Suara deru mobil terdengar memasuki halaman rumah yang cukup luas. Seorang gadis yang sedang berkutat dengan data-data penelitian dan jurnal-jurnal ilmiah, segera bangkit dari duduknya untuk membukakan pintu rumah. Satria yang baru saja turun dari mobil tersenyum hangat ketika mendapati adik sepupunya berdiri di ambang pintu menyambut kedatangannya. Gadis itu dapat melihat dengan cukup jelas gurat-gurat lelah di wajah sang kakak. Tapi senyuman yang tergambar di wajah tampan itu menyiratkan bahwa dia bahagia, lelah tapi bahagia. Gadis itu ikut tersenyum melihat kakaknya yang baru saja pulang dari mengurus tetek bengek urusan acara pernikahannya yang akan berlangsung tiga bulan lagi.
"Sumringah banget sih Mas? Habis ketemu Mbak Binar ya?" Pemuda yg digoda itu mengangguk mantap, lantas merangkulkan tangannya di pundak sepupu terdekatnya itu sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
"Iya dong, capek banget sebenernya ngurusin nikahan, tapi karena nikahnya sama Binar ya nggak papa deh capek juga hahaha." Gadis itu memukul perut kakaknya gemas.
"Btw kok sepi sih dek? Di rumah sendiri po?"
"Iya Mas, Tante sama Om lagi pergi kencan, terus dek Sekar lagi ada kerja kelompok, paling sebentar lagi sampe rumah."
"Oooh, kamu ngapain seharian? Ngerjain thesis?"
"Iya dong, mau ngapain lagi coba?"
"Udah makan?" Gadis itu meringis, terakhir kali dia makan adalah pagi tadi pukul 09.00. Tanpa perlu mendengar jawaban sepupunya Satria tau gadis itu lupa makan lagi.
"Kamu tu lho dek, kebiasaan banget kalau udah fokus terus lupa makan. Mama masak nggak? Kalau iya, panasin sana terus makan, Mas temenin." Satria mencubit pipi gembil gadis itu gemas.
"Masak kok, tadi sore aku bantuin masaknya."
"Terus kenapa nggak makan sekalian?" Pemuda itu berusaha memberikan tatapan tajam pada sepupunya. Namun gadis yang ditatap hanya terkekeh tanpa memberikan jawaban.
"Lakshita Rhea Arsyakayla, jangan dibiasin kaya gini ah. Nanti kalau kamu sakit magh-nya kambuh gimana?"
"Iya iya Mas, maaf. Ini aku panasin sekarang sayur sama lauknya. Tapi beneran ya makannya ditemenin."
"Iyaa, Mas temenin. Tapi Mas mau mandi dulu, lengket banget badannya dari pagi nggak berhenti gerak."
"Okee, Mas mau makan juga nggak? Ada sayur sop sama ayam, nanti ayamnya kugorengin." Pemuda itu mengacungkan jempolnya tanda dia juga akan ikut makan. Sebenarnya sore tadi dia sudah makan bersama Binar, tapi mengurus persiapan pernikahan terbukti cukup menghabiskan energi dan laki-laki itu sudah lapar lagi. Satria lantas bergegas menuju kamarnya dan bersiap untuk membersihkan diri, sedangkan gadis dengan rambut kecokelatan sepunggung itu berjalan menuju dapur. Makanan yang dia dan tantenya masak sore tadi langsung ia panaskan, sembari menggoreng ayam yang sudah dibumbu bacem. Setelah semua sayur dan lauk matang, gadis itu lalu menyusunnya di atas meja makan. Tidak lupa, dia mengambilkan nasi untuk dirinya dan sang kakak. Tidak butuh waktu lama, Satria keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih segar dan tentu saja lebih wangi. Pemuda itu langsung duduk di hadapan Kayla dan menyuruh adiknya untuk mulai makan. Mereka berdua makan dengan khidmat, sekali dua kali mereka bertukar obrolan tentang hari masing-masing.
Selesai makan, Satria berinisitif untuk mencuci peralatan makan yang sudah kosong. Kayla masuk ke kamarnya untuk mengambil ponsel yang sudah diabaikannya sejak siang tadi. Selesai mencuci piring, Satria mendudukkan dirinya di depan televisi dan mulai membuka saluran yang menurutnya menarik. Kayla yang sudah kembali dari kamar, lantas duduk di sebelahnya. Gadis itu masih sibuk dengan ponselnya ketika ponsel Satria tiba-tiba berbunyi. Panggilan dari Bang Jaz.
"Woi Bang, gimana tadi?" Tanpa salam Satria langsung bertanya. Toh abangnya yang satu itu pasti menelpon untuk mengabarkan apa yang terjadi di sekolah Khey siang tadi.
"Elah nggak ada akhlak banget lo, salam dulu kek."
"Sama lo doang mah males bang hahaha." Laki-laki itu tertawa terbahak, sedangkan Jaz diujung sana hanya menggerutu. Kayla yang sudah mengalihkan perhatiannya dari ponselnya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia sudah cukup familiar dengan tingkah laku kakaknya jika sudah berhadapan dengan karib-karibnya.
"Jadi gimana tadi, Khey kenapa? Beneran mukul temennya?" Kayla yang mendengar pertanyaan yang terlontar itu, menengokkan kepalanya cepat. Dia memang belum pernah bertemu dengan Khey, tapi dia tau siapa itu Khey. Kakak sepupunya sering bercerita tentang bocah laki-laki kesayangannya dan teman-temannya. Kayla sendiri hanya tau kalau Khey adalah anak dari salah satu sahabat kakaknya. Sayangnya dikarenakan kesibukan di kantor dan mengurus anak, sahabat Satria yang satu itu sudah tidak pernah lagi main ke rumah. Alhasil selama 2 tahun Kayla menumpang di rumah Satria, Aryan menjadi satu-satunya sosok yang masih misterius untuk Kayla. Berbeda dengan sahabat Satria yang lain, mereka cukup sering berkumpul di rumah meskipun hanya untuk mengobrol ngalor ngidul.
Dan karena itulah Kayla cukup akrab dengan ketiganya. Dan dari cerita yang sering didengarnya selama ini baik dari Satria maupun ketiga karibnya, Khey adalah anak yang manis. Jahil tapi manis, cukup mengejutkan jika apa yang ditanyakan kakaknya itu ternyata benar.
"Iya beneran mukul temennya dia. Lo kalau liat mukanya Khey pasti nggak bakalan tega. Itu anak langsung nangis pas Aryan dateng." Jaz menjelaskan. Terdengar helaan nafas yang cukup panjang di ujung sambungan. Satria mengerutkan kening heran. Tingkah laku Khey sedikit bertolak belakang dengan sifatnya yang ia ketahui. Anak itu sering menjahili orang terdekatnya tapi kontak fisik seperti memukul? Tidak, jangankan memukul, menginjak semut saja anak itu tidak akan mau. Pernah suatu hari ketika usia Khey masih lebih kecil, dia tidak sengaja menginjak seekor semut dan berakhir menangis karena merasa bersalah. Butuh waktu yang cukup lama untuk Aryan-dibantu teman-temannya-untuk menenangkan bocah itu.
"Kok bisa? Pasti ada alasannya kan? Itu bocah kan soft abis kaya bapaknya."
"Iya. Awalnya Khey nggak mau cerita, tapi begitu denger Aryan manggil nama lengkapnya, dia langsung cerita alasannya. Dan lo nggak akan nyangka alasannya karena temennya ngatain dia anak haram." Satria dan Kayla yang mendengar tutur kata Jaz terkejut bukan main. Kayla mengernyit heran. Kenapa teman Khey bisa berkata seperti itu? Apakah sahabat kakaknya itu seorang single parent? Selama ini tidak ada satupun yang pernah menjelaskan status Aryan pada Kayla, dan selama ini Kayla selalu beranggapan bahwa sahabat kakaknya itu sudah berkeluarga.
Satria menghela nafas berat. Tidak terbayangkan bagaimana reaksi Aryan ketika mendengar hal itu.
"Aryan gimana? Nggak lepas kontrol kan?"
"Untungnya enggak, dia emosi tapi masih cukup bisa ngontrol tingkah lakunya. Cuma ya gitu, langsung deh uang segepok dia banting ke atas meja buat biaya pengobatan temennya Khey."
"Terus Khey gimana? Dia paham dong berarti arti kata haram kalau sampe dia mukul temennya?"
"Iya dia paham, lo tau sendiri itu bocah cerdasnya kaya apa. Kaya bapaknya persis. Untungnya sih begitu digendong Aryan di perjalanan pulang, dia langsung bisa tidur. Kecapekan mungkin habis nangis nggak berhenti-berhenti. Cuma gue belum ngecek lagi gimana keadaan mereka sekarang."
"Yaudah Bang, biarin dulu aja. Mereka kayaknya butuh waktu ngobrol berdua. Nanti kalau Aryan butuh bantuan pasti dia bakal ngehubungin."
"Iya, gue juga mikir gitu." Keduanya lalu terdiam cukup lama. Merenungi jalan hidup sahabatnya. Sesungguhnya banyak hal yang mereka ingin tanyakan pada Aryan, tapi mereka tidak ingin memaksa Aryan bercerita. Biar waktu yang menjawab misteri cerita Aryan dan Khey.
"Yaudah gitu aja Sat, gue cuma mau laporan. Sorry ganggu lo malem-malem."
"Kagak ngeganggu Bang. Gue juga pingin tau gimana ceritanya tadi."
"Yaudah kalau gitu gue tutup ya, mau kelon sama bini hahaha."
"TMI banget astaghfirullah! Jangan bikin makin ngebet nikah, ini ngurusinnya bikin sakit kepala."
"Sabar tiga bulan lagi bisa kelon wkwkwkwk. Dah ah, Bhay dulu ya calon manten."
"Hhhhh, yaa makasih ya bang laporan dan TMI-nya." Satria lantas memutus sambungan telepon yang masih menyisakan tawa di ujung sana.
Kayla menatap Satria masih dengan tatapan penuh tanya. Satria yang sadar dirinya diperhatikan dari tadi lantas menoleh ke arah adiknya.
"Kok temennya Khey bisa bilang gitu Mas?" Kayla akhirnya membuka suara, setelah Satria menaikkan alisnya sebagai tanda pria itu memahami ada yang ingin Kayla tanyakan.
"Aku belum pernah cerita ya? Aryan itu single parent. Dulu jaman kita kelar thesis dan tinggal nunggu buat wisuda S2, Aryan tiba-tiba pergi ke Jakarta. Nggak tau ada apa, dia nggak pernah cerita, tapi balik-balik ke Jogja dia bawa berita mengejutkan. Dia pulang dengan Khey di gendongan. Waktu kita tanya, dia cuma jawab kalau bayi laki-laki itu anaknya. Selebihnya kita nggak tau apa-apa. Dia belum mau cerita. Mas sendiri sebenernya pingin tanya, karena setau Mas, Aryan bukan tipe orang dengan gaya pacaran yang bebas, tapi Mas selalu urungkan. Kayaknya ini topik sensitif, jadi Mas milih nunggu Aryan aja yang cerita. Karena itu, Mas juga nggak bisa cerita banyak sama kamu." Kayla mengangguk mengerti. Sesungguhnya dia bukan tipe orang yang mau ikut campur urusan orang lain, apalagi mereka sebenarnya tidak saling mengenal tetapi mengingat betapa seringnya dia mendengar cerita Aryan dan anak laki-lakinya, mau tidak mau Kayla jadi merasa penasaran. Kedua sepupu itu lantas terdiam, hanya ada suara televisi yang mengisi keheningan. Setelah terdiam cukup lama, Kayla kemudian mengalihkan perhatiannya kembali ke ponsel di genggamannya. Masih belum ada balasan. Pesan singkat yang baru saja dia kirimkan sebelum konsentrasinya terpecah karena sambungan telepon Satria pun belum menunjukkan tanda-tanda dibaca oleh sang penerima. Satria yang menyadari ekspresi sepupunya yang berubah sendu pun akhirnya menyuarakan tanyanya.
"Tristan?"
Hanya satu kata yang keluar dari mulut Satria, tapi itu sudah cukup untuk membuat Kayla akhirnya bercerita. Tentang kekasihnya yang saat ini terlibat hubungan jarak jauh dengannya. Tentang bagaimana hubungan keduanya yang Kayla rasakan semakin berjarak. Tentang pesan singkat yang semakin lama semakin panjang jarak antara terkirim dan dibalas. Tentang sambungan telepon yang sudah seminggu ini tak terjawab. Kayla khawatir, jika kekasihnya akhirnya mencapai titik lelah menunggu dan memutuskan untuk berpaling. Katakan Kayla berlebihan, tapi firasat perempuan tidak bisa diremehkan. Meskipun Tristan sering beralasan pekerjaan kantor yang menyita waktu dan pikirannya, tapi sesibuk apapun Tristan dulu, akan selalu ada waktu untuknya mengirimkan setidaknya satu pesan singkat setiap harinya. Lantas apa yang berubah? Entahlah. Kayla sudah cukup pusing dengan thesis-nya yang sudah memasuki tahap penyusunan, sekarang pikirannya semakin tak karuan karena kealpaan kabar dari kekasihnya.
"Ditunggu aja, siapa tau emang beneran sibuk dia. Tapi kalau sampai dia macem-macem disana dan nyakitin kamu, bilang sama Mas. Mas bakal langsung pesen tiket pesawat paling cepet buat patahin hidungnya." Satria mengusap rambut Kayla lembut. Sepupunya ini sudah beberapa hari gundah gulana karena masalah dengan kekasihnya yang tak juga menemukan titik terang. Kayla hanya menganggukkan kepalanya pelan. Dia bersyukur setidaknya ada Mas Satria disini, sepupunya itu selalu bisa menenangkannya. Sudahlah, tidak ada gunanya mencemaskan sesuatu yang belum tentu ujung pangkalnya. Pikirkan masalah ini nanti ketika Tristan akhirnya bisa dihubungi, saat ini Kayla hanya ingin memfokuskan pikirannya untuk penyusunan thesis yang sudah hampir rampung itu.
To be continued~
Yeaay akhirnya muncul juga Kayla! cerita ini agak slow burn ya, jadi mohon bersabar. Mungkin butuh satu atau dua chapter lagi sampai Aryan ketemu Kayla. Semoga inspirasinya jalan terus, jadi bisa cepet update chapter selanjutnya. Selamat membacaaa~