PETRA

By akuorangindo

27.1K 5.3K 1K

Bakat dan kemampuan semata tidak cukup memuaskan orang-orang di sekitarnya... Petra Alexius of Reyes, putri s... More

Prolog
2 - Petra
3 - Petra
4 - Petra
5 - Raphael
6 - Petra
7 - Petra
8 - Petra
9 - Petra
10 - Petra
11 - Esther
12 - Petra
13 - Petra
14 - Petra
15 - Raphael / Petra
16 - Petra
17 - Rhys
18 - Petra [19+]
19 - Petra
20 - Petra / Livius
21 - Petra / Thalia
22 - Rhys
23 - Petra
24 - Petra
25 - Petra [21+]
Epilog

1 - Petra

1.4K 232 39
By akuorangindo

Y231

Daerah Jajahan Kerajaan Waisenburg

Markas Waisenburg Pinggiran Albatross

Tatapan Petra terpaku pada lawan di depannya. Mengamati tindak-tanduk, kedut otot, kuda-kuda, dan gerak-gerik bola matanya. Seorang prajurit Waisenburg menantangnya dalam duel kombat tangan kali ini. Ia ingat kepercayaan dirinya menantang Petra, tampak congkak dengan tubuh perkasanya membayangi tubuh ramping Petra. Pria itu pikir ia sedang menuntaskan dendam teman-teman seperjuangannya yang kalah melawan Petra. Namun, satu hal yang tidak ia ketahui—ia sedang menggali liang kuburannya sendiri.

Liang kuburan penuh rasa malu.

Penonton mulai berdatangan tanpa diundang. Menciptakan lingkaran kecil, arena bertarung bagi Petra dan prajurit di hadapannya, dengan tubuh penasaran mereka. Para serdadu Reibeart bersorak mendukung dirinya, menyanyikan namanya penuh kemenangan. Di sisi yang lain, prajurit Waisenburg mengolok-olok Petra, mulai mengadakan pertaruhan siapa yang akan menang. Sekumpulan perawat menatap mereka cemas, sudah menyiapkan sekotak obat untuk merawat yang terluka. Di kejauhan, pamannya, Gideon, memandanginya bosan, mengetahui hasil dari pertarungan sia-sia itu. Pandangannya seakan mengatakan untuk menyelesaikan duel secepat mungkin.

Dan Petra akan mengakhirinya secepat kilat.

Lawannya merangsek maju, langkahnya panjang. Menangkap sekilas miring tubuh lawannya, segera Petra tahu bahwa tinju pertama berasal dari tangan kanannya. Petra memutar pergelangan kakinya, mengubah kuda-kudanya sedemikian rupa, menghindari serangannya. Lawannya kembali melancarkan tinju kedua, ketiga, dan seterusnya. Selincah angin, Petra menghindari serangannya yang bertubi-tubi. Petra tergelitik untuk tersenyum memandangi wajah pria itu berubah merah dan olokan prajurit Waisenburg semakin senyap. Bahkan Daria, adik perempuannya, tahu untuk tidak melayangkan tinju membabi-buta.

Detik pria itu melancarkan sebuah pukulan pendek, Petra mengelak dan cekatan menangkup lengannya. Memelintirnya ke belakang hingga pria itu terjerembab jatuh. Tungkai Petra menginjak bahu tangannya yang bebas, cukup kuat untuk menahannya tetap di tanah berpasir. Petra masih mengunci lengan berotot pria itu dalam sudut yang menyakitkan, namun tidak menghancurkan. Pria itu mengerang-erang kesakitan dan Petra mulai berhitung dalam hatinya. Satu, dua, tiga...

"Aku menyerah! Aku menyerah!" seru pria itu.

Dan Petra membebaskannya. Pasukan Reibeart menyoraki kemenangannya, namun tidak cukup berani untuk menyelamatinya secara langsung. Petra memiliki reputasi buruk baik bagi pasukan Waisenburg maupun Reibeart sehingga tiada satu orang pun nekat menghampirinya, kecuali Paman dan Raphael Schiffer, iparnya. Di sudut matanya, Petra menangkap kedik kepala Paman, sebuah isyarat untuk mengikutinya. Petra membelah lautan prajurit yang memadati jalan, mengekori langkahnya. Mengikuti pamannya, memasuki sebuah tenda yang cukup besar sebagai tempat berkumpulnya komandan pasukan merancang strategi serta penyerangan.

Di tengah tenda itu terdapat sebuah meja besar. Peta Albatross terbentang lebar dengan simbol penanda tempat para pemberontak menyerang. Berharap menemukan sebuah pola tertentu untuk menentukan markas Albatross yang sampai detik ini masih tidak diketahui. Melihat corak penyerangan gerilya mereka yang tiba-tiba, Petra dan pamannya berkonklusi bahwa para pemberontak berpindah secara rutin, di pedalaman Albatross, jauh dari pandangan mereka. Namun, tidak mengindahkan saran Paman untuk menyerang ke wilayah lebih dalam, komandan Waisenburg meneguhkan garis pertahanan mereka di pinggiran Albatross, menjaga pelabuhan setelah benteng-benteng lainnya berhasil diambil alih.

Bagaimana operasi memusnahkan pemberontakan ini bisa berhasil apabila satu-satu hal yang mereka lakukan adalah menjaga pesisir pantai? Terkadang, Petra membenci dirinya sendiri yang tidak lebih dari seorang serdadu biasa. Bukan seseorang dengan kekuasaan lebih. Paman selalu disudutkan dan dikucilkan di setiap rapat, seolah-olah ide brilian Paman tak ubahnya sampah. Padahal, dua tahun lalu, Waisenburg sendiri yang meminta bala bantuan kepada Reibeart untuk mengirimkan dua pasukan, salah satunya Korps Istimewa Reibeart, pasukan elite Reibeart. Sekarang, opini mereka tidak lebih dari sekadar angin lewat.

Petra mengetahui siapa pria yang berdiri di seberangnya, memerhatikan meja besar tersebut. Pria itu menyadari kehadirannya, kepalanya mendongak. Helai rambut cokelatnya menyentuh dahi dan dua sudut mulutnya menyunggingkan senyum yang membuat wanita manapun terlena. Kakaknya. Pangeran Mahkota Reibeart, Caiden Theoxaris of Reyes.

Petra diliputi dorongan untuk melompati meja dan menghambur ke pelukan kakaknya, namun urung. Sejak kecil ia selalu bermimpi untuk mengarungi lautan, memerangi kejahatan, berpetualang di luar kastilnya. Sekarang, ia menyadari betapa naifnya mimpi-mimpi tersebut. Ia merindukan rumah, Reibeart, dengan semua keluarganya di sana. Dan, jangan lupa kasur empuknya. Sebuah dusta besar apabila Petra tidak merindukan ranjangnya.

Ketukan di pintu memecahkan keheningan, "Petra, aku akan pergi mengelilingi perimeter mengawasi para pemberontak," ujar Paman.

"Aku akan segera menemanimu, Paman." Petra memandangi kakak dan pamannya bolak-balik.

"Aku membebaskanmu dari tugas jaga hari ini, Petra, untuk hari ini saja." Paman menepuk pundaknya. "Ibumu pasti khawatir setengah mati terhadapmu." Lalu, pergi meninggalkan mereka.

Caiden duduk, menyeret sebuah kursi ke sampingnya. Ia menunjuk kursi itu. "Duduklah, Petra."

Mengambil tempat di samping kakaknya, Petra berbisik, "Apa yang kau lakukan di sini?"

Menyilangkan kakinya, Caiden menarik jubah, mencegahnya menyapu lantai. "Setelah konferensi di Whiteford, jadwalku kosong hingga musim panas berakhir. Jadi, aku memutuskan untuk mengunjungi adik perempuanku yang sering membuat Ibu cemas."

Petra tidak menyukai kenyataan itu—kenyataan di mana dari kesemua saudaranya, Petra paling sering membuat Ibu khawatir. Terutama, setelah peristiwa empat belas tahun lalu yang hampir merenggut nyawanya. Ibu nyaris melarangnya masuk ke Korps Istimewa Reibeart. Namun, untungnya, Petra tidak mudah menyerah. Menjadi seorang tentara merupakan mimpinya sedari kecil.

"Apa kabar Daria, Esther, dan Kania?" tanya Petra. Hampir dua tahun ia tidak menginjak tanah Reibeart. Ia merindukan kebisingan Daria, manis senyum Esther, dan kecerdasan Kania. Salah satu alasan Petra untuk menjadi seorang tentara; melindungi keluarganya yang berharga. Ibu dan Ayah dan Caiden juga. Seseorang harus selalu berkorban dan Petra secara sepihak memutuskan bahwa dia bertanggung jawab atas hal tersebut.

Kewajiban dan tanggung jawab. Kehidupan Petra tidak pernah jauh dari dua hal substansial itu.

"Baik, sedikit sedih, dan baik." Caiden menautkan kedua tangannya. "Ibu berencana untuk menjodohkan Daria dengan Pangeran Mahkota Fhraeron musim panas ini."

Petra memicingkan matanya. Pangeran Mahkota Fhraeron sesungguhnya bukan pilihan yang buruk. Namun, ia ragu Daria mau dikekang oleh sebuah kontrak pernikahan. Daria tak ubahnya dirinya, selalu mencintai pertarungan. Tetapi, di mana Petra memandangi medan perang dengan kepala dingin, Daria selalu menggebu-gebu, spontan, dan mengikuti hatinya. Dan Daria tidak akan semudah itu menundukkan hatinya pada orang asing.

"Menurutmu itu keputusan yang baik?"

"Tidak. Tapi, cukup benar. Komoditas utama Fhraeron adalah senjata, berbagai macam senjata. Hal itu dapat menjadi keuntungan Reibeart apabila Daria bersedia menikahinya. Lagipula," ujar Caiden, "semenjak musim panas tahun lalu Pangeran Fhraeron sudah jatuh cinta setengah mati dengan Daria."

Mustahil tidak mencintai ketiga adiknya yang cantik. Sebuah senyum mengembang di wajahnya membayangkan Daria melarikan diri dari sembari menjulurkan lidah, mengolok-olok sang pangeran. Daria selalu berhasil membuatnya tersenyum, baik hadir secara fisik maupun bayangan belaka. "Bagaimana denganmu, Caiden?"

"Aku?"

"Apa kau masih menunggu Miss de Clare?"

Caiden menegang. Rahangnya keras, namun matanya melembut. Seakan ribuan kenangan sedang berkilas di baliknya. "Miss de Clare—"

"Kau tidak perlu menyembunyikannya. Aku tahu dari caramu memandangi Miss de Clare tiga belas tahun belakangan." Petra mendekatkan dirinya ke kakaknya. "Sudah saatnya kau mengakhiri penderitaanmu... dan juga milik Miss de Clare."

Petra mengingat sosok Miss Katarina de Clare. Dayang kesukaan Ibu yang sudah mengabdi sejak berusia tiga belas tahun. Teman baik dan terdekat Daria. Seorang wanita yang selama hidupnya selalu dihantui penilaian orang-orang. Petra mampu mengerti apa yang Miss de Clare rasakan, sebab ia juga bisa merasakan tatapan takut orang di sekitarnya. Sebagaimana mereka tidak menganggap Petra manusia, tidak lebih dari iblis berhati dingin haus darah. Jantung Petra berdenyut menyakitkan kala mengingat desas-desus itu. Iblis.

"Tidak semudah itu, Petra," Caiden berkata. "Aku akan tetap menunggunya sampai ia cukup siap. Sepuluh atau lima puluh tahun lagi, tidak masalah bagiku."

"Dan itulah mengapa cinta membuat manusia semakin bodoh." Luka di pundak kirinya mengirimkan ngilu ke sekujur tubuhnya. Sebuah bukti atas kekelahannya, ketidakberdayaannya, dan kebodohannya. Mendadak, menghela napas menjadi siksaan bagi paru-parunya.

Caiden tampaknya menyadari sebelah tangan Petra meraih bekas lukanya. Kakaknya itu menggenggam tangannya. Dahinya mengerut dan kedua matanya cemas. Semua orang cemas akan kesejahteraannya. Setangguh apapun dirinya, orang-orang akan tetap mencemaskan dirinya. Itu merupakan alasan mengapa selama empat belas tahun, Petra mati-matian berlatih dan belajar. Menerobos batas yang diciptakan oleh tubuhnya sendiri. Menjadi lebih kuat dan kian kuat dari sebelumnya. Tak terkalahkan. Sehingga keluarganya dapat berhenti mengkhawatirkannya. Sehingga ia tidak lagi dipandang sebagai seorang putri sebuah kerajaan, namun sebagai seorang pejuang, prajurit terkuat yang pernah ada.

Tetapi, Petra mampu melihat pantulan dirinya di permukaan bola mata kakaknya. Betapa rapuh dan kecil dirinya. Berusaha mengendalikan dunia di bawah kedua kaki mungilnya. Hal tersebut merupa tombak rasa bersalah dan marah yang menusuk hatinya. Petra membencinya. Lucu, sebagaimana banyak kebencian serta kemarahan mengakar di hatinya. Ia ingin berteriak dan menjerit dan menumpahkan segalanya. Membuktikan kebenaran desas-desus mengenai dirinya. Bahwa sebuah iblis bersemayam di dalam dirinya, menunggu dibebaskan.

Petra mempertahankan dinding esnya, balas menatap Caiden, meyakinkan kakaknya. "Caiden." Petra memilah kata-katanya sebelum berkata, "Aku baik-baik saja." Aku membenci ketidakberdayaanku. Batasan tak kasat mata yang mengukung kebebasannya.

Caiden mengelus sisi wajahnya. Kenangan masa kecil mereka menyeruak. Di mana pelukan Petra mengayomi mereka, menerpa ketakutan di dirinya juga kakaknya. Sekarang, kebalikannya. Caiden tidak lagi membutuhkan pertolongannya karena, sekarang, Petra sedang terperosok ke jurang paling dalam yang mana dasarnya tidak juga tampak.

"Sehebat apapun dirimu bertarung, kau tetap adik perempuanku." Caiden memeluknya. Segala kehangatan keluarganya tersampaikan. Petra membendung tangisnya. Jauh di lubuk hati, ia sekadar anak kecil yang tidak pernah puas. "Aku merindukan musim dingin bersamamu. Sepupu Sienna dan Devon juga merindukanmu. Keluarga merindukanmu."

Menangkup kedua pipinya, Caiden mengutarakan sebuah pinta, namun terdengar lebih seperti sebuah doa. "Cepatlah pulang, Prajurit." []

Yuhuuu, aku di sini. Setting waktu bab ini tepat banget sebelum percintaan Caiden dan Kat dimulai, yaaah, jadi jangan bingung :) Di bab ini aku mau nonjolin hubungan kakak adik petra dan caiden karena sebagian besar waktu di KATARINA yang diceritain adalah hubungan Caiden dan adiknya yang lain.

Ohya, jangan terkejut karena di bab-bab selanjutnya bakal lebih banyak actionnya daripada kehidupan kerajaan<3 Terima kasih buat dukungan kalian semuaaa! aku tutup Petra minggu ini di sini yah? Tugas kuliahku... numpuk setengah hidup. TT_TT

Sekali lagi dimohon dukungannya untuk cerita baru ini!

Continue Reading

You'll Also Like

47.3K 11.3K 52
WAJIB FOLLOW AKUN PENULIS SEBELUM BACA!!! Sequel Of Broken Vow Sinopsis ada di dalam
505K 33.3K 26
Bagaimana jika kamu sedang tidur dengan nyaman, tiba tiba terbangun menjadi kembaran tidak identik antagonis?? Ngerinya adalah para tokoh malah tero...
Unperfect Love By sita1985

Historical Fiction

849K 64.7K 28
Seri pertama dari perfect series (Private) Viscount of Sherington, seorang lord dengan kekayaan melimpah namun memiliki kebiasaan buruk mabuk minuman...