Kalau berkenan, kasih komentar dan vote ya. Terimakasih 🥰
—
Seperti hal-nya manusia, malaikatpun dapat kehilangan tenaga mereka. Meskipun tubuh mereka diciptakan dengan dan dari cahaya, apabila mereka terlalu banyak menggunakan kekuatan, merekapun akan kehilangan kedigdayaan. Namun sifat ini hanya berlaku pada malaikat dunia langit, sebab malaikat yang menghuni surga adalah yang paling sempurna dari golongan mereka. Kekuatan Yang Paling Tinggi menyusung mereka dengan begitu sempurna, sebab mereka harus selalu siap siaga kapanpun Kekuatan Yang Paling Tinggi memerintahkan mereka untuk melakukan tugas-tugas.
Saat ini, Haechan merupakan salah satu representasi malaikat dunia langit yang sedang kehabisan tenaganya. Jiwa malaikat tidak seharusnya berada dalam raga manusia yang sangat rentan akan gangguan, sebab jiwa dan raga malaikat adalah satu, cahaya itu sendiri. Haechan sudah terlalu lama tidak mendapatkan asupan cahaya dari Kerajaan, dan jiwanya terkungkung di dalam raga manusia yang sangat pengap bagi bangsa mereka.
Haechan duduk bersila di lantai, dengan sayap yang terkulai lemas di belakang tubuhnya, dengan tanpa satu helai benangpun yang melekat pada tubuhnya. Telapak tangan Haechan menyatu laksana sembah, bersimpuh di bawah atap rumahnya yang kecil.
Cahaya terus berdatangan dari jendela di sampingnya, satu-satunya tempat cahaya bisa masuk di rumah itu. Cahaya masuk ke dalam sayap-sayap dan kulit Haechan yang putih gading, memberikan kekuatan yang tak seberapa untuk dirinya. Di Kerajaan, Haechan hanya butuh sekitar lima belas menit untuk mengisi kembali jiwanya yang temaram. Namun cahaya di bumi begitu lemah, sehingga dia membutuhkan 48 jam untuk mengisi seperempat dari tenaganya.
Benar, Haechan sudah bersimpuh di sana selama hampir 48 jam—dua hari. Beberapa hari setelah perginya Jeno dan Jaemin.
Perlahan-lahan tubuh Haechan meredup, bersamaan dengan cahaya yang berhenti berdatangan. Hingga pada akhirnya, dia menyelesaikan kegiatan itu, diakhiri dengan tubuh telanjangnya yang terkulai lemas di lantai.
Napas Haechan terengah-engah, menyesuaikan jiwa malaikat yang kembali dalam raga manusia. Tak berapa lama setelah dia mendapatkan keseimbangan, Haechan berdiri dan kembali mengenakan pakaian putih yang dibawakan Baekhyun dari Kerajaan.
"Ini sudah beberapa Jam." Ucapnya, menoleh pada jendela di sampingnya yang gelap, sebab malam sudah datang.
Tok Tok Tok
Suara pintu diketuk membuatnya terkesiap, karena ia masih memasang indra malaikat pada telinganya, yang menyebabkan suara ketukan pintu itu terdengar seperti gempa bumi yang menghancurkan dunia manusia.
Dahi Haechan mengernyit, "Siapa itu?" Gumamnya, lalu menelesik di balik pintu melalui indra malaikatnya.
Matanya terbelalak, melambangkan keterkejutan dan kebingungan "Mark Hyung?!" Denga segera Haechan mengenakan pakaiannya dan membukakan pintu untuk Mark.
Dia memutar daun pintu, kepalanya menyembul dari sela-sela pintu yang tebuka "Mark Hyung? Ada apa?" Tanyanya.
Mark Tersenyum dan membuka pintu itu lebih lebar, membuat Haechan sedikit kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh tersungkur di hadapan Mark.
"Kau tidak menjawab telponku." Kata Mark sambil tersenyum.
Haechan kebngungan mencari alasan—tak terbiasa akan kebohongan. "Ya, benar a-aku tadi sedang tidur." Kata Haechan "Benar, aku sedang tidur." Gumamnya kecil.
"Baiklah aku mengerti, sekarang kita makan, aku mebawakanmu ayam dan cola" ucap Mark, perlahan-lahan meletakkan bawaannya di atas meja.
Mereka duduk di sofa bersebelahan, menatap tak karuan satu sama lain "Bagaimana Hyung tau rumahku berada di sini?" Tanyanya.
"Aku punya mata-mata." Kata Mark bercanda.
Haechan berdecih, "Seandainya memang begitu, kau seharusnya me-"
Kalimat Haechan terhenti, juga Mark yang matanya melotot seperti siap keluar. Pupil Haechan melebar dengan cepat, detak jantungnya melonjak hebat. Mark merasakan suhu tubuhnya meningkat dengan drastis dalam sekejap.
"A-apa ini..." Haechan kehilangan kata-kata, tak mengerti bagaimana caranya ia dapat menjelaskan perasaan tak enak yang berada dalam dirinya.
"Mereka kehilang kesempatan." Ucap Mark dengan nada tajam. Dia melirik ke sana ke mari dalam rumah Haechan. Perlahan tapi pasti, tubuhnya berubah menjadi semerah api, menandakan sesuatu tidak baik memang sedang terjadi.
Haechan-pun ikut bingung, tak mengerti harus melakukan apa dalam situasi aneh ini.
Mark menyengkram pergelangan tangan Haechan dengan sangat keras, "Kita akan membiacarakan ini nanti, sekarang kau buka sayapmu lebar-lebar."
Tanpa ragu dan pertimbangan, Haechan membentangkan sayapnya yang bersinar redup, sayapnya yang lebar menyentuh langit-langit rumah dan ujung-ujung tembok.
"Mereka harus mendapatkan potongan kitab itu!" Seru mark. "Kita tidak bisa membiarkan mereka mundur."
Haechan kebingungan, tak mengerti bagaimana caranyaia mengelola informasi yang begitu banyak.
"Kencangkan sayapmu."
Mark menepukkan kedua tangannya dengan sangat keras, energi kejut melonjak dari sumber bunyi itu, kemudian mereka menghilangan sepersekian detik bersama api.
∰
"Terus terang saja, aku tidak mengerti jalan pikiran penyihir itu." Bongshik berucap, dengan dahi yang mengernyit dalam.
Jihoon terkekeh "Bukankah memang isi pikiran bangsa penyihir itu tidak untuk dibaca?"
Bongshik mengangguk, melipat kedua tangannya dan mengambil duduk di atas kap mobil yang hitam mengilap. "Aku mengerti mengapa mereka menggunakan para penyihir untuk menjagakitab perjanjian itu."
Jauh di depan mereka, Tuan Nakamoto sedang membelah dirinya menjadi seratus, dengan tujuan mengetahui ukuran pasti seberapa luas gedung lembaga pertahanan Amerika Serikat itu. Tuan Nakamoto bersama dengan perwujudannya mengelilingi gedung Pentagon dengan berlari begitu kencang, menelesik setiap celah yang mungkin untuk mendapatkan informasi, tentunya ia tak bisa dilihat.
Jaemin dan Jeno sedang berada di dalam mobil, karena dinginnya suhu di luar membuat kulit mereka kering dan nyeri. Keheningan, dan sunyi, berada di sana bersama-sama mereka. Meskipun Jeno dengan tidak ragunya menyandarkan kepala di bahu Jaemin.
"Maaf." Gumam Jaemin, "Aku terlalu kasar tadi."
Jeno membuka matanya perlahan-lahan "Aku maafkan." Jawabnya.
"Aku hanya..." Jaemin mengentikan kalimatnya, kemudian menghela napas panjang. "Aku hanya merasa tak enak."
"Pada siapa?" Tanya Jeno.
"Semuanya, dirimu, Renjun, Nona Krsytal, Bundaku, dan semuanya. Aku merasa sudah melakukan kesalahan yang besar." Jaemin terkekeh, "Dan memang begitu nyatanya."
"Jaemin, kau tidak per-"
Jaemin memotong kalimat Jeno dengan cepat "Aku tahu, kau pasti akan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, dan tidak ada yang perlu aku khawatirkan, kemudian kau akan mengatakan padaku untuk tidak merasa bersalah atas sesuatu yang tidak bisa aku kendalikan, bukan begitu?" Tukas Jaemin panjang lebar.
"Tapi tidak begitu Jeno, aku tidak mau menjadi seseorang yang jahat dengan merasa baik-baik saja atas apa yang sudah aku perbuat. Terhadap hubungan orang lain." Kata Jaemin, menunduk dalam dan menahan air matanya untuk lolos.
"Dan kau tidak bisa mengatakan bahwa aku tidak bersalah, aku bersalah. Bagaimanapun juga, kau dan Renjun adalah kekasih, aku tidak seharusnya melewati garis itu, aku tidak seharusnya menjadi benalu yang menyusahkan." Setetes air mata tak dapat ditahan lagi, meluncur jatuh menuju arah gravitasi bumi.
"Kehadiranku sudah membawa beban bagi banyak orang, Bundaku, kekuasaan Ayahku, kesetimbangan dunia sihir-"
Belum selesai Jaemin mengutarakan apa yang menyesakkan dadanya, Jeno menangkup wajah Jaemin dan mengecup bibir manis itu dengan lembut, dengan sangat hati-hati.
Jaemin mendorong Jeno dengan sekuat tenaga, namun entah mengapa tangannya kelu, ia tak mampu mengeluarkan energi terbaiknya untuk memundurkan Jeno. Kemudian tangan Jeno yang berotot, turun untuk menekan bahu Jaemin pada jok mobil.
Perlahan tapi pasti, kecupan itu berubah menjadi ciuman yang penuh kasih sayang. Dan lagi, Jaemin kembali jatuh dan tidak mampu melakukan apapun, meskipun Jeno tidak menggunakan kekuatan ke-Dewaannya sama sekali.
Lidah Jeno bermain di dalam mulut Jaemin, beradu bersama manisnya sang indra pengecap milik Jaemin yang malu-malu. Dia menyesap tiap inchi bibir Jaemin, tak mau meninggalkan sedikitpun. Saliva menetes dari bibir Jaemin—yang entah milik siapa—mengalir turun ke leher.
Hingga akhirnya, ciuman itu harus terhenti karena suara isak tangis Jaemin yang samar teredam oleh bibir Jeno. Jeno memundurkan wajahnya, memberi jarak antara mereka, menatap Jaemin dengan penuh kecintaan.
Jaemin menangis tersedu, air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya tumpah dan membasahi wajahnya. Dia terisak, namun Jeno mengusap pucuk kepalanya dan membawa Jaemin menuju ceruk lehernya yang hangat.
"Tetapi kehadiranmu adalah berkat bagiku. Sebuah pelindung dan keamanan yang menjaga aku. Sebuah kesetiaan dan cinta kasih yang mengalir meskipun satu arah. Dan jika bukan karena dirimu, aku tidak akan bisa sampai di hari ini, aku tidak akan bisa hidup dengan nyaman tanpa gangguan sihir-sihir jahat jika kau tidak pernah dilahirkan." Jeno mengusap surai Jaemin yang sedikit kasar karena kesibukan, kusut karena tertiup angin, dan kusam karena debu-debu kerja keras mereka.
"Kita bersalah, dan aku memang yang paling bersalah. Sebab aku berpaling, sebab aku menjadi pihak yang menyekutukan, sebab aku menjadi seseorang yang tidak bertanggungjawab atas apa yang sudah aku miliki." Jeno mengeratkan pelukannya, "Namun untuk kali ini saja, izinkan aku memelukmu seperti ini. Sebab esok hari, aku tidak bisa berjanji kita akan tetap bersama, sebab aku tak mau menjadi gila karena penyesalan."
"Karena kau begitu berharga untukku, dengan artian yang nyata bahwa aku tidak bisa hidup tanpa adanya dirimu." Jeno mengakhiri kalimatnya dengan sebuah kecupan di pucuk kepala Jaemin.
Jaemin melepaskan pelukannya, memperbaiki posisinya seperti semula, mengusap air matanya dan mengelap bekas saliva milik mereka berdua.
"Mungkin memang takdir tak menginginkan kita bersama." Ucap Jaemin dengan berat hati, kemudian pergi meninggalkan Jeno yang mematung di dalam mobil, seorang diri.
Jaemin berjalan ke luar dan duduk di atas kap mobil, di samping Bongshik.
"Ciuman yang penuh penderitaan huh?" Ucap Bongshik dengan tatapan mengasihani.
Jaemin menggeleng "Mari tidak usah berbicara soal itu." Ucap Jaemin tegas, "Bagaimana itu?" Tanya Jaemin menunjuk Tuan Nakamoto dengan dagunya.
Wajah Bongshik berubah masam "Setiap lantai diamankan dengan teka-teki."
"Teka-teki semacam apa?" Tanya Jaemin.
Bongshik menggeleng "Entahlah, tapi firasatku benar-benar sangat buruk."
"Kapan terakhir kali kamu mengandalkan firasat seperti ini? Dengar-dengar bangsa Dewa sangat jarang menggunakan firasat mereka."
Bongshik berdecak khawatir "Terakhir kali ketika tiga ribu rakyatku mati karena diracuni manusia dalam era revolusi industri besar-besaran."
Jaemin menoleh dengan tatapan bingung. Bongshik membalas tolehan itu dan mengangguk "Aku dulu adalah seorang Ratu."
"Tapi itu tidak penting. Sekarang yang paling krusial adalah bagaimana caranya kita melewati teka-teki itu." Kata Bongshik mengembalikan pembicaraan.
"Teka-tekinya tidak mungkin seperti pada acara ulangtahun, atau pembodohan oleh pesulap jalanan." Balas Jaemin penuh yakin akan kata-katanya.
"Mungkin memang jenis teka-teki yang hanya bisa kita tahu jika kita masuk ke sana." Kata Bongshik menambahkan.
Jaemin menoleh ke sana ke mari, namun tidak menemukan Jihoon dan Jisung di mana-mana.
"Lihat tepat di atas gedung itu." Kata Krystal, mengetahui isi pikiran Jaemin.
"Sedang apa mereka?" Tanya Jaemin.
"Untuk melihat lebih jelas, mereka butuh jarak lebih dekat." Jawab Bongshik. Jaemin hanya mengangguk, tak ingin bertanya lebih lanjut.
Tak berapa lama, para penyihir menyudahi kegiatan mereka dan kembali ke tempat Bongshik memarkirkan mobilnya.
Dengan napas yang terengah-engah Jisung mencoba menjelaskan situasi dan kondisi yang mungkin saja mereka hadapi.
"Ba-baiklah, aku akan men-je-laskan." Ucapnya, kemudian menarik dan membuang napas panjang, melanjutkan kalimatnya yang belum selesai.
"Ada total 1002 lantai yang harus kita lewati, dua lantai paling atas yang merupakan basement tidak memiliki pengaman sihir sama sekali. Kemudian, 200 lantai di bawahnya, semua dikunci, dirantai, digembok, dan disegel dengan sangat rapat, namun tidak ada satupun tanda-tanda sihir. 400 lantai di bawahnya lagi, pengaman semakin diperketat dengan adanya sensor yang sangat sensitif. Dan di empat ratus lantai ini, semua pintu harus dibuka dengan semacam kode."
"Teka-teki itu." Gumam Jaemin sembari menoleh pada Bongshik.
Jisung mengangguk, "Semacam itulah. Sampai sini, semua rintangan masih dapat kita lewati dengan bantuan sihir kami, dan Tuan Nakamoto. 398 sisanya, semua lantai itu dijaga oleh sihir hitam, sama seperti yang ada di Menara Namsan."
"Namun jauh lebih kuat." Sambung Tuan Nakamoto.
"Sangat kuat, kurasa." Gumam Jisung dengan air muka yang tak menujukkan tanda-tanda kebaikan.
"Berarti kita harus berperang di sini, melalui 398 lantai itu." Tutu Bongshik.
"Kemudian dua lantai terakhir?" Tanya Jaemin pada Jisung, yang hanya dibalas denagn sebuah gelengan.
"Aku sudah melihat dengan sangat dalam, menerawang dengan sangat kuat, namun aku tidak bisa merasakan apapun. Sesuatu yang begitu kuat pasti berada di sana, namun aku tidak bisa merasakan apapun soal itu, potret yang aku dapat hanyalah sebatas ruangan kosong." Jawab Tuan Nakamoto.
Bongshik bertepuk, "Di sanalah potongan kitab perjanjian itu berada. Antara dua lantai itu."
"Baiklah, kita harus bergerak sekarang!" Seru Bongshik.
Jaemin turun dari kap mobil itu dan berjalan mengikuti Bongshik dan Tuan Nakamoto yang sedang berbincang di depan mereka. Tanpa mereka sadari, Jihoon masih tertinggal, mematung menartap ke dalam mobil,
"Teman-teman, di mana Jeno?" Tanya Jihoon penuh harap, berharap jika Jeno sudah keluar dan berjalan bersama mereka.
Tetapi tidak, Jeno menghilang.
∰
Saeroyi menurunkan penutup kepala dari jubah sihir yang menutupi seluruh permukaan tubuhnya. Di tangan sebelah kanan, ia memegang tongkat sihirnya yang ia jadikan sebagai tumpuan untuk berjalan.
Matanya menyisir setiap bagian gunung gaib itu, mencoba mendapatkan gambaran akan situasi yang mungkin dihadapinya. Tangannya sedikit gemetar, sebab rasa takut berkelebat di dalam kepalanya.
Yiseo menenangkan suaminya dengan mengenggam tangannya, memberikan tatapan teduh pada Saeroyi supaya ia tidak begitu lepas kendali.
"Kita bisa melakukan ini, percayalah." Ucap Yiseo.
Saeroyi mengangguk, paham, juga mengerti "Aku tahu. Aku tahu kita tidak pernah mengecewakan Krystal, hanya saja...."
Yiseo menyunggingkan alisnya, menunggu kalimat Saeroyi untuk diselesaikan. "Hanya saja aku tak yakin mereka mampu melakukan ini semua."
"Sayang, kau-"
"Tidak Yiseo, mereka masih sangat kecil untuk melakukan misi sebesar itu. Potongan kitab perjanjian? Huh, Jisung bahkan belum paham tujuan hidupnya." Kata Saeroyi.
"Mereka bersama Tuan Agung, mereka akan baik-baik saja, percayalah padaku." Jawab Yiseo atas ketidakyakinan suaminya.
Saeroyi memutar tongkatnya dan memasang kembali jubah sihir untuk menutupi kepalanya, "Aku harap begitu."
Kemudian mereka berdua menghentakkan tongkat sihir ke bumi, lalu menghilang bersama aura keemasan.
∰
Seorang wanita dengan pakaian serba mahal berwarna ungu kelam, lipstik merah delima, berdiri di depan pintu rumah coklat pudar. Mimik wajanya jelas menunjukkan banyak sekali keraguan, dengan tangan yang ragu-ragu menekan bel.
"Haruskah?" Gumamnya, bertanya pada diri sendiri, melewati berbagai perdebatan yang panjang di dalam kepalanya.
Wanita itu berdecak kes, kemudian dengan yakin menekan bel itu. Terdengar dari dalam, suara bel menggaung, dan suara seorang wanita menyahut dari dalam. "Tunggu sebentar."
Pintu terbuka lebar, sang pemilik rumah menemukan seseorang wanita yang amat ia kenal, dengan sorot mata yang keberatan. Sedangkan sang wanita di luar rumah, menemukan pemilik rumah itu dengan pakaian sederhana dan rambut pendek yang terikat.
"No-na Bae." Ucap sang pemilik rumah.
"Ryujin aku..." Sang wanita—Bae Irene—menghentikan kalimatnya. "Aku kemari untuk Jeno." Ucapnya.
Ryujin tersenyum dan mengangguk, "Silahkan masuk dulu." Kata Ryujin menawarkan.
"Tidak perlu, aku hanya akan menemuinya di sini, sebentar saja." Jawab Irene menolak.
Sang pemilik rumah terkekeh, "Untuk itu, maafkan aku, Jeno sedang tidak berada di sini."
Irene mengernyitkan dahi, seolah tidak terima akan hal yang dikatakan Ryujin barusan. Ryujin yang paham akan raut wajah itupun membuka pintu lebih lebar dan memberikan isyarat mempersilahkan masuk kepada Irene.
Dengan ragu, Irene melangkah masuk ke dalam, menginjakkan kakinya di sana dengan kebingungan. Perlahan-lahan ia melepaskan sepatu glamornya, meletakkan sepatu itu di sebelah pintu.
"Rumahku memang kecil, tapi percayalah, rumah ini sangat bersih dan hangat." Kata Ryujin, melemparkan senyumannya pada tamu tak diundang.
Irene mengulum senyumnya "Tak perlu merasa begitu, aku baik-baik saja."
"Silahkan duduk, aku akan membuatkanmu secangkir teh." Ucapnya "Kamomil atau safron?" Tanya Ryujin.
"Keduanya, perbandingan dua kamomil, satu safron." Jawab Irene. Matanya berkeliling di dalam rumah itu, mempertanyakan kebenaran. Benarkah orang-orang tinggal di tempat semacam ini, benarkah orang-orang tinggal di tempat sesempit ini, dan begitu. Lahir di keluarga yang kaya raya adalah penyebab atas ketidaktahuannya.
Irene beralih pada Ryujin yang dengan cekatannya menyeduhkan teh untuknya "Kau juga suka teh?" Tanya Irene, membaca gerak-gerik Ryujin yang begitu baik untuk orang biasa.
Ryujin terkekeh, "Begitulah, tetapi aku tidak terlalu menekuni ini." Jawabnya "Hobi masa remaja."
"Kapan-kapan aku akan menyeduhkan Yellow Gold untukmu." Kata Irene, menyebutkan salah satu jenis teh yang paling mahal di dunia.
Setelah menyudahi kegiatan tuang menuang air hangat, Ryujin membawa teh itu untuk menyajikannya pada Irene. Meletakkan cangkir teh berwarna putih sederhana itu di atas meja di depan Irene.
"Kau tidak datang kemari hanya untuk Jeno, bukan?" Ucap Ryujin.
Irene menggigigit bibirnya dan mengangguk perlahan, "Entahlah, mungkin aku sudah benar-benar gila."
Ryujin hanya tersenyum, mengerti akan situasi yang sedang Irene hadapi. "Aku akan memberikanmu waktu, untuk memperimbangkan." Kata Ryujin memaklumi.
Waktu terasa berhenti sejenak untuk mereka, Irene mengangkat cangkir teh dengan begitu rupa, menyesap teh hangat itu dengan perlahan-lahan, merasakan tiap-tiap bagian lidahnya dihibur akan rasa yang menyegarkan. Kemudian keheningan itu diakhiri dengan suara denting cangkir yang diletakkan kembali di atas meja.
"Aku siap mendengarkan keseluruhan ceritamu." Kata Irene, sejenak mengehntikan kalimatnya, menatap dalam pada Ryujin. "Dan aku ingin kau menceritakan semuanya dengan jujur."
∰
Dengan penuh kemegaan, Renjun memerintahkan angin untuk membawa mereka terbang bersama awan-awan. Mengangkat tangannya dengan tinggi supaya sihir tetap berada di sekitar mereka, menyisakan jejak aura keemasan di sekitar Johnny yang berada di belakang Renjun.
Sedangkan Johnny, sedari tadi sibuk memerhatikan kiri, kanan, atas, dan bawah, menghindari keburukan-keburukan yang mungkin datang untuk membunuh mereka. Sebab mereka adalah ancaman bagi banyak bangsa.
Renjun memutar tangannya dengan perlahan, memberi perintah kepada angin untuk sedikit menjauhi mereka, supaya mereka dapat turun dari ketinggian dan melihat potret di bawah mereka dengan lebih jelas. Johnny menyipitkan matanya, menyadari bahwa mereka sudah sangat dekat dengan tujuan, namun ia ragu, tidak begitu percaya dengan apa yang ia lihat.
"Kita sudah sampai?" Tanya Johnny sedikit berteriak.
Renjun mengangguk, "Kita sudah sampai. Sekitar satu kilometer lagi ke arah utara." Jawab Renjun, juga membesarkan suaranya.
Tepat satu kilometer di utara mereka, gedung besar dan gagah berdiri kokoh berbentuk segi lima. Pentagon, Markas Pertahanan Amerika Serikat. Renjun dan Johnny dapat melihat Tuan Nakamoto yang 'sangat banyak' sedang berlari mengelilingi gedung itu, juka bercak-bercak keemasan dari sihir Jisung dan Jihoon yang sedang terbang tepat di atas Pentagon.
"Johnny, kita mendarat di sana." Ucap Renjun, menunjuk sebuah lapangan tenis tak jauh dari mereka. Johnny membalas dengan anggukan, kemudian menjentikkan jarinya dan menghilang dari angkasa dalam sekejap mata.
Pada saat yang sama, Johnny dan Renjun 'mendarat' di lapangan tenis itu, yang tak begitu ramai dan sepertinya sudah lama tidak digunakan, dapat dilihat dari lantai lapangan yang telah kehilangan warnanya samar-samar.
"Kita akan berjalan kaki dari sini." Kata Renjun mendahului percakapan mereka.
Sesaat setelahnya, mereka berdua berpisah dengan rute yang sudah disetujui. Renjun berjalan menggunakan arah barat, sedangkan Johnny di timur. Mereka berkomunikasi melalui telepati yang hanya mereka saja dapat mendengarnya satu sama lain, kemudian bertukar informasi seputar apa-apa saja yang ada di sekitar mereka.
Hingga akhirnya komunikasi itu harus berhenti, sebab mereka sudah mencapai batas paling dekat dengan Pentagon, batas paling dekat dengan para pencari potongan kitab perjanjian. Dan mereka harus diam, kecuali untuk saat-saat yang begitu penting, seperti saat ini.
"Baik, Jeno sudah menghilang." Kalimat terakhir Renjun sebelum akhirnya mereka benar-benar diam.
—To Be Continued—