Dua minggu kemudian table manner benar-benar dilaksanakan. Silvi dan Tita menginap di kamarku karena acara akan dimulai pukul 08.00. Silvi yang memang susah bangun pagi merasa menginap di tempatku jauh lebih aman untuk menghindari terlambat datang. Sementara Tita memilih menginap di kosanku karena menurutnya datang ke acara sekeren ini dengan naik motor sendiri akan terlihat wagu. Oh ya, kami tidak berangkat ramai-ramai dalam rombongan satu kelas atau satu angkatan sehingga aku, Tita, Silvi, dan Anty memutuskan naik taksi menuju Hotel Dynasty, tempat acara berlangsung. Kami memutuskan patungan naik taksi karena Silvi, Tita, dan Anty tak mau rambut salon mereka rusak terkena helm kalau kami naik motor. Sementara aku menolak naik motor karena aku mengenakan rok panjang dengan model straight skirt. Buat jalan aja susah gimana buat naik motor? Apalagi rok itu hasil meminjam. Aku tak ingin urusan pinjam meminjam ini berubah jadi ganti mengganti karena rok yang kupinjam sobek gara-gara naik motor. Rok itu milik Fanny yang kebetulan punya beberapa koleksi rok. Jadi kupinjam satupun dia masih bisa ikut table manner dengan roknya yang lain. Aku membuat catatan mental untuk diriku sendiri: Belilah Rok! Mungkin saja rok itu berguna untuk acara-acara lain seperti ini atau untuk sidang skripsi kelak.
Pukul 06.00 Silvi dan Tita sudah heboh. Mereka mengantre kamar mandi di kosanku karena mereka sudah janjian dengan ibu pemilik salon depan kampus untuk menata rambut mereka tepat pukul 06.30. Ya, kamu ga salah baca. Mereka pergi ke salon untuk menata rambut demi ke acara table manner!
"Berisik banget sih kalian!" Aku menggumam sambil menutupi kupingku dengan bantal.
"Ih, Samira! Bangun ih! Udah jam 6!" Pekik Silvi. Astaga, dia ga pernah bangun jam 6 ya sampe-sampe sekalinya bangun jam segitu orang se-RT harus ikutan heboh.
"Terus kenapa kalo jam 6? Aku kan lagi ga solat. Aku pengen bobok lagi bentaran. Kan acaranya jam 8." Aku masih enggan beranjak dari kasur. Udara dingin Purwokerto yang berhembus lewat kisi-kisi jendela membuatku merinding. Aku tak mungkin mandi jam segini dan harus menunggu selama 2 jam.
"Kita berdua mau ke salon. Lo ikutan ga?" Tawar Tita yang jelas langsung kutolak.
"Aku ke salon ngapain?" Tanyaku seolah antusias. Tapi tetap saja kutarik selimut makin tinggi menutupi tubuhku hingga sebatas leher.
"Ya nyalonin jilbab kek. Diapain gitu biar ga sederhana banget," timpal Silvi.
Saat mendengar kata-kata Silvi barulah aku melempar selimut lalu terduduk di kasurku dan memandang Silvi dengan tatapan menuduh.
"Maksud kamu, aku kalo pake jilbab jelek gitu?"
Silvi terkikik. "Ih, bukan gitu, Mir. Lo sensitif amat sih kalo lagi dapet. Maksud gue, ini kan acara table manner diadain di hotel masa lo mau pake jilbab yang biasa aja kayak pas kuliah gitu? Kurang afdol dong ah." Silvi meluruskan.
"Emangnya si ibu salonnya bisa dandanin jilbab?" Tanyaku.
"Ga tau sih," kekeh Silvi.
Aku mendengkus. "Ogah ah daripada nanti jilbabku malah rusak. Udah sana kalian aja yang nyalon. Aku mau tiduran lagi bentar."
"Awas jangan sampe telat!" Tita memberi peringatan sebelum keluar dari kosanku bersama Silvi.
"Iya iya."
Beberapa saat kemudian Silvi dan Tita datang kembali ke kosanku dengan tatanan rambut super estetik. Tita yang berambut panjang rambutnya sudah bergelombang di bagian ujungnya dan diberi jepitan rambut mutiara yang semakin mempercantik penampilannya sedangkan Silvi yang berambut pendek dikeriting sehingga rambutnya mengembang. Silvi juga menanggalkan kacamatanya dan menggunakan lensa kontak sekali pakai sebagai gantinya.
Aku bersiul. "Cewek, godain aku dong!" Begitu mereka masuk ke dalam kamarku.
"Kirain lo belum mandi taunya udah siap aja," kata Tita. "Udah jam tujuh lima belas nih." Tita melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
"Bentar dulu ih. Aku belum selesai beberes jilbab. Enaknya pake yang ini apa yang ini?" Aku menunjukkan dua lembar jilbab yang warnanya cocok dengan pakaian yang kukenakan.
"Ini!" Tita dan Silvi kompak menunjuk selembar jilbab berwarna fuschia dengan aksen emas.
"Keliatan mewah kalo menurut gue." Silvi memberi pendapat.
"Pake yang pink malah mati dong kan sama ama baju lo," sahut Tita.
Akupun segera menyimpan kembali jilbab pink yang urung kupakai dan memasang jilbab fuschia itu di kepalaku.
"Pake bros ini atau ini?" Tanyaku lagi sambil menunjukkan dua buah bros koleksiku yang seringnya kudapat dari teman-teman yang memberi oleh-oleh setelah pulang kampung.
Bukannya menjawab, Silvi justru mengaduk-aduk kotak aksesorisku dan mengambil bros lain dari sana. "Ini aja!" Dia meletakkan sebuah bros bunga besar warna putih keperakan ke tanganku.
"Ini warnanya ga cocok, Vi!"
"Mir, lo make bros biar keliatan kan? Kalo warnanya nyaris sama ama jilbab lo jadinya nyaru. Kalo beda gini kan jadinya bros lo bisa lo jadiin statement item. Lagian, please deh, Mir, masa ke acara table manner lo mau make bros unyu-unyu gitu sih? Yang wah dikit lah."
"Tapi itu kegedean dan kayak emak-emak." Aku berusaha mempertahankan bros Hello Kitty pilihanku.
"Pake ini aja udah!" Silvi tidak sedang ingin dibantah jadi aku menurutinya saja. Lagipula Tita sudah heboh berkoar-koar bahwa waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan.
"Kita belum telepon agen taksinya loh," kata Tita.
Akhirnya setelah siap, kami segera turun dan menuju kosan Anty. Julia yang ternyata sudah bangun sempat memuji penampilan kami pagi itu sebelum kami menuruni tangga. Anty dan Naras sudah siap. Naras naik taksi bersama teman-teman lain yang sudah kumpul di kos mereka juga; ada Fara, Shanti, dan Fanny. Kamipun memanggil taksi yang datang sepuluh menit kemudian. Kelompokku dan kelompok Naras beriringan naik taksi menuju Hotel Dynasty. Ternyata sudah banyak orang yang datang dan menunggu di depan lobi.
"Heh, Boobs. Kamu seksi banget kayak Marylin Monroe." Sapa Tahu begitu melihat Silvi.
Alih-alih menganggap itu pelecehan verbal, Silvi justru menganggap itu pujian. Dia malah mengibaskan rambut keriting ala salonnya di depan Tahu. Rok pendeknya ikut berkibar tertiup angin. Purwokerto masih agak dingin jam segini. Tahu bersiul.
"Woy, Vi, kamu kalo dikeriting gitu seksi!" Abe juga ikut menimpali. Silvi cengar-cengir sementara aku geleng-geleng kepala melihat interaksi aneh mereka.
Cowok-cowok kelasku yang biasanya dekil bin kumal sekarang jadi tampak ganteng dengan setelan yang mereka kenakan. Radit tampak memakai setelan jas berwarna hitam dengan dasi abu-abu bermotif stripes putih-abu dan kemeja putih. Entah dia meminjamnya dari siapa. Setahuku dia sempat kelimpungan mencari pinjaman jas yang cocok untuknya karena tidak ada yang pas untuk tubuhnya yang tidak begitu tinggi. Para cowok kini memanfaatkan penampilan mereka yang lain dari biasanya untuk berfoto bersama menggunakan ponsel kamera bahkan ada yang niat sekali membawa kamera digital.
Cewek-cewek juga terlihat feminin dengan gaun atau rok-blus yang mereka kenakan plus high heels yang menambah keanggunan mereka. Aku merasa sedang melihat sisi lain temanku sendiri. Aku saja tadi nyaris terbahak melihat Anty mengenakan gaun putih pendek dengan aksen pita sebagai ikat pinggangnya. Karena tubuhnya sudah tinggi, dia hanya mengenakan flat shoes warna senada. Kepalanya dihias bando dengan warna putih yang sama. Aku yang sehari-hari selalu melihat Anty mengenakan sneakers, celana jeans, dan kaos tentu aneh saat pertama kali melihat penampilan feminin Anty. Anty sempat tidak pede tapi kubilang penampilannya sangat cantik. Lebih cantik lagi kalau dia mau berpenampilan seperti itu ke kampus setiap hari. Dia langsung melotot.
Cewek-cewek, yang pada dasarnya tingkat narsisnya lebih tinggi daripada cowok, otomatis tak akan melewatkan kesempatan untuk berfoto dalam kostum once in a lifetime seperti ini. Kami berfoto di depan lobi hotel agar tulisan nama hotel yang terpampang besar-besar itu terlihat jelas.
Sedang asyik berfoto, seruan untuk masuk ke dalam terdengar dari Pak Ehsan yang sebenarnya sudah datang dari tadi. Kami pun berkumpul dengan tertib di depan lobi hotel dan masuk bergantian. Kami disambut oleh tim dari hotel yang tersenyum ramah.
"Good morning, Ladies and Gentlemen. I'm Prasetyo Nugroho, manager of Dynasty Hotel, and I will accompany you during your visit today. [Selamat pagi para tamu. Saya adalah Prasetyo Nugroho, manajer Hotel Dynasty, dan saya akan menemani kalian selama kunjungan hari ini.]"
"It's an honor for us to welcome students from University of Jenderal Soedirman for table manner here. [Sebuah kebanggaan bagi kami menyambut mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman untuk table manner di sini.]" Ucapan pria, yang kutaksir berada di usia pertengahan tiga puluhan, itu sungguh lancar. Karena dia manajer hotel sehingga pria ini pasti sudah terbiasa menyambut tamu. Hmm, bahasa Inggrisnya juga cukup bagus.
Kamipun terhipnotis begitu masuk lebih dalam ke area hotel karena tak menyangka interiornya cukup bagus dibanding dengan tampilan luar hotel yang terlihat sederhana.
"Welcome to Dynasty Hotel, Everyone! [Selamat datang di Hotel Dynasty, Semuanya!]" Pria itu mendapat tepuk tangan meriah dari kami begitu mengucap selamat datang.
***