Hardi
Selama tiga hari terakhir, aku memfokuskan diri untuk mengerjakan cetak biru rumah salah satu klien. Aku tidak bekerja sendirian, Benny membantu menemukan ide-ide menarik untuk rumah tersebut. Malam ini, aku akan mengirimkan gambarnya melalui email sebelum pergi ke tempat yang telah kami rencanakan besok.
Saat matahari mulai tenggelam, aku berada di ruang arsitek untuk membersihkan semua peralatan kerjaku sendiri. Benny memiliki kesibukan sendiri, jadi aku tidak ingin merepotkannya. Aku merapikan alat tulis dan beberapa gulungan kertas ke tempat yang telah ditentukan dan menaruh kembali buku-buku ke dalam lemari buku.
Setelah ruangan rapi, aku mengambil tempat duduk di dekat jendela. Sambil memperhatikan langit yang mulai gelap, perasaanku menjadi tenang. Tidak ada kekacauan atau kegelisahan, semuanya terasa tenang.
Tiba-tiba, ada suara ketukan pintu. Pintu terbuka dan Benny masuk ke dalam ruangan, berdiri di depan pintu.
"Hardi, kapan kamu mandi? Aku akan mempersiapkan masakannya ketika kamu sudah mulai mandi!" tanya Benny.
"Baik, Ben. Aku akan mandi sebentar lagi," jawabku.
"Oke, Hardi," kata Benny sambil meninggalkan ruangan tanpa menutup pintu.
Aku meninggalkan ruangan juga, mematikan lampu dan menutup pintu. Seperti biasa, aku mengunci pintu karena masih mencari sesuatu, entah itu buku, kertas, ataupun lainnya yang mungkin saja itu berhubungan dengan rumah tersebut dan tidak ingin Benny melihat-lihat.
***
Setelah makan malam, aku meninggalkan Benny di ruang makan dan kembali ke ruang arsitek. Sesuai rencana, aku akan mengirimkan cetak biru desain rumah tinggal klien aku lewat email. Semoga saja klien tidak menuntut banyak, sehingga pekerjaan ini bisa langsung dikerjakan oleh para pekerja bangunan.
Aku menyalakan laptop dan mulai menulis email. Setelah itu, aku mencari berkas gambar cetak biru yang sudah dikerjakan ulang lewat laptop. Aku tidak lupa melampirkan hasil render 3D agar klien bisa melihat dengan jelas perkiraan hasil jadinya nanti. Setelah semuanya sudah siap, akhirnya aku mengeklik tombol kirim. Lalu, aku menutup laptopku karena email akan masuk melalui ponsel. Jadi, aku tidak perlu membuka laptop lagi.
Karena sudah tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan malam ini, aku pergi ke lemari buku untuk mencari buku yang cocok untuk dibaca malam ini. Aku menemukan sebuah buku yang menarik tentang cara menata rumah dengan baik dan memanfaatkan ruang di mana saja sehingga terlihat rapi. Penulis dari Jepang memberikan petunjuk praktis yang sangat menarik dan mudah dipahami.
Aku melihat banyak sekali buku yang tersimpan di sini, baik itu buku lama maupun baru yang diterbitkan beberapa tahun lalu. Aku yakin Pak Bos tidak pernah membuka ruangan ini sejak Benny tinggal di sini. Aku juga merasa ada sesuatu yang disembunyikan Pak Bos. Aku tidak tahu apakah aku akan menemukan 'hal' tersebut di sini, tapi aku menemukan kunci pintu yang membuatku curiga. Sayangnya, aku tidak menemukan petunjuk apa pun yang mengarah ke 'hal' itu.
Aku berniat membawa buku yang telah aku ambil ke kamar untuk membaca dengan nyaman. Dengan begitu, aku segera meninggalkan ruangan tersebut dan mengunci pintunya. Namun, tiba-tiba saja Benny muncul dari arah ruang keluarga dan menghentikan langkahku saat aku sedang mengunci pintu.
"Hardi, mau ke mana?" tanyanya penasaran.
"Aku ingin membaca buku ini di kamar," jawabku sambil memperlihatkan buku yang kuambil kepadanya.
"Oh, bukunya menarik. Novel ya?" tanyanya lagi.
"Tidak, buku ini lebih seperti tutorial," jawabku.
Benny tampak tertarik dan meminta untuk melihat buku tersebut. Aku membiarkan dia memeriksa buku itu, dan sepertinya dia juga menyukainya.
"Kalau kamu sudah selesai membacanya, berikan ke aku juga ya. Aku ingin mempelajari buku ini dengan baik. Lumayan, aku bisa menghabiskan waktu untuk menata rumah ini agar terlihat lebih rapi," ujarnya sembari mengembalikan buku itu padaku.
"Tentu saja," sahutku dengan senyum.
"Oke, aku akan mengambil minum. Kamu mau ikut?" ajaknya.
"Aku akan ke kamar dulu. Sampai jumpa!" balasku.
Benny langsung pergi ke ruang makan, sedangkan aku bergegas menuju kamar untuk membaca buku yang telah aku genggam. Namun, setelah membuka halaman pertama, pikiranku justru melayang ke Benny. Aku merasa khawatir jika Benny mengetahui semuanya. Bingung, aku bertanya pada diriku sendiri apakah seharusnya mengungkapkan kebenaran atau tidak. Namun, anehnya, hingga saat ini dia belum menyadari bahwa aku adalah pembeli rumah ini yang pernah bertemu dengannya sekali, wajar saja karena dia masih kecil waktu itu.
"Seandainya dia mengetahuinya dari awal, aku tidak akan merasa begitu terbebani. Namun, mengapa aku harus menyembunyikan ini?" gumamku dalam hati.
Akhirnya, aku tidak memiliki semangat untuk terus membaca buku dan meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. Tak lama kemudian, ponselku berdering menandakan ada email masuk dari klienku. Aku membacanya dan merasa senang karena kliennya setuju dengan desain rumah yang aku buat, bahkan melebihi ekspektasi yang diharapkannya. Segera, aku merencanakan pertemuan dengan kliennya di kota untuk membahas lebih lanjut tentang desain rumahnya.
Sebenarnya, yang patut dipuji adalah Benny. Aku tak menyangka bahwa dia memiliki kemampuan yang sama dengan Pak Bos, meskipun gambarnya kurang sempurna. Jika dia mengetahui bahwa kakeknya adalah Pak Bos, dia mungkin akan merasa marah dan kecewa. Aku berharap tidak terjadi seperti itu, tetapi semakin lama aku menyembunyikan kenyataan ini, semakin sulit rasanya. Pikiranku bercampur aduk ketika memikirkan hal ini.
"Aku berharap Benny bisa memaafkanku," ucapku dalam hati.
Tidak ingin memikirkan hal ini, lebih baik aku mematikan lampu dan menarik selimut dan memulai tidur, bersiap untuk keesokan harinya.
***
Malam ini terasa sangat panjang bagiku. Aku tidak bisa merasakan ketenangan saat tidur. Sesekali aku melihat jam di dinding, dan masih menunjukkan pukul 11 malam. Namun perasaanku berkata lain, aku merasa telah tidur selama beberapa jam dan mungkin seharusnya sudah larut malam atau bahkan pagi. Namun karena tidak percaya, aku memeriksa jam di ponselku dan ternyata menunjukkan pukul 11 malam juga.
"Apa ini hanya perasaanku saja?" gumamku dalam hati.
Aku mencoba kembali untuk tidur, namun tiba-tiba selimutku ditarik oleh seseorang. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya, tapi aku mendengar suara yang familier.
"Pembohong..." terdengar suara itu.
Segera aku menyalakan lampu meja dan ternyata dia adalah Benny!
"Benny? Apa yang terjadi?" tanyaku khawatir.
Namun Benny hanya diam dan tidak menjawab pertanyaanku. Aku mencoba mendekatinya, namun dia menutup matanya dan berjalan seperti orang yang tidur sambil berjalan.
"Benny, apa kamu mendengar suara aku?" tanyaku lagi.
Tiba-tiba Benny membuka matanya dan membuatku kaget melihat darah segar mengalir dari matanya.
"Hardi, kamu seorang pembohong!" ucapnya dengan marah.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi, apakah dia sudah mengetahui semuanya? Namun aku tidak percaya kalau dia adalah Benny, karena tidak mungkin dia melukai dirinya sendiri hingga seperti ini.
"Benny, apa yang terjadi? Apa kamu terluka? Aku akan membantumu," ujarku cemas.
"Bisa-bisanya kamu berbuat seperti itu!" ucapnya dengan nada tinggi.
"Tidak, aku tidak bermaksud berbuat seperti itu!" jawabku dengan tegas.
"Sudah lama aku selalu percaya, tapi kamu tidak pernah mau mengatakan yang sebenarnya!" keluhnya.
"Aku selalu mencoba untuk membuat kamu tetap percaya padaku," jelasku mencoba membela diri.
"Apa kamu mau merebut hidupku?" tanyanya lagi dengan nada tinggi.
"Tidak, aku tidak ingin merebut apa pun dari kamu! Aku hanya ingin kamu percaya padaku," jawabku dengan jujur.
Tiba-tiba, aku merasa sudah berada di tepi danau yang terletak tidak jauh dari rumah. Benny sudah berdiri di ujung dermaga, dan aku merasakan tangan ini mulai mendorongnya dengan kuat, seolah-olah aku tidak bisa mengendalikan gerakan tangan ini. Namun, ketika Benny mengancam untuk mengakhiri hubungan kami, aku berusaha keras untuk menghentikan tangan ini.
"Tidak, jangan lakukan itu!" teriakku sambil mencoba menahan tangan sendiri.
"Terlambat, waktunya aku mengakhiri semua ini," ujar Benny dengan tegas, yang kemudian membuat tangan ini terus bergerak dan mendorongnya ke dalam danau.
"BENNY!!!" jeritku panik, mencoba menolongnya. Namun, aku menyadari bahwa aku tidak bisa menyelamatkan dirinya. Aku merasa bersalah dan hancur karena telah membunuh seseorang yang seharusnya aku lindungi karena kebohongan.
Tiba-tiba, tangan aku mulai melepuh dan darah segar keluar dari telapak tangan. Aku berteriak meminta tolong, tapi tidak ada orang yang mendengar.
"Ahhh... ahhh... ahhh...," tangisanku pecah ketika aku terbangun dari tidurku. Napasku terasa berat dan aku merasa kesulitan untuk bernapas. Aku melihat jam, dan ternyata masih pukul 3 pagi. Namun, suara Benny terdengar begitu jelas di telingaku. Entah itu mimpi atau kenyataan, aku tidak tahu.
Aku merasa putus asa dan bingung tentang apa yang harus kulakukan selanjutnya. Semakin aku menghindari kebenaran, semakin aku takut akan akibat yang akan kualami.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku dalam hati, sambil menggelengkan kepala dengan sedih.
Aku mencoba tidur kembali, tapi sepertinya takdir sudah menentukan bahwa malam ini aku akan terjaga. Terlebih lagi, aku takut akan munculnya mimpi buruk yang tak kunjung hilang dari kepala ini. Daripada memaksakan diri untuk tidur, aku memutuskan untuk menonton sesuatu di ruang keluarga. Setelah melihat-lihat saluran TV yang tersedia, aku memilih saluran yang bagus, dan akhirnya menemukan film yang menurutku sangat bagus.
Film itu bercerita tentang seorang penari yang memiliki masalah kejiwaan, tidak ingin menyerahkan posisi sentral kepada saingannya yang mencoba merebut semua darinya. Alunan Swan Lake yang dimainkan membuat decak kagum bagi pendengar, khususnya penikmat musik klasikal. Aku merasa terkesima dan terbawa suasana oleh cerita yang dibawakan dalam film tersebut. Terlebih lagi, alunan musik klasik dari Tchaikovsky yang diiringi dengan gerakan indah para penari membuat film ini semakin menarik untuk ditonton.
Namun, kesenanganku menonton tiba-tiba terputus ketika Benny keluar dari kamarnya dengan wajah yang masih mengantuk. Aku lalu mengambil remote dan mengecilkan volume suara, takut mengganggu istirahatnya.
"Benny, apa aku membangunkan tidur kamu?" tanyaku sambil tersenyum.
"Hhuuuaaammm.... Iya. Tumben kamu bangun di jam begini?" jawabnya sambil menggosok-gosok matanya.
"Aku tidak bisa tidur, jadi aku menonton TV sambil menunggu berlari pagi."
"Kalau begitu, aku ikut menonton saja. Aku sudah tidak bisa tidur," ujarnya sambil mendekati aku dan duduk di sebelahku.
Aku merasa senang bisa menemani Benny menonton film. Meskipun ia sesekali menguap, tapi itu tidak mengganggu kami menikmati film bersama.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 pagi, aku merasa senang karena film yang aku tonton tadi malam akhirnya selesai. Di dalam film itu, seorang gadis menari dengan penuh semangat dan melepaskan dirinya ke dalam gerakan tariannya. Meskipun terluka, dia masih bisa menyelesaikan tariannya dengan sempurna, membuatnya merasa sangat puas. Walaupun aku tidak menonton film tersebut secara keseluruhan, aku merasa puas dengan jalan ceritanya.
Setelah itu, aku pergi ke jendela ruang tamu untuk melihat kondisi di luar. Sudah saatnya aku berangkat untuk berlari pagi, yang menjadi rutinitasku setiap hari. Tiba-tiba, Benny mengikutiku dari belakang. Tampaknya dia sudah mengetahui rencanaku untuk berlari pagi, dan aku merasa bahwa ini bisa menjadi kesempatan yang bagus untuk mengajaknya bergabung.
"Ben, kamu mau ikut aku berlari pagi?" tanyaku.
Benny terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Aku ingin ikut. Biasanya aku jarang bangun di jam seperti ini. Mungkin ini kesempatan bagiku untuk mencoba merasakan bagaimana berlari pagi sebenarnya."
"Apa kamu bisa berlari?" tanyaku khawatir, mengingat dia pernah kecelakaan yang menyebabkan kakinya cedera.
"Iya, walau kakiku sudah lebih baik, aku akan mencobanya secara perlahan-lahan.," jawab Benny dengan mantap.
"Baiklah, kita akan berjalan santai sambil berlari pagi kecil-kecilan, supaya kamu tidak terlalu kelelahan," ujarku.
"Baiklah," sahut Benny setuju.
"Oke, kalau begitu, gantilah pakaian kamu. Apa kamu punya sepatu untuk berlari?" tanyaku lagi.
"Iya, aku tidak punya," Benny menjawab dengan lesu.
"Baiklah, coba aku ukur dulu ukuran kakimu," kataku sambil mendekatkan kakiku ke kakinya Benny. Ukurannya hampir sama dengan kakiku.
"Ukurannya tidak jauh beda dengan kakiku. Jadi, aku akan ambilkan sepasang sepatu lari buat kamu," ujarku dengan senyum.
"Terima kasih, Hardi. Aku akan segera ganti pakaian dulu," ujar Benny sambil berlalu ke kamarnya.
***
Setelah persiapan selesai, aku dan Benny bersiap untuk berjalan santai terlebih dahulu sebelum mulai berlari. Ketika aku membuka pintu rumah, hawa dingin pagi buta langsung menusuk tubuh kami. Aku bisa merasakan kebekuan udara menusuk tulang belakangku dan membuat aku merasa segar dan terjaga. Namun, Benny yang tidak terbiasa dengan hawa dingin pagi hari, langsung menggigil dan merapatkan dirinya sendiri.
"Apa kamu baik-baik saja, Ben?" tanyaku khawatir.
"Rasanya ingin menghangatkan diri di depan perapian. Dingin sekali!" Benny membalas, suaranya bergema di sekitar kita.
"Ayolah, cobalah hari ini saja. Jika kamu tidak suka, aku tidak akan memaksa kamu untuk ikut lagi dan seterusnya," ujarku memotivasi Benny agar tetap melanjutkan rencana berlari pagi kami.
"Baiklah," jawab Benny dengan sedikit gemetaran dalam suaranya.
Kami keluar dari rumah, dan mulai berjalan santai walau Benny masih belum terbiasa dengan hawa dingin di pagi hari ini. Aku berjalan di depan, memandang suasana yang masih sepi dan gelap di sampingku. Hanya ada suara alam yang menemani kami, sehingga kami bisa berbicara tanpa gangguan.
"Kamu tahu Ben, meski setiap pagi aku merasa kedinginan ketika berlari, tetapi rasanya luar biasa," ujarku sembari tersenyum.
"Tapi mengapa kamu masih tetap melakukannya?" tanya Benny penasaran.
"Ini demi ketahanan tubuhku. Pekerjaanku membutuhkan pikiran dan fisik yang sehat, sehingga berlari pagi menjadi salah satu cara membuat tubuhku tetap bugar dan berenergi," jawabku menjelaskan.
"Begitu rupanya," sahut Benny, menunjukkan rasa mengerti.
"Aku juga berhenti merokok beberapa tahun lalu. Aku merasa lebih bebas dan tidak cepat lelah. Apakah kamu merokok?" tanyaku ingin tahu.
"Tidak, aku tidak merokok," Benny menjawab sambil menggelengkan kepalanya, menunjukkan keputusannya untuk hidup sehat.
"Bagaimana dengan kakekmu?" tanyaku.
"Kakekku sekali-sekali merokok, tapi dia tidak pernah memperlihatkan dirinya merokok di depanku. Bahkan, ketika aku secara tidak sengaja melihatnya merokok, dia langsung mematikannya," jawab Benny dengan nada yang rendah.
"Sangat bijaksana dari kakekmu. Ia tidak ingin memberikan pengaruh buruk kepada siapa pun," ujarku, menghargai tindakan Pak Bos.
"Sama sekali tidak seperti diriku," kata Benny.
"Benarkah? Dulu kamu memang punya niat untuk merokok?" tanyaku terkejut, mengingat usianya masih muda.
"Aku kadang-kadang ingin mencoba merokok, meskipun aku tahu itu tidak baik untuk kesehatan. Tapi ketika kakekku sekarat dan akhirnya meninggal, aku langsung kehilangan keinginan untuk mengikuti jejaknya merokok," jelasnya.
"Aku senang mendengarnya, Benny. Kamu memiliki tekad yang bagus untuk tidak mengikuti kebiasaan buruk tersebut," aku memberikan pujian padanya.
Saat itu hawa dingin masih terasa menusuk tubuh kami. Benny menggigil dan tidak bisa menahannya.
"Apa kamu masih bisa berjalan santai, Ben?" tanyaku, melihat kondisinya.
"Aku masih ingin mencobanya, tapi hawa dingin terlalu menusuk tubuhku," sahut Benny.
"Ayo, kalau begitu, cobalah untuk berlari. Namun, kali ini kamu pelan-pelan saja. Aku akan mengikuti dari belakangmu," ujarku memberikan saran.
Benny mengangguk setuju dan langsung berlari pelan. Aku mengikuti dari belakangnya. Setelah beberapa menit, Benny tidak berhenti berlari, malah dia mulai berlari dengan cara yang biasa-biasa saja. Saya senang melihatnya menikmati momen tersebut.
***
Langit mulai terang mengumumkan kedatangan pagi. Kami beristirahat di bawah pohon apel yang masih merekahkan bunganya. Benny yang kelelahan, membaringkan badannya dan memejamkan matanya sejenak. Sambil bernafas pelan, aku bertanya padanya, "Benny?"
"Ya, Hardi?" jawabnya sambil menatap langit.
"Apa kamu menyukainya?" tanyaku lagi dengan nada penasaran.
Benny membalikkan tubuhnya dan menatapku dengan wajah bingung, "Siapa yang kamu maksud?"
"Aku bicara tentang berlari, Benny. Apa kamu menyukainya?" aku tersenyum lembut.
Benny memandang jauh ke depan, merenung sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ternyata saat berlari, aku tidak merasa kedinginan. Hanya rasa panas dan keringat yang bercucuran dari tubuh aku."
"Sudah aku bilang kalau berlari pagi sangat baik untuk tubuh kamu," ujarku dengan penuh keyakinan.
Benny mengangguk, "Memang benar. Tapi saat keinginan mau berlari muncul, sering kali dikalahkan oleh hawa dingin. Jadi aku selalu menolak permintaan kamu."
Aku mengangguk-anggukkan kepala mengerti, "Wajar saja. Tapi setelah ini, aku yakin akhirnya kamu memiliki keinginan untuk melakukannya lagi."
"Aku akan coba lagi nanti," Benny menatapku sambil tersenyum.
"Baguslah kalau begitu," aku tersenyum balik.
Sinar mentari semakin terang dan menghangatkan kulit kami. Aku merasa teringat akan janji pertemuan dengan klien. "Ayo, Ben. Kita masuk ke rumah. Kita harus mandi dulu," ajakku.
"Oke," sahut Benny.
Kami berjalan masuk ke dalam rumah. Aku membiarkan Benny mandi terlebih dahulu agar dia bisa merasa lebih segar dan siap untuk menyiapkan sarapan pagi untuk kami berdua. Setelah itu, giliran aku untuk mandi dan bersiap-siap menuju kota untuk bertemu klien.
***
Setelah menyelesaikan sarapan, aku bersiap-siap untuk pergi ke kota dan bertemu dengan klien. Saat aku hampir mencapai pintu keluar, Benny tiba-tiba menghentikan langkahku dengan tatapan serius.
"Ada apa, Benny?" tanyaku heran.
"Apakah kamu sudah mengunci pintu ruang kerjamu?" tanyanya dengan nada khawatir.
"Iya, sudah. Ada masalah apa?" aku merasa penasaran.
"Aku ingin membersihkan ruangan itu, tetapi selalu terkunci," ungkap Benny dengan raut wajah khawatir.
"Oh, begitu," kataku seraya merenung sejenak.
"Apakah kamu keberatan kalau aku masuk ke dalam, Hardi?" tanyanya lagi.
Aku merasa ragu untuk membiarkan Benny masuk ke dalam ruangan. Aku tidak yakin apakah itu ide yang bagus. Namun, semakin aku menolaknya, semakin besar rasa penasarannya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengizinkannya masuk.
"Aku akan membukanya," kataku pada Benny.
"Terima kasih, Hardi. Lebih baik kamu menggandakan kuncinya. Aku tahu kamu tidak ingin orang lain menyentuh pekerjaan kamu. Jadi, percayakan ke aku. Aku juga akan menguncinya ketika tidak ada orang di rumah," usulnya.
"Sudah pasti aku percaya padamu. Baiklah, nanti aku akan menggandakan kuncinya untukmu. Kamu bisa pegang kuncinya untuk hari ini. Besok aku akan pergi untuk menggandakannya."
Aku memberikan kunci pintu ruang arsitek ke Benny.
"Terima kasih, Hardi!" ucapnya.
"Oke, Ben. Jagalah dengan baik ya di dalam. Banyak barang berharga di situ," kataku memberikan peringatan.
"Tentu saja. Percayakan padaku!" jawabnya dengan percaya diri.
"Aku akan pergi sekarang ya. Sampai jumpa!" kataku pada Benny.
"Baiklah, Hardi! Hati-hati di jalan!" serunya.
Lalu, aku masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Setelah keluar dari garasi, aku membuka kaca mobil dan melambaikan tangan pada Benny sebagai tanda perpisahan. Dia pun membalas lambaian tangan aku. Akhirnya, aku berangkat ke kota untuk melanjutkan pekerjaanku.
"Aku harap Benny tidak mendapatkan apa yang selama ini aku cari," pikirku dalam hati.
***
Jangan lupa untuk vote! Terima kasih telah membaca cerita ini sampai sejauh ini.