Judul lagu multimedia :
Diablo : Voice (Ost. KDRAMA VOICE 3. Instrumental version)
.
Baiklah, saya peringatkan kalau part ini bakal sangat panjang teman2. Dan ke depannya satu part bisa saya bagi jadi 3 karena saking panjangnya karena kita sudah mendekati pertengahan cerita 😆
.
Terima kasih sekali lagi bagi kalian yang sudah membaca hingga sejauh ini.
.
Sungguh saya terharu. Karena saya pikir genre seperti ini tak terlalu banyak minatnya di Indonesia. Tadinya berpikir untuk membuat versi Bahasa Inggris, apa daya Englesh saya vas-vas an😆
.
I luv u all.
Warm and Regards💗
******************************
"Ketidak adilan muncul dari kerakusan dan ketamakan. Dan dari ketidak adilan, melahirkan lebih banyak lagi kejahatan"
~ Alex Christian~
💗
Saat Alex dan Herman tiba di wilayah Apartemen Anggita, tempat itu sudah ramai dan dipenuhi oleh Polisi. Herman segera mendatangi salah satu anggota Kepolisian dan ia kenali sebagai orang yang menggantikan shiftnya semalam.
"Aiptu Tanjung"
Lelaki yang sekiranya sepantaran dengan Alex tersebut segera merespon dan memberikan anggukan pada dua Agen yang baru saja datang itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Alex?
"Beliau datang kemari karena sudah ada janji dengan Saudari Anggita. Tapi sudah diketuk, di bel, dan menunggu nyaris setengah jam, si empunya rumah tidak keluar juga. Akhirnya beliau panik dan meminta kunci cadangan kepada pihak Apartemen. Saat kami masuk, kondisi di dalam sudah sangat berantakan" jawab si Aiptu.
Alex melirik ke arah pria bertubuh tinggi kurus, berkulit putih dan cukup tampan, yang berdiri di samping Aiptu Tanjung, ekspresinya gelisah, dia tak henti menelpon seseorang melalui ponselnya.
"Tunggu dulu, anda Surya bukan? Manajer dari Flying Night?" tanya Herman.
Pria bernama Surya itu seketika mengalihkan perhatiannya pada sosok Herman. "Anda?"
"Jadi, apa hubungan anda dengan Saudari Anggita sampai harus mencarinya pagi-pagi begini. Saya rasa lebih dari masalah perkerjaan bukan?" tanya Alex. Penuh selidik.
"Anggita adalah kekasih saya, dan ini rumah yang saya belikan untuknya"
"Apa?!" Herman jelas-jelas terkejut.
Sekarang terjawab sudah pertanyaan Alex. Dari mana Anggita bisa mendapatkan uang untuk menyewa atau membeli apartemen di area mewah seperti ini.
"Semalam kami harusnya bertemu, tapi dia mendadak membatalkannya karena katanya tidak enak badan, dia juga melarang saya ke sini karena dia tahu kalau malam saya sangat repot,lalu dia mematikan ponselnya. Pagi ini saya berniat menengoknya, meski ponselnya mati, tapi tahunya..."Surya tak melanjutkan ucapannya.
"Apa anda tahu posisi Nona Anggita sedang berada dalam perlindungan saksi?" tanya Alex lagi
Surya mendecihm. "Saya tahu, semalam dia memberi tahu saya, itu sebabnya dia sakit karena tiba-tiba ada sekelompok Polisi menggedor pintu rumahnya kemarin malam, dan memberitahu kalau mereka harus menjaganya karena dia bisa jadi target pembunuhan berantai berikutnya" lalu melemparkan pandangan kesal ke arah Herman juga Aiptu di sampingnya.
Alex menoleh seraya mendengus jengkel pada rekannya itu.
Menggaruk belakang kepala, Herman berkata. "Maaf Wakil Kapten, semalam kami memang keceplosan, mengatakan hal itu pada saudari Anggita"
"Jam berapa anda berkomunikasi dengan Saudari Anggita?" tanya Alex lagi, mengalihkan perhatiannya kembali pada Surya.
"Sekitar pukul sepuluh malam, setelah itu handphonenya tidak aktif lagi" jawab Surya.
Alex berpaling pada Aiptu Tanjung. "Semalam apa ada keanehan?"
Perwira muda itu menggeleng. "Kami berjaga di dalam lobi, parkiran juga luar gedung. Saya di dalam lobi, sisanya ada 8 orang tersebar di area halaman depan juga luar tempat ini. Jika memang ada keanehan sudah pasti kami tahu"
"Bagaimana dengan CCTV?"
"Itu dia Ndan, sempat mengalami gangguan semalam"
"Jam?!" nada Alex meninggi tiba-tiba.
"Sekitar pukul sepuluh, selama satu jam. Setelah itu semuanya membaik. Saya tahu karena tim keamanan sempat ribut saat itu hingga pegawai reparasinya datang"
Alex seketika mengumpat. "Antar aku ke sana" lalu menoleh pada Surya. "Tolong anda tetap di sini, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan"
Setelah berkata begitu, Alex ditemani Herman dan si perwira bergegas menuju ruang keamanan yang terletak di ujung lantai dasar gedung tersebut. Dan para petugas shift pagi mengaku kalau semalam memang sempat ada kerusakan.
"Asalnya dari virus aneh yang muncul tiba-tiba, lalu semua jaringan kami mati" kata si Supervisor keamanan.
Alex berpikir cepat. "Apa ada kendaraan yang biasanya diparkir dari pagi sampai malam atau sebaliknya di area belakang atau depan gedung?" tanyanya.
Supervisor tampak berpikir. "Ah, iya ada. Manajer pengelola kami ada dua orang dan shift mereka juga bergantian. Kendaraannya biasanya ditaruh di area belakang gedung dekat kantornya.
"Bagus. Tolong hubungi Manajer yang bertugas semalam dan minta beliau datang secepatnya. Kami membutuhkan black boxnya " lalu menoleh kepada Herman. "Mintalah Elang untuk menyelidiki kamera pengawas lalu lintas area ini, mulai dari pukul sepuluh hingga sebelas. Lacak juga ponsel Anggita, belum ada satu hari, pelaku pasti masih menyimpannya. Dia butuh benda dan nomornya untuk mengirim pesan kematian soal Anggita kepada orang terdekatnya"
Rekannya mengangguk, lalu segera melaksanakan tugasnya.
Alex dan Aiptu Tanjung lalu kembali menuju unit Anggita. Setibanya di sana, tim Forensik juga sudah datang. Dilihatnya Surya yang kini duduk di atas sofa, kedua siku tangan tertumpu diatas pangkuannya, sepasang telapak tangannya menutupi wajahnya. Dia terlihat frustasi.
"Bapak Surya, apa anda tidak merasakan keganjilan saat berkomunikasi semalam dengan Saudari?" tanya Alex. Membuat pria itu mendongak, lalu tampak berpikir.
"Tidak...rasanya semua normal saja. Cuma suaranya memang serak"
Herman yang baru saja datang berkata. "Perasaan kemarin saat saya datang untuk menemuinya, dia baik-baik saja?"
Perkataan Herman semakin membuat Surya stress.
Alex melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan. Berjalan pelan seraya mengamati satu persatu.
'Tidak ada tanda-tanda perkelahian, rasanya lebih mirip sengaja diobrak-abrik untuk menutupi sesuatu. Tapi apa?'
Sosok itu tiba-tiba muncul dari dalam ruang tidur. Saraswati, asisten dari Dante Allen.
"Ah, anda" gadis muda itu terkejut.
"Bagaimana hasilnya?"
Saras kemudian menyampaikan penemuan tim Forensik sejauh ini dan semua tepat sesuai perkiraan Alex.
"Bahkan tidak ada tanda-tanda kerusakan dimanapun. Bisa jadi pelakunya dikenali oleh saudari Anggita" kata Saras. Menyuarakan pikiran Alex.
"Kalau begitu Anggita pergi bersama seseorang yang dia kenal, lalu apa arti semua ini?"
"Kami menemukan sesuatu disini!" suara rekan kerja Saras seketika mengalihkan fokus semua orang.
Semuanya segera menuju ruang makan, dimana dua orang Forensik tengah meneliti dari dalam sampah. Salah satu rekan Saras berdiri seraya menyodorkan sebuah kaleng lemon tea di dalam plastik ke hadapan Alex dan yang lain.
"Kami menemukan cairan berisi obat tidur di dalam sini"
"Ketamin?" tanya Alex.
"Masih belum bisa dipastikan, harus diteliti lagi di Labolatorium" lalu memberikannya pada Saras.
"Akan kuberitahu hasilnya secepatnya" ujar Saras. Diikuti anggukan Alex. Gadis itu lalu memutar tubuh dan beranjak pergi.
"Apa maksudnya semua ini? Jadi pelakunya memang seseorang yang dikenali oleh Anggita?" Herman berbisik di samping Alex.
"Sepertinya begitu, dan semua kekacauan ini hanyalah bentuk pengalihan" lalu menatap Surya. "Apa anda kenal kawan-kawan dekat kekasih anda?"
"Sesungguhnya dia cenderung malas bersosialisasi, hanya bertemu teman-temannya di Klub saja"
"Dan para kliennya?"
"Gadisku bukan pelacur! Dia cuma menemani para tamu minum tak lebih dari itu. Aku selalu mengawasi semua aktifitasnya!" jawab Surya, sedikit marah dan defensif.
Herman berdeham, merasa sedikit bersalah.
"Jika dia menghubungi anda, segera hubungi kami. Anda sudah punya kartu nama kami bukan?" Alex tak mengacuhkan kemarahan pria dihadapannya itu.
"Ya, tapi, sebetulnya dia kemana? Apa yang sedang terjadi?"
Belum sempat Alex menjawab, seorang Pria masuk ke dalam diantar Aiptu Tanjung.
"Ndan, beliau adalah Manajer yang bertugas semalam"
Alex menolehkan kepala, seorang pria tampan diawal usia sekitar kepala 5. Mengenakan baju asal-asalan dan tampaknya sangat terburu.
"Saya Rusli, salah satu Manajer Pengelola Apartemen. Kebetulan rumah saya dekat sini, begitu dihubungi oleh Tim Keamanan segera bergegas kemari"
"Kami membutuhkan rekaman dari mobil anda yang terparkir dibelakang gedung, semalam. Anda memilikinya bukan?" tanya Alex tanpa basa-basi.
"Tentu saja, mari"
Alex diantar Rusli ditemani Herman segera bergegas menuju lantai bawah lagi, kali ini ke parkiran basemen untuk mengambil kamera pengawas mobil pria tersebut. Kemudian bergegas menuju ruang keamanan. Supervisor sendiri yang langsung membantu mereka.
Rekaman berputar dari pukul sembilan malam, Alex minta dipercepat sedikit dan menunggu hingga pukul sepuluh, kemudian....
"Ah itu dia! Mobil itu lagi" Herman setengah berteriak, menuding kendaraan lawas serupa seperti yang mereka lihat ada di depan Polres. Dan dinaiki terduga pelaku pembunuhan berantai, juga Rizal Mandala.
"Tapi platnya berbeda kali ini" Herman menambahkan. Terdengar bingung.
"Dia sengaja memasang plat curian agar jejaknya sulit kita temukan" jawab Alex sembari bersedekap. Dahinya berkerut dalam.
Ponsel Alex berbunyi, dari Elang. Ia segera mengangkatnya. "Bicaralah"
"Pemancar dari kartu milik Anggita sulit ditemukan, sepertinya ada yang sengaja membelokkan sinyal agar kita tak bisa melacaknya"
Alex mengumpat dalam hati.
"Ah! WaKapten, itu dia!"
Alex seketika mengalihkan fokusnya pada layar komputer. Dia melihatnya. Sosok sama terduga pelaku di depan Polres, namun ada yang berbeda kali ini. Alih-alih memakai masker, ia memakai topeng berbentuk Buto Cakil warna merah. Topeng sama seperti dalam mimpinya!
Sosok itu tampak memasukkan sebuah tas besar hitam ke bagian bagasi mobilnya, melirik sekilas ke sekitar lalu masuk ke dalam kursi pengemudi dan menjalankan kendaraannya lalu tak lama kemudian hilang.
"WaKapten..." suara Elang dari ujung sana.
Alex lupa kalau panggilan mereka belum terputus. "Akan kukirim video padamu, tolong selidiki kendaraan ini melalui kamera pengawas satuan lalu lintas di Metro" mematikan sambungan, ia segera meminta agar rekaman tersebut dikirim ke ponselnya.
"Kita kembali ke Kantor dulu, ini harus di rapatkan" tukas Alex diikuti anggukan dari Herman.
Setelah berpamitan mereka segera menuju halaman parkir, namun Alex mendengar seseorang memanggil nama Herman. Keduanya menoleh dan mendapati Surya berdiri di depan keduanya.
"Apa benar Anggita diculik oleh si Pembunuh??" raut wajahnya luar biasa panik.
Alex memaki dalam hati, dia tahu atau sekedar mengambil kesimpulan?
"Tolong selamatkan dia, Anggita, jangan biarkan hal buruk terjadi padanya. Saya mohon" suara pria itu parau. Wajahnya memelas. Kedua tangannya meraih lengan Herman.
"Kami akan berusaha sebaik mungkin. Harap anda bersabar, dan jika ada kabar apapun darinya tolong juga kabari kami"
Surya menangis sekarang. " Tolong, selamatkan kekasih saya, apapun resikonya. Sebab Anggita dia...." pria itu terisak keras sekarang. "...Anggita sedang hamil"
*****************************
Ruang interogasi selalu dirancang cenderung gelap untuk mempengaruhi mental para terdakwa yang berada di sana. Dan disinilah Sadam serta Datu berada. Berhadapan langsung bersama Daniel Malangka.
Bagi seorang yang sedang menjalani masa tahanan, Daniel terbilang cukup tenang. Meski wajahnya sekarang lebih pucat dari pertama kali Sadam melihat, luka memar bekas tonjokan Alex di wajahnya juga mulai berkurang.
"Aku tak akan berbasa-basi. Apa kamu mengenal nama Michael Subrato"
Pemuda dihadapan Sadam dan Datu tersentak kaget, namun hanya sesaat. Memundurkan badan, ia menyeringai menatap kedua Agen dihadapannya. "Rupanya kalian sudah sejauh ini ya?"
"Kalian mungkin berada di satu Panti Asuhan yang sama"Datu ikut bersuara.
Daniel mengulum senyum. Seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Atau mungkin itu orang yang sama" Sadam melanjutkan. Menatap datar Daniel.
Kali ini perhatian si terdakwa tertuju pada Sadam. Memajukan badan, Daniel berkata dengan nada rendah. "Kalian pikir bisa mendapatkan sesuatu dariku bukan? Tapi bagaimana jika kujawab pertanyaan kalian setelah kalian berhasil memecahkan pesan kematian itu?"
Sepasang pupil Sadam melebar.
"Oh, rupanya kalian sudah ya? Atau baru anda?"
Tebakan Daniel tepat sasaran.
Datu menatap Sadam seakan kehilangan informasi. Sementara Daniel menyunggingkan seulas senyum licik.
"Bukankan kalian sedang diburu waktu juga? Korban baru akan segera jatuh"
"Jadi memang benar, kamu hanyalah seorang kaki tangan. Sudah kuduga, Michael bukanlah dirimu" sebuah senyum kemenangan mengembang di wajah Sadam. Membuat air muka Daniel berubah.
"Terima kasih atas konfirmasinya, kini kami bisa mengejar yang harus dikejar" Sadam sudah akan berdiri kala Daniel mencondongkan badan dan berkata dengan suara parau.
"Kamu pikir kenapa 'Dia' memberikan pesan seperti itu? 81141 adalah alasan utama semua pembunuhan ini terjadi"
Membeku, Sadam seketika memajukan badannya dan menarik baju Daniel, tindakan sang Ketua barusan sontak membuat si Letnan terkejut.
"Brengsek! Bicara yang jelas!"
"Kamu sudah mengerti artinya bukan"
"Kode alphabet, ya aku sudah memecahkannya. Apa maksudmu dengan 'Dia'? Siapa 'Dia'?! Tuanmu hah?!"
Daniel terkekeh. " 'Dia' akan datang untuk 'mengambil' yang seharusnya menjadi milik 'nya'. Ketika waktunya tiba, 'Sang Mawar Merah' akan kembali pada kami"
Sadam berusaha menelisik ke dalam mata Daniel. "Kamu memang gila!" bentaknya dengan rahang terkatup.
"Sungguhkah? Menurutmu kenapa 'Dia' memilih mereka sebagai korbannya. Karena semua perempuan itu adalah pendosa, mereka perlu disucikan. Tapi 'Sang Mawar Merah' berbeda, dia murni sejak dulu. 'Dia' berkata demikian pada kami, awalnya aku masih meragu, namun coba lihat, 'Sang Mawar Merah' sudah dilukai dengan tangan kotor Rizal dan bahkan tidak menaruh dendam"
Datu seketika terpaku mendengar pembicaraan antara Ketuanya dengan Daniel, perlahan mulai paham.
Sepasang manik gelap Sadam melebar, setelah menyadari apa maksud dari ucapan Daniel. "Jadi Tuanmu itu yang sudah membunuh Rizal Mandala bukan"
Daniel mendengus geli. "Itu adalah pilihan pria itu sendiri, siapa suruh dia berani menyentuh 'Mawar Merah kami' dengan tangan kotornya. Masih beruntung Rizal tidak ditangani langsung oleh 'Dia' . Tapi tenang saja, sebentar lagi 'Dia' akan mendatangi kalian satu persatu, membasmi serangga seperti kalian sama mudahnya dengan menjetikkan jari baginya. 'Kami' akan melindungi 'Mawar merah' dari kalian"
Sadam bisa merasakan darahnya memanas mendengar ucapan Daniel, setiap otot di wajahnya mengeras, seluruh syarafnya menegang.
Detik berikutnya, tanpa banyak bicara, Sadam meraih tubuh Daniel ke samping kanan. Dengan kekuatannya membanting pemuda itu hingga terjatuh di atas ubin batu yang dingin. Menaiki tubuh si terdakwa kemudian melayangkan tinjunya berkali-kali secara asal ke badan juga wajah Daniel.
"Dasar bajingan! Kalian pikir kalian siapa! Kalian lah hama yang ada disini! Sekali lagi kalian berusaha menyentuh Hana aku tak akan segan untuk menghabisi kalian semua!" Sadam berteriak tepat di depan wajah Daniel yang kini sudah berlumuran darahnya sendiri.
Datu terkejut bukan main, sepanjang sebelas tahun mengenal Sadam, dan enam tahun berkerja bersama, baru kali ini ia melihat sosoknya yang seperti itu.
Sadam selalu dikenal sebagai pribadi tenang dan selalu bisa mengontrol emosi apapun situasinya, namun sekarang, tanpa ragu pria tersebut melepaskan sisi gelapnya. Dan pemicunya adalah satu nama.
"Ketua hentikan, anda bisa membunuhnya" Datu berusaha keras menarik tubuh Sadam dari atas Daniel.
Menoleh ke arah kaca ia meminta bantuan pada para Agen disebrang ruangan. Tak lama kemudian berbondong-bondong mereka masuk ke dalam ruang interogasi, berusaha keras melerai Sadam.
Daniel masih bisa tertawa histeris dibawah lantai, suaranya mirip maniak.
"Sadam....Sadam...kamu pikir bisa mencegahnya. Apa yang membuatmu berpikir bisa begitu sangat berkuasa hah? 'Dia' akan segera datang untuk mengambil Kaptenmu yang tercinta itu, ketika waktunya sudah tiba bersiaplah. Karena bahkan Malaikat maut sekalipun tunduk pada 'Dia'"
"Bajingan!!!!" Sadam kembali mengamuk. Wajahnya merah padam akibat emosi.
Kalau bukan karena ditahan sekuat tenaga oleh Datu dan dua Agen lainnya, bisa jadi Sadam sudah melompat ke atas Daniel dan betul-betul menghabisi pemuda tersebut.
"Cepat bawa dia kembali ke sel!!" teriak Datu.
Diikuti anggukan serta tindakan cepat dari tiga anggota Agen lainnya.
Daniel sudah hampir jatuh ketika ia berdiri, kesadarannya tampak tinggal separuh, namun herannya, pemuda itu masih bisa tertawa, menatap kejam ke arah Sadam.
Begitu pemuda itu sudah betul-betul meninggalkan ruangan, Datu barulah sedikit melonggarkan pegangannya pada lengan Sadam. Jaksa muda tersebut menarik diri secara kasar dari semua orang seraya berteriak marah.
Sadam meraih salah satu kursi kemudian membantingnya ke sudut ruangan sebagai bentuk kejengkelannya dan meraung keras sekali.
Datu menyuruh Agen lain keluar dari ruang interogasi memakai isyarat, mereka segera menurut, tak mau juga berlama-lama di dalam satu tempat bersama Ketua tim unit khusus yang tengah mengamuk seperti itu.
Pintu ditutup dari luar, si Letnan mendekati Ketuanya yang kini tengah mendongakkan kepala seraya meletakkan kedua tangan di pinggangnya, seakan berusaha mengambil oksigen.
"Sadam kumohon tenanglah, tindakanmu barusan hanya akan memperparah keadaan. Daniel hanya berusaha memancingmu"
"Tidak" Sadam menggelengkan kepala.
Menghembuskan nafas perlahan, pria itu berusaha keras menstabilkan detak jantungnya yang berdebum tak karuan. Menatap wajah Datu tanpa segan, ia berkata.
"Pesan kematian itu memang ditujukan untuk Hana. Agen Alex berkata demikian padaku semalam, dan dia benar, Daniel barusan sudah mengkonfirmasinya. Siapapun pelakunya, telah menjadikan Hana sebagai target akhir. Apakah anda masih belum paham juga Letnan. Semua ini adalah permainan baginya, untuk membingungkan kita. Jika benar demikian, maka Agen Alex lagi-lagi betul. Pelaku saat ini terkait erat dengan masa lalu. Dia memang Michael Subrato, putra dari Dani"
Sadam menjilat bibir bawahnya yang terasa kering, seraya menyugar rambutnya ke belakang. Tanda setiap kali pria itu frustasi.
Ponsel Datu berdering, itu dari Kanit mereka, setelah berbicara singkat akhirnya Datu mematikan sambungan.
"Kanit akan tiba, rapat penting diadakan. Sekarang tenangkan dirimu atau kita tak akan bisa menangkap pelaku sesungguhnya"
Sadam menggertakkan gigi, kedua tangannya terkepal begitu erat disamping tubuhnya.
Apapun yang terjadi, tak akan ia biarkan si Pelaku menyentuh Hana, walau ia harus menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tameng. Dan Sadam sudah sangat siap untuk itu.
*****************************
Bambang sudah tahu, ketika Hana mendengar kabar soal hilangnya Anggita dari Yusuf, wanita itu pasti akan bersikeras untuk pulang saat itu juga. Meski sempat beradu argumen, hingga sedikit memaksa Dokter, akhirnya Hana diizinkan pulang dengan syarat ketat.
Bambang segera memesan Taksi online ketika Hana berganti baju, mengingat kondisinya masih belum memungkinkan untuk menyetir. Dia juga menghubungi Datu untuk segera menggelar rapat darurat.
Keduanya membisu sepanjang perjalanan dari Rumah Sakit ke Kantor, namun saat Gedung BII sudah tampak dari kejauhan, Hana tiba-tiba menggenggam erat tangan Ayahnya itu seakan berkata.
'Tenanglah, anda pasti bisa. Ada saya disini'
Sejujurnya Bambang tak menduga kalau perempuan tersebut bisa menerima semua fakta yang telah ia beberkan soal Dani. Ya, Hana sempat mengaku kalau dia kecewa, namun perempuan tersebut rupanya bisa memahami alasan diamnya Bambang selama ini.
Hana juga bersyukur sebab ia menjadi orang pertama yang pria itu beritahu terkait insiden sebelas tahun lalu, tanpa harus mendengarkannya dari orang lain.
Kendaraan berhenti tepat didepan lobi gedung. Setelah mengucapkan terima kasih keduanya bergegas turun.
Beberapa petugas yang berjaga di lobi cukup terkejut melihat kemunculan Kanit dan Kapten tim khusus tersebut, pasalnya orang seantero kantor sudah tahu kalau keduanya sedang menjalani pengobatan di Rumah Sakit. Sepanjang perjalanan menuju ruangan mereka beberapa orang mengangguk, sisanya diam-diam berbisik ke arah mereka. Tapi Hana sudah terbiasa dengan semua itu.
Ketika akhirnya keduanya tiba di depan pintu ruang unit khusus, tangan kanan Hana terjulur untuk mendorong gagang pintu ganda didepannya, seraya menoleh kepada Bambang, ia bertanya.
"Apa anda sudah siap?"
Bambang mengangguk mantab.
Tangan Hana bergerak, bising di dalam kantor itu seketika terhenti saat melihat kedua sosok yang baru saja masuk. Mungkin, lebih tepatnya ke arah Hana.
Sadam seketika berdiri dari duduknya, ia sudah akan berjalan menghampiri Hana ketika tersadarkan oleh satu hal. Mendadak, ia berjalan mundur, dan mengalihkan pandangan pada Kanit di samping Hana.
Hana merasakan kegetiran melihat tingkah Sadam, namun dia berusaha bersikap senormal mungkin mengingat mereka sedang berada dilingkup berkerja.
Orang lain mungkin tak sadar, tapi tidak dengan Alex. Ia melihat semuanya, dan merasa curiga pada tingkah aneh pasangan itu. Cuma dia memilih diam.
"Kapten, kenapa anda sudah keluar dari Rumah Sakit?" Herman mengajukan pertanyaan itu, terdengar cemas.
Hana menyelipkan sehelai rambut ke balik daun telinganya, duduk dibangkunya seraya menjawab. "Bisa kita fokus pada kasus saja"
Seketika langsung membuat Elang yang juga ingin bertanya, menjadi diam.
"Selamat datang, Kanit" Sadam menyalami Bambang dan mempersilahkan pria itu mengambil tempatnya.
Bambang mengangguk. "Terima kasih atas kerja kerasmu"
Lalu menatap satu persatu anggota rekannya yang kini sudah mengambil tempat di meja mereka masing-masing, pandangannya sekilas terjatuh lebih lama ke arah Alex, dan tentu saja, Wakil Kapten tersebut menyadarinya. Mendadak, Alex merasakan hal tak baik.
"Saya tak akan mau berbasa-basi karena kasus yang kita hadapi makin genting tiap harinya, saya akan langsung fokus pada intinya. Namun pertama-tama sebelum rapat ini saya mulai ada satu hal mesti saya sampaikan pada anda semua"
Kedua tangan si Kanit mencengkram erat ujung meja kayu seraya berdiri, pria itu menunduk sesaat sembari menggigit bibir, berusaha meyakinkan diri sendiri. Lalu, mengerahkan seluruh keberanian, ia mendongak.
'Sudah tak bisa mundur lagi' Batinnya.
" Sebelumnya saya minta maaf sebesar-besarnya karena sudah menyembunyikan rahasia ini selama belasan tahun lamanya dari siapa saja, bahkan orang terdekat saya sekalipun tak tahu soal ini" memandang lama ke arah Datu. Yang membuat si Letnan seketika menyadari sebuah keanehan.
"Kasus sebelas tahun lalu, memang benar Simon Christian bukanlah pelaku sesungguhnya, dia hanya dijebak" lalu memfokuskan matanya pada sosok Alex yang kini tampak tegang di bangkunya.
"Pembunuh sesungguhnya dari kasus itu, adalah seorang Profesor bernama Dani Subrato. Saya tahu karena saya sudah mengejarnya, dan dia...dia meninggal dalam proses penangkapan yang saya lakukan"
Desahan nafas tertahan, tatapan tidak percaya. Semua sudah sesuai prediksi Hana.
Diam-diam perempuan itu melirik ke arah Alex, yang kini sedang menatapnya seakan meminta pembenaran. Dengan berat hati Hana mengangguk pelan. Terlihat jelas wajah Alex bagai ditampar oleh tangan tak terlihat.
Seketika Alex berdiri dari duduknya, tindakannya langsung menjadi pusat perhatian.
"Agen Alex kumohon duduklah dulu" Bambang setengah meminta.
Tapi Alex tampak tak peduli, sampai membuat Sadam berdiri untuk menghardik sikapnya hingga Bambang melangkah maju, mencekal lengan pria itu.
"Ada alasan kenapa saya tak bisa langsung membersihkan nama Ayahmu. Saya tak punya satu pun bukti selain instingku sendiri! Dan bagaimana bisa saya membelanya karena Ayahmu memilih tindakan nekad untuk bunuh diri lebih dulu!"
"Tapi setidaknya anda dapat memberitahuku! Sebelas tahun dan anda baru melakukannya" Alex tak bisa menahan emosinya lagi.
"Agen Alex!" Sadam maju.
Namun Hana bergerak cepat, menahan bahu pria itu. "Tolong, biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri. Jangan memperumitnya" pinta Hana lirih, tanpa memandang wajah Sadam. Membuat pria itu sedikit terpukul.
"Benar, saya memang pengecut. Saya sudah merasa berdosa padamu selama sebelas tahun terakhir, dan apapun alasannya, tindakan saya tak dapat dibenarkan. Namun tahukan kamu, kenapa saya memutuskan menahan diri, meski alasannya klise itu adalah demi kalian yang sudah tersakiti sangat dalam. Dan ketika saya memutuskan untuk membukanya sekarang, itu karena kasus ini saling berkaitan dan pada akhirnya saya mungkin bisa menemukan bukti untuk membersihkan nama Almarhum Ayahmu. Ya, harusanya saat ini saya berlutut pada kalian, memohon ampun atas kesalahan saya dulu"
Bambang menatap Alex dan Hana bergantian. "Saya akan melakukannya, pasti, nanti. Setelah semua ini terungkap. Tapi sebelum itu, bantu saya untuk menangkap pelaku sesungguhnya. Penuhi juga janjimu untuk membersihkan nama Ayahmu, dan saya juga berjanji, jika semua ini sudah selesai saya akan meminta maaf di depan publik termasuk mengundurkan diri dari posisi saya saat ini"
Alex tampak terkejut, begitu juga dengan semua orang di dalam ruangan itu.
"Kanit!" Letnan Datu yang sejak tadi menahan diri akhirnya bersuara.
Bambang menatap rekan lamanya itu dalam-dalam. "Sudah seharusnya Letnan, semestinya saya melakukannya dari dulu, tapi sekarang saya akhirnya paham, segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan"
Lalu menatap intens ke dalam sepasang iris kelam Alex dan berkata dengan tulus. "Seperti keberadaanmu disini saat ini, Agen Alex"
Alex menelan saliva, kepalan tangan yang tadi erat disamping tubuhnya kini mulai membuka.
"Bantulah aku untuk mengungkap segalanya, bukankah ini salah satu alasan terbesarmu kembali kemari?"
"Anda akan menepati janji bukan?"
"Pasti" Bambang mengangguk mantab.
Wajah Alex melunak. Tanpa banyak kata ia kembali ke tempat duduknya. Seketika ekspresi dan desahan lega muncul pada air muka semua orang.
"Baiklah, kurasa kita bisa memulai rapat daruratnya sekarang" kata Bambang, kembali ke tempatnya diikuti seulas senyum.
******************************
Sejak sebelas tahun lalu, Bambang tidak percaya kalau Simon Christian adalah pelaku sesungguhnya, puluhan tahun ia berkeja untuk menangkap penjahat, berbagai jenis pelaku kejahatan telah ia temui dan Bambang berani bertaruh atas pangkatnya sendiri kalau Simon bukanlah salah satu dari mereka.
Sebab untuk ukuran Psikopat, Simon terbilang terlalu bersimpati dan memiliki empati tinggi terhadap keluarga korban, juga sangat mencemaskan kondisi putranya. Meski begitu ia masih tak paham alasan pria itu tidak melakukan pembelaan bahkan pengakuan. Simon memilih untuk terus diam, bahkan saat disiksa sekali pun.
Dari situ Bambang sadar, pria tersebut memiliki alasan kuat untuk terpaksa menerima apa yang tak pantas ia dapatkan.
Dan satu hari menjelang putusan sidang akhir kasusnya, Bambang serta Datu sempat menemuinya, mencoba mengkonfrontasi Simon agar ia mau mengatakan kebenarannya. Namun ia hanya bisa menatap sendu kedua penegak hukum tersebut seraya berkata.
" Tolong jaga putraku, dia tidak tahu apa-apa" lalu memilih bungkam hingga sesi pertemuan mereka selesai.
Malam harinya, Bambang dan Datu mendapatkan kabar kalau pria tersebut bunuh diri. Barulah seminggu kemudian Bambang menyadari, tepat sebelum kematian Simon ada seseorang yang menjenguknya, dan dia bernama Dani Subrato.
Bambang terpaksa melakukan pencarian seorang diri dikarenakan rekannya, Datu, sudah ditarik oleh atasannya, kasus juga sudah ditutup.
Penemuan mengejutkan Bambang membuatnya sadar kalau Dani mengenal betul keenam gadis yang menjadi korban pembunuhan tersebut. Tak hanya itu, Dani dulunya adalah kawan satu SMA Simon Christian, mereka berteman baik hingga keduanya berpisah jalan karena suatu hal.
Kemudian, Bambang memutuskan untuk mencari keberadaan Dani. Pihak Universitas menyatakan pria itu sudah undur diri sejak beberapa waktu lalu. Bambang lalu mendatangi rumah Orang Tua yang telah dihibahkan pada si Profesor. Tapi tempat itu kosong, tak ada apapun, si Kanit juga tak mendapatkan petunjuk aneh-aneh di sana. Bambang lalu mendapatkan petunjuk dari salah satu rekannya, Dani memiliki kediaman lain di Puncak. Berbekal informasi tersebut, malam itu Bambang ke sana.
Bambang berhasil menemukan Dani Subrato, namun seakan pria itu sudah tahu jika rahasianya telah terbongkar, meski tanpa bukti valid, Dani justru kabur dari villa. Kejar-kejaran terjadi, dan berakhir dengan jatuhnya pria itu dari atas bukit. Tubuhnya tenggelam ke dalam sungai ber arus deras.
Bambang memanggil tim SAR untuk mencari keberadaannya, atau bahkan mayatnya, namun di malam tersebut, bahkan hingga keesokan harinya seujung kuku dari sosok Dani Subrato tak dapat ditemukan.
Sejak hari itu, Bambang menganggap Dani telah hilang. Lenyap. Mati. Hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi padanya. Bambang meminta pada para tim agar merahasiakan hal ini dari siapa pun. Bambang pikir, semuanya sudah selesai di malam itu.
Nyatanya dia salah.
Rahasia selama sebelas tahun lamanya harus terkuak ke permukaan dengan cara paling mengerikan, dari yang bisa ia bayangkan.
Si Kanit mengakhiri ceritanya, menatap satu-persatu wajah semua anggota Tim unit khusus yang tampak tak percaya. Kecuali Alex, Agen itu justru terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Bersedekap seraya menatap ke arah lain, tampak berpikir.
" Jadi itu sebabnya si pelaku menelpon anda pada malam itu?" tanya Datu. Akhirnya paham kenapa kawannya ikut terkena teror.
Bambang mengagguk seraya melepaskan kacamata dan memijit pelipisnya yang kini berdenyut nyeri. " Dia pasti tahu segalanya"
" Jadi Michael betul-betul pelakunya? Tapi ini aneh, apa dia berada di lokasi kejadian sebelas tahun lalu? Jika iya, maka usianya sekitar....." Herman tampak menghitung.
" Kita masih belum tahu berapa usia Michael saat itu, dimana keberadaannya" Sadam menyahut.
Elang berhedam keras, membuat semua fokus tertuju padanya. Agen muda itu nyengir lebar kepada semua orang. " Sebetulnya, aku punya informasi penting soal itu, tapi kutahan sejak tadi karena ya....semua orang sedang sibuk pada berbagai macam hal"
" Katakan" Alex bersuara.
Elang menatap layar komputernya. " Ada seorang bayi laki-laki lain masuk ke dalam Panti Asuhan Bunda Asih, hanya selang sehari sebelum Kejora Asti dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Jiwa. Bayi itu tanpa nama, tapi kalian tahu siapa yang mengantarkan bayi itu kesana? Dia adalah Dani Subrato sendiri"
Hana tersentak. " Apa dia?"
" Dalam daftar tercatat kalau namanya adalah Atan, ia keluar dari Panti karena di adopsi ketika berumur 12 tahun. Sayang, catatan siapa Orang Tua asuhnya hilang karena kebakaran yang terjadi tak lama setelah dia keluar"
" Kita tahu kalau Daniel bukanlah Michael" Sadam membuka suara.
" Dari mana anda bisa yakin?" Alex menatap tajam Ketuanya.
" Aku sudah memastikannya tadi" jawab Sadam dingin. Lalu melirik sekilas Datu yang kini berdeham.
Hana melirik ke arah buku-buku jari Sadam yang berdarah, lalu menaikkan pandangannya ke wajah pria itu. Ketika iris mereka bertemu, lagi-lagi Sadam berusaha menghindari tatapannya.
" Intinya dia bukan Michael, kalian bisa mempercayaiku soal itu"
"Bagaimana dengan pesan rahasia? apa ada perkembangan lagi?" tanya Hana.
Seketika Alex, Sadam, dan Datu membeku. Hana langsung tahu ada yang tidak beres.
" Letnan? Apa anda sudah menemukan sesuatu?" tanya Hana seraya memincingkan netranya.
Datu memaki pelan. Dari semua orang kenapa harus dia.
Terduduk tegak, si Letnan sudah akan menyampaikan sesuatu ketika Alex mendahuluinya. " Itu adalah sandi alphabet. Urutkan saja huruf sesuai angka yang dimaksud maka akan menjadi satu kata. Delapan, satu, empat belas, dan satu"
" Kalau angka delapan dalam alphabet kita adalah huruf 'H', maka angka-angka selanjutnya adalah......." Dimas berpikir sejenak, kemudian. " Astaga!" tersentak kaget. Bukan hanya dirinya, semua pandangan kini tertuju pada satu orang.
Bahu Hana seketika merosot, tubuhnya terasa lemas.
Sebab pesan kematian itu merujuk pada dirinya.
Bambang menatap nanar Datu. Pria itu mengangguk untuk memastikan kebenarannya.
" Benar, target akhir pelaku adalah Kapten Hana" Sadam mengucapkan kalimat itu dengan nada miris. Lidahnya terasa pahit ketika mengakuinya. Dan untuk pertama kali setelah sepanjang hari, pria itu mampu menatap wajah mantan kekasihnya dengan jutaan emosi bercampur aduk.
Ponsel Hana tiba-tiba berdering kencang sekali, mengejutkan semua orang tak terkecuali dirinya. Menatap layarnya, ia mengangkat benda itu ke udara. " Nomor tak dikenal lagi" tukasnya.
Elang seketika berdiri, menghidupkan sebuah alat, itu pemancar penyadap. " Kapten, angkatlah, dan tolong berbicaralah sedikit lama untuk mengulur waktu" pesan pemuda itu.
Hana mengangguk. Menekan tombol penerima dan pengeras suara berbarengan, lalu berdiri dan menuju ke tengah ruangan.
" Kapten Hana disini"
Hening untuk sesaat.
" Halo...." Hana mendongak, pandangannya tertuju pada Alex yang kini sudah berada disampingnya. " Aku tahu siapa dirimu. Michael Subrato"
Tak lama kemudian terdengar teriakan kencang seorang wanita yang sontak mengejutkan semua orang. Hana mendelik tak percaya, memandang Alex. Pria itu mengangguk.
" Halo? Siapa disana? Saudari Anggita apakah itu anda? Halo...ha....." Hana terdengar panik.
Suara jeritan itu menghilang, digantikan bunyi kidung musik Jawa, lalu sebuah suara bariton berat menggema dari si penelpon.
" Merindukanku, Kapten?"
Seluruh bulu halus Hana seketika berdiri. Sadam tahu-tahu sudah disisi kirinya, siap menarik ponsel itu akan tetapi Hana segera menahannya. Kini nyaris semua rekannya ikut mengerubutinya.
" Michael, itu anda bukan. Aku tidak tahu kenapa anda melakukan ini tapi tolong hentikan, masih belum terlambat untuk menyerahkan diri" ia lalu mendongak saat Elang memberikannya isyarat untuk terus berbicara. " Michael, mari kita bertemu empat mata, asal anda mau menyerahkan diri saya pasti akan......"
Ucapan Hana terpotong oleh sebuah jeritan nyaring seorang perempuan yang menyesakkan dada lagi. Itu jelas-jelas suara Anggita, Hana mengenalinya.
" Michael, kumohon, hentikan. Jangan menyiksa orang tak berdosa lagi" Hana terdengar meminta.
Sosok di ujung sana tertawa bagai maniak. " Bravery Hana Salim, dirimu memang seindah bunga mawar merah. Bagaimana bisa kamu berkata pendosa seperti dirinya adalah orang suci. Tenanglah sayang, setelah kubersihkan tubuhnya aku akan datang padamu"
Hana menarik nafas panjang, berusaha menahan emosi. " Apa yang sebetulnya kamu inginkan?! Hentikan semua ini atau aku tak akan segan lagi padamu?!"
" Baiklah kalau dirimu bersikeras, akan kuberikan waktu hingga pukul tujuh malam ini untuk menemukan lokasi si pendosa. Jika kamu berhasil menemukan kami sebelum itu, maka nyawanya akan kuampuni. Tapi jika gagal, terpaksa, aku harus menyucikannya seperti kedua temannya itu" tawa nyaring terdengar lagi kemudian sambungan diputuskan sepihak.
" Apa sudah ketemu?!" Alex mendekati Elang.
Pemuda itu melepaskan ear piercenya. " Saya sudah berusaha keras, tapi lagi-lagi ada pengalih sinyal yang menyebabkan kekacauan jaringan. Penjahat ini, harus kuakui bisa selangkah di depanku" Elang tampak putus asa.
Hana seketika lemas.
" Tidak, masih ada harapan. Terlalu dini untuk berpikir demikian" Bambang berpikir dan berkata sekaligus.
" Kita bagi tim sekarang. Sadam dan Kapten Hana, pergilah ke rumah lama Dani Subrato di dekat Universitas S, Elang sudah tahu lokasinya. Agen Alex dan Dimas bergegaslah untuk ke Panti Asuhan Bunda Asih, cari data soal Atan atau Michael ini. Herman pergilah ke rumah orang tua Dani, saya dan Datu akan menuju rumah peristirahatannya di Puncak. Agen Elang tinggal disini, menjadi mata kami"
Mereka sudah akan bergerak saat Sadam melemparkan tatapan kikuk ke arah Hana, sembari berkata. " Biar saya yang ke Panti Asuhan bersama Dimas" tegasnya. Memberikan ekspresi tak dapat dibantah.
Bambang menatap Ketua dan Kaptennya bergantian, akhirnya menyadari sesuatu sudah terjadi di antara mereka. " Tentu saja, baiklah. Sekarang, ayo berangkat" lalu melewati kedua orang itu untuk mengambil beberapa barang dari dalam ruangannya.
Ada keheningan menyesakkan tatkala sepasang iris Hana dan Sadam bertemu. Mulut Hana terbuka, hendak mengatakan sesuatu namun Sadam mendahuluinya.
" Hati-hati" katanya diikuti seulas senyum tipis. Memutar tubuh lalu bergerak untuk mengambil jas serta tas kerjanya.
Ada nyeri menjalari ulu hati wanita itu. Menjilat bibir bawahnya yang terasa kering, Hana mengalihkan pandangan ketika netranya kini bertemu dengan si Wakil Kapten.
"Ayo" bisiknya seraya melewati bahu Alex. Diikuti tatapan penuh arti dari Alex.
*******************************
Cie yang lagi perang dingin. Paling susah kalau sekantor, pacaran, terus putus🤧
'Thor, jangan curhat'
Alex saat berkerja di lapangan😆💜💜
Sabar ya Bang Sadam. Jangan ngamuk mulu, ntar tensinya naek lo🤧
Kak Hana yang diteror, saya yang deg2an😆