Almeta masih berada di tempat yang sama. Ia bermain air bersama anak-anak panti. Mereka tertawa bersama. Untuk saat ini, Almeta melupakan semua masalah di hidupnya.
"Kak Meta jahat! Kok Cici di siram sih? 'Kan jadi basah," ujar Cici bersungut-sungut. Wajahnya menampilkan raut kekesalan. Melihat itu, Almeta tertawa terbahak-bahak. Ia tidak menyadari bahwa ada seseorang yang memerhatikannya dari kejauhan.
Dirasa hari mulai siang dan matahari mulai naik lebih tinggi, Almeta memutuskan untuk membawa anak-anak panti pulang. Ia memang sendirian membawa mereka karena Bu Narti harus menjaga Aldo.
Almeta memanggil semua anak-anak dan menghitung jumlah mereka. Setelah dirasa lengkap, ia meminta anak-anak itu untuk mengganti pakaian. Mereka menurut dan langsung pergi ke tempat pengganti pakaian. Almeta juga begitu, ia mengganti pakaiannya yang sudah basah kuyup akibat bermain air tadi.
Setelah mengganti pakaian, ia pun mengajak anak-anak untuk pulang. Saat perjalanan pulang, lagi-lagi ada seseorang yang mengikutinya. Ia tidak menyadari itu karena asik bersenda gurau dengan anak-anak.
Sesampainya di panti asuhan, ia dan anak-anak masuk ke dalam dan segera beristirahat. Sementara, orang yang mengikutinya tadi tersenyum tipis. Ia kembali menjalankan motornya dan berlalu dari tempat persembunyiannya.
~oOo~
Jam sudah menunjuk di angka tiga. Bel pulang sekolah berbunyi sebagai tanda berakhirnya pelajaran hari ini. Seluruh siswa-siswi berhamburan keluar dari kelas mereka.
Zio keluar dari kelasnya dengan kedua tangannya yang ia masukkan ke dalam saku celana. Ia berjalan menuju parkiran dengan langkah santai. Saat sampai di parkiran, ia mengambil kunci mobilnya dan menekan salah satu tombol pada remote alarm mobil.
Setelah terdengar suara, ia langsung masuk ke dalam mobilnya dan langsung mengemudikannya keluar dari sekolah. Di perjalanan pulang ia bersenandung kecil untuk menghilangkan rasa bosan.
Saat sudah berada tidak jauh dari apartemennya, ia tidak sengaja melihat seorang gadis yang ia kenal mengendarai motor keluar dari gang. Zio mengernyitkan dahinya. Ia mengikuti gadis itu diam-diam. Cukup lama ia mengikutinya, hingga gadis itu masuk ke wilayah perumahan elit. Zio masih bergelut dengan pikirannya sambil tetap mengikuti gadis itu.
Hingga ia melihat gadis itu berhenti di depan sebuah rumah mewah. Saat gerbang terbuka, gadis itu langsung masuk ke dalam dan setelah itu gerbang kembali tertutup.
Zio kembali dibuat bingung. Ia tahu bahwa gadis itu berasal dari keluarga kaya. Tapi, tidak pernah terpikirkan di benaknya bahwa Almeta se-kaya itu. Maksudnya, Zio tidak tahu bahwa gadis itu berasal dari keluarga terpandang, karena yang ia ketahui lingkungan rumah yang ditempati gadis itu hanya untuk kalangan tertentu. Ia jadi bertanya-tanya tentang siapakah orang tua gadis itu sebenarnya.
"Dia gak sekolah hari ini. Dia bolos kemana ya? Kenapa dia keluar dari gang itu?" gumam Zio bertanya-tanya. Karena hari sudah mulai sore, ia memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Selama perjalanan, pikirannya tak lepas dari sosok yang ia temui tadi.
Ia jadi bingung, kenapa sekarang ia jadi sering memikirkan gadis itu? Padahal ia sangat tidak menyukainya. Ya, gadis yang Zio ikuti diam-diam itu adalah Almeta.
~oOo~
"Assalamualaikum!" Almeta memasuki rumahnya lalu mendudukkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Di dapur sudah ada Mbok Inah yang sudah menunggunya.
"Wa'alaikumsalam!" jawab Mbok Inah sambil berlari mendekati asal suara. Almeta tersenyum manis ke arah Mbok Inah. Ia menyalimi wanita paruh baya yang sudah merawatnya sejak bayi itu.
"Non Meta darimana saja? Kenapa Non Meta baru pulang? Non Meta bolos lagi, ya?" tanya Mbok Inah bertubi-tubi. Almeta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung harus menjawab pertanyaan Mbok Inah. Ia tidak ingin membohonginya, tapi ia juga tidak ingin membuatnya khawatir.
"Meta ada urusan Mbok. Mbok gak usah khawatir ya," Ujar Almeta sembari tersenyum manis.
"Gak khawatir gimana sih, Non? Non Meta gak pulang sejak kemarin malam. Terus Nyonya dan Tuan juga gak pulang," ucap Mbok Inah penuh kekhawatiran. Tapi, saat menyadari ada kesalahan di perkataannya, Mbok Inah refleks menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
Raut wajah Almeta seketika berubah saat Mbok Inah menyebut kedua orang tuanya. Ia tersenyum miris. Ingin sekali ia tidak perduli dengan kedua orang tuanya. Tapi, itu tidak mungkin bisa ia lakukan. Ia sangat menyayangi keduanya.
"Mbok lupa, ya? Mama dan Papa 'kan udah biasa gak pulang. Ngapain heran? Meta aja udah biasa di tinggal, kok," sahut Almeta lirih. Mbok Inah yang melihat itu pun tidak tega.
"Non ..." panggil Mbok Inah dengan tatapan sendunya. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak menambah kesedihan Almeta.
"Mereka udah bahagia di luar sana, Mbok. Mereka gak pernah butuh Meta," ujarnya pelan sambil menundukkan kepalanya.
"Meta salah apa Mbok? Kenapa Allah membiarkan Meta hidup kalau hanya untuk menanggung ini semua?" tanya Almeta dengan nada pasrah.
"Non Meta jangan bicara seperti itu! Allah pasti menyiapkan rencana yang indah di balik ini semua," tutur Mbok Inah menenangkan.
"Meta capek," keluh Almeta meneteskan air mata. Senyuman yang ia pancarkan di luar sana hanyalah sebuah kepalsuan. Hebatnya, semua orang percaya bahwa ia baik-baik saja.
"Non ...." lidah Mbok Inah terasa kelu untuk menyampaikan kata-kata. Melihat kerapuhan Almeta, ia tidak bisa berkata-kata. Gadis yang ia rawat sejak bayi itu rupanya sangat mahir menutupi segalanya.
"Jawab Meta, Mbok! Apa salah Meta? kenapa Mama dan Papa gak pernah peduli sama Meta? Apa Meta ini bukan anak kandung mereka?" Mbok Inah tercengang dengan perkataan Almeta. Ia menggelengkan kepalanya cepat untuk menyangkal.
"Terus kenapa, Mbok? Kenapa?" suara Almeta terdengar sangat memilukan. Almeta memeluk Mbok Inah erat. Seakan ia tidak ingin Mbok Inah juga pergi darinya.
"Mbok Inah jangan seperti mereka ya, Mbok. Mbok Inah jangan pergi!" pinta Almeta sungguh-sungguh. Mbok Inah mengangguk di pundak Almeta. Tidak sedikit pun terlintas di pikiran Mbok Inah untuk meninggalkan Almeta. Ia sangat menyayangi putri majikannya itu sepenuh hati.
"Sekarang Meta cuma punya Mbok Inah. Mbok Inah tetap di sini, ya," lagi-lagi Mbok Inah mengangguk. Almeta tersenyum disela-sela tangisnya. Cukup lama mereka berada di posisi itu hingga Almeta melonggar pelukannya. Ia sudah merasa lebih baik setelah di peluk oleh Mbok Inah.
"Non Meta, makan dulu yuk!" ajak Mbok Inah dan diangguki oleh Almeta. Mereka berjalan menuju ruang makan. Di atas meja sudah tersedia berbagai macam makanan kesukaan Almeta.
"Wah, ini makanan kesukaan aku semua, Mbok!" pekik Almeta girang. Ia segera menarik salah satu kursi lalu mendudukinya. Almeta mengambil nasi, lauk, dan sayur kesukaannya. Sementara, Mbok Inah menyiapkan minuman untuknya.
Setelah menghabiskan semua makanan kesukaannya. Almeta meminta izin kepada Mbok Inah untuk pergi ke kamar. Setelah di kamar, ia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya.
Beberapa menit kemudian, Almeta keluar dari kamar mandi dan mengenakan pakaiannya. Rencananya, malam nanti ia berencana untuk bertemu dengan teman-temannya. Karena merasa sangat lelah, Almeta memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tak berselang lama, ia pun tertidur.
Tak terasa hari sudah mulai berganti malam. Almeta mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya. Ia melihat jam dinding yang menunjuk ke angka sembilan. Almeta mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang.
"Hallo!" sapa orang di seberang telepon. Suaranya tampak sangat antusias.
"Lo di mana?" tanya Almeta.
"Sirkuit. Kenapa? Kangen sama gue atau kangen balapan?" tanya orang itu yang sedikit terkekeh.
"Lagi pengen nih. Daftarin gue ya."
"Hem ... oke deh!" sahutnya.
"Gue siap-siap dulu, bye!" Almeta memutuskan sambungan teleponnya. Ia pergi ke kamar mandi dan memulai ritual mandinya dalam waktu sepuluh menit. Ia tidak ingin berlama-lama karena udara yang cukup dingin.
Almeta mengenakan kaos polos dan di balut denim jaket. Untuk celananya, ia menggunakan ripped jeans. Sementara, sepatu yang ia gunakan adalah sneakers hitam. Tidak lupa juga topi yang menutupi atas kepalanya.
Ia mengambil kunci motornya lalu segera keluar kamar. Di lantai bawah sangat sepi, tampaknya Mbok Inah sudah beristirahat. Ia langsung keluar dari rumah tanpa berpamitan terlebih dahulu.
Beberapa menit di tempuh Almeta untuk menuju sirkuit. Setelah sampai di sana, ia disambut oleh beberapa temannya. Almeta tersenyum sambil bertos ala mereka.
"Waduh, Ta, lama gak muncul makin cantik aja lo!" ujar salah satu teman laki-laki Almeta yang berperawakan tinggi dan kurus, namanya David.
"Iya dong. Dari pada lo, makin kerempeng aja!" kata Almeta bercanda.
"Lama gak kesini, udah kaya lo?" sindir teman Almeta yang berambut ikal― Pras.
"Gue mah emang udah kaya dari sononya!" sahut Almeta dengan gaya sombongnya.
"Bram!" panggil Almeta seraya melambaikan tangannya. Pemilik nama pun menoleh dan tersenyum. Ia berjalan mendekati Almeta.
"Udah nyampe ternyata. Kenapa gak ngabarin gue?" Tanya Bram saat sudah berada tepat di depan Almeta.
Almeta dan Bram sudah berteman sejak lama. Pertemuan pertama mereka saat Almeta tidak sengaja melihat Bram yang kecelakaan motor di daerah sepi penduduk. Almeta membantu Bram dan membawanya ke rumah sakit.
Sejak saat itu lah mereka berteman. Bram sering mengikuti balapan tapi, Almeta tidak mengetahuinya. Lama kelamaan, Almeta mengetahui itu dan ikut bergabung dengan Bram saat ada balapan.
"Baru nyampe kok," kata Almeta sambil tersenyum.
"Lo udah gue daftarin. Ayo ke sana!" Almeta dan teman-temannya menuju ke tempat yang di tunjuk Bram.
"Lo yakin mau ikut balapan, Ta?" tanya Bram memastikan. Ia tahu, jika Almeta sudah memutuskan sesuatu pasti tidak akan bisa di ganggu gugat. Tapi, ia juga khawatir takut terjadi sesuatu kepada Almeta. Karena Bram tahu, jika Almeta ikut balapan, berarti keadaannya sedang tidak baik-baik saja.
"Lo ngeraguin gue? Tenang aja, Bram. Meskipun gue udah lama gak balapan, skill gue masih oke!" sahut Almeta penuh keyakinan. Bram hanya bisa mengangguk.
Almeta dan motor kesayangannya menuju garis start untuk memulai balapan. Seorang wanita cantik yang bertubuh seksi maju di hadapan para peserta balapan. Ia membawa sebuah bendera di tangannya.
"ONE, TWO, THREE, GO!" wanita itu mengayunkan tangannya yang memegang bendera ke atas, dan balapan pun dimulai. Sorak sorai para penonton menggelegar. Mereka menyoraki para jagoan mereka.
Almeta masih menjalankan motornya tidak terlalu cepat tapi tetap fokus. Ia memiliki strategi sendiri. Setelah dirasa cukup untuk santai-santai, Almeta melihat tikungan di depan dan ia pun segera menjalankan strateginya.
Gadis itu menyalip beberapa pembalap saat melewati tikungan. Ia terus melakukan hal yang sama saat melewati tikungan. Sampai pada akhirnya, Almeta menambah kecepatan motornya saat menyadari garis finish sudah di depan mata.
Pekikan histeris terdengar saat Almeta melaju melewati garis finish. Ia memberhentikan motornya dan melepas helm di kepalanya. Saat Almeta turun dari motor, terlihat Bram, Pras, dan David menghampirinya sambil tersenyum bangga.
"Jagoan kita, man!" ucap Pras sambil bertos ria dengan Almeta. Di susul oleh Bram dan David setelahnya.
"Hebat! Udah lama vakum, pas balik tambah keren aja lo!" kata David menepuk-nepuk bahu Almeta. Almeta hanya tersenyum menanggapi perkataan teman-temannya.
"Hadiah gue!" Almeta menyodorkan tangannya ke arah Bram. Laki-laki itu memutar bola matanya jengah.
"Gue kira lo lupa, Ta," Ujar Bram sambil memberikan amplop cokelat yang berisi uang. Almeta menerimanya dengan senang hati. Ia mengintip isi amplop tersebut dan tersenyum senang.
"Ini duit, bro. Gak mungkin gue lupa!" Kata Almeta sembari mengibaskan amplop cokelat di tangannya.
"Udah ah, gue capek nih. Gue balik duluan, ya!" Almeta melambaikan tangannya dan hendak menaiki kembali motor kesayangannya. Tapi pergerakannya terhenti saat ia mendengar seseorang memanggil namanya.
"Almeta!" Almeta membalikkan badannya dan terlihat seorang pria tampan yang ia kenal sahabat dari orang yang ia sukai.
"Afkar?"
Bersambung...