih sebagai rumah dibanding rumah kaca keluarga Cullen. Ada jalan setapak di tengah-tengah taman yang dimulai dari pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa ke teras.
Rumah berwarna kuning terang itu memiliku garasi di sampingnya. Jelas itu untuk van tua milik keluarga Mchouston. Di terasnya terdapat satu set meja dan kursi kayu santai. Akan sangat menyenangkan duduk di sana di sore hari. Mungkin juga siang hari. Lagipula ada atap rumah yang menaunginya.
Adele yang mendengar suara motor, segera keluar dari rumah. Pakaiannya telah diganti dengan pakaian rumahnya. Hanya dengan celana pendek selutut dan kaus oversize, gadis itu membukakan pagar kayu rumahnya.
"Hai, Naru," sapanya ketika gadis pirang itu turun dari motor. Jelas, dia sengaja tak menyapa saudara lelaki sahabatnya itu.
"Hai," balas Naruto membuka helm-nya. Ia menyerahkan helm ke Kurama sebelum berbalik menghadap Adele.
"Ayo, masuk. Aku sudah masak banyak buat kalian," kata Adele dengan penuh senyuman ceria. "Masukkan saja motormu ke garasi, ya. Kupikir masih ada ruang yang cukup untuk satu motor," lanjutnya pada Kurama. Ia agak memiringkan tubuhnya untuk melihat pria itu yang masih di atas motor.
"Hm," balas singkat Kurama. Mengetahui itu, Adele menarik Naruto masuk ke taman rumahnya, meninggalkan pagar kayu yang terbuka. "Jangan lupa tutup lagi pagarnya!" seru empunya rumah sebelum kedua gadis itu hilang di ambang pintu.
Kurama yang ditinggalkan. "...."
Begitu Kurama memasuki rumah Adele, di dalamnya jauh lebih hangat dari apa yang ia kira. Banyak foto-foto keluarga di tembok dan beberapa sertifikat penghargaan milik Adele. Ada juga lukisan di rumahnya.
Dia menaruh tas besarnya di atas sofa di samping tas Naruto. Ada suara cekikikkan dari dapur. Ia yang ditinggal sendiri masih memperhatikan berbagai foto di tembok.
Mata Kurama melewati jendela di belakang sofa. Rumah Adele terdapat di daerah kawanan serigala. Tak heran kalau Edward menitipkan Naruto di rumah gadis Amerika ini. Setidaknya dengan mereka berada di wilayah para serigala, vampir-vampir jahat itu tak akan leluasa untuk menyerang mereka. Dengan begitu, keamanan Naruto terjamin.
"Kuu, taruh saja tasmu di kamar ini!" saran Adele yang baru saja datang dari dapur. Ia menunjuk kamar yang berada di samoung ruang tamu. "Naruto akan tidur di kamarku, di lantai dua."
Kurama mengangguk. Ia mengambil tas besarnya dan menuju kamar yang sepertinya ruang tamu. Tak terlalu besar, tapi bersih dan berbau pengharum ruangan. Ranjangnya berukuran Queen size dengan wallpaper ruangan bertema musim panas.
Kurama duduk di atas ranjang. Ia mengeluarkan handphone-nya lalu mulai membuka permainan aksi yang sedang trend di tahun ini. Dalam beberapa menit kemudian, lelaki itu asyik dengan permainannya.
Tanpa sadar, hari Naruto selama menginap di rumah Adele sama seperti biasanya. Hanya rindu yang membuat Naruto terus menghitung hari. Ujian sudah lama berlangsung. Hari keempat keluarga Cullen pergi merupakan hari ketiga ujian sekolah. Yah, selain rasa pusing Naruto dan Adele dalam menghadapi ujian, semuanya baik-baik saja.
Tak ada penyerangan apapun. Tapi, baik Kurama maupun keluarga Cullen tak menurunkan waspada mereka.
Mereka saling menghubungi untuk tahu kondisi masing-masing. Tapi, kondisi yang sebenarnya ini tak diberitahukan pada Naruto. Tidak sebelum Edward pulang dari Seattle. Mereka cukup tahu bagaimana sifat heroik si pirang. Semuanya berujung pada keputusan untuk memberitahu Naruto ketika semua berkumpul. Dengan begitu, para Cullen dan Kurama akan memastikan kalau Naruto tidak ke Seattle sendiri.
Menurut Edward, sarang pasukan vampir itu telah ditemukan. Namun, untuk mendekatinya akan sulit bagi mereka. Pasalnya, kejadian ini telah menarik Volturi. Karena itu, visi Alice terganggu terus menerus.
Disisi lain, Cullen's harus mengawasi sarang pasukan vampir baru, tapi disisi lainnya, ada keluarga Volturi yang mendesak mereka untuk segera menyelesaikan ini. Mereka tidak ingin Volturi bertemu dengan Naruto.
Untungnya, visi Alice setidaknya telah mendapatkan kesan mengenai pangkalan. Itu memberikan mereka satu langkah lebih dekat dengan mereka. Keuntungan bagi para vampir vegetarian itu demi menyiapkan rencana dan siasat.
Memikirkan itu, sudah cukup rasanya Alice dan para wanita bersama mereka di Seattle. Kunci yang diberikan oleh Alice dapat mereka manfaatkan. Lagipula sudah cukup lama Cullen's di Seattle. Terlalu lama menghilang tidak akan berdampak baik bagi reputasi keluarga. Itu akan membangkitkan kecurigaan yang tidak perlu. Sudah cukup mereka direpotkan dengan ancaman ini. Keluarga Cullen dan Kurama tak ingin menambah hal lain lagi.
Betapa terkejutnya Naruto, melihat Alice dan Rose duduk di kursi ujian yang sama. Ia tak menyangka kedua saudari itu akan hadir di tengah-tengah ujian. Syukur, lah... setidaknya mereka telah hadir di sini.
Rasa lega dan senang membanjiri hatinya. Naruto senang dapat melepaskan rasa khawatir dalam kepalanya. Tapi, dia juga bertanya-tanya apakah Edward ikut pulang bersama mereka.
Naruto dengan semangat menghampiri keduanya. Senyumnya begitu cerah dengan mata yang bersinar terang. Tak sabar, dia memeluk kedua saudari itu yang ikut berdiri begitu melihat kedatangan si pirang.
"Rose! Alice!" Naruto memeluk mereka satu persatu. "Aku senang kalian di sini!" seru senang gadis itu. Ia bahkan belum menaruh tasnya.
Terbawa suasana, senyum Rose dan Alice ikut melebar. Alice, seperti biasa, sangat aktif. Tak ada jejak kecemasan dalam wajahnya. Begitu juga Rose. Mereka tak ingin menunjukkan kekhawatirannya di hadapan Naruto.
"Apa kamu merindukanku, Naru?" tanya Alice dengan seringainya. Ia memajukkan tubuhnya ke dekat Naruto hingga gadis itu harus memundurkan tubuhnya,
"—atau kamu merindukan orang lain, hm?"
Naruto bersemu. Jelas, dia tahu orang lain yang dimaksud Alice Cullen itu. "Tentu saja aku merindukanmu!" bantahnya malu.
Rose mendecih geli. "Bohong, tuh...."
Naruto berpura-pura cemberut. "Roseee," rengeknya yang dibalas kekehan dua wanita itu. "By the way, apa Edward pulang bareng kalian?"
Rose menahan senyumnya. Ia menyenggol bahu Alice dengan gendikkan dagu pada si pirang. "Iya, gak kangen. Gak kangen, tapi nyariin," goda Alice diiringi kedipan jail
Naruto berdesis malu. Ia sudah akan melontarkan sanggahan jika saja Mr. Green, pengawas mereka dalam ujian ini tidak memasuki ruangan. Dengan cemberut dan pipi memerah, Naruto mendelik pada kedua wanita itu. Lalu cepat-cepat, Naruto duduk di meja yang sudah bertuliskan namanya; bersiap memulai ujian.
"Selamat pagi, Semua. Silahkan siapkan alat tulis kalian. Ujian akan segera dimulai," ujar Mr. Green yang memiliki janggut di wajahnya itu.
Rasa malu yang dibuat Alice mengalihkan fokusnya. Dia yang ingin bertanya bagaimana keadaan Edward, teralihkan. Tapi, setelah melihat bagaimana soal-soal ujian seni rupa di atas kertas, Naruto mendesah. Ia kembali mengingat pria yang sudah dua hari ini sulit dihubungi. Bahkan soal kedatangan Alice dan Rose, ia tak tahu. Lalu... bagaimana, ya, kabar kekasihny itu?
Alice melirik pada Rose yang juga melirik padanya. Kedua wanita itu saling bertukar kata tanpa suara. Menatap sejenak punggung Naruto yang duduk dua baris di depan mereka, kekasih Jasper dan Emmett itu menghela napas. Pemandangan bagian belakang tubuh gadis pirang itu yang melemas, mereka sudah tahu jawabannya. Pasti, lah, karena mempertanyakan saudara sulung mereka.
Kedua wanita cantik itu tahu benar kalau Edward sulit dihubungi akibat dirinya yang masih ingin menjelajahi hutan. Menganalisis lawan mereka yang diselubungi kabut misteri. Visi Alice hanya menunjukkan tempat para vampir baru itu berada, tapi tidak mengenai jumlah dan kekuatan mereka. Seperti yang sebelumnya sudah ditulis, visi wanita berambut pendek itu terganggu.
Alice menggigit bibirnya. Dia tahu selepas ujian ini, dirinya dan sang saudari akan menjadi korban pertanyaan si pirang. Dan dua jam kemudian, seperti yang diharapkan, Naruto sudah akan memburu mereka dengan pertanyaan. Untung saja, bel ujian selanjutnya segera berdering. Mereka juga tak memiliki ujian yang sama selanjutnya sehingga Rose dan Alice masih dapat istirahat sejenak dari pertanyaan Naruto.
Harapan Alice tak berujung lama. Menjelang siang, saat mereka semua sedang beristirahat, kedua vampir wanita, kedua manusia, dan satu jelemaan rubah berkumpul di meja yang sama. Selepas Adele pergi mengambil makanan, Naruto sudah mulai memberikan pertanyaanya.
"Edward kemana? Kok gak ikut kalian pulang?" tanya Naruto menatap kedua wanita itu dengan tajam. Sedangkan Kurama, ia lebih asyik dalam game penembakkan yang ada dalam ponselnya. Earphone terhubungdari ponsel ke telinganya. Ia jelas tak tertarik untuk mendengarkan percakapan yang telah Kurama tahu lebih awal.
Alice mengulum bibirnya; bersiap memberikan jawaban sesuai skenario yang sebelumnya telah disiapkan. "Dia masih di Seattle. Visiku terus terganggu. Jadi semua orang kecuali kami dan Esme masih di sana. Mencari tahu bagaimana kekuatan anak baru lahir," jelasnya menjaga nada dan kata-kata yang keluar. Alice takut kalau seseorang akan mendengarkan percakapan mereka.
"Aku tahu kalau itu. Edward sudah menceritakannya, tapi dia menceritakannya dua hari lalu," sela Naruto memutar matanya. "Kalian sangat sulit dihubungi sejak dua hari lalu. Aku bahkan tak mendapat kabar dari kalian kalau kalian pulang hari ini!" serunya kesal.
Rose menipiskan bibirnya. "Di sana di tengah hutan. Sinyal semakin buruk," alasan Rose dengan angkatan bahu ringan.
Naruto menurunkan pandangannya. "Oh..., tapi kapan Edward pulang?" tanyanya dengan suara kecil dan lemas.
Kedua wanita itu saling berpandangan. Mereka bingung bagaimana menjawan pertanyaan yang sejujurnya tak diketahui pasti. Saat itu, lah, Kurama menyela bersama suara datarnya. "Mungkin lima hari lagi."
Naruto langsung mengangkat kepalanya, menemukan mata Kurama yang masih fokus pada handphonenya. "Bagaimana kamu tahu? Apa Edward menghubungimu?" tanyanya menatap curiga pada si rubau. Suara gadis itu agak tenggelam. Salahkan kekesalan yang muncul akibat pemikiran tersebut.
Kurama berdecak. Tanpa memberhentikan jemarinya menekan tombol-tombol di layar, pria itu menjawab, "Aku hanya menebak. Lagipula sebentar lagi ujian selesi dan ujian susulan akan susah didapatkan Edward kalau dia pulang telat."
Mendengar jawaban sang rubah, Alice dan Rose saling memandang. Mereka tak pernah tahu ada yang seperti itu. Mereka terkadang suka menghilang saat ujian dan ujian susulan dapat semua anak Cullen dapatkan dengan mudah. Selama merek berpindah-pindah, Carlisle selalu bisa melakukan itu. Yah, kalau bukan Carlisle maka Jasper. Kedua vampir pria itu selalu dapat diandalkan jika sudah menyangkut hal-hal seperti ini.
Naruto mengangguk-angguk mengerti. Kalau seperti itu, setidaknya dia merasa sedikit lega mengetahui Edward akan segera pulang. Sekaramg tinggal kabar mereka yang berada di Seattle belum diketahui. Dengan para wanita yang terlihat santai dan baik, sepertinya tak ada yang serius terjadi.
Gadis itu menghela napas. "Aku harap Edward segera menelponku," gumamnya kecil. Mata biru Naruto lagi-lagi jatuh pada gelang yang selama ini menjadi obat rindunya. Dia benar-benar berharap mendengar suara Edward lagi.
Bab 18
"Pesta kelulusan?" beo Naruto pada dua hari setelah ujian selesai. Dia memiringkan kepalanya tak mengerti. "Apa ini untuk merayakan hari terakhir ujian kita?" tanyanya lagi.
Alice dengan santai menggeleng. Ia yang berada di sebrang Naruto, mengangkat bahunya. "Bukanlah!" sergah wanita itu. "Ini untuk kelulusan kita yang sebentar lagi datang. Kelulusan, 'kan, hanya terjadi sekali. Jadi kita harus melakukannya!" serunya.
Naruto mengerucutkan bibirnya. Pesta terdengar menyenangkan. Sudah lama ia tak bersenang-senang melalui pesta! Tapi..., "Edward gak ada di sini," katanya menyesal.
Kurama berdecak. "Mau dia atau tidak pun, kenapa kita harus menyelenggarakan pesta, sih?!" gerahnya kesal. Ia tidak suka tempat keramaian yang seperti itu. Menyenangkan apanya melihat hal-hal aneh atau bau badan manusia yang saling menempel. Ish, Kurama yang sudah mengunjungi beberapa klub malam, berdecih jijik.
Rose mengernyitkan alisnya, tak setuju. "Aku malas dengan mengundang para manusia itu. Tapi, apa yang dikatakan Alice benar. Kami gak mau kamu kehilangan rasanya pesta kelulusan."
"Lagipula kita tak ada hal yang harus dibereskan. Tinggal menunggu Edward datang. Ini hanya menunggu sebentar lalu pesta akan dimulai," imbuh Alice menambahkan. Seringai muncul dari sisi bibirnya. Senang rasanya Rose dan yang lainnya setuju atas usulnya. Selain membuat Naruto merasakan kelulusan, ini akan menjadi hal yang baik untuk mengumpan naik para vampir baru. Ia mendapat visi yang sangat bagus.
"Ada yang ngomong tentang pesta?!" seru Adele yang baru saja datang. Ada nampan makanan siang di tangannya. Ia menaruh nampan di atas meja sebelum duduk di samping Naruto. "Hai, Rose, Alice!" sapanya pada kedua saudari kekasih sahabatnya itu, "hai, Apel jelek," lanjutnya pada Kurama yang sedang asyik memakan apel.
Gadis itu tersenyum jail. "Kamulah!" tantangnya tanpa keberatapan pada panggilan acak pria maniak apel itu. Mengalihkan pandangan pada Alice dan Rose, Adele menyeringai besar. "Jadi, kapan pestanya?"
Rose mendesah dalam diam. Dia sudah malas kalau ada manusia lain yang bergabung dengan mereka. Bahkan jika itu termasuk sahabat Naruto sendiri. Dia memalingkan wajahnya; membiarkan sang saudari yang lebih easy going menjawab.
"Saat Edward selesai ujian susulan. Gak lama, apalagi mungkin saat Edward selesai, sehari setelahnya kita diwisuda. Lagipula besok dia pulang," kata Alice ringan. Matanya terlihat agak berpikir. "Menurutmu apa guru-guru harus kuundang?"
Adele mengangguk-angguk. Dia tak bertanya mengapa karena setahunya, keluarga Cullen pergi ke luar kota untuk mengunjungi kerabat mereka yang sakit parah. Dia tersenyum kecil. "Kurasa tidak. Mereka akan membuatnya buruk."
Alice mengernyit. "Kamu benar." Kedua wanita berbeda ras itu sama-sama saling memandang. "Kecuali Mrs. Viviane dan Mr. Cope!" seru mereka bersamaan dengan gelak tawa di akhir.
Naruto mendengus. "Baiklah, kita adakan pesta!" seru gadis pirang itu kesenangan. Ketiga wanita yang kemudian asyik berdiskusi mengenai pesta itu mengabaikan Rose dan Kurama yang sama-sama pasrah. Ketenangan mereka akan terganggu dan itu hal yang pasti.
Pagi berikutnya saat Naruto membuka mata, hal yang pertama dilihatnya adalah wajah pria yang sangat ia rindukan. Matanya langsung melebar ketika rasa kantuk menjauhi kesadarannya. "Edward!! Kamu pulang!" serunya gembira dan langsung melemparkan dirinya pada sang kekasih.
Edward terkekeh merasakan tubuh dinginnya agak terpantul di atas kasur akibat dorongan beban sang kekasih. Tangannya langsung melingkari tubuh Naruto dengan erat. Sama rindunya dengan si pirang meski mereka hanya berpisah kurang dari dua minggu.
"Hm. Merindukanku?"tanya Edward memundurkan wajahnnya dari helaian rambut si pirang.
Naruto mengerutkan hidungnya. Tanpa melepaskan pelukan mereka, gadis itu mendongak. "Gak, tuh!" serunya Tsundere.
Edward mencebik. Jelas tak percaya pada pengakuan sang kekasih. Ia menyeringai lalu meninggalkan kecupan pada kening Naruto. "Aku juga merindukanmu."
Mata Naruto melengkung. "Aku gak tanya," katanya malu meski semu di pipi sangat memperlihatkan senangnya.
Edward mengangkat bahu. "Kamu gak tanya, tapi kanu memikirkannya," godanya.
Naruto mendelik malu. "Dasar stalker," gumam gadis itu semakin menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Edward.
Edward nyengir. "Hanya padamu." Ia memainkan rambut pirang Naruto yang tersebar di atas bantalnya. "Bagaimana harimu di sini?" tanyanya berbasa-basi.
Naruto melepaskan pelukannya meski tangan Edward masih menjadi bantalnya. Ia mendongak dengan sedikit mengulum bibirnya. Memasang ekspresi berpikir, Naruto menjawab, "Melelahkan."
Edward mengerutkan keningnya. "Memangnya kamu ngapain saja saat kutinggal?" tanya pria itu menyingkap helaian rambut pirang sang kekasih yang terjatuh di wajahnya.
"Ujian," keluh gadis pirang itu. "Ujiannya sangat sulit. Aku ragu aku bisa lulus atau tidak," gumam Naruto sedih.
Edward mengelus bibir Naruto yang tak diciumnya beberapa hari terakhir ini. "Kamu bisa lulus, kok."
"Bagaimana kau tahu? Hasilku sangat jelek," kata Naruto curiga.
Pria berambut perunggu itu menjentik dahi kekasihnya yang sedang berpikiran jelek. "Jangan memikirkan itu. Aku tidak akan curang. Aku hanya percaya padamu. Aku tahu kekasihku pasti melakukannya dengan baik," jelas Edward dengan senyuman lembut di bibirnya.
Ditatap soft seperti itu, ditambah ucapan mate-nya yang menyentuh, mau tak mau pipi Naruto bersemu merah. Ia mencebik. "Gombal, ah!" seru gadis itu menyembunyikan senyum dan degupan jantungnya yang berdebar.
Pria itu mengerutkan hidungnya. "Aku jujur, lho!"
Naruto mendengus. Dengan malu, ia mengalihkan topik, "Ed, apa kamu tahu kalau Alice berniat mengadakan pesta?"
Edward mengerjap. Tangannya menarik pinggang gadisnya untuk mendekat. "Pesta kelulusan?" tanya pria itu yang dibalas dengungan, ya, oleh si gadis, "aku tahu. Apa yang dikatan Alice benar. Tak ada yang perlu kita kerjakan dalam beberapa hari ini sehingga kita memiliki banyak waktu kosong."
Naruto menebak. "Makannya Alice mau ngadain pesta? Tapi, bagaimana dengan kondisi di Seattle?" tanyanya agak cemas.
Edward menghela napas. Ia mengangguk. "Iya. Sekalian beristirahat. Ada lebih dari sepuluh vampir baru di pangkalan mereka. Jumlah kita gak cukup akibatnya kita harus menunggu anjing-anjing itu bergerak. Apalagi visi Alice menunjukkan mereka belum melakukan pergerakan apapun. Jadi kita pulang."
Naruto berdecak. Sangat tahu siapa anjing yang dimaksud kekasihnya. "Ed, berapa kali kubilang, jangan panggil mereka anjing!" protesnya yang dibalas putaran mata bosan Edward.
Mendengar Naruto yang membela para anjing, dia merasakan mood-nya memburuk. Edward melepaskan tangannya dari tubuh sang kekasih dan berbaring telentang. Ia menatap langit-langit kamar Naruto dengan lelah. Heran. Mengapa baik Bella atau Naruto sangat suka membela Jacob.
Naruto mengerutkan keningnya ketika Edward mengubah posisi berbaringnya. Bersama hampir setengah tahun, gadis itu cukup tahu bagaimana mood kekasihnya saat ini. Dia menghela napas; tahu apa yang menjadikan Edward merajuk seperti ini.
Gadis pirang itu menipiskan bibirnya. Baik, baik, dia mengalah. Edward baru pulang dan Naruto tak ingin bertengkar.
Naruto mengangkat tubuhnya pada Edward hingga wajah keduanya saling berdekatan. Mata pria itu terbuka; menyembunyikan kegelian dan bahagianya, Edward yang tahu kekasihnya sedang membujuknya, berpura-pura merajuk.
"Turun!" katanya datar.
Naruto mengerucutkan bibirnya. Ish, pria tua ini masih merajuk saja padahal mereka sudah sedekat ini! Tak menyerah, gadis itu memutuskan mengecup bibir pasangannya. "Sudah. Jangan marah lagi," rengeknya.
Edward mengerjap merasakan kelembutan bibir si pirang. "Jangan salahkan aku, Naru," gumam pria itu yang dibalas kedipan bingung Naruto. Tak menunggu lama, Edward membalikkan tubuh keduanya hingga dia berada di atas tubuh Naruto.
"Ed!" seru kaget si pirang pada apa yang dilakukan kekasihnya. Pipi gadis maniak itu menyemu merah menyadari posisi intim keduanya.
Tangan Edward berada di sisi kedua wajah Naruto. "Kau yang membangunkanku," katanya serak seraya mendekatkan wajah mereka.
"Ed...," panggil pelan Naruto. Ia menatap mata coklat kemerahan milik Edward. Mata itu menampilkan jejak napsu yang lapar. Gadis itu menelan salivanya dengan berat.
"Hanya sedikit, Nar," bisik Edward yang kemudian langsung menyesap bibir wanitanya.
Begitu Naruto dan Edward turun, hari sudah agak siang. Keduanya disambut dengan godaan dan tatapan menggoda. Oh, ada juga tatapan galak Kurama di sana. Pipi gadis itu memerah dengan geliat tak nyaman di tubuhnya. Ia menyikut perut Edward demi melampiaskan rasa kesalnya akibat Edward yang hampir melampaui batas.
"Sebaiknya kau tidak melewati batas, Dude!" ujar Kurama sinis. Dia yang berada di meja makan memandang keduanya dengan kesal.
"Oh, betapa aku mengharapkannya," balas Edward tak tahu malu yang akhirnya diinjak keras oleh si pirang yang semakin memerah.
"Kepanasan, Nar?" tanya Emmet melempar seringai dari bawah tangga.
Naruto yang berjalan melewatinya berkata dengan gerah, "Kemaluan!"
Sontak semuanya langsung tersentak. Khususnya Kurama yang langsung tersedak. Dia segera mengambil garpu dan melemparkannya pada inangnya itu. "Jaga mulutmu, Bodoh!"
Naruto menghindari garpu. Dia mendelik kepada pria yang sedanh sarapan itu. "Apa, sih!" serunya tak paham. Wajahnya sangat polos seolah tak menyadari apapun.
"Kata-katamu ambigu, Sayang," sela Edward menahan tawanya.
Naruto mengerjap. Sesaat kemudian dia mengerti dan wajahnya meledak memerah. "Bukan itu maksudku!" belanya, "aku sedang malu makannya aku bilang gitu!" lanjut gadis itu mencoba menjelaskan dirinya sendiri. Dia agak gelapan ketika menjelaskan dengan kata-katanya.
"Ya, ya, kami percaya," kata Alice seraya tertawa riang. Meski dia bilang seperti itu, matanya yang berkedip semakin membuat wajah Naruto memerah.
"Hahahaha, dasar Bodoh!" gelak tawa Emmett menggelegar. Kurama menggerutu, "Dia terlalu lama bersama nenek tua itu!"
Naruto yang bersemu merah. "YAK! AKU JUJUR, TAHUUU!" seru kesal gadis itu dengan hentakan kecil di kakinya. Dia mendelik pada mereka dengan gemas.
Esme menggelengkan kepalanya dengan geli. "Ya, iya. Kamu cepat sarapan sana! Nanti dihabiskan oleh Kurama, lho!" ujar istri dari pemimpin coven itu seraya membuka apronnya.
Akhirnya meski kesal, Naruto menarik kursi dan membalik piringnya. Rasa makanan Esme selalu dapat membuatnya terpesona. Yah, sekalinya Naruto makan, dia tidak akan berhenti sampai semua makanan di atas piring masuk ke dalam perutnya.
Alice menopang dagunya di atas meja makan. Dia memang tak makan apapun, tapi melihat Naruto dan Kurama makan jauh lebih menarik daripada melihat Jasper membaca buku setebal 6cm. Itu yang sedang dilakukan kekasihnya.
"Aku heran. Kalian ini makan banyak, tapi gak gemuk-gemuk. Kemanakan semua lemak itu, hm?" tanya Alice menaikkan alisnya.
Naruto mengangkat bahunya. Dia menyeringai bangga. "Tentu karena aku seorang ninja sedangkan Kurama itu, 'kan, bijuu. Kami dapat membakar lemak dengan mudah," jelas gadis pirang itu seraya mengambil paha ayam goreng di piring. "Kuu, tolong ambilkan sausnya!"
Kurama menyerahkan saus pedas yang berada di dekatnya. "Naruto dapat membakarnya dengan mudah lewat latihannya. Sedangkan aku, aku bijuu. Alam akan membantuku mencernanya," lanjut Kurama menggigit daging bagian favoritnya, dada ayam.
Rose mendecih. "Manusia-manusia itu akan membencimu karena curang," katanya terkekeh kecil.
Naruto hanya terkekeh, tak ingin menjawab apa yang sudah pernah terjadi padanya. Sedangkan Kurama memutar matanya remeh. "Mereka itu idiot," kata si rubah sinis yang ditegur oleh Naruto dengab tendangan kecil di bawag meja.
"Apa?" tanya innocent Kurama pada si pirang.
Naruto mendesah. "Kapan mulutmu akan membaik, sih?"
Emmett menyela, "Kapan-kapan, Nar!"
Kurama menunjuk pada si vampir besar. "Itu dia tahu," imbuhnya datar. "Seharusnya aku yang bertanya, kapan kamu jadi orang pintar?"
Naruto langsung cemberut. "Maksudmu aku itu bodoh!?" tanyanya tersinggung.
Edward yang duduk di kursi samping Naruto, mencubit pipi kekasihnya. "Tidak, Sayang. Hanya IQ mu saja yang perlu kamu taikkan," katanya santai.
Naruto mengerjap. Dia tahu apa itu IQ. Mendengar itu, Naruto mendengus. "Kamu sama saja kayak mereka," desis si pirang kesal.
"Hanya padamu, Sayang.... " Serentak kecuali Carlisle dan Esme yang hanya tersenyum aneh, semuanya mengatakan itu. Menyalin apa yang dikatakan oleh Edward di kamar tadi.
Naruto tahu itu. Dia menatap coven dengan pandangan tak percaya. "Astaga, kalian...."
"Hahaha...."
"Ed, apa kita akan mengundang Bella dan Jacob?" tanya Naruto melirik pada perempuan berambut coklat di meja sebrang sana. Dia duduk di kursi yang telah Edward tarik untuknya.
"Haruskah?" tanya Kurama menaruh tasnya di bawah kursi sementara nampan berisi makanannya berada di atas meja. Dia ikut melirik Bella yang tengah bersama teman-temannya.
"Aku tidak ingin mengundang mereka rasanya," desah Alice mengerucutkan bibirnya dengan kekanak-kanakan.
"Mereka akan membuat pesta lebih kacau," imbuh Rose, "khususnya Black."
"Tapi, kita mengundang semua orang. Lalu mengapa tidak mengundang mereka?" tanya Naruto tak mengerti. Dia mulai memotong menu makanan yang telah disediakan kantin.
Emmett berdecak. "Kalaupun kita undang, aku ragu mereka akan datang. Memangnya kamu ini siapa mereka gitu?" tanya pria itu sakartis.
Naruto memutar matanya. "Undang saja setidaknya," dia memiringkan kepalanya, "untuk kesopanan."
Kurama mengetuk kepala pirang emas itu dengan pangkal sendoknya. "Sejak kapan kamu peduli tentang kata sopan?" tanya si rubah sakartis.
Naruto cemberut. "Mau sopan, kok, disalahin."
Edward terkekeh. Lalu dia teringat sesuatu. "Kita bisa mengundangnya," ujar pria tampan itu. "Ingat tentang ajakan mereka untuk bertemu menegoisasikan sesuatu?" imbuhnya ketika melihat tatapan tak bersahabat dari Kurama.
"Aku ingat," kata Jasper menganggukkan kepalanya. "Maksudmu sekalian membahas hal itu? Tapi, bukannya itu bukan waktu yang tepat?"
Emmett menambahkan, "Akan ada banyak orang di pesta."
"Kita bisa mengatur waktunya dulu di pesta. Biar nanti mereka bisa memutuskan mau bertemu kapan. Kita gak bisa diam saja karena anak-anak baru itu semakin bertambah," ujar Alice memberi saran.
"Jadi... kita undang mereka?" tanya Jasper dengan alis yang terangkat sebelah.
"Apa kita ada pilihan lain?" balas Emmett pasrah. Ia sungguh tak suka dengan ide itu. "Lalu siapa yang akan mengundangnya?"
Serempak, semua menoleh pada Naruto. Kecuali Edward, sepertinya semua setuju membiarkan si pirang yang memberikan undangan. "Gak. Jangan Naruto. Kenapa harus kekasihku?" protesnya.
Kurama mendesis. "Dia yang paling akrab dengan para Shape-shifter. Apa kalian gak ingat kalau Naruto pernah ke tempat camp mereka?" katanya mengingatkan.
"Aku gak suka, tapi aku setuju dengan Kurama," ujar Rose mengangkat bahunya. "Naruto familiar dengan mereka."
Edward menatap sang kekasih. "Kau ingin?" tanyanya ketika mendengar apa yang dipikirkan Naruto. Edward mengangguk. "OK, tapi dengan syarat! Hanya temui Bella dan bukan pergi ke Camp!"
Naruto mengerucutkan bibirnya. Tahu saja Edward kalau dia ingin ke sana pada awalnya. "Baik...."
Jadi, sesuai dengan pembicaraan mereka, Naruto menarik Adele yang baru saja tiba di kantin untuk menemui Bella. Bisa saja Naruto sendirian ke sana, tapi kebetulan ada Adele, jadi sekalian saja mengajaknya.
"Mau ngapain?" tanya Adele kebingungan. Dia membiarkan tangannya di tarik si pirang. Ia bahkan masih membawa tas birunya di punggung.
"Temani aku," balas Naruto singkat. Sesampainya dia di meja Bella, teman-teman gadis berambut coklat itu agak terdiam dan menggendikkan bahunya.
"Bells," panggil Jessica seraya menepuk tangan Bella. Bella menoleh dan kekasih Mike itu menggendikkan bahunya.
"Hai, Naru! Adele!" sapa Mike riang. Tangannya melambai ke arah dua gadis cantik nan populer di sekolah ini.
"Hai, Mike! Hai, Semua!" balas kedua gadis itu. Adele ikut melambai dan tanpa sungkan mencomot kentang yang ada di piring Mike.
"Ada apa, Naru?" tanya Angela agak mendongak ketika menatap gadis mungil kesayangan Cullen tersebut.
"Kami akan mengadakan pesta untuk kelulusan nanti," ujar Naruto lalu menyikut Adele; meminta gadis cantik itu untuk membantunya menjelaskan. Menerima isyarat, Adele mengibaskan tangannya.
"Bukan sekarang. Nanti. Kami akan mengundang semua orang, tapi pestanya masih setengah jadi," jelas anak sulung McHousten tersebut. Rupanya gadis cantik itu tak membuat dirinya sebagai tamu. Dia justru terdengar seperti tuan rumah. Yah, bergaul dengan Naruto yang merupakan kesayangan Cullen itu membuatnya juga membantu Alice dalam merancang pesta.
"Itu bagus! Terdengar sangat seru!" seru Mike menyeringai lebar. Tersenyum senang, lelaki yang memakai jaket bomber itu mengangkat sendoknya dengan antusias. Kapan lagi Cullen yang suram mengadakan pesta, bukan? Tapi, mengingat karakter Alice yang sama bertingkahnya dan kedua gadis ini juga sama-sama riang, pesta mungkin jadi yang terbaik.
"Aku memiliki pikiran yang sama dengan Mike," ujar Jessica menyeringai pada kekasih dan teman-temannya.
"Itu bagus. Kami akan datang," ujar Angela kemudian ketika melihat antusiasme semua orang.
Mendengar itu, Naruto dan Adele ikut tersenyum. "Syukur, lah. Nanti untuk jam dan info lainnya, kami akan beritahu," ujar Adele mengelus dadanya. Ia menyikut si pirang di sebelahnya. Tahu benar bukan saja mengundang yang ada di meja saja.
Disikut, Naruto mengerjap. "Bella, kamu juga datang, 'kan?" tanyanya.
Bella tersenyum dengan sedikit kaku. "Tentu saja. Aku akan datang."
"Ajak Jacob juga, ya. Sekalian bahas 'itu' nanti," kata si pirang lagi dengan kedipan mata polosnya di akhir. Adele yang tak tahu apapun langsung menoleh pada sahabatnya.
Bella mengerti. Tapi, rasa tak nyamannya justru lebih terasa. Ia mengangguk kaku saat mata teman-temannya tertuju pada si gadis berambut coklat. "Kami semua akan datang."
Naruto menghela napas lega. "Yey!" dia bersorak. "Sampai jumpa, Semua!" katanya melambaikan tangan lalu menarik tangan Adele.
Adele merenggut. "Aku mau dibawa kemana lagi? Terus memangnya kamu mau bahas apa dengan Bella?" cerocos si gadis Amerika. "Aku lapar, tahu!" serunya kesal.
"Nah, sekarang pesan makanan. Aku juga ingin mengambilkan apel untuk Kurama," jawab Naruto yang ternyata mengajaknya antri demi nampan makanan.
"Kamunya sudah makan?" tanya Adele bersidekap. "Kamu juga belum menjawabku!"
Naruto nyengir. "Biasa ini tentang Jacob dan Edward."
Adele yang mendengarnya, menyipitkan mata. Dia menatap Naruto curiga dan khawatir. "Apa mereka akan bertengkar?" tanyanya.
Sahabatnya memutar mata bosan. "Kenapa mereka harus bertengkar?" tanyanya bingung. Kedua gadis itu maju selangkah karena antrian sudah memendek.
"Jadi gak bakal ada yang perang, 'kan, nanti di pesta," kata Adele mengingatkan. Dia lega kalau itu gak terjadi.
Naruto menggeleng. "Gak akan ada, Sayangku," ujar gadis pirang itu gemas.
Naruto mematut dirinya di depan cermin. Hari ini adalah hari kelulusannya. Dengan pipi memerah dan senyum riangnya, Naruto tak menyangka dia akan ada di daftar kelulusanmeski menjadi peringkat akhir. Tapi, siapa peduli? Asalkan dia lulus, itu sudah cukup baginya.
Dress brokat dengan warna kuning cerah melekat erat di tubuhnya. Roknya yang berada di atas lutut 5cm dan ditambah sepatu hak tinggi 4cm semakin membuatnya tampak tinggi. Warna kuning cerah yang biasanya membuat mata memanas karena silau tampak menakjubkan di atas kulit putihnya yang agak kecoklatan. Rambutnya yang berwarna senada dengan gaun, diatur sedemikian rupa oleh Rose hingga tergulung cantik di tengkuknya. Sangat sempurna meski Naruto hanya menggunakan beberapa make up tipis.
Jujur saja, dia tak ingin menggunakan dress seperti ini. Terlalu merepotkan karena dia tak bergerak bebas. Walau Naruto menggunakan hotpants putih dalam roknya, itu tetap membuat risih. Tapi, Alice berkata kalau menggunakan dress akan pantas di hari khususnya. Fyi, Naruto hampir tidak pernah mengunakan rok atau dress selama dia tinggal di dimensi ini.
"Kamu tampak cantik," puji Esme di belakang Naruto. Tangannya memegang bahu si pirang dengan senyum yang tampak bangga melihat kecantikan menantunya.
Naruto tersenyum malu. Pipinya yang memerah diperindah make up itu tampak sangat menggemaskan. "Terimakasih," katanya menoleh pada Esme dan memegang tangan yang berada di pundaknya. "Kamu juga sangat cantik."
Esme mengenakan long dress formal yang sangat cocok di tubuhnya. Itu membuatnya tampak sangat cantik dan awet muda. Ditambah dengan tak adanya kerutan di wajah, Esme benar-benar terlihat seperti wanita yang hampir kepala tiga. "Terimakasih, Sayang."
Naruto berdiri dan memegang tangan Esme. Hatinya merinding melihat tatapan bangga seorang ibu pada anaknya yang tercermin dalam mata Esme. Sudah sangat lama sejak seseorang memandangnya bangga seolah dia adalah milik mereka.
"T'rims, Esme. Sudah lama rasanya melihat seseorang bangga padaku," ujar Naruto dengan mata yang agak berkaca-kaca. Dia senang melihat sorot keibuan dari Esme. Itu seperti melihat ibunya, Kushina yang saat itu juga menatapnya.
Esme terenyuh. Dia menyingkap helaian poni yang sengaja Rose atur ke belakang telinga si pirang. "Jangan memikirkan hal yang aneh. Bagiku, bagi kami, kamu dan Kurama adalah bagian dari keluarga. Jadi tentu saja aku bangga padamu."
Naruto menyembunyikan senyum bahagianua meski dari mata, rasa itu terpancar jelas. "Aku senang saat kelulusanku, aku dapat berbagi kebahagiaan denganmu." Naruto senang kala ingat bagaimana sepinya ia ketika hari kelulusannya dari akademi. Itu sangat menembus relung hatinya ketika melihat para orang tua menjemput teman-temannya dengan bangga.
Esme terkekeh. "Kamu harus terbiasa karena nantinya kamu akan selalu membaginya denganku," ujar wanita itu menyentuh helaian kelopak mata si pirang. "Jangan menangis. Nanti rusak, lho, riasannya," godanya agar Naruto tersenyum.
Dan benar saja, Naruto menahan air matanya yang hampir terjatuh dengan tawa yang ikut tertahan. Gadis itu mendongak kecil. "Aa, Esme kamu membuatku menangis," rengek si pirang lucu.
Esme mencubit pipi gembilnya. "Sudah, sudah. Sekarang kita turun atau nanti kita telat. Tentunya, kamu gak mau, 'kan, itu terjadi di hari pentingmu," katanya gemas.
Naruto melengkungkan matanya penuh kebahagiaan.
Begitu Naruto dan Esme turun, semua orang sudah berkumpul di bawah. Mereka semua masing-masing tampak terpana. Setiap orang memiliki pesona mereka yang membuat mata mereka terkadang terpaku. Itu, lah, yang terjadi pada Naruto. Baik dirinya yang mempesona ataupun coven Cullen yang terlalu tampan dan cantik.
Edward menyentakkan dirinya ketika terlalu terpaku menatap sang mate. Sangat jarang kekasihnya itu menggunakan rok bahkan dress. Karenanya, melihat Naruto seperti ini... ditambah dengan wajah cantiknya, tak salah jika hati Edward langsung gugup. Gugup karena Naruto, baginya tampak sangat istimewa. Dia takut dirinya memucat dibandingkan sinar Naruto.
Edward berpikir berlebihab. Ia tersenyum tipis. Tak ada yang seperti itu. Melirik pakaian yang dikenakannya hari ini, dia mendesah lega. Untung saja Alice dan Rose yang mengatur pakaiannya. Kedua saudarinya itu sepertinya sengaja membeli pakaian yang sangat cocok untuk Naruto dan dirinya. Itu bagus.
Dia tersenyum menyambut Naruto. Dengan hati gugup dan senang, pria itu bergerak ringan. Senyumnya tersembunyi ketika Esme melewatinya dengan kedipan di mata. Tangan Edward terulur pada Naruto dari bawah tangga. Dia bertingkah seperti pangeran yang menyambut kekasihnya dari istana. Agak membungkuk, Edward berkata, "Senang berjumpa denganmu, My Princess."
Naruto terkekeh lembut. Pipinya memerah melihat bagaimana tampannya Edward hari ini. Dia ingat melihat adegan yang seperti ini di drama. Menyembunyikan senyum yang hampir merobek wajah merahnya, Naruto menyerahkan tangannya pada uluran tangan Edward. Dia berkata, "Senang melihatmu juga, My Prince."
Turun dengan bantuan Edward, Naruto dapat merasakan bagaimana hatinya yang berbunga-bunga. Kedua insan itu saling menatap dan sulit menyembunyikan semu merah di pipi. Tiba-tiba
"Aw! Sakittt," rengek Naruto ketika sebuah sendok melayang ke kepalanya. Dengan kesal, gadis itu berbalik dan menemukan Kurama yang jahat. "Kuu! Itu sakit!"
"Ups, maaf, Gaki. Tanganku terpleset," elak Kurama tanpa rasa bersalah. Matanya yang hitam berkedip-kedip melihat tangan keduanya yang saling bertaut. "Belum juga mulai, sudah gandengan saja, itu tangan," ejek pria berambut orange itu.
Naruto mengerucutkan bibirnya. Dengan kesal, ia menghentakkan kakinya. "Kalau kamu iri bilang saja!" tantangnya
"Siapa juga yang iri?" sambar Emmett dari samping Rosalie. Sama cantiknya, Rose menggunakan maxi dress dengan warna soft pink yang membuatnya tampak lembut dan dewasa.
Naruto mendelik. "Aku sedang bicara dengan Kurama, ya?" katanya sakartis.
"Tapi, dia gak balas, tuh!" Emmett menyeringai kecil.
Satu-satunya manusia di coven mengerucutkan bibirnya. "Kalian menyebalkan!"
"Hahaa, baru juga bertemu sudah berantem saja," ujar Carlisle terkekeh. Binaran riangnya terlihat jelas pada mata pemimpin coven tersebut.
"Kalau gak berantem bukan Naruto dan Emmett!" seru Alice muncul dari balik tubuh Jasper. Wanita yang sama mungilnya dengan Naruto itu menggunakan dress hitam yang agak ketat di tubuhnya. Ia menyeringai senang dengan tangan yang merangkul tangan sang kekasih.
"Hm. Seperti Tom and Jerry," sahut Jasper tersenyum kecil.
Rose ikut tersenyum. Ia melirik arloji yang melingkar di pergelengan tangannya. "Ayo. Upacara akan segera dimulai," ajaknya dengan senyuman.
Untuk pergi ke sekolah, kesembilan insan itu menggunakan tiga mobil dan satu motor. Tentu saja Naruto akan datang bersama Edward di Volvo-nya, Carlisle dan Esme serta Alice dan Jasper akan berada di mobil yang sama, mobil milik Carlisle, sedangkan Rose dan Emmett mengendarai mobil sport merahnya, untuk motor... tentu saja Kurama yang akan mengendarainya.
Di parkiran sekolah, seperti biasa Edward membantu kekasihnya turun dari mobil. Sama seperti anggota keluarga lainnya yang keluar dari mobil ataupun turun dari motor. Barisan Cullen's ini menjadi pemandangan yang menyilaukan mata. Khususnya hari ini dengan dress up mereka semua yang memukau.
Mereka semua saling berpandangan. Berkumpul lalu berjalan berpasangan dengan tangan yang saling terkait. Kurama yang sendirian tak ambil pusing dengan formasi tanpa suara dan formal mereka. Dia menyelinap di belakang Naruto dan Edward. Tentu berniat mengacaukan Edward yang sedang ingin bermesraan dengan kekasihnya. Kurama memang tak sama sekali ingin melepaskan kesempatan membuat kesal pria berambut perunggu itu rupanya. Di belakang mereka, Rose dan Emmett tersenyum geli melihat raut kesal Edward yang disembunyikan atau bagaimana ketidakpekaan Naruto yang sedang saling menyapa dengan para siswa.
Carlisle dan Esme harus meninggalkan anak-anak mereka di pintu belakang gimnasium dan mengitari gedung untuk masuk lewat pintu utama bersama para orang tua lainnya. Pasangan yang dikenal itu sepertinya sudah menjadi pusat perhatian para orang tua. Esme yang memang sangat jarang keluar rumah harus terbiasa dan memang sudah terbiasa dengan antusiasme para orang tua lain.
Suara dalam gedung hiruk pikuk langsung menyambut mereka semua. Di dalam banyak siswa yang sedang diatur dalam barisan oleh Ms. Cope dari bagian tata usaha dan Mr. Vamer, guru Matematika.
"Nona dan Tuan Cullen's, kalian ke depan! Kalian juga Nona dan Tuan Hale!" bentak Mr. Vamer pada coven.
"Kami pergi dulu," ujar Alice bersama yang lainnya. Mereka pergi ke barisan dimana huruf C dan H berada.
Edward mendesah lalu mencium sekilas bibir kekasihnya. Belum sempat Edward mengucapkan kata-katanya, tangan Kurama sudah lebih dahulu mendorong wajah lelaki itu. Pria berambut orange itu bahkan repot-repot menyelinap di tengah keduanya.
"Sudah sana pergi! Nanti juga ketemu," ujar Kurama gerah dengan Edward yang selalu mencuri kesempatan untuk bermesraan
Edward menghela napas. Ia tak mau ribut meski rasanya ingin sekali menendang wajah rubah itu. Maka mau tak mau, Edward menyusul saudara-saudaranya ke barisan depan.
"Ayo, ikut aku!" ajak Kurama tanpa basa-basi menarik Naruto ke barisan untuk mereka. Rubah itu berada di depan Naruto, tapi tangannya yang menarik Naruto itu tetap menjaga si pirang dari sibuknya orang-orang. Melewati barisan kursi M, dari belakang barisan, Adele melambaikan tangannya; menyapa si pirang dengan seringai besar di bibirnya.
Naruto balas melambai. Hanya menyaa sekilas karena dirinya yang buru-buru ditarik oleh Kurama ke barisan U. Ketika mereka duduk di tempat masing-masing barulah Kurama dan Naruto dapat bersantai. Naruto merasakan keantusiasan yang sangat menjalari tubuhnya. Dia benar-benar tak bisa diam, tapi Naruto harus tetap pada duduknya.
Gatal ingin berbicara, Naruto menoleh pada Kurama yang mengistirahatkan dirinya dengan bersandar pada kursi. Ada jejak kelelahan di sudut mata pria itu.
Naruto mengerjap lalu menyentuh mata Kurama yang tertutup. "Kuu, kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir. Ia yang ingin mengoceh mengenai hari kelulusan ini seketika teralihkan karena khawatirnya.
Kurama merasakan seseorang menyentuh sudut matanya. Dia membuka matanya lalu menatap Naruto yang menatapnya cemas. Memegang tangan si pirang, dia menggeleng kecil. "Aku baik-baik saja. Hanya kelelahan," katanya menghela napas.
"Apa menyiapkan pesta semelelahkan itu?" tanya Naruto dengan alis yang bertaut. Agaknya menyesal membuat Kurama merasakan kelelahan.
Kurama menjentikkan jarinya pada kening si pirang. "Jangan memikirkan hal yang aneh. Biarkan aku tidur sejenak dan bangunkan aku ketika upacara dimulai, OK?"
Naruto mengangguk dan membuat tanda sumpah dengan jemarinya. "Aku janji."
Kurama tersenyum kemudian kembali menutup matanya. Dia menghela napas dalam diam. Mana mungkin Kurama mengatakan kalau bukan karena pesta yang membuatnya lelah seperti ini, melainkan pekerjaanya yang dalam kegelapan, lah, yang melakukannya. Menghadapi banyak orang munafik dan idiot seperti para bajingan itu lebih melelahkan dibanding bertarung dua hari penuh.
Kurama dengan cepat tertidur meski dalam ketidaknyamanan. Dalam setengah tidurnya, dia dapat merasakan mata Naruto terkadang menatapnya cemas.
Naruto kembali memfokuskan kembali panggung di depan sana. Ia yang sebelumnya antusias menjadi agak menurun. Wajar saja mana mungkin dia bersemangat ketika saudaranya sendiri sakit karenanya? Well, itu pikiran si pirang yang tentu saja dapat dirasakan Kurama lewat perhatiannya.
Upacara berlangsung cepat. Naruto tak tega membangunkan si rubah yang tengah tidur di sampingnya. Apalagi hanya untuk menyaksikan pidato cepat dari salah satu teman Bella, yang diketahuinya bernama Eric sebagai lulusan terbaik sekolah. Naruto tak begitu memperhatikann pidato yang tampak gugup itu, tahu-tahu Kepala Sekolah Greene sudah mulai memanggil nama-nama para wisudawan, antara satu dan yang lainnya tanpa diselingi jeda panjang; deretan depan gimnasium sampai terbirit-birit maju. Ms. Cope yang malang sampai kewalahan dalam memberikan ijazah pada Kepala Sekolah sesuai dengan nama yang disebutkan.
Senyuman Naruto terukir di bibirnya tanpa sadar ketika melihat Alice, Edward, dan Emmett yang sedang menerima ijazahnya. Mereka tampak tampan bahkan meski dengan topi toga kuning yang Naruto akui jelek sekalipun. Lalu Jasper dan Rose menyusul. Sama seperti itu, kelimanya tampak menonjol di kerumunan. Cantik dan tampan sekali.
Naruto menyeringai ketika melihat kelimanya. Dia harus akui semua tampak sangat mempesona. Tapi, dengan narsisnya, Naruto hanya berpikir dia juga akan sama cantiknya di atas panggung sana.
Menunggu cukup lama, Naruto membangunkan Kurama sesaat sebelum nama keduanya dipanggil satu-persatu. Ketika keduanya berjalan maju, Naruto melihat Esme dan Carlisle yang duduk di barisan orang tua. Mereka berdua menatap keduanya dengan bangga dan bahagia. Bahkan senyum tak lepas dari wajah pemimpin coven Cullen tersebut.
"Selamat, Ms. Uzumaki," gumam Kepala Sekolah Greene memasukkan ijazah ke tangan Naruto.
Mata si gadis pirang melengkung. "T'rims, Kepala Sekolah."
"Selamat, Mr. Uzumaki," gumam Kepala Sekolah seraya menganggukkan kepalanya. Kurama hanya mengangguk datar. Dan kemudian, selesai sudah.
Kepala Sekolah Greene menyeru riang dan bangga, "Lempar toga kalian! Selamat hari kelulusan!" Sambutan itu disambut dengan teriakkan dan sorak sorai para murid. Lalu topi-topi kuning terlempar dan berjatuhan. Naruto tertawa riang merasakan antusiasme para siswa. Dia senang!
"Naruto!" seru Adele di tengah teriakkan. Gadis berambut hitam itu menyelak dan mengejar Naruto yang berada di samping Kurama. Adele langsung melemparkan dirinya pada pelukan Naruto.
Naruto agak terdorong ke belakang, tapi dia tetap membalas pelukan sahabatnya itu. Matanya memanas merasakan betapa eratnya pelukan Adele seolah gadis itu tak ingin kehilangannya.
"Senang sekali kamu pindah ke sini," seru Adele melepaskan pelukan mereka. Mata gadis itu memerah menahan tangis pada satu-satunya perempuan yang diakui sebagai sahabatnya. "Satu tahun yang sangat menyenangkan!"
Melihat mata memerah Adele, mau tak mau membuat Naruto ikut menahan tangis. "Aku juga senang aku gak sendiri di sini!" seru sengau gadis pirang itu.
Adele mengulurkan jari kelingkingnya. "Janji, ya, kita akan selalu berhubungan."
Menyambut jari kelingking Adele, Naruto memberikan janjinya dalam bentuk pinky promise. "Aku janji."
Adele tersenyum lembut. Matanya melirik pada Kurama yang sedari tadi diam. Pria ini selalu saja berdebat dan mengejeknya. Setiap bertemu akan ada perdebatan diantara keduanya. Tapi... mata Adele melengkung manis. Ia dengan jail langsung memeluk Kurama.
Tangan Adele melingkar erat di leher si rubah hingga membuat rubah itu tercekik. "Kuu! Aku pasti akan merindukanmu!" seru gemas gadis itu. Sengaja, dia mengeratkan lingkarannya pada leher Kurama.
Kurama memberontak ringan. Dia perlu menyingkirkan manusia cerewet ini! "Dasar gadis bodoh! Lepaskan aku!"
Adele menyeringai semakin lebar. Dengan nakal, gadis itu mengecup basah pipi Kurama. "Muachhhh!! Dadah, Kuuu!" Adele langsung berlari pergi secepat mungkin; takut Kurama mengamuk padanya! Menoleh, dia berseru, "Sampai jumpa di pesta, Naru!"
Naruto tertawa terbahak melihat Kurama yang menghitam auranya. "Nenek busuk ituuu...." desis si rubah dengan mata yang berkilat-kilat.
"Sudah, Kuu. Hanya satu kecupan, kok!" ujar Naruto menenangkan rubah yang sedang marah itu. Tangannya terangkat mengusap bahu Kurama. "Redakan amarahmu. Sebagai gantinya, nanti aku belikan apel kesukaanmu, ya?"
Kurama mengambil napas dalam-dalam. Memang hanya Naruto yang dapat membuat amarahnya tenang. Dia mengangguk. "Apel. 2kg?" tawar si rubah demi apel favoritnya.
Naruto terkekeh. "Iya. 2kg." Baru setelah itu si rubah benar-benar tenang.
Edward dan keluarganya datang. Esme segera memeluk Naruto lalu bergumam di telinga gadis pirang itu, "Selamat, Sayang." Sama seperti yang dilakukan istrinya, Carlisle maju dan tanpa disangka, Naruto memberinya pelukan besar. Tak keberatan, Carlisle tersenyum lalu membalas pelukan sang anak. "Selamat."
Naruto tersenyum lebar. Emmet menyela dengan lucu, "Kuu, gak mau pelukan besar?" tangannya sengaja terentang lebar untuk menggoda pria tsundere tersebut.
Sebagai balasan, Kurama memberikan jari tengahnya. Semuanya tertawa. Sangat jarang melihat Cullen's tertawa. Apalagi dengan riang dan santai. Biasanya para Cullen terlihat agak suram dan sulit didekati. Bahkan termasuk Carlisle yang meski ramah, dia tak mengizinkan siapapun menjadi teman terdekatnya di kota ini.
Charlie Swan menoleh ketika mendengar Cullen tertawa. Suara mereka ditambah pesonanya malam ini sulit untuk dihindari. Khususnya gadis yang dikenalnya sebagai kekasih Edward itu. "Mereka tampak riang," katanya pada Billy Black yang ikut menghadiri kelulusan calon menantunya.
Billy melihat jelas kalau dua diantara para vampir itu manusia. Dia mengenyit; menyembunyikan jejak tanya dan rasa tak suka alamiah pada para vampir. "Siapa gadis pirang yang memakai baju kuning dan pria berambut orange itu?" tanyanya dengan kedipan mata rumit.
Jacob yang berada di belakang sang ayah tersenyum. "Mereka saudara Uzumaki. Charlie mengenal mereka juga, bukan?"
Charlie mengangguk. "Naruto, gadis itu sangat hangat dibanding Cullen lainnya," puji polisi tersebut atas kesannya pada Naruto.
Billy Black hanya mengangguk. Mau tak mau, dia menantikan bagaimana pertemuan mereka. Semoga dengan ini, Seattle dan Forks akan semakin aman dari vampir lain yang berbeda dengan Cullen.
"Edward!" seru Alice dari sebelah pengeras suara musik yang keras. "Aku membutuhkan saranmu!"
Edward yang sedang membantu Naruto memasang lampu-lampu hias di tembok rumah, menoleh. "Aku ke sana!" balasnya kemudian kembali memfokuskan matanya pada Naruto. "Kamu bisa sendiri?" tanya Edward cemas.
Naruto baru saja akan menjawab ketika suara Kurama menjawab pertanyaan itu. Kurama mengambil alih pekerjaan yang sedang dilakukan Edward seraya berkata, "Biar aku saja yang membantunya. Kau pergilah atau seisi rumah bisa pecah karena suara Alice."
Edward mengangguk lalu meninggalkan mereka. "Aku segera kembali," katanya tadi.
Kurama menaiki tangga lipat untuk menggantung lampu hias. Naruto dengan sigap memberikan gulungan kabel lainnya untuk si rubah. "Kuu, menurutmu apa teman-teman akan datang?" tanyanya mengambil topik.
Kurama mulai mengatur lampu hias di tembok agar beraturan. "Pasti banyak, lah," jawab si rubah tanpa mengalihkan fokusnya.
"Kenapa kamu sangat yakin?" tanya Naruto lagi. Ia menyerahkan kembali gulungan kabel terakhirnya.
Kurama mengambil gulungan kemudian mulai mengatur ulang gulungan kabel tersebut. "Mereka gak akan ngelewatin rasa penarasan bagaimana rupanya rumah keluarga Cullen yang misterius dan terpencil ini," jawab si rubah. Ia menepuk tangannya sekali seraya mendesah. "Selesai."
Naruto tersenyum gugup. "Aku jadi gugup memikirkannya," kata si pirang antusias.
Kurama turun dari tangga dan mulai melipatnya. Kemudian dengan senyum yang disembunyikan, si rubah menjentik kening si pirang. "Kalau gitu jangan dipikirkan."
Naruto tertawa riang. "Kamu benar. Baiklah, ayo, cepat selesaikan ini!" seru si pirang seraya meninju udara kosong.
"Jangan teria-teriak, Naru!" seru Emmett dari lantai atas. Ia sedang bersama Jasper, melepaskan lampu yang akan menerangi rumah mereka dengan lampu bari.
Tak berapa lama, bel berdering. Dalam sekejap senyum ramah Carlisle terukir di bibirnya. Alice dengan lincah melompat turun ke depan pintu. Semua orang sudah siap di masing-masing posisinya sendiri. Mereka agak gugup sebenarnya, tapi tak dapat di sangkal kalau keluarga Cullen senang melihat Naruto yang demikian akan sangat senang dengan pesta kelulusannya. Ternyata yang datang ada tiga mobil di yang tampak memiliki kecepatan lumayan. Tanpa perlu menebak, Adele keluar dari mobil paling depan disusul teman-teman sebalapannya di kota Forks. Naruto dan Kurama mengenal beberapa dari mereka. Hanya sebatas kenal saja.
Ini bukan pertama kalinya Adele mengunjungi rumah keluarga Cullen. Rumah yang diketahuinya mewah dan elegan kini semakin membuatnya terpesona. Ia tak menyangka rumah ini dihias ala tempat nongkrong yang chick. Itu menyenangkan! Adele menoleh ke belakangnya. Teman-teman satu gang-nya sangat terpesona dengan apa yang keluarga Cullen's lakukan. Gadis itu tersenyum bangga seolah dia sedang memamerkan rumahnya sendiri. Hahaha....
Naruto langsung melangkah maju dengan gembira. Ia menyapa Adele dengan pelukan hangat dan menyapa orang-orang di belakangnya. Belum sempat dia beranjak duduk, bel kembali berdering. Itu Jessica dan gang-nya. Ada Mike, Samantha, Laurent, Lee, dan entah siapa lagi. Naruto lupa.
Sesaat kemudian, Naruto bahkan tak sempat duduk ataupun bersantai. Gadis itu terus diajak berbicara dan Naruto dengan riang dan mudahnya menerima pembicaraan mereka. Sebenarnya itu bukan salah Naruto, para tamu memang mengincar gadis manis yang diketahui mereka sebagai salah satu tuam rumah pesta.
Sejujurnya, ini pertama kalinya para Cullen's agak terbuka pada mereka. Ditambah kesan mereka tentang Cullen's yang agak sulit, Naruto yang ramah sangat mudah didekati. Tak heran meski ini pesta patungan seluruh keluarga, Naruto benar-benar menjadi pusat perhatian pesta. Sedangkan untuk Kurama....
Dia tak jauh lebih baik dibanding Cullen's. Wajahnya yang tampan sedatar panci walah ada senyuman di bibirnya. Itu berkat atmosfer yang membuat kebanyakan manusia rileks berdiri di samping para tuan rumah. Setidaknya itu membuat Kurama tersenyum santai.
Jelas pesta ini sangat sukses. Musik dan kemampuan Alice berhasil menjadi salah satu alasan utama mengapa pesta ini sukses. Kemudian alasan lainnya, si pirang yang terus mengitari ruangan untuk menyapa ataupun diajak bicara oleh teman-teman satu sekolah mereka. Entah diberikan selamat atau godaaan karena Edward selalu menemaninya. Tangan pria berambut perunggu itu melingkari pinggul Naruto dengan nyaman. Meski pria itu merasa agak tak nyaman dengan hingar bingar ini, dia tetap mengukuhkan daerah kuasanya atas si pirang.
Akhirnya, setelah mereka kembali ke Adele yang sedang asyik mencomot cemilan, pasangan itu memiliki waktunya sendiri. Edward menarik pinggung Naruto ke arahnya; menjaga mereka agar tidak menyakiti Naruto di tengah berdesakkan ini.
Naruto memandang ke selilingnya. Ia menyeringai ketika melihat ruangan yang penuh orang, tapi tak begitu berdesakkan. Mereka semua, teman-temannya di sekolah tampak sangat menikmati pestanya. Mungkin karena makanan yang disediakan oleh Esme sangat lezat, ataupun musik Alice yang menular, jangan lupakan juga dekorasi pesta yang Keluarga Cullen pasang mempesona mereka. Ah, intinya pesta ini sukses sekali. Naruto senang dan Alice nyaris mendengkur bangga.
Belum sempat gadis itu mengatakan sesuatu, emosi Edward langsun menghentikkannya. Khawatir dan takut? Mata Naruto mengerjap ketika tubuh Edward menegakkan diri. Ia melepaskan pelukannya pada Naruto dan beringsut menjauhkan dirinya.
Edward agak mencondongkan tubuhnya ke depan lalu membisikkan kata pada telinga Naruto. "Aku segera kembali. Jangan kemana-mana."
Tanpa banyak bertanya, Naruto mengangguk. Dia memperhatikan punggung Edward dengan kebingungan. Edward berjalan anggun menembus kerumunan orang yang berdansa mengikuti irama. Dia melihat kalau Edward mencapai bayang-bayang gelap di sebelah pintu dapur. Di sana lampu bersinar temaram dan pria itu agak membungkukkan badannya.
Sebenarnya apa yang terjadi??
Naruto yang dapat merasakan rasa khawatir dan takut dari arah dapur sontak membuatnya penasaran dan cemas. Dia takut ada sesuatu yang terjadi. Maka, setelah permisi pada Jessica yang mencoba mengajaknya mengobrol, Naruto berjalan menembus kerumunan orang banyak menuju pintu dapur.
Edward tak ada di sana, tapi ada Alice yang berdiri di kegelapan. Wajahnya terlihat kosong dan Naruto tahu, Alice telah menyaksikan sesuatu yang mengerikan. Satu tangannya mencengkram ambang pintu seolah-olah dia perlu berpengan.
"Al, ada apa?" tanya Naruto menyentuh tangan mungil sedingin es Alice. Wanita berambut pendek itu tersentak kaget. OK, itu tidak wajar. Alice yang membeku seperti ini menunjukkan kepastian adanya masalah.
Alice tetap tak menoleh meski dirinya tersentak. Matanya menerawang jauh. Naruto menggigit bibirnya dan mengikuti arah pandang seseorang yang sudah dianggapnya saudari sendiri. Di sebrang ruangan, ada Edward yang memperhatika mereka. Wajahnya kosong bagaikan batu. Lalu dia berbalik dan lenyap di bawah tangga.
Saat itulah bel pintu berdering.
Alice mengerjap ketika hidungnya mencium bau serigala. Dia mengernyit seraya berkata, "Bella dan Jacob datang. Jagalah mereka, ya? Aku akan berbicara pada Carlisle dulu." Tak menunggu balasan si pirang, Alice langsung berbalik dan pergi menembus kerumunan.
Naruto semakin menggigit bibirnya. Mau tak mau, dia ikut cemas dengan keadaan yang terjadi walau dirinya tak tahu apapun. Lagi, bel pintu berdering. Sepertinya Kurama tahu apa yang terjadi ketika dirinya memperhatikan dari sudut ruangan. Melihat Naruto yang membeku, Kurama langsung menghampirinya. Ia merangkul pinggang Naruto hingga gadis pirang itu berada dalam lindungannya.
"Ayo, buka pintu. Jangan menunjukkan sesuatu terjadi. Serahkan padaku," bisik Kurama di tengah hingar bingarnya musik.
Naruto melirik Kurama yang menganggukkan kepalanya. Dia menghela napas dan tersenyum; menyerahkan semua pada si rubah yang selalu saja menjadi andalannya. Mereka berdua berjalan menuju pintu dan membukakan pintu. Di sana selain Jacob dan Bella, Naruto mengenal dua lainnya yang mengikuti mereka. Itu Quil dan Embry. Mereka bertemu ketika dia berada di pantai beberapa minggu yang lalu.
"Hai, Bella, Jacob!" sapa Naruto pada pasangan itu kemudian beralih pada Quil dan Embry di belakangnya. "Hai juga Quil, Embry!"
"Hai," sapa Bella dan para lelaki hanya menganggukkan kepalanya. Tapi, Quil menambahkannya dengan lambaian tangan.
"Selamat untuk kelulusanmu," ujar Bella dengan senyuman di wajah cantiknya.
"Untuk kita," Naruto mengoreksi.
"Kurama Uzumaki, kakak Naruto," ujar Kurama memperkenalkan dirinya. Dia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan secara resmi. Termasuk pada Bella yang hanya dikenalnya atas nama saja.
Jacob membalas jabatan pria berambut orange di depannya. Dia tersenyum seraya mengangguk. "Jacob Black," katanya balas memperkenalkan diri. "Ini Quil dan Embry. Tidak apakan kami mengajak mereka juga?" tanyanya berbasa-basi.
Kurama menyeringai. "Tentu. Ayo, masuk dan nikmati pestanya,"ujar pria itu mempersilahkan. Mereka semua masuk dan kembali ke tengah pesta. Quil dan Embry memperhatikan keadaan sekitar dengan baik. Sikap waspada kedua serigala itu tak diturunkan apalagi dikawasan para vampir ini.
"Dimana Edward dan yang lainnya?" tanya Jacob setelah melihat keadaan sekitar. Disisinya, Bella diam dan tak tahu harus berkata apa. Dia hanya menyerahkan semuanya pada Jacob.
Naruto melirik Kurama yang dengan cepat menjawab pertanyaan itu tanpa mengubah wajahnya. "Mereka ada dan mungkin segera kemari."
Jacob mengangguk-angguk. "Pesta yang menyenangkan," puji pria itu memperhatikan pesta yang sudah berjalan setengah selesai itu. Tak ia sangka keluarga lintah ini dapat menyajikan pesta semenarik ini. Harus ia akui, Jacob terkesan dengan akting mereka.
Kurama mendengus menanggapi pujian Jacob. "Terimakasih," balasnya tanpa repot-repot bersikap ramah di depan siapapun itu.
Merasakan sikapnya yang acuh tak acuh membuat Jacob tersenyum sinis dalam hatinya. Sepertinya selain Naruto, keluarga ini benar-benar memiliki mulut yang bagus. Bahkan sikap mereka juga sama.
"Alice!" pekik Naruto ketika matanya menangkap wanita berambut pendek itu sedang menuruni tangga. Dia langsung melihat ke arah mereka, padahal suara Naruto tenggelam dalam lautan bass musik. Tanpa penundaan, Alice mendekati kelompok itu. Dari wajahnya, terlihat sekali Alice sedang cemas dan takut sesuatu.
"Ada apa?" tanya Jacob menyipitkan matanya curiga pada gadis ramalan tersebut saat Alice telah berada di depan mereka.
Alice menatap ketiga werewolf itu dengan rumit. Menatap Bella sedekat ini, hatinya semakin tak karuan. Alice menjilat bibir bagian bawahnya dan agak beringsut pada Naruto.
"Ayo, ke atas! Kita perlu bicara," kata Alice mengacuhkan pertanyaan sebelumnya dari Jacob. Tapi, sedetik kemudian dia beralih pada pasangan Black. Matanya mau tak mau melihat lengan yang melingkari pinggang Bella. Dia jadi ingat dengan tangan yang selalu melingkari pinggang gadis itu dulu. Edward, saudaranya.
Alice menggelengkan kepalanya lalu berkata, "Tunggulah dulu. Kami akan segera kembali." Alice sudah akan menarik tangan Naruto dengan tergesa-gesa sebelum Jacob mengulurkan tangannya. Pria itu melepaskan pegangannya pada pinggang Bella dan menghalangi jalan untuk ketiganya pergi.
"Jangan terburu-buru," ujar Jacob dengan curiga. Dia tahu ada yang salah dinilai dari ekspresinya. Apapun itu, sebagai serigala, intuisinya mengatakan itu berkaitan dengan Bella.
"Maaf. Apa katamu?" tanya Alice sedikit melebarkan matanya. Tapi, tiba-tiba Jasper muncul di samping Alice, ekspresinya mengerikan menatap tangan yang mencengkram pergelengan tangan kekasihnya.
Perlahan, Jacob pelan-pelan melepaskan lengannya. "Kami berhak tahu jika ini menyangkut Bella," kata pria itu dengan manatap para lintah ini garang; keluar sudah fasadnya yang sopan.
Jasper melangkah maju, ketiga werewolf itu menegakkan tubuhnya masing-masing sedangkan Kurama sudah lebih dulu menahan Naruto di belakangnya. Merasakan ketegangan, suara Naruto memecahnya dengan pertanyaan polos, "Kalian gak akan berantem disini, 'kan?"
Tatapan berkilat antar dua ras itu langsung melengos sementara wajah Alice berubah bijak. "Tidak apa-apa, Jasper. Mereka nanti juga tahu," lalu menoleh ke arah dua Uzumaki itu. "Keputusan sudah diambil," mata Alice memang memandang keduanya, tapi hanya Kurama yang tahu apa maksud vampir di depan matanya ini.
"Kalian akan ke Seattle?" tanya Kurama tanpa peduli ada lima pasang mata yang penasaran dan tak tenang itu. Raut wajah Alice memburuk dan tangan Kurama mengepal.
"Mereka akan ke sini. Yang mengincarmu dan Bella akan ke sini," jelas Alice lebih lengkap membuat semua orang langsung menegakkan diri. Bella seketika pucat dan merasa perutnya mulas. Ia menggenggm erat tangan Jacob sebagai bentuk lampiasan takutnya.
Naruto mengambil napas tajam. "Berapa jumlahnya?" tanya si pirang dengan sorot mata menajam. Sangat kontras sekali dengan Bella yang pucat.
"21," jawab Alice menundukkan kepalanya sementara ketiga serigala itu juga pucat. Tak mereka sangka akan ada sebanyak itu.
"Kami harus bertemu malam ini," putus Jacob dengan gertakan di giginya. Dia harus cepat-cepat memberitahukan ini pada Sam! "Jam berapa kita bertemu?"
"Jam berapa yang terlalu malam untuk kalian?" ketiga werewolf memutar matanya. "Jam berapa?" ulang Jacob.
"Jam tiga?"
"Dimana?"
"Kira-kita enambelas kilometer sebelah utara kantor jagawana Hutan Hoh. Datanglah dari arah barat, kalian pasti bisa mengikuti bau kami."
"Kami akan datang," ujar Jacob langsung menerimanya. Ia kemudian menarik tangan Bella yang dingin akibat terkejut dan keempatnya berbalik pergi dengan tergesa-gesa
Bab 19
Naruto menghempaskan dirinya ke sofa. Dia lelah setengah mati karena bersenang-senang. Kabar mengerikan itu memang menguras emosinya. Untung saja, tak berapa lama kemudian pesta berakhir.
Gadis pirang itu melirik rumah Keluarga Cullen's yang masih ramai dengan stuff ataupun pernak-pernik pesta. "Lelah?" tanya Edward yang baru saja duduk di sampingnya. Pria itu setidaknya tampak lebih santai setelah mengonfirmasi bantuan dari Jacob dan para serigalanya.
Kurama menaikkan alisnya. "Lelah? Jangan bercanda. Dia masih mampu bertempur berhari-hari tanpa tidur," kata si rubah dengan putaran matanya.
"Eh? Kalian pernah ikut dalam peperangan?" tanya Emmett yang duduk selonjoran di temani Rose.
Kurama mengangguk. "Dia adalah pahlawan perangnya," celetuk Kurama seraya meminum segelas wine yang tersisa di pesta.
"Naruto?" tanya semua vampir tak percaya. Mereka melirik si pirang yang diam saja di samping Edward. "Kau bercanda?"
Merasa dipanggil, Naruto membuka matanya. Dia mengerjap ketika semua vampir menatapnya, bahkan sang kekasih. "Apa?" tanyanya tak mengerti.
"Kamu pernah berperang?" tanya Edward membiarkan lengannya menjadi bantalan si pirang yang mengantuk. Hanya Naruto saja yang dapat tidur nyenyak meski nyawanya terancam.
Naruto menggangguk. "Kalau yang kalian maksud perang dunia ninja, maka ya. Aku pernah," katanya kembali beringsut mendekati Edward.
Kurama mengangkat bahunya dan membuat wajah 'lihat? Aku benar'. "Bersama Si Pantat Ayam, mereka berdua menjadi pahlawan perang."
"Siapa yang kamu maksud?" tanya Alice yang telah berhasil menjadi agak santai.
"Mantan kekasih Naruto, Sasuke," jawab Kurama membocorkan apa yang tidak diceritakan oleh si pirang.
Naruto cemberut. Dia benar-benar ingin menghindari pembicaraan ini. Gerah, dia melemparkan bantal sofa pada Kurama yang mulutnya sedang ingin ember. "Diam, Kuu! Itu sudah lama untuk apa diungkit lagi," sergahnya lalu kembali menenggalamkan dirinya pada pelukan Edward.
Kurama mendecih remeh. Menuruti keinginan Naruto, dia tetap diam meski menyadari kalau seluruh vampir menatapnya dengan rasa penasaran. Ia mengangkat bahunya acuh. "Apa? Dia tak ingin menceritakannya."
Edward mendengar apa yang sedang dalam pikiran Naruto. Toh, dirinya sudah tahu apa yang terjadi di masa lalu. Dia tak peduli bahkan ketika Edward tahu kalau Naruto dan Sasuke pernah berbagi ikatan yang lebih dalam dibandingkan dirinya dan Bella.
"Ah, apa kalian ikut bersama kami jam 3 nanti?" tanya Alice mengalihkan topiknya. Dia merujuk pada Kurama dan Naruto yang sedang ingin menenangkan dirinya entah dari apa.
"Tentu saja aku ikut. Aku gatal ingin bertarung dengan mereka," ujar Kurama menyeringai lebar. Dia memainkan apel yang ada di tangannya sebelum menggigit buah merah tersebut.
"Aku ikut!" seru Naruto. Suaranya tenggelam dalam dada Edward yang terbalut sweater biru tipis.
"Kalau gitu bangun dan beresin rumah!" seru Kurama seenaknya.
Naruto bangkit dari posisinya dengan kesal. Matanya mendelik pada si rubah yang selalu mengganggunya itu. "Ish, kenapa kamu terus menggangguku terus, sih?!"
Kurama menjulurkan lidahnya, jail. "Aku ingin, terus?"
Naruto terlihat ingin sekali melempar si rubah ke Neraka saja! Well, itu memang yang dipikirkan oleh si pirang. Pada akhirnya, Naruto menghela napas lalu mulai membentuk segel dengan mudah. Dan suara ledakan kecil serta asap keluar dari beberapa sudut ruangan.
Cullen's, "....."
"Naru, apa kamu gak takut atau khawatir tentang perang itu?" tanya Edward ketika mereka hanya berdua di kamar Naruto. Keduanya berbaring seperti biasa dalam posisi berpelukan.
Naruto yang setengah tidur terpaksa bangun saat mendengar suara kekasihnya. Mata birunya menatap wajah Edward dengan sayu saat dia berbicara, "Aku khawatir, tapi untuk berperang, kita harus tenang."
Edward tersenyum lalu mengelus pipi Naruto. Dia memaksa dirinya sendiri untuk tenang sesuai dengan apa yang dikatakan si pirang. Edward tahu Naruto benar. "Kamu benar. Menurutmu apa yang akan terjadi nantinya, ya?"
Naruto tersenyum kecil lalu mengusapkan wajahnya pada dada bidang Edward. "Kau tahu jawabannya, Ed. Sekarang tidur, ya? Aku ngantuk," pintanya menggemaskan.
Edward terkekeh lembut dan mengecup kening Naruto. "Tidurlah."
Rasa-rasanya Naruto baru saja tidur saat Edward mulai membangunkan dirinya. Dia mengerjap dan hal yang pertama dilihatnya adalah wajah Edward yang tersenyum. "Bangunlah!"
Naruto bangkit dari posisi berbaringnya seiring Edward yang juga memundurkan tubuhnya. Gadis berambut pirang itu mengucek matanya yang terasa lengket. "Sudah jam tiga?" tanyanya sengau.
Edward menggeleng. "Belum, tapi dalam sepuluh menit lagi," jawab pria itu kemudian menyerahkan jaket hangat Naruto yang memiliki bentuk rubah. "Ini, pakailah! Kita akan berangkat. Semua orang sedang menunggu."
Naruto menggelengkan kepalanya demi memperoleh kesadaran yang lebih jelas. Dia mengernyit. "Sekarang?" tanyanya dengan mata yang masih agak mengantuk.
Edward menyisir rambut kekasihnya dengan tangan. Ia menganggukkan kepalanya. "Hm. Ayo, kita terbang?"
Mendengarnya, mata Naruto langsung bersinar. Salah satu kesukaannya selain makan adalah terbang bersama Edward. Ia tersenyum antusias. "Benar?"
Edward nyengir dan mengecup kening si pirang. "Benar. Nah, sekarang, cepat pakai ini!" katanya kembali menyerahkan jaket rubah Naruto.
Empunya jaket dengan ceria mengambil jaket. Ia turun dari kasur diikuti Edward lalu dengan cepat mengenakan jaketnya. Selesai menarik resleting, Naruto berpose ala militer di depan Edward yang geli. "Sudah, Bos!"
Edward menyembunyikan senyum gelinya. Memakaikan hoodie bertelinga rubah di kepala Naruto, mata Edward langsung menahan gemas. Astaga, kekasihnya ini imut sekali dengan jaket rubah dan celana piyama putihnya.
"Baru benar," ujar Edward mengcubit pipi Narutonya. "Sangat lucu."
Mata Naruto melengkung bahagua. Ia dengan tak sabar menarik tangan Edward ke ambang jendela.
"Ayo, Ed! Ayo!" seru gadis itu sangat antusias. Naruto benar-benar tak terlihat seperti orang yang baru saja bangun. Dia tampak bersemangat dan ceria untuk ukuran orang yang baru saja bangun.
Keduanya berhenti di padang rumput yang luas. Sudah ada Coven Cullen dan Kurama di sana. Tak ada mobil yang berarti mereka terbang untuk sampai ke sini.
Melihat keluasan padang rumput ini, Naruto jadi teringat dengan apa yang terjadi beberapa tahun silam. Ia ingat bagaimana dirinya mengejar waktu demi sampai ke barisan depan medan perang. Dia yang menjadi incaran musuh tak menyurutkan langkahnya menuju medan perang.
Di masa itu, peperangan tidak hanya dari luar pasukan, tapi dari dalam pasukan juga. Itu karena ada banyak zetsu yang dapat menyamar untuk memecah belah konflik diantara mereka. Lalu dirinyalah yang menjadi salah satu titik uji bagi para pasukan yang waspada dengan adanya zetsu. Zetsu putih... mata Naruto menatap Kurama yang ada di depan sana; berkumpul bersama para vampir lain dalam coven.
Lalu ingatan pertarungannya dengan Victoria muncul. Apa yang dikatakan Jacob mengenai Victoria yang menjadi dalang dari pembunuhan di Seattle dan bagaimana kisah dibalik balas dendam ini terngiang dalam kepalanya.
Mata Naruto tersentak dengan Edward juga menghentikkan langkahnya. Mereka berdua saling berpandangan karena apa yang sedang dipikirkan Naruto. "Apa maksudmu kalau hanya Bella yang sebenarnya mereka incar?!" tanya Edward mencengkram bahu kekasihnya dengan erat.
"Ed... apa kamu gak mikir ada sesuatu yang aneh? Victoria tahu kalau kalian sudah pisah dan karenanya mengapa dia menargetkan kami, aku dan Bella? Katamu, Victoria ingin membalaskan dendamnya karena kamu telah membunuh James. Dia ingin kamu merasakan kehilangan, tapi kalau yang dia inginkan hanya membuatmu merasakan itu, bukankah itu aku? Aku yang seharusnya dia peringati, bukan? Tapi, kenapa Bella ikut terancam padahal dia tak lagi memiliki hubungan denganmu?" tanya Naruto pada dirinya sendiri.
"Tidakkah menurutmu itu aneh? Oh, juga... apa, selain Volturi, ada yang tahu mengenai kemampuan Alice?" tanyanya pada Edward ketika dirinya teringat dengan salah satu poin kunci ini.
"Bella adalah penyebab tak langsung perseteruanku dan James. Mungkin itu yang membuatnya menjadi incaran Victoria juga," sanggah Edward, "dan tentang visi, ada beberapa yang tahu. Seperti"
"Laurent, bukan?" sela Naruto mengingat bagaimana kisah ini dimulai.
"Laurent, James, dan Victoria, mereka itu berteman. Itu yang kamu ceritakan padaku. Bagaimana jika Laurent menceritakannya juga pada Victoria?"
Edward melebarkan matanya ketika diingatkan oleh Naruto. "Kamu benar. Dengan visi Alice yang terganggu, mereka dapat lebih mudah menyerang dan menyembunyikan rahasia mereka. Kenapa itu tidak terpikirkan olehku?"
Naruto menelan salivanya. "Ed, Victoria tidak sedang ingin melihatmu hancur, tapi melihat para serigala dan kita hancur. Dia ingin kita berperang dengan para shape shifter!"
"Dia tahu kalau aku bukan manusia biasa. Victoria tahu aku berbahaya baginya dan akan percuma jika dia menyerangku yang mungkin akan merugikannya! Karena itu, dia beralih pada rencana lain. Bukan saja itu menghancurkanmu, tapi dengan kita berperang melawan Sam dan pack-nya, itu akan membuat Victoria mengambil alih daerah ini."
"Victoria mengancam Bella terang-terangan karena dia yakin Bella akan lebih dijaga dan akan berada tak jauh dari medan perang. Bella hanya manusia biasa sehingga dia tidak akan ditinggal sendirian. Jadi, dia pasti akan ada di sekitar medan perang. Setidaknya dibandingkan di rumah, Bella akan lebih aman bersama Jacob di tempat itu. Tidak akan membahayakan Charlie dan yang terpenting hanya Jacob yang akan menjaganya.
Dan aku? Aku akan berada di medan perang. Sekuat-kuatnya aku, aku tetap manusia. Dalam perang ini bisa saja akan ada yang menyakitiku. Di satu sisi dia akan membunuhku dalam perang, di sisi lain Victoria dapat mengincar Bella. Dengan kematian salah satu dari kami, aku yakin kamu ataupun Jacob akan saling berperang. Kenapa? Karena ini bisa saja jebakan. Khususnya jika itu yang terjadi pada Bella. Jacob dengan amarahnya pasti akan menyalahkanmu dan itu akan membuat peperangan."
Edward mengernyit dalam-dalam. Ia memikirkan setiap kemungkinan yang terjadi sesuai dengan apa yang dikatakan kekasihnya. "Kamu benar. Jika hanya mengancam kalian saja, untuk apa Victoria saat itu bertarung dengan kita? Tapi, apapun itu, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu," ujar Edward menurunkan tangannya dari bahu si pirang.
Tiba-tiba ia tersenyum. "Mengesankan," pujinya seraya menggenggam erat tangan Naruto ketika keduanya kembali berjalan. "Seperti yang diharapkan dari pahlawan perang," lanjut Edward melirik Naruto.
Bibir Naruto mencebik. "Ck, pahlawan apa? Apa yang dikatakan Kurama gak semuanya benar. Kami, aku dan teman-teman yang melakukannya."
"Telat," celetuk Emmett dengan jail.
Naruto menatap pria besar di depannya dengan remeh. "Mereka juga belum ada yang datang," ejeknya.
Sesaat setelah mengatakan itu, mata Naruto melirik pada Alice yang tampak tak seceria biasanya. Ia berdiri agak menjauh; mengawasi Jasper yang sedang meregangkan tangannya seolah sedang melakukan pemanasan, bibirnya mencebik kesal.
"Al, kamu kenapa?" tanya Naruto menatap bingung pada wanita yang biasanya sama cerahnya dengan dia.
"Naruu!" rengek wanita itu langsung menghampiri orang yang dipanggilnya. Ia bersidekap. "Menyebalkan! Aku tidak dapat melihat mereka!" rutuknya dengan bibir mengerucut.
Alis Naruto menaik. "Mereka siapa?"
"Para werewolf itu sedang menuju kemari. Jadi, dia tidak akan bisa melihat apa yang akan terjadi. Dia merasa tidak nyaman buta seperti itu," jawab Edward dengan senyuman tipisnya. Ia merasa geli pada rengekan saudarinya tersebut.
Alice yang mendengarnya, menjulurkan lidahnya. Dia mendesis. "Jangan menyebalkan seperti mereka, deh!" keluh wanita itu.
"Kapan tamu-tamu kita akan datang?" tanya Carlisle pada Edward.
Edward berkonsentrasi sebentar, kemudian mendesah. "Satu setengah menit lagi, tapi aku terpaksa harus menerjemahkan bahasa mereka. Mereka tidak cukup percaya pada kita untuk datang dalam wujud manusia mereka.
Carlisle mengangguk. "Mereka mau datang saja, aku sudah bersyukur."
Naruto membulatkan bibirnya. "Wow. Apa ukuran mereka sangat besar, Ed?" tanyanya. Tapi, sesaat Edward ingin menjawab, kilatan tak menyenangkan datang dari matanya. "Bersiap-siaplah. Mereka merahasiakan sesuatu dari kita."
Mata Alice terbelalak. "Apa maksudmu?"
"Ssstt, Edward mengingatkan, lalu memandang jauh ke kegelapan. Lingkaran keluarga Cullen tiba-tiba melebar, dengan Jasper dan Emmett di bagian paling ujung.
Naruto mengikuti sudut pandang kekasihnya. Segera, ia merasakan banyak emosi datang bergemuruh dari dalam hutan. Melirik Kurama, rubah itu tampak agak terkejut dengan apa yang ia dengar sesuai dengan indra rubahnya.
"Astaga, gumam Emmett pelan. "Pernahkah kau melihat yang seperti itu?" Esme dan Rosalie bertukar pandang dengan mata membelalak.
"Ada apa?" bisik Naruto sepelan mungkin. "Aku tidak melihat apa-apa."
"Anggota kawanan itu bertambah, bisik Edward menjawab pertanyaan sang kekasih.
Mata Naruto menyipit dengan leher yang menjulur panjang. Dia berusaha melihat apa yang ada dalam kegelapan. Lalu sesuatu yang berkilat-kilat terlihat dalam gelapmata mereka yang berada di ketinggian sewajarnya serigala. Tubuh mereka besar seperti kuda yang berotot dan berbulu lebat. Jangan lupakan juga gigi para serigala yang setajam layaknya pisau tak dapat teralihkan.
Naruto menghitung kilatan itu. Ada sepuluh pasang mata yang berartikan sepuluh serigala. Tubuhnya terpaku terkejut dengan mata yang terpesona. Dia bahkan sulit mengatakan apapun ketika melihat serigala sebesar... sebesar ini! Kerennnn....
Tak lama, sepuluh serigala besar itu keluar dari kegelapan. Sangat besar dan banyak dengan bulu lebat yang mempesona. Dipimpin oleh serigala besar hitam pekat yang sedikit lebih besar daripada yang lain. Mata mereka berkilat-kilat menatap mereka.
Seingat Naruto, Sam adalah pemimpin pack. Apakah ini bentuk serigala Sam??
"Selamat datang," sapa Carlisle. Ia berdiri maju dengan perlahan agar tidak mengagetkan para serigala yang terkenal karena hot temper mereka.
"Terimakasih," Edward menjawab dengan suara datar yang aneh. Naruto mengerjap. Apa dia sedang menerjemahkan apa yang dipikirkan para serigala ini???
Edward berbicara lagi dengan suara asing yang sama,
menyuarakan kata-kata Sam. "Kami akan melihat dan
mendengarkan, tapi tak lebih dari itu. Hanya itu yang bisa
kami lakukan sebatas kemampuan kami mengendalikan
diri.
"Itu lebih dari cukup. jawab Carlisle. "Putraku Jasper,"
ia melambaikan tangan ke arah Jasper yang berdiri dengan
sikap tegang dan siaga. "berpengalaman dalam bidang ini.
Dia akan mengajari kami bagaimana mereka bertempur,
bagaimana mereka bisa dikalahkan. Aku yakin kalian bisa
mengaplikasikannya pada gaya berburu kalian sendiri."
"Mereka berbeda dari kalian" Edward menyuarakan
pertanyaan Sam.
Carlisle mengangguk. "Mereka masih sangat baru-baru
beberapa bulan umurnya. Masih kanak-kanak., bisa
dibilang begitu. Mereka tidak memiliki keahlian atau
strategi, kekuatan semata. Malam ini jumlah mereka dua
puluh. Sepuluh untuk kami, sepuluh untuk kalian
mestinya tidak sulit. Jumlahnya bisa berkurang. Para
vampir baru ini berkelahi antar mereka sendiri."
Terdengar suara geraman menjalar di barisan serigala
yang samar-samar itu, geraman rendah yang entah
bagaimana justru terdengar antusias.
"Kami bersedia menghadapi lebih daripada bagian kami,
jika diperlukan, Edward menerjemahkan, nadanya kini tak
lagi terdengar tak acuh.
Carlisle tersenyum. "Kita lihat saja bagaimana jadinya
nanti."
"Kau tahu kapan mereka datang?"
Mereka akan datang melintasi pegunungan empat hari
lagi, siang hari. Saat mereka mendekat, Alice akan
membantu kami mencegat mereka.
"Terima kasih informasinya. Kami akan menonton."
Dengan suara mendesah mata-mata itu merendah
mendekati tanah, sepasang setiap kali.
Sejenak suasana sunyi senyap, kemudian Jasper maju
selangkah ke ruang kosong di antara para vampir dan
serigala. Tidak sulit bagi Naruto melihatnya kulit Jasper
cemerlang dalam kegelapan, sama seperti mata serigala.
Jasper melontarkan pandangan waswas ke arah Edward,
yang mengangguk, kemudian Jasper berdiri memunggungi
para serigala. Ia mendesah, kentara sekali merasa rikuh.
"Carlisle benar, Jasper berbicara hanya kepada para Cullen. Tentu itu termasuk Naruto dan Kurama; sepertinya ia berusaha mengabaikan penonton di
belakangnya. "Mereka berkelahi seperti kanak-kanak. Dua
hal terpenting yang perlu kalian ingat adalah, pertama,
jangan biarkan mereka memeluk kalian dan, kedua, jangan
terang-terangan menunjukkan niat kalian untuk
membunuh. Karena hanya untuk itulah mereka
dipersiapkan. Selama kalian bisa mendekati mereka dari
samping sambil terus bergerak, mereka akan sangat bingung
hingga tidak bisa merespons secara efektif, Emmett?"
Dengan senyum lebar Emmett maju meninggalkan
barisan.
Jasper mundur ke ujung utara dekat para musuh sekutu.
Ia melambaikan tangan menyuruh Emmett maju.
"Oke, Emmett duluan. Dia contoh terbaik dari serangan
vampir baru."
Mata Emmett menyipit. Akan kucoba untuk tidak
mematahkan apa pun," gerutunya.
Jasper nyengir. "Maksudku adalah, Emmett sangat
mengandalkan kekuatan. Dia sangat terang-terangan dalam
menyerang. Demikian pula para vampir baru, mereka tidak
akan berusaha melakukannya dengan halus. Langsung
serang saja, Emmett."
Jasper mundur lagi beberapa langkah, tubuhnya
mengejang. "Oke, Emmett—coba tangkap aku."
Naruto menatap lekat-lekat sosok Jasper yang kemudian hanya tinggal kilatan saat Emmett menyerangnya bagai beruang, menyeringai sambil menggeram geram. Emmett juga luar biasa cepat, tapi tidak seperti Jasper. Jasper seperti tak bertubuh, seperti hantu setiap kali tangan Emmett yang besar meraihnya, jari-jari Emmett hanya mencengkeram udara kosong. Di sampingnya, Edward mencondongkan tubuh dengan sikap menyimak, matanya terpaku pada pertarungan itu. Lalu Emmett membeku. Jasper menyergapnya dari belakang, giginya hanya dua setengah sentimeter dari lehernya. Emmett memaki.
Terdengar geraman kagum dari serigala-serigala yang menonton.
"Lagi, desak Emmett, senyumnya lenyap.
"Sekarang giliranku, protes Edward.
"Sebentar lagi," Jasper menyeringai, mundur selangkah. "Giliran Alice dulu."
Edward memutar matanya. "Oh, ayolah," gumam pria berambut perunggu itu.
Alice melonjak kesenangan. Ia maju selangkah dan memberikan kecupan pada pipi Jasper sebelum berdiri pada posisinya. Alice berdiri tak bergerak, tampak semungil boneka di depan Emmett, tersenyum-senyum sendiri. Jasper bergerak maju, lalu merayap ke kiri Alice. Alice memejamkan mata.
Jasper mengendap-endap ke tempat Alice berdiri.
Jasper menerjang, lenyap. Tiba-tiba saja ia sudah berada
di kanan Alice. Kelihatannya Alice tidak bergerak sama
sekali.
Jasper berputar dan menerjang Alice lagi, kali ini
mendarat dalam posisi membungkuk di belakangnya seperti
pertama tadi; sementara itu, Alice berdiri tersenyumsenyum
dengan mata tertutup.
Alice maju sedikit tepat ketika Jasper melayang menuju tempat ia
berdiri sebelumnya. Alice melangkah lagi, sementara
tangan Jasper yang menggapainya meraih udara kosong di
tempat pinggangnya tadi berada.
Jasper merangsek maju, dan Alice mulai bergerak lebih
cepat. Ia menari-nari berputar, berpusar, dan meliuk-liukkan
tubuh. Jasper bagaikan patnernya, menerjang,
mengulurkan tangan berusaha mengimbangi gerakan-gerakannya
yang anggun, tak pernah menyentuhnya,
seolah-olah setiap gerakan dikoreografi dengan baik.
Akhirnya, Alice tertawa.
Tahu-tahu ia sudah bergelayutan di punggung Jasper,
bibirnya menempel di leher.
"Kena kau, tukasnya, lalu mengecup leher Jasper.
Jasper terkekeh, menggeleng-gelengkan kepala. "Kau ini
benar-benar monster kecil mengerikan."
Serigala-serigala itu menggeram lagi. Kali ini nadanya
kecut.
Sekarang Edward sudah dekat sekali dengan Jasper, dan
pertarungan ini lebih seimbang daripada dua pertarungan
lainnya. Jasper berpengalaman selama satu abad, dan sebisa
mungkin ia berusaha hanya mengandalkan insting, tapi
pikirannya selalu membuat maksudnya diketahui sedetik
sebelum ia bertindak. Edward sedikit lebih cepat, tapi
gerakan yang digunakan Jasper tidak familier baginya.
Mereka saling menyerang berkali-kali, tak ada yang bisa
merebut posisi di atas angin, geraman insting terus-menerus
meledak.
Naruto dan Kurama saling memandang. Mereka berdua melihat gairah bertarung yang sudah lama tak terlihat di mata masing-masing. Kurama menyeringai ketika dirinya mendekati Naruto. Dia mencondongkan tubuhnya pada telinga si pirang. Dengan nada pelan, rubah itu berbisik, "Mau taruhan?"
Naruti menyeringai. Matanya menatap Kurama dengan penuh tantangan. "Apa? Apel?"
"5kg apel dan 5 kardus ramen?" tawar Kurama seraya menaikkan sebelah alisnya.
"We got it."
"Giliranku," ujar Kurama ketika Edward telah mundur dari pertarungannya.
"Kalian manusia," sela Edward yang datar dan acuh.
Kurama mendengus remeh. Lalu tanpa kata melompat ke pertarungan. Jasper segera melangkah mundur ketika Kurama mendarat di depannya.
Mata Jasper berkilauan. Dia tersenyum. "Kau siap?"
Kurama mengulurkan tangannya ke udara kosong. "Dengan senang hati."
Jasper melesat dengan kecepatan serta keagresifan para vampir baru. Pria berambut pirang itu mengulurkan tangannya berusaha mencengkram leher jenjang Kurama. Menemukannya, Kurama memutar tubuhnya ke samping dan balas mencengkram lalu memutar tulang tangan Jasper dengan keras.
Mata Jasper terbelalak melihat kecepatan yang setara dengan kecepatannya. Apalagi kekuatan rubah itu tak main-main. Tak mampu menahan keterkejutannya, Jasper agak mengernyit sakit dan membalas reflek dengan menarik tangannya sehingga Kurama tertarik, baru kemudian Jasper menendang si rubah.
Kurama terlempar ke salah satu pohon, tapi dia segera mengendalikan tubuhnya untuk rolling dan melesat kembali ke Jasper.
Kecepatan keduanya saling beradu. Dibandingkan dengan pertempurannya dengan Edward, pertempuran antara Jasper dan Kurama menarik perhatian mereka semua. Kecepatan serta kekuatan tubuh dan refleknya membuat semua yang hadir terkejut setengah mati.
Emmett menjatuhkan rahangnya. "Holly shit, Kurama bisa menandingi kecepatan Edward!!?"
"Jasper belum menampilkan kekuatannya dengan penuh. Sama seperti Kurama," sela Naruto santai. Dia tetap memperhatikan pertarungan kedua insan berbeda raa itu. Matanya tetap menyimak meski jika dilihat mata telajang manusia biasa, hanya kilatan yang terlihat di antara mereka.
"Kamu bisa melihatnya?!" tanya Alice terkejut. Matanya membelalak heran melihat manusia seperti Naruto dapat memiliki indra yang tajam walau tak setajam miliknya.
"Dengan kecepatan ini, ya. Aku bisa melihat mereka," jawab Naruto bersidekap dada. Tubuhnya dengan santai berdiri tegap tanpa tahu menjatuhkan bom.
Para serigala menggeram dengan kepala yang saling menoleh. Seolah-olah mereka terkejut dan saling berbisik melihat manusia aneh ini.
Hanya butuh beberapa menit sebelum keduanya berhenti dengan hasil yang mengejutkan. Kurama memenangkannya setelah Jasper berkata, "Cukup!"
Kurama menyeringai. Alisnya terangkat angkuh. "Aku menang?" tanyanya seraya melepaskan kunciannya pada leher Jasper.
Jasper mengusap lehernya. Ia mendengus senang. "Hm. Tak kusangka kamu memiliki kekuatan seperti itu."
Kurama meregangkan lehernya. "Mungkin yang selanjutnya akan lebih mengejutkanmu."
Jasper melirik Naruto, ia menatap Kurama dengan gairah. "Dengan senang hati."
Naruto yang melihat pertarungan Kurama berakhir, menghembuskan napas lega. Syukurlah tubuh Kurama dapat menyesuaikan diri....
Melihat gilirannya telah dimulai, Naruto menurunkan hoodie-nya. Untungnya, sebelum pergi ia tak lupa membawa ikat rambutnya. Maka dari itu, setelah mengikat rambutnya, Naruto melompat ke udara untuk mendarat di depan Jasper.
Melihat Jasper, mata gadis pirang itu bersinar. Menjilat bibir bawahnya tak sabar, dia berkata, "Kita mulai."
"Tentu."
Kali ini yang mengambil langkah pertama adalah Naruto. Tubuh mungilnya yang berbalut jaket melesat dengan kecepatan yang tak kalah dari Kurama.
Belajar dari Kurama, Jasper menggerakan tubuhnya untuk bergerak menyamping demi menghindari tinju si pirang. Ia justru membalasnya dengn tangan yang menangkap tinju Naruto lalu dihempaskannya tangan si gadis pirang. Tapi, rupanya Naruto melawan. Saat tangnnya terhempas, gadis itu mengendalikan tubuhnya agar tak terlempar sebelum melontarkan tendangan pada pinggul Jasper. Alhasil pria berambut pirang itu yang terlempar.
Kembali, keduanya terus bertarung. Mereka yang ada di padang rumput harus dikejutkan kembali ketika Naruto memulai pertarungan. Tak mereka, gadis yang sebelumnya terlihat lemah mampu bertarung dengan vampir.
Mata Sam berkilat-kilat menatap Kurama dan Naruto. Kedua saudara ini bukan hanya manusia biasa. Khususnya Kurama yang tak memiliki bau manusia, tapi ia dapat mencium bau alam yang sangat kuat. Siapa mereka dan mengapa Uzumaki ini bersama para vampir ini?
Angin tidak bertiup, tapi dedaunan bergemerisik karena udara dan pergerakan Jasper dan Naruto. Kecepatan mereka serta kagresifan keduanya membawa pertempuran lebih jauh. Sama seperti apa yang terjadi sebelumnya dengan Kurama
"Kembali bekerja, Jasper mengizinkan. "Anggap saja seri."
Semua mendapat giliran, Carlisle, kemudian Rosalie, Esme, dan Emmett lagi. Kemudian Jasper memperlambat gerakannya, meskipun tetap tidak cukup lambat bagiku untuk memahami gerakan-gerakannya, dan memberi lebih banyak instruksi.
"Kalian mengertikan maksudku melakukan ini?" Jasper sesekali bertanya. "Ya, persis seperti itu, ia membesarkan hati. "Konsentrasi pada sisi-sisi. Jangan lupa di mana target mereka berada. Terus bergerak."
Naruto memperhatikan dari sisi lapangan. Dia duduk di atas rumput menyimak apa yang sedang dijelaskan Jasper. Sama seperti dirinya, para serigala juga sedang melakukan hal yang sama. Terkadang, mereka akan melirik Naruto atau Kurama. Mau tak mau mereka kembali berpikir siapa dan bagaimana kedua manusia itu dapat mengikuti latihan ini.
Edward yang mengetahui pikiran mereka, tetap diam di sepanjang waktu. Ia hanya akan berbicara jika Sam, sang pemimpin yang memintanya. Lebih dari itu? Edward tak repot-repot untuk melakukannya. Menyaksikan sang kekasih duduk menyimak dengan dagu yang bertumpu, Edward menghampirinya.
Pria itu duduk di samping Naruto yang masih asyik menyimak Jasper. Matanya sempat melirik Edward, tapi Naruto kembali memperhatikan saudara lelakinya itu. Mata Edward melirik mentari yang sudah menaik. "Mengantuk?" tanya Edward menyingkap helaian rambut Naruto yang menghalangi pandangannya.
Naruto membiarkan Edward berbuat semaunya. Tanpa menoleh, ia berkata, "Nope. I'm Okay."
"No. You're not," sanggah Edward. "Kamu tadi malam, tidur terlalu larut dan harus bangun jam 3-nya, kamu nanti kurang tidur, Sayang," lanjutnya khawatir.
Naruto menghela napas. "Aku gak apa-apa, kok. Lagipula ini sebentar lagi selesai, 'kan?" tanyanya menoleh pada Edward. Dia tersenyum. "Aku cuma gak mau nantinya aku kehilangan kesempatan untuk belajar."
Edward yang melihat senyum Naruto, tiba-tiba terkekeh. "Astaga, kekasihku ini sangat imut, ya?"
Naruto mengeluarkan tawa tertahan. "Baru sadar?"
Edward mengacak-acak rambut kekasihnya dengan lembut. "Setelah ini kita sparring, ya? Bareng dengan Kurama. Aku masih penasaran dengan apa yang bisa kalian lakukan."
Naruto mengedipkan sebelah matanya. "OK." Satu kata itu dan Edward dengan mudahnya tertawa. Narutonya benar-benar unik.
Jasper memanggil keduanya dengan melambaikan tangan. Melihat itu, Edward berdiri dari duduknya kemudian membantu si pirang agar berdiri. Dengan berpegangan tangan, keduanya berjalan menghampiri coven dan sepuluh serigala besar tersebut.
Jasper menoleh kepada para serigala itu untuk pertama kali, ekspresinya kembali terlihat tidak nyaman. "Kami akan melakukan ini lagi besok. Silakan bila ingin mengobservasi lagi."
"Baik, jawab Edward dalam suara Sam yang dingin.
"Kami pasti datang." Kemudian Edward mendesah. Ia berpaling kepada keluarganya.
"Kawanan serigala berpendapat, akan sangat membantu bila mereka bisa mengenal bau kita masing-masing, sehingga mereka tidak melakukan kesalahan nantinya.
Kalau kita bisa berdiri diam tak bergerak, itu akan lebih mudah bagi mereka."
"Tentu boleh, Carlisle menjawab pertanyaan Sam. "Apa pun yang kalian butuhkan."
Terdengar geraman rendah dan parau dari kawanan serigala saat mereka berdiri.
Sam mendekati Carlisle di tempatnya berdiri di bagian depan, kawanan yang besar itu membuntuti tepat di belakang ekornya. Jasper mengejang, tapi Emmett, yang berdiri di sebelah Carlisle pada sisi yang lain, menyeringai dan rileks. Sam mengendus Carlisle, sepertinya sedikit meringis saat melakukannya. Lalu ia mendekati Jasper.
Naruto mengawasi dengan penuh semangat. Ini kedua kali untuknya membiarkan hewan memiliki baunya. Itu Akamaru yang pertama. Heum setelah diperhatikan ternyata ukuran Akamaru masih jauh dari kata besar ketika melihat para serigala ini. Kurama yang disebelahnya meringis. Naruto menyikutnya untuk bertanya ada apa dan dibalas dengan desisan tak nyaman.
Bibir Naruto tersenyum geli melihat Sam yang menciumi tubuh Kurama dengan moncong besarnya. Mata si gadis manusia yang seharusnya memancarkan ketakutan justru terlihat sangat bersemangat. Setelah gilirannya, tubuh Naruto rileks dengan tawa yang bersinar riang di matanya. "Aku wangi, ya?" celetuk gadis itu saat Sam sedang mengingat bau manusia ini.
Alis serigala Sam terangkat dan semakin menggerung aneh saat Naruto justru terkagum-kagum melihatnya. Lupakan. Gadis ini memang sangat unik. Bukankah dia memang tahu itu sejak awal?
Para serigala lainnya bergiliran mulai mencium bau satu persatu orang atau vampir dalam coven. Kemudian itu menjadi giliran serigala terbesar kedua setelah Sam untuk mencium. Serigala berlulu coklat kemerahan itu berjalan dengan langkah kaki tak peduli. Sangat kontras dengan serigala lainnya yang seakan risih mencium.
Ketika dirinya menatap serigala besar itu, mata si serigala juga menatapnya. Naruto mengerjap melihat mata serigala yang harus ia akui sangat indah. Mungkin yang kedua favoritnya setelah mata Edward. Dan ketika serigala itu menciumnya, Naruto agak geli dengan napas yang dikeluarkan dari moncongnya itu.
Setelah serigala coklat kemerahan itu, serigala terakhir yang berwarna abu-abu terang mulai menciumnya. Sama seperti serigala lain, ketika mencium bau Naruto yang menyerupai Edward, tetapi jauh lebih menyenangkan menciumnya dibandingkan bau Edward secara langsung. Naruto tertawa saat serigala abu-abu terang itu menciumnya dengan canggung. Tanpa keberatan, tangan Naruto terangkat mengusap leher lebat si serigala.
Secara otomatis, serigala yang canggung itu tampak jauh lebih nyaman. Merasakan bulu lebat dan lembutnya serigala di tangannya, mata Naruto melengkung manis. Ia tampak nyaman saja dengan itu. Selesai mengingat bau Naruto, serigala itu mundur dan menyodorkan moncongnya. Tanpa keberatan, tangan Naruto mengelus moncong si serigala dengan hangat dan tertawa. Senang sekali sepertinya diizinkan untuk melakukan itu.
Serigala abu-abu terang itu menggeram senang. Si besar ini sepertinya sangat nyaman untuk melakukannya. Melirik Edward yang berada di samping si pirang, serigala besar itu dengan enggan menjauh dari Naruto dan mulai menciumi bau Edward dengan risih dan terkesan tersiksa. Raut wajah si serigala itu membuat Naruto lagi-lagi menahan gelinya.
Sepertinya Naruto bahkan tak sadar kalau dia diperhatikan oleh sembilan serigala lain dan keluarga Cullen. Semuanya tampak terperangah melihat itu. Bahkan Edward mengharapkan kalau Narutonya mungkin akan takut, tapi dia malah senang dan geli.
Mengawasi semua vampir dan serigala itu, Kurama menyeringai geli tanpa menyembunyikannya. Pesona Naruto untuk hewan memang sangat sulit ditepis. Hewan adalah teman Naruto sebelum dirinya membentuk ikatan pertemanan dengan manusia lain. Kecuali ular, Naruto dapat dengan mudah berteman dengan mereka. Khususnya para katak. Jadi, tak heran kalau para serigala ini menyukai Naruto.
Serigala-serigala lain sekarang mundur menjauh, tak melepaskan pandangan sedikit pun dari keluarga Cullen saat mereka pergi. Dalam sekejap mereka menghilang meninggalkan serigala berwarna coklat kemerahan dan dua serigala lain yang mengawasi dengan gelisah. Serigala besar kemerahan itu melangkah ke arah Naruto dan Edward meski harus memutari keluarga Cullen.
Serigala besar itu memandang Edward dengan tubuhnya yang berdiri tegap dengan keempat kaki. Naruto tahu dia tengah berbicara dengan Edward. Mata serigalanya menunjukkan itu.
"Aku belum sempat memikirkan semuanya secara mendetail, kata Edward, menjawab pertanyaan yang mungkin diajukan serigala ini.
Si serigala menggerutu sebal.
"Ini lebih rumit daripada itu, kata Edward, jangan khawatir. Aku akan memastikan semuanya aman.
Kening Naruto mengernyit. Ini Edward sedang menerjemahkan atau menjawab? Sepertinya yang kedua. "Kalian bicara apa?" tanya Naruto penasaran.
"Hanya mendiskusikan strategi, kata Edward.
Kepala serigala itu bergerak kian kemari. . Kemudian, tiba-tiba, ia berlari menuju hutan. Saat ia melesat pergi, untuk pertama kalinya barulah Naruto melihat sejumput kain hitam terikat di kaki belakangnya.
Naruto memiringkan kepalanya. "Eh? Kok pergi?" beonya heran.
"Nanti dia kembali, kata Edward. Lalu ia mengembuskan napas. Dia ingin bisa bicara sendiri.
Tak berapa lama, sesosok pria yang dikenalnya berjalan keluar dari kawasan hutan gelap. Dadanya yang bidang telanjang. rambutnya awut-awutan dan gondrong. Ia hanya mengenakan celana hitam ketat, kedua kakinya telanjang menginjak tanah yang dingin. Itu Jacob.
Mata Naruto melebar. Hey, jadi serigala tadi adalah Jacob? Mulutnya terbuka tak percaya. "Wow! Serigala tadi itu kamu?" tanya Naruto terkejut dengan mata yang memperhatikan Jacob?
Tidak butuh waktu lama bagi Jacob untuk menyeberangi lapangan, walaupun ia memutar sejauh mungkin dari keluarga Cullen, yang berdiri mengobrol dalam lingkaran.
"Oke, pengisap darah, sergah Jacob setelah ia berada berapa meter dari mereka, melanjutkan pembicaraan yang tidak bisa kuikuti tadi. "Memang apanya yang rumit?"
Kening Naruto berkerut. Ia sama tak sukanya dengan Jacob yang mengatakan itu. Ya, walau memang betul, sih, Edward meminum darah, tapi dia tetap gak suka!
"Aku harus mempertimbangkan setiap kemungkinan, kata Edward, tetap tenang. "Bagaimana kalau ada yang berhasil menyelinap melewati kalian?"
Jacob mendengus mendengarnya. "Oke, kalau begitu tinggalkan saja dia di reservasi. Kami memang akan menyuruh Collin dan Brady tetap tinggal di reservasi. Dia pasti aman di sana."
"Dia siapa? Kalian membicarakan aku, ya?" tanya Naruto bingung saat mata Jacob meliriknya.
"Bella. Dia tidak akan aman di kota Forks sendirian," jawab Edward seraya meringis. Matanya menatap takut-takut pada Naruto. Takut kalau gadis itu akan salah paham padanya.
Mendengar itu, Naruto langsung diingatkan. "Eh, benar, ya Bella, 'kan, manusia biasa. Jangan biarkan dia sendiria," katanya memeringati. Tak ada rasa cemburu di matanya. Itu benar-benar tulus mengkhawatirkan Bella.
"Tapi, bagaimana kalau dia ditinggalkan di La Push saja?" sela Jacob, tidak sabar.
"Dia sudah terlalu sering bolak-balik ke sana, kata Edward. "Dia harus sulit ditemukan, hanya untuk berjaga-jaga. Memang tepat, tapi aku tak mau mengambil risiko."
Jacob melambaikan tangan ke hutan lebat di sebelah timur, ke Pegunungan Olympic yang membentang sejauh mata memandang. "Sembunyikan saja dia di sana," ia menyarankan. "Ada jutaan kemungkinan di sana di tempat-tempat salah seorang dari kita bisa mencapainya hanya dalam beberapa menit bila memang dibutuhkan."
Edward menggeleng. "Baumu dan Bella sudah tercampur. Itu terlalu kuat dan jejaknya akan menarik perhatian mereka. Kami tidak yakin jalan mana yang akan mereka lalui, karena mereka belum tahu. Kalau mereka mencium baunya sebelum menemukan kalian....
Mereka sama-sama meringis, alis keduanya bertaut. "Kau paham, 'kan, kesulitannya.
"Pasti ada jalan untuk mengakalinya," gerutu Jacob. Matanya memandang garang ke hutan, mengerucutkan bibirnya.
"Kalau bau kalian terlalu kuat, bagaimana jika aku saja yang menjaga Bella," saran Naruto. Dia ingin berada di garis depan, tapi kalau itu dibutuhkan, Naruto tidak keberatan menjaga Bella.
"Tidak," sergah Edward langsung. "Kalian manusia dan bau Bella akan semakin mencolok jika itu hanya kalian."
Naruto menggaruk kepalanya. "Terus bagaimana??" lalu matanya melirik pada Edward. "Kalau dicampur bau Edward bagaimana? 'Kan kalian sama-sama vampir terus mereka juga tahu kamu kekasihku. Jadi, mereka pasti akan mengira kalau aku yang sebenarnya disembunyikan oleh Edward."
Mata Jacob berkedip. "Apakah akan berhasil?" tanyanya keberatan. Dia melirik Edward yang bingung harus berbuat apa.
"Kupikir, ya. Kemudian aku bisa bersamamu sekaligus menggunakan baju Bella supaya mereka pikir aku itu Bella," lanjut Naruto dengan mata yang cemerlang.
"Apa maksudmu kamu akan menjadi umpan?" sela Edward. "Aku gak setuju!"
"Oh, ayolah, Ed! Aku bisa bertarung dengan mereka sementara Bella tidak. Itu akan lebih aman untuknya," keluh Naruto.
"Tapi, kamu bisa dalam keadaan yang berbahaya!"
"Ed! Yang mereka incar itu Bella!" gerah Naruto frustasi. Edward benar-benar overprotektif terhadapnya! "Kalau Bella kenapa-kenapa itu semuanya akan berantakkan!"
"Apa yang dikatakan Edward benar. Itu berbahaya bagimu," sela Jacob kebingungan. Apakah dia rela untuk mempercayakan Bella pada Edward yang notabenenya mantan kekasih Bella sendiri? Lalu bagaimana dengan Naruto yang membahayakan dirinya sendiri?
Mata Naruto mengeluh terhadapnya. "Jangan kamu juga, Jacob," katanya lelah. "Kita coba dulu rencana ini, ya? Kumohon, Ed. Aku janji aku akan baik-baik saja," bujuk Naruto pada Edward. Dia dengan keras kepala menatap kekasihnya; menuntut permintaannya dikabulkan.
Edward menatap dalam-dalam mata Naruto. Pada akhirnya, dia mengangguk dan berkata tegas, "Dengan satu syarat! Kamu gak boleh terluka dan kalau ada apa-apa cepat berikan sinyal.
"Mengerti, Naruto memasang pose militer. "Siap, Bos! Aku mengerti!" ia tersenyum lebar lalu menatap Jacob. "Kamu setuju, 'kan? "
Jacob meringis. "Baiklah," katanya setengah hati. "Ayo, kita mencobanya. Akan kita lihat apakah aku bisa cukup mengecoh baumu untuk menyembunyikan jejakmu, ujarnya menjelaskan.
Edward menghela napas dalam-dalam saar kedua tangan Jacob terulur pada Naruto. Si pirang mengernyit dan menatap aneh pada kedua tangan yang terulur itu. "Kau harus membiarkannya memelukmu, Naru," Edward menjelaskan dengan tenang. Matanya berkelip-kelip tak senang.
Tak peka, Naruto dengan mudahnya setuju lalu mendekati Jacob. Agak canggung, Jacob menarik kekasih Edward itu ke pelukannya seraya menatap lurus pada Edward yang cemburu. Terlihat dari wajahnya yang menggelap akibat maniak ramen itu setuju dengan mudah.
Dengan wajah gelap, tapi kalem itu, Edward berkata pada Jasper. "Bau Naruto jauh lebih tajam bagiku—jadi kupikir, akan lebih adil bila orang lain yang mencoba."
Jacob hanya mengangguk dan membelakangi mereka lalu berlari cepat ke dalam hutan. Di pelukannya, Naruto hanya disambut oleh kegelapan. Matanya mengedar mencoba melihat apa yang ada dalam kegelapan. Terlalu susah, Naruto menyerah dan hanya diam kembali dalam pelukan Jacob.
Mereka tidak pergi terlalu jauh; Jacob berjalan mengikuti pola melengkung yang lebar dan kembali ke lapangan dari arah berbeda, mungkin setengah lapangan jauhnya dari titik keduanya berangkat tadi. Edward berdiri bersama Alice serta Jasper dan Jacob menghampirinya. Menurunkan Naruto beberapa meter jauhnya dari Edward, gadis pirang itu langsung menghampiri sang kekasih.
" Bagaimana?" tanyanya.
"Asal kau tidak menyentuh apa-apa, Naru, aku tidak bisa membayangkan ada yang mau repot mengendus-endus tanah untuk mencari baumu, kata Jasper, nyengir. "Baumu hampir sepenuhnya tersamarkan.
"Sukses besar, Alice sependapat, mengernyitkan hidung. "Dan aku mendapat ide yang pasti akan berhasil, imbuh Alice penuh percaya diri.
"Cerdik, Edward sependapat.
"Apa??" tanya Naruto penasaran melihah Alice.
Edward menjelaskan, "Kami, well, kau, akan meninggalkan jejak-jejak
palsu menuju lapangan, Naru. Para vampir baru itu
sedang berburu, jadi baumu akan membuat mereka
bergairah, dan mereka akan datang tepat ke tempat yang
kami inginkan tanpa kami harus berhati-hati mengenainya.
Alice sudah bisa melihat rencana ini pasti berhasil. Saat
mereka menangkap bau kami, mereka akan berpencar dan
berusaha menyerang kami dari dua sisi. Setengah masuk ke
hutan, tempat visi Alice tiba-tiba menghilang..."
"Yes!" desis Jacob.
Edward tersenyum pada Jacob, benar-benar senyum bersahabat. Kamu akan membawa Bella ke sini Jumat siang untuk menyebarkan jejak palsu. Kalian bisa menemui kami sesudahnya, dan membawanya ke tempat yang kuketahui. Tempatnya terpencil, mudah dipertahankan, walaupun bukan berarti pasti akan seperti itu. Aku akan mengambil rute lain menuju ke sana."
"Lalu bagaimana? Meninggalkannya dengan ponsel?" Tanya Jacob kritis.
"Kau punya ide yang lebih bagus?"
Tiba-tiba Jacob tampak puas. "Ya, ada.
"Oh.. Baiklah, anjing, lumayan juga idemu.
Mendengar itu, Jacob menoleh ke Naruto dengan puas. "Kami berusaha membujuk Seth untuk tinggal bersama dua serigala muda lainnya. Dia masih terlalu muda, tapi keras kepala dan pemberontak. Jadi terpikir olehku untuk memberinya tugas lain—ponsel."
Mata Naruto mengerjap. Dia tak menyembunyikan rasa kebingungan dan tak mengertinya. Edward tersenyum lalu menjelaskan, "Selama Seth Clearwater menjadi serigala, dia bisa terus berhubungan dengan kawanannya. Jarak tidak masalah?" Edward, menoleh kepada Jacob.
"Tidak.
"Empat ratus delapan puluh kilometer?" Tanya Edward. "Mengesankan.
Jacob kembali berbaik hati. "Itu jarak terjauh yang pernah dieksperimenkan, ia menjelaskan pada Naruto. "Masih sangat jelas.
Naruto mengacungkan jempolnya. "Kerennn!" itu membuat Jasper menyengir senang karena dipuji.