Siangku kali ini terasa tidak menyenangkan. Aku kembali bersama lelaki yang sejatinya tidak ingin kutemui lagi. Lelaki itu adalah mas Bintang. Dia siang ini bersamaku, bahkan membawaku pergi dari butik. Dia membawaku ke suatu tempat yang menjadi titik traumaku. Tempat itu adalah sebuah kantor. Kantor cabang perusahaan yang ia gadang-gadang kemarin.
Jam makan siangku harusnya dihabiskan dengan Azura, tetapi kali ini malah jalan-jalan di dalam kantor. Bukannya makanan, aku malah disuguhkan pemandangan hiruk-pikuk manusia perkantoran yang berseliweran. Bukannya kenyang, aku malah merasa ingin pergi secepatnya dari tempat ini. Aku tidak sanggup berada di sini.
Semua omongan mas Bintang yang mengenalkan seluk beluk kantor ini dan beberapa divisi kerja, tidak kudengarkan dengan baik. Aku mendadak meriang. Hal ini dikarenakan memori buruk tentang perselingkuhan mas Bintang dengan Yurike memenuhi otakku, bahkan terpampang jelas seperti sedang dipresentasikan. Yang paling kuingat adalah mas Bintang berciuman di dapur kantor dengan Yurike. Ciuman mereka lebih dari ciuman mas Bintang kepadaku.
Sakit. Jelas.
Dia memperlakukan orang lain melebihi diriku yang statusnya adalah istrinya.
Parah.
Sambil menahan rasa tidak nyaman, aku tetap mengekori mas Bintang yang masih menjelaskan kantor ini. Sesekali aku menoleh ke arah dinding kanan dan kiri. Di sana terdapat beberapa lukisan beraliran romantisme, naturalisme, dan abstrak. Bagus, sih, untuk memperindah ruangan. Terlebih warna mint atau hijau pastel menjadi cat utama atau seluruh dinding kantor. Tentu saja menambah kesan segar di sini.
Tapi kenyataannya aku tidak merasa segar walau warna cat dinding itu adalah warna kesukaanku.
Mungkin karena dipakai mantan suami, jadinya aku tersugesti demikian.
Kami terus berjalan hingga akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan. Aku tidak melihat itu ruang apa. Aku hanya mengikuti mas Bintang masuk ke dalam sana. Aku baru sadar kalau ruangan itu merupakan ruangan untuk general manager. Oh, ini calon ruanganku kalau setuju dengan tawaran pekerjaan darinya.
"Ini ruangan general manager. Ini bakal jadi ruangan kamu. Mas desain khusus ruangan ini buat kamu agar kamu nyaman kerja di sini," ujar mas Bintang dengan percaya diri.
Aku sontak mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan ini. Ruangan ini didominasi warna hijau pastel. Ada tanaman tropis yang namanya tanaman monstera, tanaman sulur dan tanaman sukulen. Meja kerja warna putih dengan kursi yang terlihat empuk. Ada hiasan dinding berupa pigura kata-kata mutiara yang tersusun seperti tangga. Sementara itu, lantainya beda dari yang lain. Lantai di ruangan ini terbuat dari kayu.
Menakjubkan. Sesuai seleraku sekali.
"Bagus. Tapi..." aku berbalik menghadap mas Bintang. "...aku gak mau kerja sama mas." kataku.
Mas Bintang menatapku sejenak lalu mengalihkan pandangannya. Tidak lama kemudian, lelaki berusia dua puluh enam atau dua puluh tujuh itu bergerak ke arah jendela yang ditutupi kain gorden warna abu-abu. Disibaknya kain tersebut hingga pemandangan atap-atap bangunan dapat terlihat. Aku cukup takjub karena melihat pemandangan di luar sana.
Apik.
Mas Bintang berbalik ke arahku lagi. Badannya kini disandarkan pada tepian jendela. "Mas bakal gaji kamu sesuai yang kamu minta. Dua puluh juta 'kan? Mas sanggupi juga."
Lelaki ini tidak sadar juga rupanya.
Bukan masalah gaji, tetapi masalah perasaan.
Bagaimana bisa aku bekerja dengan mantan suami yang mengkhianatiku sedemikian rupa?
Aku bisa saja terpacu pada gaji dua puluh juta dengan risiko pekerjaanku lebih banyak. Namun, aku belum sepenuhnya sembuh. Jujur saja, aku masih sakit karena kehilangan mas Bintang. Lelaki yang kuabdikan seluruh hidupku padanya walau awalnya dia orang asing.
Malah nostalgia 'kan.
Mas Bintang sudah move on, sedangkan aku belum sepenuhnya.
Aku lantas memeluk diri sendiri dengan kedua tangan. Kulangkahkan kaki menuju kursi manager. Kududuki bantalan kursinya. Empuk. Kursi ini sangat empuk. Penatku seketika lenyap.
"Aku udah bilang! Aku gak minat kerja sama mas Bintang. Ada pekerjaan lain yang pantas buat aku. Walaupun gajinya rendah, yang penting gak bikin aku harus nostalgia melulu." kataku tanpa menatapnya. Aku fokus menatap jam pasir di sudut meja.
"Kamu masih memikirkan soal kita?" tanya mas Bintang.
Bodoh.
Tentu saja.
Kalau dia muncul, ingatan itu tanpa permisi langsung hadir.
Mas Bintang dengan balutan jas dan celana hitam yang dipadu kaus putih itu menatapku. Aku menatapnya balik dengan tatapan datar. Supaya dia tahu bahwa aku mulai baik-baik saja, atau cenderung tidak suka dengan keberadaannya.
"Apa kamu belum menemukan orang baru?" tanya ia lagi setelah beberapa saat bertatapan.
"Aku..." sial, napasku tercekat. "Apa urusannya dengan mas?"
Mas Bintang bersedekap. "Tentu saja urusanku. Kamu masih tanggung jawab, Mas. Sampai kapanpun rasanya. Selain itu, keputusan kamu baik mau kerja ataupun bersuami lagi harus didiskusikan denganku."
Aku ingin mas Bintang berada di posisiku sehingga dia tahu bagaimana susahnya aku.
"Mas bukan ayahku atau masku! Berhentilah seperti itu! Mas menyebalkan! Sialan!" jeritku tanpa sadar. Aku mendadak emosi karenanya.
Mas Bintang yang dulu hilang, mendadak hadir, dan mulai ikut campur atas hidupku. Dengan embel-embel "tanggung jawab", dia merusak hidupku lagi. Tidak puaskah ia membuatku sakit?
"Ai, mas cuma mau yang terbaik buat kamu. Meskipun kita sudah bercerai, mas mau kamu dapat yang lebih baik. Entah itu pekerjaan atau suami. Setidaknya ada yang membuat kamu bahagia." tandasnya. Ia lantas bergerak ke arah sofa di tengah ruangan. Ia mendudukkan diri di sana sembari memainkan ponselnya.
Ia bertingkah seolah-olah yang sudah terjadi hanyalah angin lalu.
"Sudah, deh, Mas. Gak usah sok peduli sama aku. Mas punya Yurike. Urus saja wanitamu itu." tukasku. "Aku bisa hidup sendiri tanpa mas Bintang. Aku bukan anak kecil lagi. Mas Bintang pergi aja kayak dulu. Gak usah balik ke aku kayak gini. Aku gak suka."
Aku pun terdiam, menatap jam pasir di sudut meja. Perasaanku semakin campur aduk. Inginku segera pergi dan menghilang dari hadapan mas Bintang. Namun, dia pasti tidak akan membiarkanku pergi.
"Kamu laper gak? Mas mau pesan makanan." katanya dari sofa. Ia mengalihkan pembicaraan. "Kita makan siang, ya?"
"Puasa." alibiku. Aku sedang malas makan dengan lelaki itu.
"Puasa? Senin-Kamis?" ia bertanya, agak heran karena aku bilang puasa.
"Memangnya kenapa? Masalah?" todongku. Nadaku saat bertanya ternyata mirip seperti adegan pemeran antagonis di FTV.
"Enggak, sih. Mas kaget aja kamu puasa."
Ck. Lelaki ini.
"Biasa ajalah. Dulu aku sering puasa juga biar aku gak gendut. Biar kamu gak kepincut orang lain. Kayak gak pernah lihat aku puasa aja," sindirku sambil menatapnya tajam. Mas Bintang hanya menatapku datar.
"Ya, sudah. Mas mau makan. Nanti mas pesankan makanan buat kamu buka," tanggapnya kemudian.
Aku mendengus kesal sejenak, lalu mengetukkan jari di atas meja. Selagi mas Bintang sibuk dengan ponselnya, aku melamun. Aku melamun (teringat) tentang pernikahanku dengannya dulu. Pernikahan kami tidak meriah, tetapi cukup berkesan. Entah karena mas Bintang selalu merangkul pinggangku atau senyum yang ditampilkan itu sangat tulus—senyum mengayomi.
Indah sekali, tetapi harus kandas.
Di saat aku sedang melamun, secara tidak sengaja aku kepikiran soal cheesecake. Aku tidak tahu bagaimana bisa lompat dari masa lalu dengan mas Bintang ke ingatan soal cheesecake kemarin. Cheseecake terenak itu ditujukan padaku, tetapi di suratnya tertulis untuk Lilliane dari Edward.
Siapa itu Lilliane dan siapa itu Edward?
Aneh.
Kalau untuk Lilliane, kenapa alamatnya ditujukan untukku?
Masa aku Lilliane?
Kayaknya salah alamat, deh.
"Aira!" seseorang memanggil namaku, membuatku terlonjak kaget. Ternyata mas Bintang yang memanggilku barusan. Lelaki ini sedang berdiri di hadapanku dengan raut wajah khawatir.
"Gak usah teriak, dong! Bikin kaget aja!" seruku sambil memegangi dada. Aku kaget sekali hingga jantungku berdetak kencang.
"Lagian kamu dipanggil enggak nyahut! Mana bengong lagi! Mas takut kamu kesurupan entar!"
Aku menatapnya tajam. "Yang benar aja!"
Mas Bintang mendengus kemudian mengecek ponselnya lagi. Aku menghela napas karena ini semua membuatku pusing. Tampaknya aku harus mendapatkan air atau minimal membasuh muka agar lebih baik.
"Aku mau cuci muka dulu." tukasku sambil berdiri dari tempat duduk.
Tanpa menunggu jawaban mas Bintang, aku beranjak dari tempatku tadi ke pintu ruangan. Namun, sebelum aku berhasil keluar, mas Bintang menarik tanganku. Ia menyudutkanku ke tembok, dan menatapku lekat-lekat. Aku syok karena adegan ini terjadi lagi. Bedanya dulu saat kami bersama. Lantas sekarang sudah berpisah.
"Minggir!" seruku galak. Bukannya minggir, dia malah menipiskan jarak di antara kami. Saking dekatnya, suara dan deru napas lelaki itu yang bau kopi sampai tercium olehku.
"Mas, jangan macem-macem!" aku mulai panik begitu mas Bintang tidak mengindahkanku. Ia malah membelai pipiku sambil tersenyum miring.
"Mas—"
"Dengar Aira, mulai besok kamu kerja di sini. Gak ada protes lagi! Ini demi kamu sendiri! Kalau kamu gak mau..." Mas Bintang mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Kamu rujuk sama mas."
Sore menjelang saat aku berjalan kaki sendirian di jalanan kompleks. Aku baru pulang dari minimarket untuk membeli camilan dan pembalut. Rencananya mau beli di malam hari bersama Azura di supermarket, tetapi Azura nanti malam diundang ke acara nikahan sepupunya. Alhasil, aku yang baru pulang dari butik langsung melipir ke minimarket sejenak.
Sembari berjalan, aku mengecek emailku lewat gawai. Katanya hari ini ada pengumuman penerimaan kerja di Aggie cake dan restoran milik Haykal Asyad. Kedua tempat yang kukirimi surat lamaran kerja itu hari ini akan mengumumkan hasilnya. Aku ingin tahu apakah aku lolos atau tidak. Harapanku lolos, tetapi kalau lolos rasanya tidak bisa mendaftar ulang. Aku sudah masuk ke dalam perjanjian lain yaitu perjanjian dengan mas Bintang.
Aku, sih, tidak setuju. Aku tidak mau bekerja dengannya walau gajinya dua puluh juta. Namun, kalau aku tidak bekerja dengannya, dia akan mengajukan rujuk. Meskipun rujuk haruslah disetujui oleh dua belah pihak, mas Bintang pasti bisa melakukan apa saja.
Keuntunganku hanya sekian persen, sedangkan kerugianku sekian besar persen.
Aku benar-benar menyesal telah hadir di hidupnya kalau tahu akan berakhir seperti ini.
Aku lantas berhenti di pinggir jalan begitu menemukan dua pesan dari pengirim yang berbeda. Pesan pertama berasal dari Aggie cake, sedangkan pesan kedua berasal dari restoran milik Haykal Asyad. Dari kedua pesan itu aku ditolak oleh Aggie cake. Namun, dari restoran ternama itu aku diterima. Spontan saja, aku kegirangan lantaran diterima untuk tahap selanjutnya.
Senang, sih. Di tempat terkenal itu aku bisa jadi pramusajinya. Tidak mengapalah aku ditolak oleh Aggie cake.
Aku pun kembali merajut langkah menuju rumah. Hanya butuh beberapa langkah lagi aku akan tiba. Kiranya dua puluh langkah kubutuhkan untuk tiba di rumah penuh kenangan itu. Begitu sampai, aku disambut oleh suara air di kolam renang dan bunga-bunga bermekaran di taman kecil di dekat kolam.
Sembari kembali berjalan, aku mencari kunci rumah di dalam tas jinjing di lenganku. Benda itu kemudian kugunakan untuk membuka pintu. Akan tetapi, begitu pintu rumah terbuka, aku mencium bau mawar pekat dari dalam rumah. Baunya terlalu menyengat hingga aku merasa pusing dalam sekejap.
Aneh.
Aku tidak pernah memakai atau meletakkan benda yang berbau mawar. Lantas kenapa rumahku sekarang bau mawar? Baunya juga pekat sekali. Seperti satu liter parfum mawar ditumpahkan di lantai ruangan ini.
Aku mencoba memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah. Aku mengecek kondisi ruang tamu sambil menutup hidung. Di sini aman. Tidak ada tanda-tanda atau bekas benda berbau mawar. Aku lanjut mengecek rumahku, terutama kamar dan dapur. Hasilnya nihil. Tidak ada benda berbau mawar atau keanehan di sana. Bau yang kucium sekarang ini seperti tidak ada asalnya.
"Permisi!"
Di saat aku sedang berpikir, suara seseorang mengejutkanku. Aku pun berbalik, melangkah ke depan rumah. Di sana ada sosok laki-laki berambut hitam menggunakan kemeja abu-abu dan celana jeans sobek-sobek. Ia berdiri di depan pintu sembari memegang sebuah kantung plastik.
"Siapa?" tanyaku padanya. Kali ini aku masih sambil menutup hidung.
"Ah, nama saya Romeo Ezra. Tetangga baru di samping rumah kamu." jawabnya sambil tersenyum.
Aku lalu melepas jepitan tangan di hidungku, sekadar untuk membalas sapaannya. Namun, begitu terlepas, aku tidak lagi mencium bau mawar pekat. Di hadapannya kini, aku mengerjapkan mata berkali-kali saking herannya.
"Kenapa?" dia bertanya padaku. Ekspresinya berubah seketika.
Aku langsung menyengir sambil menggeleng, berusaha menutupi kejanggalan itu. "Gak apa, kok. Maaf."
"Gak perlu minta maaf." jawabnya. "Eh, boleh masuk? Bicara bentar boleh, dong, biar akrab," usulnya. Aku menganggukkan kepala.
Hampir lupa kalau dia belum kupersilahkan masuk.
"Masuk dulu, sini!" ajakku padanya. Aku berjalan lebih dulu ke sofa, disusul olehnya. Kami lantas duduk saling berhadapan di ruang tamu.
"Oh, ya, perkenalkan aku Aira." aku menjulurkan tangan padanya. Ia sambil tersenyum menjabat tanganku.
"Oke, Aira. Saya Romeo Ezra. Kamu bisa panggil saya Romeo atau Ezra. Sesuka hati kamu,"
Lagi-lagi dia tersenyum. Senyumnya yang lebar membuatku terperangah. Entahlah, terlihat seperti pernah melihat senyum itu.
"Omong-omong, ini saya bawakan kamu cheesecake. Dimakan, ya. Semoga kamu suka," dia yang akan kupanggil Ezra ini menyodorkan kantung plastik itu. Ia memberiku sekotak cheesecake dengan ramah.
Aku menerimanya dengan perasaan senang. Pasalnya kue yang ia bawa berasal dari Aggie cake. Hm, suatu kebetulan juga tampaknya.
"Terima kasih," ucapku. Ezra kembali tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Kamu mau minum? Mau teh atau jus?" tawarku. Kali dia mau kubuatkan teh atau jus (mumpung ada buah jambu di kulkas).
"Gak usah. Gak apa. Saya gak haus, kok,"
"Oke...hehe..."
Sial, aku salah tingkah mendadak.
"Kamu tinggal sendiri?" tanya Ezra, yang kubalas dengan anggukan kepala.
"Aku tinggal sendirian." jawabku memperjelas.
"Hm, bagus, deh. Kita bisa hang out bareng-bareng gitu." katanya lagi. Aku sedikit aneh mendengarnya, tetapi aku mengiyakan saja.
"Ezra pindahnya kapan?" tanyaku. Aku hampir lupa menanyakan ini.
"Tadi pagi baru pindah. Oh, ya, sebelumnya saya dari Makasar. Pindah ke sini soalnya ada pekerjaan."
"Menetap?"
Ezra menganggukkan kepalanya. "Menetap untuk beberapa tahun."
Aku ber'oh'ria sebagai responsnya baru saja. Kasus Ezra mirip dengan beberapa tetangga di kompleks ini. Dulunya mereka juga pindah ke sini karena pekerjaan. Mereka ada yang menetap dan ada pula yang pergi setelah masa kerjanya habis.
Lelaki berwajah imut itu kembali tersenyum saat pandangan kita bertemu. Ia pun mengulurkan tangannya padaku. Tanpa ragu-ragu aku menjabat tangannya lagi.
"Semoga kita bisa menjadi tetangga yang baik, ya, Aira."
"Iya. Semoga bisa menjadi tetangga yang baik juga."
Aku tanpa diminta, membalas senyumnya. Sayangnya, semakin aku tersenyum atau menatapnya, ada sesuatu masuk ke dalam relung dadaku. Bentuknya tidak bisa dilihat dan diraba. Sesuatu tidak kasat mata ini membuatku perlahan-lahan merasa aneh.
Credit to : @.hanjiswife in twt and skzvintage
Next lagi kalo uda 200 vote ea