"Marah-marah gak jelas dan ngomong suka ngegas merupakan ciri-ciri cewek lagi cemburu."
***
Gladyz langsung turun dari motor Yoga saat mereka sudah sampai ke rumah. Dia bergegas menuju pintu, mengambil kunci dari tas lalu segera membuka pintu dan masuk. Tidak menghiraukan Yoga sama sekali.
Yoga menghela napas panjang, heran dengan perubahan sikap Gladyz. Gadis itu seperti ogah-ogahan berbicara dengannya, bahkan jika ditanya pasti jawabnya ngegas. Yoga hanya bisa mengelus dada menghadapi Gladyz saat ini.
"Mungkin lagi pms, makanya galak gitu," ucap Yoga berusaha berpikir positif.
Cowok itu membuka garasi lalu memasukan motornya ke dalam sana. Setelah menutup kembali pintu garasi dia langsung menyusul Gladyz.
Baru juga satu langkah memasuki rumah, Yoga sudah mendengar suara pintu yang dibanting kasar. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Gladyz. Yoga harus banyak-banyak beristigfar sekarang.
"Sabar, Ga, dia istri lo," gumamnya.
"Untung sayang."
***
"Dyz," panggil Yoga seraya mengetuk pintu kamar Gladyz.
"Apa?" Terdengar suara dengan nad ketus dari dalam kamar. Namun, tak ada tanda-tanda pintu akan terbuka.
"Makan dulu, entar lo sakit," ucap Yoga selembut mungkin. Berharap Gladyz luluh dan mau keluar kamar.
Semenjak pulang dari rumah orang tuanya Gladyz mengurung diri di kamar. Sebanyak apapun Yoga berteriak dan membujuknya, gadis itu tetap tidak mau keluar. Entah apa yang dia lakukan di dalam sana.
"Emang lo peduli kalau gue sakit?" Sekarang nada bicara Gladyz itu terdengar sinis. Yoga hanya bisa menghela napas dan mengelus dada.
Yoga memutar otak, mencoba mencari cara yang bisa membuat Gladyz keluar dan segera makan. Dia tak ingin Gladyz jatuh sakit. Dia benar-benar mengkhawatirkan istrinya itu.
"Sayang, makan dulu, yuk," bujuk Yoga dengan kesabaran ekstra. Kalau bukan karena sayang dia tidak akan melakukan hal seperti ini.
"Gak usah manggil sayang! Najis kayak anjing!"
Kedua tangan Yoga terkepal kuat mencoba menahan diri agar tidak berkata kasar pada Gladyz. Dia tidak ingin gadis itu semakin marah.
Yoga terdiam sesaat, mencoba mengumpulkan kembali puing-puing kesabarannya yang sempat runtuh. Dia harus berbaikan dengan Gladyz malam ini juga. Tak tahan rasanya diperlakukan kembali seperti musuh oleh Gladyz.
"Adyz, kenapa? Kalau ada masalah, cerita. Kalau Yoga ada salah, bilang. Jangan marah-marah gak jelas gini dong," kata Yoga.
"Cerita ke siapa? Ke setan? Ya, kali ngomong sama makhluk gak kasat mata! Goblok lo!" maki Gladyz yang tengah berbaring di kasur sambil memeluk guling. Sebagian tubuhnya ditutupi selimut, sedangkan bantal bukan lagi berada di bawah kepala, melainkan di atas wajah.
Yoga tersentak dengan sebelah tangan memegang dada. Bukannya mendapat jawaban, Yoga malah dikatai goblok oleh Gladyz. Memangnya pertanyaannya tadi seperti orang goblok, ya?
"Gak sama setan juga kali, kan masih ada gue," ujar Yoga yang kini bersandar di depan pintu kamar Gladyz.
"Ogah gue cerita sama lo, mending cerita sama setan!"
"Udah lo pergi aja sana, gak usah ngomong gak jelas di depan kamar gue. Gue mau tidur, bukan mau makan!"
"Lho, kok ngusir? Niat gue kan baik. Gue gak mau lo sakit," protes Yoga.
"Banyak bacot lo. Lo balik ke kamar lo atau gue balik ke rumah bunda?" ancam Gladyz.
Tak ada pilihan lagi selain kembali ke kamar. Yoga tak ingin Gladyz kembali ke rumah lamanya, yang ada mertuanya akan tahu jika rumah tangga mereka sedang tidak baik-baik saja dan Yoga dicap menantu tidak becus.
"Iya, iya, gue balik ke kamar gue. Good night, dear," ucap Yoga sebelum kembali ke kamarnya.
"Bacot!" teriak Gladyz.
***
Gadis berseragam lengkap dengan rambut yang dikucir keluar dari dalam kamarnya. Senyum manis sudah terlukis di wajahnya yang kemarin terus saja terlihat datar.
Setelah berdiam di kamar semalaman tanpa gangguan siapapun akhirnya, mood-nya kembali membaik. Hari ini dia akan kembali bersikap biasa saja pada Yoga. Tak ada lagi amarah karena tersulut api cemburu seperti kemarin.
Gladyz menoleh ke arah tangga saat mendengar suara langkah . Dahinya berkerut melihat Yoga yang nampak buru-buru. Bahkan sampai tak menyadari kehadiran Gladyz yang tak jauh darinya.
"Ga," panggil Gladyz yang mengikuti Yoga dari belakang. Yoga yang sudah berada di ambang pintu utama menghentikan langkah lalu berbalik.
"Kenapa, Dyz?" tanya Yoga.
"Lo mau ke mana? Buru-buru banget?" Gladyz malah bertanya balik.
"Gue mau jemput Zeva. Gue duluan, ya, takut telat entar. Lo bawa mobil sendiri, ya. Hati-hati," ucap Yoga panjang lebar lalu bergegas mengeluarkan motornya dari garasi.
Gladyz menghela napas, mood-nya kembali hancur padahal jam masih menunjukan pukul 06.15 WIB. Rasa cemburu kembali menggerayangi hati. Dia akan kembali bersikap judes pada Yoga seperti kemarin.
***
"Pagi, Va," sapa Gladyz dengan senyum manis tanpa memedulikan kehadiran Yoga yang juga berada di sana. Dia memang cemburu pada Yoga dan Zeva, tetapi dia tidak bisa mendiamkan Zeva yang berstatus sahabatnya.
"Pagi, Dyz," balas Zeva yang terlihat lemas.
Gladyz sangat prihatin melihat keadaan sahabatnya yang semakin hari semakin kacau saja.
"Ekhm, gue gak disapa, nih?" Yoga berdehem lalu menaik turunkan kedua alisnya.
"Maaf anda siapa, ya?" tanya Gladyz terdengar sinis.
"Masa depan lo," jawab Yoga tersenyum lebar.
"Ohh," balas Gladyz hanya ber-ohh ria.
"Gue ke toilet bentar, ya," pamit Gladyz lalu berjalan keluar kelas.
Sebelum benar-benar pergi, Gladyz sempat melirik Yoga dan Zeva. Yoga tersenyum sambil mengusapi rambut sebahu gadis yang tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja.
Hati Gladyz kembali sesak. Dia benar-benar sangat cemburu, tetapi dia bisa apa? Hanya bisa diam karena bicara pun belum tentu didengarkan oleh Yoga.
***
Bukannya pergi ke toilet, Galdyz malah duduk berdiam diri di bangku taman. Gadis itu menunduk, rambutnya kini telah digerai dan dibiarkan menutupi wajah. Suara isakan terdengar samar-samar.
Perlahan kepalanya terangkat, menampilakn wajah yang terlihat basah karena air mata. Gladyz menangis. Tak ada yang bisa dilakukan selain menumpahkan segala rasa sakit di hati melalui air mata.
"Sakit, Tuhan, sakit! Kenapa rasa cemburu ini sangat menyiksa!" teriak Gladyz sambil meremas rok abu-abunya.
"Kenapa hamba harus menyayangi orang yang hatinya entah untuk siapa?!"
"Yoga, gue sayang lo!" pekiknya.
"Lo sayang gue?" tanya Yoga yang kini sudah berdiri tepat di belakang bangku yang di duduki Gladyz.
Tubuh Gladyz menegang. Haruskah Yoga mengetahui perasaannya sekarang?
Rasanya Gladyz ingin melompat ke jurang saja. Dia merasa seperti pencuri yang sedang tertangkap basah. Dia malu karena ketahuan mencintai Yoga, sementara cowok itu tak memiliki rasa apa-apa padanya.
***
Sulawesi Tengah, 29 Agustus 2020.
Dahlah, part ini gak jelas😴