Untuk yang belum tahu bahkan bingung dengan siapa Arvan, Alka, bahkan Raka, sebaiknya kalian baca dulu "Raya Story" dan "Ajari Aku Hijrah".
Atau setidaknya cerita "Ajari Aku Hijrah" saja juga tidak apa-apa, karena di sana awal mula kemunculan Gus Ali juga, dan kalian akan tahu sedekat apa hubungan keluarga Gus Ali dan keluarga Wijaya.
Dan jika ingin mengenal lebih jauh keluarga wijaya, baca "Raya Story" adalah pilihan yang tepat
Selamat membaca
****
Sampai saat ini semuanya berjalan sesuai rencana, sedari awal Arvan selalu mengawal kasus yang tengah Alisa hadapi, tanggung jawabnya memang tidak pernah diragukan, hingga akhirnya kini mereka masuk dalam rencana terakhir.
“Bagaimana?” tanya Arvan pada salah satu anak buahnya.
“Berkas bukti penggelapan dana yang dilakukan Broto sudah diterima KPK, Tuan.”
Arvan hanya mengangguk sambil bertumpang kaki, tangannya ia silangkan dengan tubuh bersandar di kursi. Sungguh, Arvan lebih terlihat seperti seorang bos mafia, semua yang ada pada dirinya sangat mendukung hal itu.
Raka dan Shanum bisa duduk dengan santai, sementara Gus Ali dan mertuanya seakan tengah menahan napas.
Sebesar apa sebenarnya pengaruh kekuasaan seorang Arvan?
Kenapa aura kejamnya sudah sangat terasa?
“Kapan penyergapannya?”
“Jam 12.00 siang nanti akan dilakukan penggeledahan di kantor perusahaannya Broto oleh Divisi Humas Polri, untuk penyergapannya sendiri mungkin akan dilakukan sore atau malamnya, Tuan.”
Kenapa Polisi harus menggeledah kantor perusahaan milik Broto? Itu karena, 80% dana yang dia korupsi, mengalir ke perusahaannya sendiri.
“Saya tidak suka kata mungkin! Pastikan lagi pada mereka kapan tua bangka itu akan ditangkap!” tegas Arvan dengan wajah dinginnya.
“Tenang, Van. Mereka juga harus membuat rencana sebaik mungkin untuk menangkap Broto, tugas kita sudah cukup sampai di sini, selebihnya biar penegak hukum yang bertindak,” ujar Raka menenangkan adiknya.
Bukan mengapa, Raka hanya kasihan saja pada anak buahnya Arvan yang sudah ketakutan.
“Waktu gue sudah tersita banyak buat ngurusin ini semua, Ka, gue gak mau kerja keras kita berakhir sia-sia, kita harus tetap mengawal kasus ini sampai tujuan kita tercapai,” balas Arvan dengan tegas. “Lo kira gampang membuat kerja sama dengan lembaga milik pemerintah? Salah langkah sedikit saja, malah kita yang akan berurusan dengan hukum.”
Raka dan yang lainnya hanya diam, Raka tidak bisa menyanggah ucapan Arvan, karena yang diucapkan adiknya memang benar, terlebih kasus Alisa ini 75% Arvan yang menangani. Sungguh, mereka harus berterima kasih kepada Arvan.
“Terlebih, kita tidak bisa mengeluarkan istri Mas Ali sebelum surat penangkapan Broto dikeluarkan," lanjut Arvan.
Di kursi lainnya, Gus Ali memejamkan matanya sekejap, semua rencana mereka memang berjalan dengan baik, namun tetap saja semuanya butuh proses, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.
Sebenarnya, kasus ini tidak akan terlalu rumit jika Broto bukanlah anggota dewan. Dan lagi, Gus Ali bisa saja membebaskan Alisa dari beberapa hari ke belakang, bukti percakapannya sudah cukup kuat untuk membuktikan bahwa Alisa tidak bersalah. Namun, seperti yang Arvan katakan, Broto akan dengan mudah membebaskan putrinya, bahkan jika dirinya ikut masuk ke dalam jeruji besi.
Gus Ali tidak akan membiarkan kejadian ini terulang kembali di kemudian hari.
“Mas, ini hari terakhir yang diberikan Broto, sebagai manusia kita hanya bisa berusaha, selebihnya Allah yang menentukan,” ujar Arvan membuyarkan lamunan Gus Ali.
“Saya yakin, Allah tidak akan pernah mengecewakan hambanya, walaupun sebagai hamba kita sering mengecewakan sang pencipta.”
Ya, ini hari ketiga dari waktu yang diberikan Broto, jika semua rencana ini gagal, maka bisa dipastikan nyawa Alisa yang menjadi taruhan.
Alisa, apa kamu baik-baik saja? Batin Gus Ali.
Rasa rindunya tidak bisa terbendung, hanya saja ia berusaha menyembunyikan rasa rindu dan khawatirnya di hadapan keluarga adiknya.
“Kalian ke Bandung sekarang?” tanya Arvan.
“Iya,” balas Gus Ali.
“Raka, lo ikut juga?” tanya Arvan kembali.
“Hemm, kamu ikut juga kan Van?”
Arvan menggeleng, ia memang tidak bisa ikut, tapi bukan berarti ia lepas tangan.
“Kenapa? Kamu itu kunci utama kita, bagaimana cara mengeluarkan Alisa kalau kamu saja tidak ikut?” protes Raka.
“Gue sibuk Ka, berkas di kantor juga sudah menumpuk, belum lagi meeting sama klien. Lo mau ganti rugi kalo perusahaan gue sampai rugi?” sahut Arvan, sarkas.
“Nanti kalian tinggal kasih saja bukti percakapan itu pada kapoldanya, kalau dia mempersulit, telepon saya saja, nanti biar saya sambungkan dengan jenderalnya langsung, sekarang anak buah saya sedang mengurus kasus Alisa di pusat,” tambah Arvan.
Ingin sekali Raka menjitak kepala adiknya, memang bagi keluarga mereka itu hal yang mudah, keluarganya memang sudah beberapa kali bekerja sama dengan kepolisian, bahkan dengan jenderalnya juga sudah saling mengenal.
Tapi, hal itu tentu tidak biasa bagi keluarganya Gus Ali, walaupun ayahnya Alisa juga pengusaha. Raka merasa tidak enak dengan keluarga istrinya, jika salah mengartikan, tentu siapa pun akan beranggapan jika Arvan sangat sombong.
Gus Ali hanya tersenyum melihat raut wajah adik iparnya, sedikitnya ia sudah tahu sepak terjang keluarga Wijaya, sebagai pemilik sebuah rumah sakit besar bahkan kini bertaraf Internasional, sudah sewajarnya jika mereka memiliki koneksi kuat dengan lembaga hukum, hal itu akan mempermudah jika suatu hari terjadi masalah, apalagi bagi Arvan yang terjun ke dunia bisnis.
Sifat Raka dan Arvan memang bertolak belakang, walaupun keduanya sama-sama tegas dan memiliki wibawa yang kuat. Setidaknya, sifat Raka lebih ramah dibanding Arvan.
Gus Ali mendapatkan panggilan masuk dari nomor tidak dikenal, ia kemudian ke belakang untuk mengangkatnya, rasanya tidak sopan jika harus mengangkat telepon di hadapan banyak orang.
“Assalamualaikum, maaf ini dengan siapa?”
“Wa ‘alaikumsalam, Mas, ini Alis, istri tercintamu.”
Gus Ali terpaku mendengar suara Alisa, benarkah ini istrinya? Dari mana dia mendapatkan ponsel?
“Alis, ini kamu?”
“Iya, Mas. Mas kok kayak kaget banget, sih?”
“Mas ... Mas rindu sama kamu, maaf Mas belum sempat ke sana lagi.”
“Alis juga kangen banget sama hantu tampannya Alis. Gak papa Mas, Alis paham kok alasannya, yang penting Mas cepet bebasin Alis. Sumpah Mas, di sini ... terlalu berat, Alis gak tahan Mas, mereka terlalu kejam.”
Gus Ali sangat mengerti ucapan lirih istrinya, beberapa oknum di bawah kekuasaan Broto pasti melakukan hal yang tidak baik pada istrinya.
“Bersabarlah, doakan Mas agar bisa cepat membebaskan kamu.”
“Iya Mas, doakan Alis juga agar bisa tetap bertahan.”
“Alisa yang Mas kenal, bukanlah wanita yang gampang menyerah.”
“Alis akan berusaha kuat sampai Mas jemput Alis.”
Gus Ali berusaha tersenyum walau hatinya terasa sangat perih, entah apa saja yang sudah dilakukan mereka pada istrinya.
“Alisa.”
“Iya Mas.”
“Maafkan Mas karena tidak bisa menjadi sandaranmu untuk saat ini.”
💍💍💍
Gus Ali, Raka, Shanum, dan orang tua Alisa sudah sampai di Bandung, tinggal satu langkah lagi, hari ini sudah dipastikan Alisa akan bebas, itu yang tadi Arvan katakan.
Ya, semoga saja.
Jarum jam sudah menunjukkan angka 15.05, tepat lima menit yang lalu, seharusnya Broto sudah ditangkap, namun mereka belum mendapatkan kabar apa pun.
Drttt drttt.
“Arvan,” ucap Raka ketika Gus Ali menatapnya.
“Assalamualaikum Van, ada apa?”
“Terus sekarang bagaimana?”
“Ok, baiklah.”
Tut.
“Broto melarikan diri, tim dari KPK, kejaksaan agung dan kepolisian sedang melakukan pengejaran. Arvan juga bilang, kalau mata-matanya kehilangan jejak.”
“Astagfirullah hal adzim.” Gus Ali mengusap wajahnya kasar, selalu saja ada rintangan yang menghadang jalan mereka.
“Saya tidak bisa hanya berdiam diri, saya akan ikut dengan mereka,” putus Gus Ali.
“Jangan Mas, itu terlalu berisiko,” cegah Shanum merasa khawatir.
“Yang akan kita tangkap itu koruptor Dek, bukan pembunuh berantai.”
Shanum hanya bisa pasrah, dan membiarkan kakak beserta suaminya ikut melakukan pengejaran dengan tim kepolisian. Raka memang memutuskan untuk ikut menemani Gus Ali, mungkin saja dirinya akan berguna jika terjadi hal yang tidak diinginkan nantinya.
Gus Ali dan Raka kini tengah bersama tim lainnya, belum ada laporan tentang titik keberadaan Broto, padahal waktu sudah berjalan hampir dua jam. Raka juga tidak tinggal diam, ia meminta bantuan temannya–Alvian– untuk melacak persembunyian Broto.
Raka menyunggingkan bibirnya, akhirnya yang ia nantikan datang juga.
“Pak, saya sudah menemukan keberadaan Broto.”
Dua anggota lolisi di kursi depan seketika melihat ke arahnya, begitu juga dengan Gus Ali.
“Monitor, titik koordinat sudah ditemukan, semua merapat pada target,” ucap salah satu polisi menginformasikan dengan HT (Handy Talky).
Sungguh, Gus Ali merasa tengah bermain dalam sebuah film action, sayangnya ini asli bukan hanya cerita fiksi. Begitu menegangkan, di mana mereka harus bermain kucing-kucingan.
Mereka telah tiba di sebuah tempat yang cukup tersembunyi, terdapat sebuah rumah yang bisa dipastikan jika rumah itulah yang menjadi tempat persembunyian Broto.
Sayangnya, banyak anak buah Broto yang menjaga kawasan itu, dan hal itulah yang membuat mereka harus berhati-hati.
“Tupai di barat, anjing di utara, singa di selatan, bangau di timur, kucing langsung mencari tikus,” perintah sang ketua memberi arahan.
“Kalian sebaiknya tunggu di sini saja, terlalu berbahaya jika ikut serta juga,” ujar sang ketua pada Gus Ali dan Raka.
“Saya akan ikut,” sahut keduanya bersamaan.
Bukan mengapa, mereka hanya ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri jika si tua bangka itu benar-benar diringkus. Seperti kata Arvan, kita harus mengawal kasus ini sampai tuntas.
Gus Ali dan Raka mengikuti langkah dua orang di depannya, mereka benar-benar bergerak sangat hati-hati.
Bugh bugh krakk.
Satu persatu anak buah Broto berhasil dilumpuhkan, tentunya tanpa menggunakan kontak senjata karena hal itu justru akan memicu keributan dan situasi akan kacau.
“Go...go...go,” ucap salah satu polisi di depan.
Mereka kembali berjalan mengendap-endap, dan kembali bersembunyi saat ada anak buah Broto yang berjaga.
“Bangau, 45° arah jarum jam,” ucap polisi itu kembali.
Tus.
Lagi, satu anak buah Broto berhasil dilumpuhkan dengan tembakan bius yang membuatnya seketika tidak sadarkan diri.
Bugh bugh bugh dorr dor dorr.
Perkelahian terdengar di lantai bawah, tidak jarang suara tembakan peringatan dari kedua belah pihak saling bersahutan.
“Kita berpencar, waktu kita tidak banyak, secepatnya kita harus menemukan Pak Broto.”
Gus Ali bersama salah satu polisi bernama lengkap AKP Darka Narandra S.H, jika dilihat dari penampilannya, Darka mungkin seumuran dengan Gus Ali, namun pangkatnya sudah tinggi, terlihat jelas dari tiga balok berwarna emas yang bertengger manis di pundaknya.
Darka berjalan sambil mengawasi sekitar, begitu juga Gus Ali yang terlihat sangat waspada. Untung saja Gus Ali menggunakan kaos lengan pendek dipadukan dengan celana jeans, andai ia menggunakan baju koko dan celana hitam seperti hari-hari biasanya, sudah dipastikan itu akan salah kostum.
Ustadz in action, mungkin begitulah sebutan yang cocok untuk Gus Ali.
Tiba-tiba empat orang anak buah Broto menyerang mereka tiba-tiba.
“Awas, Gus!” teriak Darka.
Gus Ali menangkis bogeman yang di arahkan kepadanya, sementara kakinya menendang satu orang lainnya. Gus Ali memutar tangan lawan dan memukul keras leher belakangnya, hal itu membuat si lawan langsung tidak sadarkan diri.
Begitu juga dengan Darka, ia menyerang beberapa titik tertentu untuk melumpuhkan lawannya.
Satu anak buah Broto mengarahkan pistol pada Gus Ali, Gus Ali diam dan mengangkat tangannya karena ia tidak memiliki senjata apa pun, kecuali sebuah tasbih yang tersimpan aman di saku celananya. Gus Ali tidak sedang melawan setan, mereka tidak akan kepanasan dengan zikir yang ia lantunkan.
Darka yang sudah berhasil melumpuhkan lawannya mengeluarkan sebuah pistol dari samping celananya, ia kemudian memberikan sebuah kode agar Gus Ali tetap diam.
Tus.
“Akhhhhh.”
Orang itu seketika berteriak kesakitan dan tumbang ketika efek sengatan listrik dari pistol hampa suara yang digunakan Darka mengenai tubuhnya. Darka menyimpan kembali pistol khususnya itu dan menggantinya dengan pistol biasa.
“Ambil pistol dia Gus. Go!”
Gus Ali dan Darka kembali melanjutkan langkahnya, apakah pistol di tangannya ini sungguhan?
Mungkin itulah yang sekarang ada dalam pikiran Gus Ali.
“Serangan Anda cukup hebat, Gus,” puji Darka dengan tulus.
“Terima kasih.”
Gus Ali dan Darka saling berpandangan ketika sampai di depan pintu sebuah ruangan, mereka saling waspada sambil memegang pistol masing-masing.
“Satu.”
“Dua.”
“Tiga.”
Brakkk.
“Angkat tangan, Anda sudah dikepung,” teriak Darka.
Seorang lelaki paruh baya tengah duduk dengan angkuhnya, bibirnya menyeringai melihat Darka yang menodongkan pistol padanya, siapa lagi jika bukan Broto.
Broto menepuk tangannya dua kali, dan langsung saja delapan anak buah di sisinya balik menodongkan pistol pada Darka dan Gus Ali.
“Ckckck, kalian mau bermain-main dengan saya?” tanyanya dengan angkuh.
Tidak lama kemudian, tim lainnya datang memberi bantuan, sasana semakin menegangkan karena anak buah Broto tidak gentar sama sekali, dan malah ada enam anak buah lainnya yang sekarang berada di barisan paling belakang, hal itu membuat keadaan berbalik, kini malah Darka dan kawan-kawan yang dikepung.
“Hahahaha, lihatlah! Sudah saya bilang kalau kalian tidak akan bisa melawan penguasa.”
Darka menggeram marah, ia tidak suka dengan tingkah aki-aki bau tanah di depannya.
“Oh ya, Gus Ali, mantan calon menantu. Saya sudah peringatkan kalau kamu jangan pernah bermain-main dengan saya, tapi kamu malah menipu saya dengan tanda tangan itu. Sekarang, sepertinya kita harus menyaksikan sebuah siaran langsung,” ujarnya menyeringai.
Broto mengambil sebuah remote dan mengarahkannya pada layar televisi berukuran 42 inci di belakangnya, seketika layar menyala menampilkan sosok seorang wanita yang tengah terikat di sebuah kursi dalam ruangan yang gelap, ruangan yang bisa Darka pastikan jika itu bukan ruangan yang ada di kantor kepolisian.
“Alisa!” teriak Gus Ali, ia sangat shock melihat kondisi istrinya.
“Brengsek, bajingan. Sampah sialan!” teriak Alisa pada tiga orang pria yang mengelilinginya.
Cetarr.
Lagi, sebuah ikat pinggang kembali menyentuh tubuhnya.
“Akhhh, Mas Ali, hiks hiks sakit,” rintih Alisa.
Byurr.
Satu ember air kembali membasahi tubuh Alisa, sungguh kali ini Alisa merasa apa yang dilakukan mereka tidak manusiawi, ini namanya penganiayaan, Alisa tidak percaya ada oknum penegak hukum yang berbuat layaknya hewan.
“KALIAN ITU PENEGAK HUKUM! TAPI KENAPA KALIAN MELANGGAR HUKUM?! IBLIS SIALAN, ANJ*NG!!”
PLAKK.
Blip.
Layar kembali dimatikan.
“Sialan!! Kenapa Anda siksa istri saya, hah?!” teriak Gus Ali hilang kendali, sementara Broto malah tertawa kencang.
Gus Ali hendak mendekati Broto sambil menodongkan pistolnya, tapi hal itu segera ditahan oleh Darka.
Darka menggeleng, ia mengisyaratkan Gus Ali agar jangan gegabah.
Dorr.
Darka kembali melepaskan tembakan peringatan, wajahnya merah padam, ia sungguh tidak rela nama baik lembaganya dirusak oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Hahahahaha, silahkan tangkap saya, saya sudah puas melihat orang yang sudah menyakiti putri kesayangan saya kini tersiksa, hahahaha.”
Darka bisa saja menembak mati Broto saat ini juga, tapi hal itu akan menyalahi aturan, terlebih anak buah Broto masih melakukan perlawanan, ia tidak ingin membahayakan nyawa klien dan anak buahnya juga.
Sementara Gus Ali terlihat gusar, ia tidak menyangka keadaannya akan seperti ini, hatinya benar-benar cemas mengingat Alisa yang tengah disiksa, Gus Ali geram karena lagi-lagi mereka kecolongan, Broto ternyata bertindak lebih cepat dari mereka.
Dan, di mana Alisa?
Apakah istrinya masih di tempat yang sama?
Entah mengapa Gus Ali tidak yakin, dan ia semakin merasa khawatir.
Empat anak buah Broto saling berpandangan, tentu saja gerak-gerik mereka tidak lepas dari pengawasan Darka.
Darka segera waspada tatkala melihat pergerakan kecil dari keempatnya.
Brakk.
Empat orang di depan mereka, dan tiga orang di belakang mereka seketika membanting rekannya sendiri, tentu saja mereka juga menjauhkan senjata api yang digunakan, mereka kemudian mengunci pergerakan rekannya sendiri.
Darka dan kawan-kawannya terkejut bukan main, ada apa sebenarnya? Kenapa mereka malah menyerang kawan sendiri? Apakah ini termasuk siasat Broto?
“Kami anak buahnya Tuan Arvan Alaska Wijaya, dari Wijaya Group,” ucap salah satu dari mereka sambil memperlihatkan sebuah kartu pengenal.
Darka masih terlihat waspada, ia kemudian melihat Raka meminta jawaban.
Tentu saja keluarga Wijaya sudah tak asing lagi ditelinga Darka, mereka memiliki link yang sangat kuat dengan kepolisian.
“Iya, itu memang kartu keanggotaan bodyguard keluarga saya,” ujar Raka, walaupun ia juga masih tidak menyangka.
Sungguh, Raka tidak mengenali mereka, jumlah mereka terlalu banyak sehingga Raka tidak dapat mengingat satu-satu.
Sudah dipastikan jika ini rencana Arvan, si raja kutub yang selalu bertindak sendiri.
Perihal keamanan keluarga dan aset milik keluarga, memang Arvan yang memegangnya dengan senang hati. Bodyguard yang bekerja dengan Wijaya Group berada di bawah pimpinan Arvan, Arvan lah yang memegang kendali mereka, bahkan perjanjian yang mereka buat dengan Arvan tidaklah main-main.
Tapi pertanyaannya, kapan mereka sampai?
Bukankah Arvan bilang kalau anak buahnya kehilangan jejak Broto?
Darka tersenyum smrik, ia menatap remeh Broto yang terlihat ketakutan.
Bukankah tadi dia bilang siap di penjara? Oh ayolah, kenapa sekarang seperti cacing kepanasan?
Darka kemudian mendekati Broto perlahan dengan satu tangan menodongkan pistol, dan satu tangan lagi memegang borgol yang sengaja ia putar-putar.
“Ayolah Pak, katanya Anda siap di penjara?” ujar Darka.
Broto mengambil pistol di laci meja, ia kemudian menodongkannya tepat ke arah Gus Ali, seketika Darka kembali mundur dan bersikap waspada, ia tidak bisa membiarkan kliennya dalam bahaya.
“Shit!!” umpat Darka merasa kecolongan.
“Turunkan senjata kalian, atau saya tembak dia tepat di jantungnya!” ancam Broto.
Darka memberi kode agar anak buahnya menurunkan senjata mereka. Namun, alangkah kagetnya semua orang saat Gus Ali tiba-tiba ikut menodongkan pistolnya tepat ke arah Broto, kini mereka saling berhadapan, satu lawan satu.
“Mas,” peringat Raka, pelan.
Gus Ali tidak mengindahkan panggilan adik iparnya, ia mulai menarik pelan trigger (Pelatuk) pistol di tangannya.
Darka segera mengarahkan pistolnya tatkala melihat pergerakan Broto yang membahayakan.
Dor.
Dor.
Tbc
Tegang, gak? Wkwk.
Tokoh siapa di sini yang paling membuat kalian takjub? 😅
Jangan lupa vote dan komentarnya yah.
Salam sayang 💙