ABDINEGARA KU

By lrtyadct

37K 1.6K 128

Sepasang kekasih Abdinegara yang saling menahan rindu satu sama lain. Saling menunggu ditemani dengan rasa ri... More

1 - PERTEMUAN
2. - DIA LAGI
3. - KOMITMEN
4. - IN THE HOSPITAL
5. - BALI DAN POLDA
6. - MANTAN
7. - HAI, CLARA!
8. - FIRST PROBLEM
9. - PUTUS?
10. - INSIDEN
11. - SYUKUR
12. - KERAS KEPALA
13. - MAAF DAN JANJI
14. - SAMPAI JUMPA!
15. - KAMU DIMANA : MUTHIA?
16. - TENGKAR
17. DAMARA
18. ENTAHLAH
19. THANK YOU
20. PRASPA
21. PENEMPATAN
23. BUKA BERSAMA
24. HWD
25. SELAMAT NIKAH, MAS KU
26. PONAKAN
27. BANDUNG
28. KOTA DILAN & MILEA
29. SELESAI
30. TAMPARAN

22. NGABUBURIDE WITH ABANG

786 44 4
By lrtyadct

hai, udah sebulan gak update wkw. jangan lupa vote yaa, tencuu!♡
oh iya, btw disini ada yg dr jogja nggak? kalo ada, chat ya? makasi♡
happy reading, luv!

________________________________________________
_________________________________________
______________________________

"Panggil Abang aja," ucap Gara setelah mereka berdebat hanya masalah nama panggilan untuk dirinya.

"Gara!"

"Abang, Dek."

"Ya udah, Om aja."

"Dasar Tante genit."

"Apa?!"

"Udah, mingkem. Jangan mlongo terus, nanti lalat masuk kan repot."

"Jangan panggil Tante. Emang aku udah tua apa?"

"Ya udah, panggil aku Abang, jangan nama. Nggak sopan."

"Oke, Bang."

Mereka pun melanjutkan acara menonton film nya di rumah Muthia. Sambil menunggu jam 4 sore untuk pergi ngabuburit.

Untuk informasi, ini adalah hari ke 18 puasa. (sengaja langsung cepet hehe_-)

Film yang mereka tonton adalah film horror. Padahal, Muthia itu orang yang penakut. Selama menonton pun, dia menutupi wajahnya dengan guling.

Tak jarang Gara tertawa melihat hal itu.

Muthia pun sempat kesal, karena dalam film itu banyak sekali jumpscare yang sesekali mengejutkannya dan membuat jantungnya berdenyut kencang.

"Jantung aman, bos?"

"GAK!"

Gara terkekeh.

Kebetulan, di rumah Muthia hanya ada mereka berdua dan Bibi-nya. Karena, orangtuanya sedang ada urusan sampai nanti sore. Sedangkan Abdi, dia belum pulang. Besok baru dia sampai rumah.

Beberapa menit, adzan pun berkumandang. Mereka segera pergi ke masjid, karena rumah Muthia dekat dari masjid. Setelah itu, Muthia akan mengajar ngaji di TPQ.

"Aku ke TPQ dulu, ya. Bentar lagi Ayah sama Bunda dateng."

"Oke."

Muthia POV.

Aku bahagia, akhirnya aku bisa mengajar ngaji lagi di TPQ yang dulu juga menjadi tempat pengajian setiap sore Senin dan Kamis.

Sampai di TPQ, anak-anak menyambut ku dengan gembira. Betapa damainya hati ini saat melihat senyum mereka terpancar dari mukanya. Membuat semua masalah dalam hidup ku seketika menghilang sementara.

Mereka memelukku dan menggandeng diriku untuk masuk ke dalam TPQ.

"Mba Muthia udah lama nggak ngajar kita. Mba marah, ya? Maafin kita. Kita janji enggak akan buat Mba kesel lagi, nggak akan nakal lagi. Jangan pergi-pergi lagi, ya, Mba."

Aku tertawa kecil. Dan aku sudah mengira, bahwa Ahmad yang memberi tahu jika aku marah dengan mereka.

Tetapi, aku juga bersyukur, sih. Karena mereka berjanji untuk tidak membuat ku marah lagi dan nakal. Soalnya, dulu mereka sering memancing emosi ku.

"Iya sudah. Sekarang, berdoa dan kita mulai ngaji lagi, ya. Coba, yang paling tua pimpin do'a."

Dengan cepat, anak yang paling tua memimpin do'a.

"Di tempat duduk siap. Berdoa mulai."

Setelah selesai berdoa, kami pun mulai untuk belajar mengaji sore hari ini.

~end

"Adek di mana?"

"Lagi ngajar di TPQ, Yah," jawab Gara padahal dia tidak ditanya oleh Hafidz.

"Ealah, kamu Gara. Dari kapan kamu disini?"

"Dari tadi."

"Sampe kapan di sini?"

"Habis Bang Adi lamaran, saya pulang lagi. Sementara di sini, saya nginap di rumah teman."

"Kenapa di rumah teman? Disini saja tidak apa-apa," sahut Chaca yang masih mengenakan seragam PIA.

Gara meringis. "Hehe, nggak apa-apa."

"Ya udah. Kamu udah jahit bajunya?"

"Baju?"

"Iya, jangan bilang kamu lupa."

"Ingat."

"Coba baju apa?"

"Nggak tahu, tuh?"

"Nah, kan. Lupa kamu. Katanya ingat?"

"Tadi kata Bunda jangan bilang lupa. Ya udah, saya jawab ingat."

Hafidz dan Chaca pun memegang jidat mereka sambil menggeleng-geleng.

Sebenarnya, tidak salah juga, sih.. tapi.. ah sudahlah!

"Assalamualaikummmm. Abang, aku dapet takjil dari masjid. Sengaja ambil 2 buat kita, nih buat ka-"

"Loh, Ayah Bunda? Udah pulang?"

"Sini takjilnya! Sembarangan."

"Hmm, nih Pa."

Muthia segera memberi kode kepada Gara, untuk segera mengambil kunci motor supaya mereka cepat ngabuburit dan mencari takjil. Yaa, sekalian jalan-jalan.

Gara yang peka dengan kode yang diberikan pun, langsung mengambil kunci motor yang ada di ruang TV.

"Yah, Bun.. kita pamit. Mau ngabuburit. Babai, assalamualaikum!" Ucap Muthia sambil berlari dan menarik Gara.

"Dasar cah wedok!"
Cah wedok: anak perempuan

Sampai di garasi, Gara langsung bertanya kepada Muthia.

"Kamu pake gamis?"

"Iya, nggak papa, Bang?"

"Nggak, kok. Mau kemana? Alun-alun?"

"Hooh."

Mereka bergegas menaiki motor dan menuju ke tempat tujuan. Selama perjalanan, mereka mengobrol sambil melihat pemandangan sore ini. Rasanya sangat indah dan sejuk tapi lumayan panas.

"Bang, sayang nggak sama aku?"

"Hah? Nggak denger, kuping aku ketutup helm."

"Sayang nggak sama aku?"

"Apa?"

"ABANG SAYANG GAK SAMA AKU?!"

"Astaghfirullah, jantung aku, Dek. Iya, sayang lah. Kenapa emang?"

"Janji, ya, Bang, nggak boleh tinggalin aku. Awas kalo ninggalin, aku pukul kamu sampe jadi bubuk kopi."

"Nanti harganya mahal, ya. Kan limited edition."

Muthia memukul pundak Gara. "Apa, sih, Bang!"

"Abang masih suka sama mantan abang?"

"Iya."

"HAH?!"

"Loh, apa to?" Ucap Gara sambil memberhentikan motornya di pinggir.

"Gak tau!"

"Kenapa? Aku iyain aja daripada kamu teriak. Eh, malah aku jawab iya, kamu marah. Serba salah."

"Ya tergantung aku nanyanya apa."

"Makanya aku nanya, kamu tadi tanya apaan?"

"Abang masih suka sama mantan Abang? Nah, terus kamu jawab iya."

"Astaga. Enggak!"

"Halah."

"Bodo. Kalo emang beneran sayang sama kamu, nggak peduli mau seberapa cantik cewe lain di mata aku. Kamu tetep di hati, lah. Kan sekarang kamu jadi rumah."

"Janji, Bang?"

"Iya, janji."

Muthia pun mempercayai ucapan itu walau dia masih agak ragu dengan ucapan yang baru dia ucap di hadapannya.

Ah, sudahlah. Semoga saja, ucapan dan perilakunya sama.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka.

Tibalah mereka di Bazar Ramadhan.

Seperti biasa, di daerah Muthia tinggal, setiap bulan pasti ada Bazar Ramadhan di sekitar alun-alun. Banyak sekali takjil dan jajanan disana. Ada juga live music, mainan anak-anak sampai baju.

Sudah lama dia tidak datang ke Bazar karena selama puasa beberapa tahun belakangan ini, dia tidak datang ke kotanya.

"Wuih, rame banget. Lama banget aku nggak kesini."

"Banyakan di kota aku, wle. Ada jajanan Korea."

"Hm, ya udah. Mau beli apa kamu?"

"Jalan dulu, mau liat-liat dulu. Kalo sekiranya ada yang enak, mau beli deh."

"Ayo."

Mereka pun memutari Bazar Ramadhan untuk melihat-lihat jajanan.

Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya mereka menemukan takjil yang sama-sama mereka sukai. Alhasil, mereka berhenti tepat di depan dagangan itu dan membelinya.

Kemudian, mereka kembali memutari Bazar Ramadhan itu.

"Udah, segini aja. Nanti nggak habis."

"Tapi aku masih pengen, Bang."

"Iya, orang masih puasa. Kalau nanti udah buka, baru makan setengah aja udah kenyang banget. Udah, lanjut besok aja. Nggak baik beli banyak-banyak."

"Hmmm, besok kamu masih disini, kan?"

"Masih, lah.. kan sampe Bang Adi lamaran. Oh ya, btw besok buka bersamanya, ya? Emmm, aku enaknya bawa apa, ya?"

"Hahaha, nggak usah bawa apa-apa. Asal kamu dateng aja. Keluarga besar aku kan belum tau bentukan kamu kayak gimana."

"Dih, bentukan. Dikira gue bola."

"Hahahaha. Bentukan kamu tuh nggak kaya gitar span-"

"Shtttt! Aku kekar, gagah dan berisi! Kamu tuh, kurus banget kayak lidi."

"Berat aku nggak kayak lidi tau! Berat aku tuh 47 kg. Ya kali lidi seberat itu, yang nyapu udah sakit pinggang tau."

"Masa, sih? Nggak percaya."

Muthia yang kesal pun langsung mengambil handphone miliknya yang berada di tas kecilnya.

"Ok, Google! Cara membuat pacar percaya dengan saya."

Gara yang melihat itu hanya tertawa. Dia sangat terhibur dengan sikap wanitanya yang terdengar lugu dan konyol.

"Apaan, sih. Buat perut sakit aja. Btw kamu kenapa tutup hidung?"

"Iya, abis kamu ketawa sambil mlongo. Orang puasa kan bau mulutnya bau, terutama kamu!"

"Astaga, awas kamu yaaa!"

"Kabuuurrr."

Muthia berlari pelan menghindari tangkapan badan oleh Gara.

Mereka sudah berada di atas motor dan sedang menunggu lampu lalu lintas berwarna hijau sebentar lagi.

Sedari tadi, Gara mengeluh karena di kota Muthia cuaca sangat panas. Tidak peduli siang dan sore. Sangat berbeda dengan kota Gara disana. Cuacanya sejuk, jika panas juga tidak begitu panas.

"Panas banget, sih. Kipasin, dong."

"Alay banget, sih. Orang udah sore, dan angin juga sepoi-sepoi."

"Kota kamu beda planet."

Tidak terima, Muthia langsung memukul punggung Gara.

"Aduh jan.. jangan mukul dulu. Itu es buah aku nanti tumpah. Gimana, sih, kamu."

"Ya abis kamu. Sembarangan ngatain kota tercinta aku. Asal kamu tau, ya, kota aku nih, behhhh. Keren banget, euy."

"Keren kota aku, lah."

"Enggak! Semua yang kau ucap adalah tipuan belaka!"

"Bagus body kamu, hahahahaha."

"GARA BINTI BARUNA!"

"Siap! Saya."

"Bodo amat!"

Sesampainya mereka di garasi rumah Muthia, Muthia teringat sesuatu.

"Bang, aku pengen pizza. Nanti sore beli, ya?"

"Iya, nanti sore kita beli."

"Diam di tempat!" Gertak Muthia.

Orang yang dimaksud pun langsung diam dengan posisi yang sama sambil membawa takjil yang dibeli tadi dan posisi sedikit membungkuk karena sedang melepas sandal.

"Apa salah dan dosa ku, sayang?"

Tanya Gara dengan nada dangdut lirik tersebut.

"Katanya kamu mau beliin pizza. Dasar pembohong! Banyak sekali dosa Anda kepada saya?!"

"Ehehe, waduh. Apaan, tu?!" Ucap Gara sambil tangannya menunjukkan ke sebuah arah.

Dengan bodohnya, Muthia pun melihat ke arah yang di tunjukkan.

Saat berbalik arah, Muthia sudah kehilangan jejak dari lelaki yang tadi berdiri tegak di hadapannya dengan wajah yang tidak berdosa dan seakan tidak melakukan kesalahan.

Dia tertawa sambil masuk ke dalam rumah. Saat baru masuk, di ruang tamu sudah ada orangtuanya, Gara dan 2 orang yang asing. Otomatis tawanya berhenti sampai disitu saja.

Di dalam hatinya, Muthia tertawa melihat ekspresi Gara yang sangat kocak. Namun, tawanya tertahankan.

"Sekarang kalian ukur baju dulu. Acaranya minggu besok masa kalian belum jahit! Coba kalau besok nggak jadi? Mau gimana? Kalian pake baju apa? Hah? Daster?"

"Lah, kan masih minggu depan, Bunda."

"Ya emang penjahit itu nganggur? Sekarang banyak yang jahit tau! Musim nikah."

"Maaf, Bunda. Ini, aku kasih gorengan. Jangan marah lagi."

"Ya sudah. Kalian berdua disini. Jangan buat heboh! Ayah sama Bunda mau siapin buka puasa dulu."

"Oke."

Tersisalah 4 manusia yang berada dalam ruang tamu itu. Sejenak diam, diam dan diam. Gara dan Muthia saling menatap dan menyenggol untuk memberikan sebuah kode tanpa arti.

"Loh? Diem-diem bae? Ayo, Bu, ukur. Hehehe."

"Oh, nggih, Mbak. Soale muka'e njudes e."
"Oh, iya, Mba. Soalnya mukanya serem."

"Udah senyum kecil padahal, Bu.. ya udah, ini dulu yang di ukur."

Gara terkejut dan langsung berdiri tegak.

"Harus banget, ya... Padahal masih lama. Masih 1 minggu lagi padahal," ucap Muthia.

"Ya mungkin biar enggak buru-buru. Ya udah, yuk. Buka puasa dulu, besok kita jalan-jalan pagi. Okey?"

"Boleh."

Mereka langsung menuju ke ruang makan. Gara yang merangkul Muthia pun selalu mengolok tinggi badan mereka. Padahal, Muthia tingginya se-bahu Gara. Ya.. pendek sih. Hahaha.

"Aduh, anak muda. Jaman kita lebih so sweet kaleee. Nggak kalah sama kalian," timpal Hafidz.

"Tau, kok. Aku udah liat foto masa-masa muda Ayah sama Bunda. Sekarang, nurun ke anaknya. Kecuali Mas Adi. Bener-bener dah abang satu, anti banget. Eh, sekalinya udah nemu, langsung serius. Ya alhamdulillah, nanti bisa aku mintain uang. Ibu Direktur pasti banyak uang. Tapi, jatah dari Ayah sama Bunda nggak boleh berhenti, harus te-"

Gara membungkam mulut Muthia karena sudah melihat ekspresi dari Hafidz dan Chaca.

"Udah, ah. Kalo mau cerita, nanti aja. Udah adzan, kamu nggak denger?"

"Astaghfirullah, iya. Hehehe, maafin saya."

"Ya sudah, kalian cuci tangan."

Selesai cuci tangan, mereka langsung duduk bersebelahan.

Hafidz meletakkan handphone nya. "Gara, pimpin do'a."

"Siap."

Gara langsung membaca do'a berbuka puasa dengan khidmat. Muthia tidak berhenti tersenyum saat mendengar suara yang keluar itu.

Sstelah itu, mereka berbuka puasa dengan hangat.

10.00 PM

"Ayah, Bunda, Gara pamit pulang dulu, ya. Oh iya, saya minta izin buat ngajak Muthia jalan-jalan pagi besok. Boleh?"

Akhirnya, Gara sudah bisa pulang setelah Muthia tertidur lelap di sebelahnya.

"Oh, iya. Boleh, kok. Jam berapa? Biar nanti pintu gerbang dibuka, soalnya kalo pagi selalu dikunci."

"Siap, jam 6."

"Eh, nggak usah jalan-jalan. Besok kan puasa."

Gara yang lupa besok puasa pun langsung malu.

"Oh, iya.."

"Besok pagi bantuin Ayah aja bersihin kolam ikan. Gimana, mau?"

"Siap, iya."

"Sudah, nggak usah formal gitu, kita kan keluarga sekarang. Oh ya, terima kasih juga ya. Maaf, kalau Muthia nggak izinin kamu pulang tadi, sampe ngambek."

"Nggak apa-apa, Ayah. Gara udah maklum, kok. Hehehe."

"Ya sudah, hati-hati. Udah jam 10 ini soalnya."

"Siap, Bun. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam.

Saat hendak menaiki motornya, Gara mengirim sebuah pesan singkat kepada Muthia.

Selamat tidur, anak manja. Maaf aku pulang nggak bilang-bilang ke kamu. Jangan marah, yaa kamu. Itu udah aku beliin pizza yang kamu mau. Terus itu di meja makan aku tadi pesen nasi goreng buat keluarga sahur. Dimakan, yaa. Love you.

2.30 AM

Dering telepon berbunyi di ponsel milik Muthia. Muthia yang masih tertidur di ruang TV pun langsung mengangkat dan melihat nama penelepon.

Saat melihatnya, dia langsung duduk dan mendengar si penelepon mengucap sesuatu.

"Selamat pagi lidi, banguuunnn. Jangan tidur terus. Shalat dulu habis itu sahur, ya?"

"Ah, iya.. kamu udah bangun jam segini?"

"Udah. Aku alarm, lah. Udah cepet sana kamu shalat."

"Hmmmm. Temenin, ya."

"Iya, tapi aku dah shalat barusan. Aku temenin telepon aja, ya hahaha."

"Hmmmm yaaa."

Dia langsung beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan pergi ke atas untuk melaksanakan shalat tahajud.

Setelah selesai, dia turun ke bawah untuk menghangatkan nasi goreng yang dibeli oleh Gara tadi malam. Tak lupa, pizza pun juga dihangatkan.

"Aku mau goreng tempe dulu buat sahur."

"Ih, jangan dimatiin."

"Engga, nyala."

Karena Bibi-nya datang, Muthia menuju ke atas untuk membangunkan Hafidz dan Chaca yang masih tertidur.

"Ayah Bunda banguunn. Udah aku siapin sahurnya. Ayoook."

Tiktok!

Tiktok!

Tiktok!

Bel rumah berbunyi. Segera Muthia membuka pintu, walau dalam dirinya ada rasa takut sedikit.

Saat dibuka.

"Assalamualaikum.. ini aku beli makanan di jalan."

"Mas Abdi?! Kamu pulang jam segini, kenapa? Aku kira nanti siang datengnya."

"Hehehe, dingin."

"Masuk, aku ambilin sweater bentar, ya."

Muthia pergi ke atas untuk mengambil sweater yang akan diberikan kepada Abdi yang sedang kedinginan.

"Nih," ucap Muthia sambil memberikan sweater milik Abdi.

"Makasih. Eh, Yah, Bun.. heheheh."

Hafidz dan Chaca pun bingung. "Kenapa, Abdi?"

"Habis Mas Adi nikah, Abdi minta izin mau lamaran."

Seketika acara makan pun berhenti sejenak setelah mendengar ucapan yang keluar dari mulut Abdi. Di handphone, terdengar Gara yang ikut terkejut karena daritadi mengetahui apa yang diperbincangkan.

"Sama siapa?" Tanya Chaca kaget.

Dalam hati, Muthia sudah menebak bahwa yang akan dilamar adalah sohibnya, Zara.

"Mecca."

"Ha! Mecca?! Nama Zara nggak ada Mecca nya."

Abdi tersenyum tipis. "Bukan Zara, Dek."

"Hah? Kok?"

"Nanti siang aku ceritain."

"Mecca? Siapa Mecca?" Tanya Hafidz dingin.

"Dia polisi. Kita sebenarnya udah kenal lama, cuma waktu itu nggak deket. Dan minggu-minggu kemarin, aku berdoa buat di deketin sama jodoh. Ternyata, yang deket sama aku itu Mecca. Aku yakin, Mecca itu jodoh Abdi."

"Polisi? Sedangkan kamu juga Polisi, Abdi."

"Tapi, Yah.."

"Kamu pikir mudah nikah dengan sesama abdinegara? Apalagi kamu polisi dan dia juga. Kalian akan sama-sama sibuk. Coba kalian pikir ke depannya."

"Udah, Yah."

"Apa? Apa yang kamu pikir?"

Karena nada suara Hafidz yang sudah tidak bersahabat, Abdi memilih untuk pergi ke kamar dan tidak melanjutkan sahur pagi ini.

Muthia yang merasa kasihan dengan kakaknya itu pun langsung chat kakaknya karena dia belum selesai sahur.

"Ayah, jangan seperti itu. Kasihan Abdi. Dia baru pulang dan baru sampai, Ayah malah seperti itu. Lagian, kalo mereka saling cocok, kita tinggal ngasih izin."

"Tapi Bun.."

"Ya sudah, Ayah samper Abdi dulu. Jangan sampai dia marah sama Ayah."

Menuruti yang dikatakan Chaca, Hafidz pun beranjak pergi ke kamar Abdi.

Namun, saat dihampiri ke kamarnya, ternyata dia tidak ada. Panik sudah.

"Jangan-jangan..."

Muthia langsung pergi ke suatu tempat.

"Mas Abdiiiiiiiii, ngapain di kamar Adek!"

"Males, pinjem kamarnya bentar. Sana kamu sahur."

"Enggak mau, maunya sama Mas Abdi."

"Mas males sahur. Mending teleponan sama Mecca."

"Siapa, sih, Mecca?! Kok pentingin dia daripada keluarga?! Awas aja, ya. Izin Adek juga perlu!"

Abdi langsung memberikan handphone nya.

"Hallo? Kak Mecca, ya? Ini adeknya, jangan salah paham dulu. Aku tutup bentar, ya. Mau sahur dulu."

"Apaan, sih?!" Ucap Abdi sambil mendorong adiknya itu hingga tersungkur ke lantai.

"MAS ABDI! Apaan, sih! Ya udah, gak gue tolong buat minta izin ke Ayah!"

"Eh, sorry. Jadi kamu mau ngapain?"

"Cepet turun! Kalo nggak?!... "

"Siap."

Padahal, dirinya sangat malas untuk turun.

"Abdi."

Mendengar panggilan itu, Abdi langsung mendongak.

"Coba kamu pikir lagi, apa iya kamu cocok sama dia. Ayah nggak bisa terima begitu aja kalau kamu bilang seperti itu. Kita belum tau latarbelakang dia seperti apa, sikap dia seperti apa. Memberi izin itu sulit."

"Iya. Apa perlu besok aku bawa ke acara buka bersama?"

"Ya."

Abdi segera menelpon Mecca dan ternyata jawabannya tidak sesuai dengan ekspetasi.

"Mecca nggak bisa, Yah.."

Merasa perdebatan akan dimulai lagi, Muthia memilih untuk pergi ke kamar dan kembali tidur sambil ditemani oleh Gara via telepon.

"Adek ke kamar dulu, ngantuk banget."

"Kasian Mas Abdi.. padahal dia kayanya udah sayang banget sama Kak Mecca."

"Ya mau gimana lagi, Sayang. Kan restu orangtua sangat penting."

"Abang jam berapa kesini?"

"Jam 6, oh ya, nanti kita nggak jadi jalan-jalan, kan lagi puasa. Nanti aku disuruh Ayah buat bantuin bersihin kolam ikannya."

"Oke. Kamu nggak ngantuk? Aku pengen tidur lagi."

"Ngantuk. Ya udah, tidur yuk."

"Siap. Selamat pagi! Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Pukul 6 pagi, Gara sudah datang di rumah Hafidz. Dia sudah berjanji akan membantu Hafidz untuk membersihkan kolam ikannya. Biasanya, dia membantu Papanya disana.

"Tenang, Yah. Gara sendiri bisa, kok. Di rumah, Gara biasa bersihin kolam ikan sama Papa. Jadi, udah kebiasaan, heheheheh."

"Nggak usah, mumpun lagi cuti jadinya bareng aja."

"Siap."

Tak lama, Muthia datang bersama Abdi. Dengan raut muka yang berbeda. Muthia yang tersenyum sumringah, dan Abdi yang ekspresi datar tanpa senyum.

Hafidz yang menyadari itu pun langsung menghampiri Abdi.

"Muthia, kamu kan belum mandi, jadi kamu bantuin Gara."

Bukannya menolak, dia malah senang kegirangan karena bisa bermain air bersama ikan dan juga Gara.

Percakapan antara Abdi dan Hafidz pun dimulai. Ya pasti, Muthia dan Gara mendengar semua.

"Kamu ini, nggak pernah nurut sama apa yang dibilang orangtua!"

"Ya tapi kan aku sayang sama Mecca, Yah."

"Lebih sayang sama cewek mu itu daripada Ayah mu sendiri yang dari dulu didik kamu sampai kamu jadi seperti ini?"

"Tapi dia baik sama Abdi. Ya otomatis dia baik juga sama keluarga kita. Masalah profesi, kita bisa atur itu. Atau Ayah mau dia keluar jadi anggota? Oke, nanti biar Abdi yang bilang."

Mendengar itu, Muthia dan Gara pun terkejut dan saling tatap.

Tidak menjawab pertanyaan Abdi, Hafidz malah pergi masuk ke dalam dan yang muncul adalah Chaca, Ibunda mereka.

Dia datang langsung mengelus pundak Abdi.

"Sudah, Ayah kamu lagi banyak kerjaan mungkin, jadi kayak begitu. Coba, Bunda mau lihat Mecca seperti apa. Nggak baik kalau orangtua nggak tau paras muka calon menantu."

"Dia lagi dinas."

"Apa dia nanti datang?"

"Inshaallah, soalnya dia nggak jadi dinas sore. Jadinya dinas pagi."

"Ya sudah, nanti suruh dia datang ke rumah dulu buat ketemu sama Ayah Bunda."

"Iya, Bun. Makasih, ya. Bilangin ke Ayah, jangan kayak gitu nanti kalo udah ada Mecca."

Chaca tersenyum lembut. "Iya, Sayang."

"Untung kita langsung diizinin, ya, Bang. Jadi nggak perlu drama kayak begitu. Pake ngambek segala lagi. Dih."

"Hahahah, alhamdulillah. Tinggal buat undangan aja, hahahah. Canda."

"Diam kalian berdua."

"Eh, Mas. Emang masalahnya apa? Kok bisa nggak sama Zara? Padahal kalian udah cocok banget, lho. Sayang banget kalian berhenti padahal baru sebulan."

"Sini, gue ceritain."

Gara dan Muthia pun langsung duduk di pinggir kolam dekat dengan Abdi.

"Jadi, waktu itu sih baik-baik aja kita. Tapi, habis itu Zara yang agak sedikit beda dari biasanya. Setiap ketemu, dia keliatan lebih murung dan diem. Sampe akhirnya, dia bilang. Kalo dia.."

Flashback On.

"Aku di jodohin sama Bapak Ibu."

"Hah? Kamu bercanda, ya?"

"Aku nggak pernah bohong kalo tentang kayak gini. Aku dipaksa sama Bapak Ibu, padahal aku nggak mau. Aku masih sayang sama kamu."

"Sama siapa kamu di jodohin?"

"Pengusaha."

Oh.. nggak heran gue kalo dia di jodohin sama pengusaha. Orang dia dokter, sama pengusaha. Udah dah, mapan hidupnya.

Abdi hanya mengacak-acak rambutnya dan tidak bisa mencari jalan keluar. Karena ini semua adalah perintah dari orangtua Zara, mana mungkin dia harus membantah.

Dia juga sangat sedih, lantaran dia sudah merancang semuanya.

"Maafin aku, kalo selama kita berhubungan ada salah. Ada kata yang buat kamu sakit hati."

Abdi tersenyum. "Hehe, nggak papa. Kamu bahagia, ya, sama dia. Pasti dia yang terbaik, karena itu pilihan kedua orangtua kamu."

Tak merespon ucapan itu, Zara langsung memeluk erat Abdi. Semua kesedihan yang telah dia pendam sejak seminggu lalu, dia tumpahkan ke badan lelaki ini.

Padahal, Abdi masih mengenakan seragam PDL.

"Aku udah bilang sama orangtua aku, kalo aku udah ada kamu. Tapi, mereka tetep kekeuh buat jodohin aku sama si pengusaha itu. Apa kamu nggak mau berjuang lagi?"

"Aku milih mundur, untuk apa aku maju kalau pilihan orangtua kamu aja udah lain. Maaf.. "

Semakin erat pelukannya.

"Ini terakhir kali aku peluk kamu. Terakhir kali aku nangis ke kamu. Semoga kamu dapet yang lebih baik, ya. Yang lebih cantik dan lebih sukses dari aku."

"Aamiin."

"Oh iya, kalo udah ada, ini aku kasih surat. Kasih dia ini, ya," ucap Zara sambil memberikan sebuah surat yang telah ia tulis semalam setelah berperang dengan air mata.

"Aku pulang. Kamu jaga diri. Jangan pernah ceroboh pas tugas, okey? Kalau kamu laper, sekarang kamu pesen ojol, ya. Aku nggak bisa anterin makanan ke kamu lagi, karena besok aku disuruh pulang sama Bapak Ibu, buat.. nikah."

"Secepat itu, Zar?"

"I can't do anything."

"Alright. See you."

"See you too."

Setelah Zara pergi, Abdi membaca surat yang penuh dengan tulisan indah.

Dear kamu, yang sekarang udah jadi pendamping hidup Mas Abdi.
Jagain dia, ya. Jangan pernah sekalipun kamu sakiti dia. Dia lelaki yang baik dan bertanggungjawab. Dia nggak pernah sakiti aku selama kita masih sama-sama.

Kamu tau, kalau jodoh adalah cerminan diri?
Yap, karena kamu sudah jadi pendamping hidup Abdi, berarti kamu wanita yang baik dan bertanggungjawab.

Aku titip dia. Pukul tangannya kalo dia jahil, karena dia jahil level tinggi. Kalo dia nggak mau makan, kasih sop ayam tambah bihun. Kalo dia males, kasih semangat. Jangan sampe kamu buat dia sedih, ya.

Semoga kalian berdua bahagia sampai maut memisahkan. Dan semoga punya bayi kecil yang imut dan kelak menjadi anak yang shaleh dan sukses.

TTD
Zara Cintya

"Nikah aja belum tau sama siapa.. i love you forever Zara."

Flashback Off.

"Gitu. Gak mungkin kamu nggak tau, Dek. Orang sohibnya dia."

"Sumpah dah, aku nggak tau. Bentar aku telepon."

Kemudian, Muthia pun menelpon Zara dan di angkat oleh si Zara. Langsung saja, dia menjelaskan dengan detail tentang kisah perjodohannya ini.

Tampak disana, mukanya yang merah, mata merah dan hidung pun ikut merah. Suaranya sudah sembab, dan kadang hilang begitu saja saat dia sedang menyampaikan sesuatu.

"Sorry, ya.. gue nggak bisa jadi kakak ipar lo, hahaha."

"Ya udah. Sabar aja, Zar. Kita yakin dia yang terbaik buat lo. Semangat! Kapan akadnya?"

"Lusa malem jam 8."

"Besok gue otw kesitu. Tapi sampe nggak ya waktunya?"

"Sampe, kok. Tinggal terbang, terus naik bis bentar. Gue jemput nanti di terminal."

"Oke siap. Besok gue otw. Sama temen kampus?"

"Boleh, tadi malem gue udah chat di grup. Tapi mereka berangkat pagi."

"Kita siang, ya udah. Bye. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sambungan telepon pun di tutup oleh Muthia.

Kemudian, Muthia menyenggol-nyenggol Gara. Yang di senggol pun kebingungan pun langsung bertanya dengan sinis.

"Apa ih."

"Abang ikut! Temenin aku."

"Kapan? Besok?"

"Iya."

"Tapi aku sekalian pulang dulu, ya."

"Hmmmmmm, ya. Mas Abdi gimana? Mau ikut juga?"

"Ya boleh."

"Dalam artian tanpa Kak Mecca."

"Hm."

"Eh, nggak usah. Nanti malah nangis-nangis. Hehe."

"Ye, dasar!"

Kemudian Muthia dan Gara melanjutkan untuk membersihkan kolam ikan. Sedangkan Abdi, dia memilih pergi ke dalam rumah. Lebih tepatnya, kamar adiknya.

Continue Reading

You'll Also Like

285K 19.2K 44
Ya Tuhan bila saja ada kesempatan kedua ... aku pasti akan ... Pernahkan kalian berpikir semacam ini? Apa yang akan kalian lakukan bila diberikan kes...
6.8M 347K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
665K 29.6K 44
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
505K 513 15
Full adegan seks bercinta penuh nafsu bikin memek gatal