Mean tengah melajukan mobilnya di dalam kampus menuju gerbang utama supaya ia bisa keluar dari kampusnya dan melanjutkan kegiatannya apapun itu.
Neena berada di sampingnya dan saat ia mencapai halte bus di depan Fakultas Bahasa dan Budaya, ia melihat perempuan yang bertabrakan dengannya tadi malam memakai seragam kampusnya dan berdiri tengah menunggu bus.
Ia tersentak kaget, tapi berusaha menahannya sebab Neena ada di sebelahnya. Ia tak mau Neena merasakan sesuatu yang tak seharusnya ia rasakan dan Mean tak suka sesuatu yang berbuntut panjang dan tak menyenangkan.
Ia baru saja akan menyalip bus saat ia melihat Joss mendatangi Plan dan menarik lengannya, membawanya jauh dari halte bus. Plan mencoba untuk melepaskan diri dan jelas dari wajahnya, ia terlihat sangat membenci Joss.
"Joss!" pekik Neena yang ternyata sejak tadi juga memerhatikan kejadian itu. Ia refleks membuka pintu mobil dan hampir saja membuat Mean menabrak bus yang berada tepat di depannya.
Neena berjalan dengan tergesa mengikuti Plan dan Joss dan Mean dengan cepat memarkir mobilnya dan juga berlari mengejar mereka.
"Kenapa kau tak mengikuti perintahku?" bentak Joss sambil membanting tubuh si mungil ke tembok gedung aula. Suasananya sangat sepi sore itu.
"Aw! Joss sakit! Brengsek kau!" teriak Plan dan ia mendorong Joss sekuat tenaganya sebab Joss mengunci dirinya dengan kedua tangannya dan Plan berada di antara kedua tangannya yang kekar itu.
Sekali lagi Plan mendorong Joss dan ini membuatnya semakin berang. Joss menangkap kedua tangan mungil Plan dengan satu tangannya dan menempelkannya di tembok. Ia menangkup wajah Plan yang juga mungil seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Plan.
"Kau cantik juga!" ujar Joss sambil tersenyum sinis. Plan masih berusaha memberontak. Namun ukuran tubuh mereka yang tak seimbang membuat hasil perjuangannnya mudah untuk diketahui. Terlebih, kakinya masih sakit karena tabrakan dengan Mean tadi malam.
"Tapi, tatapanmu galak sekali! Kurasa aku tak perlu Neena. Kurasa kau saja menjadi penggantinya? Uhm, bagaimana? Kau mau jadi pacarku? Aku bisa terima keadaanmu," sahut Joss lagi dengan sombong.
"Aku juga suka sorot matamu yang galak itu, ehhhh! Kau sungguh menarik!" tiba-tiba suara Joss menjadi lebih berat. Plan terkesiap dan ia kaget sebab ia merasakan sesuatu yang menggembung di balik celana Joss.
"Kau menjijikkan!" ujar Plan dengan nada yang meski tak jelas masih bisa ditangkap maknanya.
"O, mulutmu kasar sekali. Perlu diberi pelajaran!" bentak Joss dan ia semakin mendekatkan wajahnya. Plan jelas tahu yang akan dilakukan Joss, meski ia tak bisa bergerak karena dikunci di sana sini, sorot matanya mengandung penolakan yang amat keras.
Bibir Joss hampir saja mengenai bibir Plan dan tiba-tiba Neena yabg baru tiba berteriak dari kejauhan dan Joss kaget. Secara tak sadar, ia menjauhkan kakinya yang mengunci kaki Plan dan menoleh ke arah sumber suara.
Itu membuat Plan bebas dan memberinya kesempatan untuk menendang kemaluan Joss dan melepaskan diri darinya sebab Joss memekik keras dan kedua tangannya langsung menutupi kemaluannya.
Plan berlari menjauh dari Joss dan Neena yang semakin dekat berjalan ke arah Joss. Mean yang juga baru sampai melihat sekilas Plan berlari ke arah yang berlawanan dengannya. Ia melihat ke arah Neena dan Joss sebentar. Jelas mereka tengah berargumen tentang sesuatu.
Wajah Mean berubah. Ia seolah paham dengan yang terjadi. Ia berlari memutar dan menemukan Plan tengah berlari pincang menuju kembali ke halte bus.
Plan melewati halte bus, tapi sekarang ia tak berlari lagi. Ia berjalan meski pincang juga dan tiba-tiba ia terjatuh dan pingsan. Mean yang mengikutinya dari kejauhan dengan cepat berlari dan dengan sigap membawanya ke klinik terdekat.
"Dia tak apa-apa. Hanya kelelahan," sahut dokter sambil mencuci tangannya.
"Pacarmu?" tanya dokter Gong yang juga senior Mean di kampus.
"Eh, bukan! Aku menemukan dirinya di pinggir jalan," sahut Mean dengan nada kaget.
"O, begitu. Dia cantik dan imut. Makanya aku heran. Biasanya pacarmu selalu perempuan normal, bukan bidadari seperti dia," canda Gong sambil memainkan alisnya.
"Wah, Phi, itu menyakitkan. Kupikir tidak ada masalah dengan semua pacarku sebelumnya," sahut Mean sambil ia mulai berpikir juga.
"Iya, memang tak ada masalah. Yang bermasalah hanya standarmu yang rendah dan matamu yang sudah mulai rusak, kurasa." Gong berbicara dengan nada datar.
"Aw, Phi, itu tambah sakit lagi," sahut Mean.
"Siapa namanya? Aku harus input dia ke data," ujar Gong, tak memedulikan yang dikatakan Mean sebelumnya.
"Aku tak tahu. Sudah kubilang aku menemukan dirinya di pinggir jalan," ujar Mean lagi.
"O, ini akan menyulitkanku untuk pelaporan," keluh Gong.
"Kau bisa tanya setelah dia sadar," sahut Mean.
"Aku tak punya pilihan," ujar Gong lagi sambil mengangkat kedua bahunya.
Mereka kemudian berbicara hal lainnya sampai akhirnya seorang staf memanggil Gong lewat telepon karena ia diminta untuk melengkapi formulir permintaan obat dan meninggalkan Mean dengan Plan berdua di klinik itu.
Mean asyik dengan Hpnya saat ia mendengar Hp Plan berbunyi dan jelas itu panggilan telepon sebab satu nomor muncul di layar. Plan belum siuman dan panggilan itu terus menjerit seolah meminta dengan cepat diangkat.
"Halo," ujar Mean dengan gugup sebab ia merasa tak sopan karena telah berani melanggar privasi seseorang.
"Plannie, ibumu kabur lagi, cepat bantu cari!" ujar seorang lelaki yang di ujung sana.
"Maaf, ini bukan Plannie," sahut Mean.
"Eh? Ini siapa? Ini nomor Plan, bukan?" tanya sang lelaki dengan suara yang agak kaget.
"Benar, Plan pingsan dan sekarang ada di klinik kampus," ujar Mean.
"Astagaa! Aku baru sadar suaramu memang bukan Plan. Maaf, tadi aku panik. Katamu apa tadi? Plan pingsan?" Sang lelaki memastikan.
"Benar," ujar Mean.
"Astagaa! Dia pasti sangat lelah. Beban hidupnya sangat berat. Sudahlah! Aku harus mencari ibunya. Tolong titip pesan saja kepadanya dan bilang bahwa Chao meneleponnya. Dia pasti sudah paham," sahut Chao.
"Baik," sahut Mean menjawab pendek. Ia kemudian menyimpan Hp Plan kembali pada tempatnya.
Tak lama kemudian, Plan siuman. Ia menatap langit-langit kamar dan kemudian mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya dan melihat Mean memunggungi dirinya, tengah berbicara dengan Gong yang juga sudah kembali.
"Kau sudah siuman?" sahut Gong sambil menatap Plan yang tengah bangun dari terlentangnya. Mean menoleh dan ia tersenyum kepada Plan. Mereka kemudian berjalan mendekati Plan.
"Aku di klinik?" tanya Plan memastikan.
"Ya, benar. Khun Tampan satu ini menemukanmu tak sadarkan diri di pinggir jalan," ujar Gong menunjuk pada Mean dan wajah Mean seketika memerah saat ia disebut tampan.
"Terima kasih," sahut Plan sambil melihat kepada Mean dan mengatupkan kedua tangannya di dada dan tersenyum.
Deg. Sesuatu menembus jantung hati Mean saat Plan mengembangkan senyumnya. Ia benar-benar terpukau akan senyum sang perempuan mungil itu.
"Tidak apa-apa," ujar Mean salah tingkah. Gong yang melihat reaksi Mean hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Dengar! Aku perlu IDmu. Aku harus input data setiap pasien yang pernah dirawat di sini. Kau paham, bukan?" tanya Gong. Plan langsung menganggukkan kepalanya.
Perlahan ia bergerak mengambil tasnya dan memberikan kartu identitas mahasiswanya.
"Ini, tolong input ke sistem. Kau sudah tahu caranya, bukan?" ujar Gong sambil memberikan kartu identitas Plan kepada Mean dan mengedipkan satu matanya.
Mean kaget tapi ia sangat paham yang dilakukan oleh Gong. Ia tentu saja bahagia karena ia juga ingin tahu siapa perempuan yang bertabrakan dengannya tadi malam.
"Plan Rathavit," lirih Mean sambil menatap foto Plan yang terlihat sangat cantik dan seksi.
Mean kini tahu namanya dan jurusannya juga. Namun, ia belum paham kaitan Plan dengan Joss. Joss jurusan kedokteran sama dengan dirinya.
"Oke, ini salep untuk kakimu. Jangan lupa kompres dan jangan terlalu banyak jalan kalau mau cepat sembuh," ujar Gong.
"Iya, terima kasih," sahut Plan.
"Boleh aku minta bonnya?" tanya Plan lagi.
"O, jangan khawatir. Semuanya sudah ditanggung oleh pacarmu," sahut Gong lagi dengan nada bercanda dan sambil mengedipkan matanya dan menunjuk Mean yang tengah membawa tas Plan dan jaketnya.
"Hah! Dia bukan pacarku. Kami tak kenal satu sama lain," sahut Plan sambil menoleh ke arah Mean yang berjalan kenl arahnya.
"Kalau begitu calon," bisik Gong lagi dan ia melengos pergi.
"Eh?" Plan kaget.
"Ada apa?" tanya Mean.
"Ti- tidak, tidak apa-apa," ujar Plan. Ia mengambil tasnya dan sweaternya dari tangan Mean.
"Terima kasih sudah membawaku ke klinik dan menyelamatkanku, Khun," sahut Plan saat keluar dan mereka ada di depan halaman klinik.
"Tidak apa-apa," sahut Mean.
"Boleh aku minta bonnya? Aku tahu Khun membayar semua biayanya," ujar Plan lagi.
"O, tak perlu. Murah. Ini klinik kampus. Hanya bayar untuk salep saja," sahut Mean.
"Tidak apa-apa. Murah atau mahal, bukan Khun yang seharusnya membayarnya," sahut Plan lagi sambil menyodorkan tangannya.
"Khun Plan bisa membayarku dengan cara yang lain," sahut Mean.
"Eh?" Wajah Plan tampak kaget.
"Aku tak akan melakukannya denganmu," nadanya menjadu dingin.
Ia kemudian berpaling dan berjalan menjauhi Mean.
"Eh?" Wajah Mean juga terlihat kaget.
Bersambung