REVENGE

By EkaSeptiani0

237 110 117

Setelah melihat Joe dibunuh, Queen sebagai anak satu-satunya memutuskan untuk balas dendam. Ternyata terlalu... More

Pengantar
1. Pembunuh
2. Lapor Polisi
3. Terungkap
5. Mengamuk

4. Bawa Pergi

11 7 0
By EkaSeptiani0

Queen tengah menikmati rolled sandwich sebagai sarapannya hari ini. Rasanya sangat enak, tetapi pandangan dari Arthur sedikit membuatnya kurang nyaman. Dia pun merasa gugup, mungkin saja ada sesuatu yang aneh menempel di wajahnya. Setelah meraba seluruh wajah, Queen masih mendapatkan tatapan itu.

"Ada apa, Arthur?"

Ternyata Arthur tidak sadar bahwa dia telah memandangi kekasihnya lebih dari lima menit. Dia pun menjadi salah tingkah. "Ti-tidak ada apa-apa. Aku hanya melamun," ujarnya dengan tersenyum dipaksakan.

"Melamunkan apa?" tanya Queen sembari menopang dagunya di meja.

Bola mata Arthur melirik ke kanan kiri sembari mencari jawaban yang tepat. "A-Aku memikirkan restoranku," bohongnya.

Queen menangkap gelagat aneh dari Arthur. "Ada masalah di restoranmu?"

"Bukan masalah besar," ucap Arthur cepat.

Queen pun tidak lagi bertanya. Dia sangat mengenal kekasihnya. Akan ada saatnya Arthur menceritakan masalah yang terjadi. Pikirnya Arthur tidak mau membebaninya untuk saat ini.

"Aku akan pergi ke restoran," ucap Arthur dan mencium kening kekasihnya.

Hari pun sudah siang dan sampai saat itu Queen hanya mengabiskan waktu di depan televisi. Tayangan film komedi sedang disiarkan tetapi perempuan itu tidak tertawa ataupun tersenyum. Pandangannya kosong menatap layar besar itu.

Tiba-tiba Rose menghampirinya dan berpamitan untuk pergi berbelanja. Merasa bosan di rumah, Queen memutuskan untuk ikut. Awalnya Rose menahan Queen untuk ikut serta karena takut terjadi apa-apa. Tetapi tidak ada yang bisa mengalahkan keras kepalanya Queen sehingga Rose pun tak bisa berbuat banyak selain mengizinkan pergi.

"Malam ini mau masak apa?" tanya Queen sembari mengekor di belakang Rose.

"Bagaimana dengan beef steak cheese?" tanya Rose sembari memasukkan keju ke dalam keranjangnya.

Queen mengangguk. "Aku ingin membuat puding."

Kini Rose yang mengikuti Queen mengambil bahan-bahan untuk membuat puding. Dia mengambil empat bungkus agar-agar, cokelat bubuk, whipped cream, dan dua kaleng susu kental manis.

"Kau masih suka membuat kue?" tanya Rose. Dulunya Arthur sering memuji kue yang dibuat oleh Queen. Akhir-akhir ini dia tidak mendengar lagi tentang Queen ataupun kue-kuenya. Dia kira perempuan itu memiliki hobi baru.

"Tentu. Aku merasa bahagia di saat orang lain mencicipi kue yang kubuat sendiri. Aku berencana membuat toko kue nantinya."

Rose tersenyum melihat Queen yang kembali bersemangat seperti biasanya. "Kau akan kaya karena memiliki toko kue dan bekerja sebagai akuntan."

Queen tertawa mendengarnya. Berbicara dengan Rose sangat menyenangkan. Sama seperti saat bersama ibunya dulu. Setelah dari pemakaman Margaret, Queen memutuskan untuk bangkit dari keterpurukan. Sedih memanglah wajar, tapi dia harus menjadi perempuan yang kuat seperti yang ayahnya selalu katakan padanya.

"Queen, bukankah itu Arthur?" ujar Rose sembari memicing menatap dua orang yang sedang memilih daging.

Queen mengikuti arah pandang Rose. Dia sangat mengenali punggung kekasihnya. Baju yang dikenakan oleh lelaki itu juga sama dengan yang dipakai Arthur saat berpamitan pergi tadi pagi. Satu hal yang menjadi pertanyaan, siapa yang sedang bersama Arthur?

Segera Queen menghampiri sang kekasih dan perasaannya mulai tidak tenang saat Artur memandanginya dengan raut terkejut dan cemas. Dia pun memandangi perempuan yang menggandeng lengan Arthur.

"Sedang berbelanja untuk persediaan restoran?" tanya Queen sambil melihat isi keranjang yang di pegang Arthur. Ada udang, daging, daun bawang, bawang putih, dan bahan lainnya dengan porsi sedikit. Tidak mungkin untuk persediaan restoran.

"I-iya."

Queen tersenyum kecut mendengarnya. Matanya kini memandangi perempuan yang hanya diam di samping kekasihnya. Berwajah Asia dan sangat cantik. Tetapi ada hal lain yang langsung menarik atensi Queen, yaitu perut besar si perempuan.

"Siapa namamu?" tanya Queen dengan menatap tajam ke arah perempuan itu.

Tampak sekali ketakutan terpahat di wajah perempuan yang tengah hamil itu. "Sakura Hoshiko," jawabnya dengan suara kecil.

"Kau sedang berbelanja, Sayang?" tanya Arthur.

Sakura terkejut mendengar Arthur dan langsung saja dia menunduk. Berbeda dengan Queen yang menatap nyalang ke arah Arthur.

"Itu anakmu?" tanya Queen tanpa basa-basi lagi.

Arthur terkejut bukan main. Dua tahun bersama Queen, baru kali ini dia melihat kemarahan yang sangat jelas ditujukan kepadanya. "Tenanglah dulu, kita bicarakan di rumah saja."

Queen menghela napas dengan kasar. "Baiklah, kita pulang sekarang." Queen langsung melangkah pergi.

Rose memandang Arthur dengan iba dan kecewa. Tidak ada kata-kata yang bisa dia sampaikan. Memandang Queen yang melangkah jauh membuat hatinya ikut sakit. Terlalu banyak cobaan yang menimpa Queen dalam waktu bersamaan.

Baru saja tiba di rumah Artur, Queen bergegas mengemasi barang-barangnya. Tidak ada alasan lagi untuk dirinya berada di rumah itu. Semua sudah jelas baginya ketika melihat Arthur kembali bersama Sakura.

"Sayang, kau mau ke mana?" Arthur memegangi lengan Queen dan ditonton oleh Sakura dan Rose di dekat pintu kamar.

"Tentu saja aku akan pulang ke rumahku." Queen menghempaskan lengan Arthur.

"Dengarkan penjelasanku dulu."

Queen berbalik dan bersedekap di depan Arthur. "Jelaskan!"

Arthur senang Queen mau mendengarkannya. Tidak salah dia memilih Queen sebagai kekasih. Perempuan yang lebih muda tujuh tahun darinya itu memang berbeda dari yang lainnya. Berpikir rasional dan peduli dengan orang lain.

"Empat bulan yang lalu aku mabuk dan kau tahu akhirnya bagaimana, tapi jujur aku tidak memiliki perasaan apa pun kepadanya karena dia kekasih Edward."

Queen tertawa sumbang setelah mendengar Arthur. "Kau meniduri kekasih temanmu sendiri? Parahnya lagi dia sampai hamil." Queen kembali merapikan pakaiannya. "Sudah cukup penjelasan darimu. Lebih baik kau mulai mencintai dia dan jadilah ayah yang baik, Bangsat!"

Emosi Arthur mencuat. "Queen! Seharusnya kau mengerti. Kau tahu kalau aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu."

Koper Queen sudah terisi penuh. "Kau tidak bisa hidup tanpaku? Kalau begitu kau mati saja karena mau bagaimana pun aku tidak akan menerimamu lagi," ujarnya penuh kebencian.

Emosi Artur sudah mencapai titik didih tertinggi. Langsung saja tangannya melayang dan mengenai pipi kiri Queen. "Kukira kau bisa mengerti aku. Kau ternyata bermuka dua! Selama ini kau pura-pura baik kepadaku dan pada akhirnya meninggalkanku," ujarnya dengan napas memburu.

Rose ingin melerai, tetapi Queen lebih dulu menampar balik Arthur. "Aku yakin kau tidak waras. Tentu saja aku baik pada orang yang baik. Untuk apa aku tetap baik kepadamu?"

Arthur termangu memandangi Queen yang sudah pergi sambil membawa koper. Dia tahu betul bahwa semua salahnya. Hanya saja Arthur sangat mencintai Queen, dia tidak mau perempuan itu pergi darinya. Bahkan kau tidak menangis saat pergi dariku. Apa benar kau memang mencintaiku?

Sesampainya Queen di rumahnya, tidak ada yang dia lakukan selain mendekam diri di dalam kamar. Bayangannya tentang Arthur kembali terlintas sehingga membuatnya kembali sedih.

"Aku pikir dia laki-laki yang baik," ucapnya pelan.

Tidak ada satu tetesan air mata pun yang keluar untuk hubungannya dengan Arthur. Dia jarang sekali menangis. Lagi pula air matanya sudah habis terkuras beberapa hari terakhir. Queen hanya bisa berharap dapat melupakan mantan kekasihnya secepat mungkin.

Mengingat jam yang menunjukkan pukul delapan, Queen memutuskan untuk memasak sesuatu untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Setelah membuka kulkas, di sana hanya ada buah peach kalengan yang tersisa saat membuat peach pie.

"Dad sangat suka peach pie buatanku." Queen memutuskan untuk membuat peach pie lagi. Beberapa hari yang lalu ayahnya pulang saat dia baru saja selesai memanggang kue itu. Dad, pulanglah. Aku sedang membuat kue kesukaanmu.

Setelah dentingan dari oven terdengar, Queen segera mengambil kue itu. Aromanya menyeruak ke seluruh ruangan dan membuat perutnya kembali berbunyi. Ketika tangannya ingin memotong pie, ada seseorang yang mengetuk pintu.

Queen tersenyum gembira. Dia pikir orang itu adalah ayahnya. Segera dia membuka pintu dengan tampang gembira. Setelah melihat wajah orang di depannya, Queen sangat terkejut. Dia ingat betul wajah itu.

"Henry Davis ...."

Dendam dan amarahnya kembali muncul sehingga Queen ingin menyerang Henry. Sayangnya, lelaki itu lebih lincah dan berhasil membekap mulutnya dengan sapu tangan. Pandangan Queen memburam dan tak lama semua menjadi gelap.

Henry membawa Queen ke markasnya dalam keadaan pingsan. Hampir tengah malam, tetapi Gerald sepertinya masih terjaga, terlihat dari lampu yang masih menyala. Henry memikul tubuh Queen dan saat ingin membuka pintu, Gerald lebih dulu membukanya.

"Kita ketinggalan pesawat! Dari mana saj—" Mata Gerald membulat setelah melihat temannya memikul seseorang. "Ka-kau! Kenapa kau membawa perempuan itu ke sini?" tanyanya dengan raut masih terkejut.

"Dia Queen, putri dari Joe Dylan. Dia akan ikut bersama kita." Henry pun menerobos masuk dan langsung ke kamarnya.

Gerald mengikuti Henry. "Kau suda gila? Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Kalau kau tidak gila, sepertinya aku yang akan gila." Gerald mengusal rambutnya.

Henry membuka tali yang mengikat kedua tangan Queen. "Aku sudah membunuh ayahnya. Sekarang dia akan sendirian. Setidaknya biarkan aku menjaganya."

"Dia sudah dewasa, untuk apa kau menjaganya? Lalu bagaimana kau bisa bersama dia yang pasti membencimu?" Gerald tak habis pikir apa yang dipikirkan temannya itu.

"Dia pasti akan menjadi incaran organisasi itu. Kau tahu sendiri bagaimana kejamnya mereka. Akan ada saatnya identitas Joe yang sebenarnya terungkap dan hidup Queen pasti dalam bahaya."

Gerald sangat mengenal mereka yang menjadi bagian dari oganisasi gelap itu. Tidak ada siapa pun yang dapat lepas dari genggamannya. Mungkin hanya Gerald dan Henry yang berhasil lari dari sana.

"Kita sudah seperti saudara dan aku dari awal sudah bilang akan mengikutimu. Aku percayakan semuanya padamu." Kata-kata kepercayaan itu adalah bentuk dari kepasrahan Gerald menghadapi Henry.

Henry kini memandangi wajah Queen dengan lekat. Pertama kali bertemu, dia tahu perempuan itu mengagumi wajahnya. Dalam waktu perkenalan yang singkat, Henry menilai Queen memiliki sifat baik hati dan polos. Tetapi melihat Queen di pusat perbelanjaan tadi, Henry tidak menyangka perempuan itu begitu tegar.

"Maafkan aku karena memisahkanmu dengan keluarga satu-satunya yang kau miliki. Bencilah aku semaumu, tapi jadilah wanita yang kuat dan tidak dapat disakiti oleh siapa pun," ucap Henry sembari mengelus surai Queen.

Saat itulah Henry memutuskan untuk mengenal Queen lebih jauh. Rasa benci, amarah, dendam, semuanya akan dia tanggung. Apa pun akan diterima asalkan hatinya dapat lepas dari rasa bersalah karena tangan kotornya. Henry yakin, harinya tidak akan mudah dilalui. 

Continue Reading

You'll Also Like

680K 2.7K 11
WARNING 21+ ONLYโ€ผ๏ธ๐Ÿ”ž HATI HATI JADI BASAH๐Ÿ’ฆ Banyak cerita dengan judul berbeda-beda. Berisi adegan seksual, kekerasan, dan lain sebagainya. Hanya fi...
2.9M 271K 62
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
1M 31.9K 35
Dax, bangun di sebuah kamar hotel dalam keadaan telanjang bersama dengan seorang wanita yang bukan pacarnya. Setelah mengetahui wanita itu ternyata...
10.6M 130K 50
(โš ๏ธ๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”žโš ๏ธ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] โ€ขโ€ขโ€ขโ€ข punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...