SATU RUANG DOA (SELESAI)âś“

By jemaribulanmey

319K 35.7K 3.7K

🔥🔥Plagiat artinya Mencuri dan Itu Dosa🔥🔥 [Buku Kedua dari Dwilogi Sang Imam] Gamophobia Perempuan itu Gem... More

Prolog
1. Waktu
2. Er Rafee
3. Tanda
4. Memaafkan?
5.1
5.2 Apalagi?
6. Pesan Bunda
7. Pilihan
8. Pelabuhan
9. Permainan?
10. Malam sebelum Ah(k)ad
10. SAH
11. Kurma (1)
12. Hari Pertama
13. Kemas
14. Prasangka
15. Pindah
16. Ran
17. Surabaya (1)
19. Ujian
Trailer
20. Pergi
21. Harus Bagaimana?
22. Harapan?
23.Berpisah
24.Berlari
25. Menepi
26. Manusia Baru
27. Tersingkap
28. Titik Temu
29. Final
30. Er Rafee
31. Pilihan
32. Tetap Tanya
33. Milik Er
34. Sepercik Api
35. Kosong
36. Penyelesaian
37. Kejutan
38. Kurma (2)
39. Sebuah Perjalanan Baru
40. Ar
Epilog
Permintaan Dikabulkan

18. Surabaya (2)

5K 637 51
By jemaribulanmey

Gema bercermin sekali lagi. Perempuan itu menarik dan menghembuskan nafasnya berulang kali, upaya untuk meredakan jantung yang bertalu-talu di dalam dadanya.

"Ayo, Gem. Relax, santai, udah halal." Ulang Gema untuk kesekian kalinya sembari menyisir rambutnya yang sudah tergerai.

"Ya Allah, deg degan," kata Gema yang sekarang memilih mendudukkan diri di atas kloset yang tertutup. Perempuan yang memakai handuk kimono itu mengusap pelipisnya yang basah. Sungguh, tubuhnya tidak bisa berbohong bahwa dia deg degan luar biasa. Rasanya seperti akan memasuki ruang sidang skripsi. Ah tidak! Ini lebih dari itu, mungkin tiga kali lipatnya.

Setelah menghembuskan nafas sekali lagi, Gema akhirnya berdiri dan mematikan keran yang sejak tadi dia nyalakan agar Er menganggapnya masih mandi di dalam. Perempuan itu melangkah pelan dengan hanya mengenakan handuk kimononya saja. Sengaja, karena ada hal yang akan Gema lakukan. Ada misi yang akan Gema luncurkan.

Perlahan, perempuan itu keluar dari kamar mandi. Di lihatnya ruang kamar hotel tersebut redup. Terlihat jelas tab Er yang menyala menyorot wajah laki-laki yang duduk bersandar di kepala ranjang. Matanya sangat fokus menatap layar yang pasti menampilkan pekerjaan. Sebenarnya, sore tadi keduanya seharusnya sudah terbang menuju Yogyakarta setelah berkeliling sebentar, tetapi ternyata Er lupa bahwa besok laki-laki itu memiliki agenda di Malang. Untung saja, sekretaris suaminya itu mengingatkan. Jika tidak, semuanya tidak karuan. Akhirnya, karena Er juga harus mempelajari materi presentasi dan jarak Surabaya dekat sekali dengan Malang, laki-laki itu memutuskan untuk menginap di hotel saja sebelum nanti besok subuh bertolak ke Malang.

Sebenarnya, Nimas dan Agam sudah melarang keduanya menginap di hotel, tetapi Gema mengatakan kepada Nimas bahkan tidak nyaman satu atap dengan laki-laki nonmahram. Oleh karena itu, Nimas mengizinkan Er dan Gema menginap di hotel.

Nimas menaikkan diri ke atas ranjang, gerakan Gema tidak sedikitpun mengalihkan fokus suaminya. Untuk sedikit meredam detak jantung dan keraguannya, Gema memainkan ponsel sebentar sembari ikut menyenderkan punggungnya. Dan tiba-tiba ragu menyelinap ke dalam perasaannya.

"Mba Gem nunda ngga?" tanya Nimas yang sedang menuangkan tepung dalam wadah. Gema yang membantu memecahkan telur menoleh lalu menggeleng.

"Udah telat?"

Gema menggeleng lagi. Nimas mengernyit sebentar saat menangkap kejanggalan dari putrinya itu. "Mba, belum?" tanya Nimas ragu. Gema tidak menjawab, perempuan itu menunduk dan meneruskan kegiatannya memecahkan telur. Bukannya meneruskan, Nimas malah membawa Gema ke dalam kamarnya. Meninggalkan bahan-bahan kue yang tertunda berubah menjadi bolu.

Nimas menggenggam tangan Gema yang duduk di hadapannya. Keduanya sudah duduk di pinggir ranjang dengan posisi menyerong saling berhadapan.

"Mau cerita sama Ante?" tanya Nimas pelan. Perempuan itu selalu memposisikan diri sebagai ibu bagi Gema, seperti pesan Sarah sebelum kepergiannya. Wanita itu meminta Nimas untuk selalu mengisi kekosongan hati Gema akan sosok ibu, meskipun Nimas tahu kapasitasnya.

"Mas Er nggak pernah minta, Nte."

"Mba pernah nolak?"

Gema menunduk, dengan ragu perempuan itu mengangguk. Dia tidak pernah lupa malam setelah akad hari itu, saat Er memberanikan diri mengambil ciuman pertamanya. Jika saja saat itu dirinya tidak menginterupsi Er, mungkin semua sudah terjadi.

"Mba takut kecewa, Nte."

Nimas mengusap punggung Gema, mencoba memahami keadaan Gema yang memiliki trauma tersendiri dengan kepercayaan dan laki-laki. Dan ada andil dirinya di sana.

"Er sedang berusaha memahami keadaan Mba Gema. Er tidak ingin memaksa, tidak ingin membuat Mba Gema tidak nyaman atau bahkan ketakutan, yang paling fatal adalah saat Mba tidak ridho akan apa yang dilakukan Er kepada Mba Gema, meskipun itu sebenarnya kewajiban Mba."

Gema semakin menunduk. Sebulan sudah pernikahannya dan Er belum menyentuhkan. Sebesar itu laki-laki itu berusaha memuliakannya? Hingga terus menunggu dirinya?

"Mba Gema sekarang sudah percaya dengan Mas Er?"

Gema mengangguk. Selama ini, Er benar-benar baik kepadanya. Rasanya tidak ada celah di diri laki-laki itu, kecuali sikapnya di kantor yang menyebalkan.

"Waktunya Mba menyerahkannya. Datangi Mas Er, beritahu dia bahwa Mba sudah siap."

Gema memejamkan matanya sebentar saat mengingat kata-kata Nimas siang tadi. Keraguan di hatinya sedikit terkikis. Dengan perlahan Gema meletakkan ponselnya di nakas. Perempuan itu menoleh ke arah Er yang masih sangat fokus. Baiklah. Gema mulai mendekatkan diri ke arah suaminya.

"Masih banyak, Mas?" tanya Gema sembari melingkarkan tangannya ke lengan suaminya.

"Hem? Segini," kata Er menunjuk jumblah slide yang ada di layar.

"Lama banget mandinya?"

Gema mendongak. "Dari pagi kan nggak mandi," ujar Gema sembari menempelkan wajahnya di lengan suaminya.

"Gema wangi nggak, Mas?" Gema merutuki apapun yang keluar dari mulutnya. Kenapa dia jadi berani seperti ini.

Yes! Akhirnya Er menoleh dan mengecup puncak kepala istrinya. "Wangi banget, Mas suka."

Pipi Gema memerah sempurna. "Masa?" tanya Gema dengan suara yang manja. Perempuan itu mendongak ke atas, tepat saat Er menundukkan kepala. Er cukup terkejut dengan Gema yang biasanya memakai piayama kini hanya memakai handuk kimono saja. Wangi yang menguar, wajah bersih istrinya, semua terlihat sempurna. Dan entah keberanian dari superhero mana, Gema menempelkan bibirnya singkat ke bibir suaminya. Setelah itu, Gema segera menyembunyikan wajahnya ke dada suaminya yang tertutup dengan kaos dalam berwarna putih. Malu. Hanya itu yang Gema rasakan.

Er tersenyum setelah keterkejutannya. "Udah berani ya?" goda Er sembari menarik tubuh Gema agar tegak, tetapi perempuan itu mengkakukan diri.

"Mas masih lama, Sayang bobok duluan sana. Capek kan?" ujar Er mengusap rambut istrinya.

"Gema belum ngantuk."

"Ya udah," ujar Er mengecup sekali puncak kepala Gema dan membiarkan Gema dalam posisinya dan Er melanjutkan membaca. Er sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan istrinya.

Gema mulai mengusap dada suaminya. Membuat pola abstrak. Dan sekali hentak, perempuan itu sadar bahkan kini posisinya sudah berada di bawah suaminya.

"Mas..." panggil Gema lirih saat melihat Er sudah di atasnya. Perempuan itu melirik tab yang sudah berpindah ke nakas.

Er tidak menghiraukan panggilan istrinya. Laki-laki itu menyelipkan rambut Gema ke belakang telinga, lalu menghujani seluruh wajah perempuan yang sudah sebulan menjadi istrinya itu. Dan bermain lama di bibir perempuan itu.

Gema hanya bisa memejamkan mata sembari meremas bedcover saat Er mulai turun ke bawah, meninggalkan jejak-jejak yang membuat Gema tidak paham. Bahkan, Gema hanya bisa menelan ludah saat laki-laki itu sudah menyibak handuk kimono yang dua kenakan.

Di tengah deru nafas, di tengah Gema yang sedang mewaraskan diri dengan apa yang sedang dua rasakan, di tengah Gema yang sedang mencoba mulai membuka mata, semua berhenti seketika ketika Er bangkit dan mendudukkan diri di samping istrinya sembari mengusap wajahnya kasar. Gema yang setengah sadar langsung menarik selimut untuk menutup tubuhnya yang hampir telanjang.

Dengan memegang erat selimut, Gema memandang suaminya.

"Maaf. Mas besok presentasi."

Hanya itu yang Er katakan sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Gema merasa tertolak. Tubuh perempuan itu bergetar akibat isakan yang tertahan. Gema bangkit dan dengan cepat mengganti handuk yang dia kenakan dengan jilbab yang dua pakai tadi sore. Perempuan itu mematikan kamar hingga benar-benar gelap dan membaringkan tubuhnya membelakangi pintu kamar mandi. Perempuan itu memeluk guling dan menarik selimut hingga lehernya. Meredam perasaannya yang tidak karuan.

Mungkin Er kecewa dengan tubunya.
Mungkin dirinya tidak seperti yang Er bayangkan.
Mungkin ekspetasi Er tidak terpenuhi.
Mungkin dirinya menjijikkan.
Mungkin Er menyesal.

Gema menutup wajahnya dengan guling dan meredam wajahnya. Perempuan itu semalaman terjaga tanpa bisa memejamkan mata.

Lewat tengah malam, Gema bangkit dari tidurnya. Memandangi sekilas wajah suaminya yang telah tertidur. Gema bangkit dan keluar ke arah balkon. Duduk di sana bersatu dengan dinginnya malam.

Mungkin dia terlalu berani.

Itu yang dipikirkan Gema saat itu. Hingga subuh menjelang, Gema benar-benar berada di balkon. Dia tidak tau kenapa, penolakan Er begitu besar memberi efek pada dirinya. Sebagai perempuan, Gema merasa ada yang salah dengan dirinya.

***

"Makasih, Sayang," ujar Er saat Gema meletakkan sepiring nasi goreng ke hadapan laki-laki itu. Gema tersenyum tipis dan mengangguk. Perempuan itu menusuk potongan buah-buahan yang dia pilih untuk menu sarapan pagi ini. Hidangan yang disiapkan hotel tidak ada yang menarik bagi Gema. Melihat Er yang menyuap semangat nasi goreng tidak sedikitpun membantu meningkatkan nafsu makanannya.

"Nanti kamu nggak usah hubungin P&C ya, Mas udah bilang ke Nathan kalau kamu ikut Mas ke Malang," beritahu Er yang hanya dibalas anggukan oleh Gema.

Setelah sarapan, Er dan Gema bertolak ke Malang. Selama perjalanan, Gema sangat sedikit berbicara. Sesampainya di tempat meeting, Gema memilih menghabiskan waktu di lobi sembari mengerjakan pekerjaannya lewat ponsel. Gema menolak saat Er mengajaknya ikut meeting, karena selain istri Gema pun bagian penting yang berkaitan dengan hal yang akan dimeetingkan oleh Er. Namun, Gema menolak.

Sejujurnya, selama perjalanan hingga perempuan itu duduk di lobi, pikiran Gema melayang ke mana-mana. Bahkan, tujuh puluh persen Gema menghabiskan waktu untuk searching dan menonton YouTube yang membahas mengenai kemungkinan mengapa suaminya menolak dirinya.

Kelelahan.

Dari semua kemungkinan, Gema merasa bahwa kelelahan adalah faktor yang mungkin terjadi. Ya, dirinya memang salah. Gema memang salah. Karena memilih waktu yang tidak tepat.

***

"Gem!"

Perempuan itu mengangkat wajahnya. Firman yang baru kembali dari pantry dengan segelas kopi hitam mendudukan diri di depan meja Gema.

"Kenapa, Mas?" tanya Gema sembari melanjutkan mengetik.

"Mau minta pendapat."

Gema kembali mengangkat wajahnya sembari melipat dahi.

Laki-laki di hadapannya yang sebentar lagi akan menjadi ayah itu, membuka ponselnya kemudian menyerahkan kepada Gema.

"Bagus yang mana?" tanya Firman sembari menyeruput kopinya. Gema menyipitkan mata, menelaah dua jilbab di layar ponsel.

"Semuanya bagus," ujar Gema membuat Format mendengus. "Satu aja dong."

Gema melipat bibirnya berpikir. "Bergantung, Mas. Selera orang kang beda-beda, menurut Gema bagus belum tentu menurut istri Mas bagus."

Firman memutar-mutar kursi yang didudukinya.

"Kalau aku liat selama ini, bajunya tuh mirip-mirim kamu, Gem. Makanya nanya kamu."

"Wih masa?"

Firman mengangguk.

"Yang ini kalau gitu." Gema menunjuk jilbab berwarna abu-abu polos dengan kerutan di bagian perutnya. "Ini simple tapi cantik banget kalau dipakai, Mas. Dipakai ibu hamil juga cantik, nggak keliatan genduk. Nih, model tangannya juga oke. Kerut yang nggak bisa sakit di tangan. Terus, bahannya enak. Wolfis, warnanya juga bagus netral. Bisa buat formal dan santai."

Firman manggut-manggut.

"Terus, polos dan warna kayak gini bisa dipadu Khimar warna apa aja dan model apa aja. Bisa juga dipadu cardigan gitu, ih the best lah pokonya." Gema mengakhiri argumennya sembari mengacungkan ibu jarinya kepada Firman.

"Mantips, Gem. Semoga istri gue seneng dah ya," ujar Firman bangkir dari duduknya.

"Aamiin paling serius deh, Mas." Gema tersenyum.

"Thank's ya, Gem."

"Syiapppp."

Firman sudah kembali mendudukan diri di tempat asalnya. Wajahnya terlihat bahagia, sepertinya laki-laki itu langsung memesan jilbab yang Gema pilihkan. Karena dia sempat bertanya kembali kepada Gema berapa nomor alamat kantor. Tentu saja, hadiah itu dikirimkan ke kantor, bukan ke rumah langsung.

Baru saja Gema hendak kembali fokus, dua orang yang tak lain adalah Iam dan Aya masuk ke dalam ruangan membawa empat dua plastik berisi empat gelas Thai tea. Sekarang memamg masih jam makan siang. Namun, Gema memilih tetap di ruangan setelah menyantap makanan yang Ayahnya kirimkan. Lagian, Er juga berada di luar karena ada urusan.

Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

15.6K 1.9K 28
[16+] Spin off "The Teacher Becomes a Mom" (Mohon bijak dalam membaca) Dopamine adalah salah satusenyawa di dalam otak yang mampu memberikan kebahagi...
11.1K 1K 51
"Lalu apa, jangan buat aku benci diriku sendiri karena kamu pergi dari ku Ra." "Aku cuma ngerasa kalau aku nggak guna kali ini. Kamu curhat sama aku...
723K 48.1K 51
(DI PRIVAT ACAK) Daniyah Namira Handoko, atau yang biasa dipanggil Nami. Mahasiswi tingkat akhir Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) salah satu universita...
7.6K 975 10
Kita mungkin akan terus-menerus mencoba menghindari, akan tetapi ruangan ini selalu punya cara untuk kita beradaptasi.