Courtney tengah memainkan ponselnya dan Elyza sedang membaca majalah fashion. Hari ini, mereka melaju ke Birmingham dengan Mercedes-Maybach hitam dan seorang supir di depan.
"George bisa saja pergi bersama kita hari ini. Lagipula kita juga ke Birmingham bersama karena menghadiri pertandingannya," celoteh Elyza sambil masih membolak-balik lembar halaman majalan fashion di tangannya.
"Tentu saja dia seharusnya berangkat bersama timnya. Kita datang hanya sebagai keluarganya sekaligus penonton, bukan?" balas Courtney masih memainkan ponselnya.
"Baiklah, terserah saja." Elyza menghela napasnya dan menutup majalahnya. "Kau sudah menghubungi Claire, kan?"
"Sudah, Mom. Jangan khawatir, dia sekarang sedang dalam perjalanan bersama Jack," timpal Courtney.
"Baguslah." Elyza memejamkan kedua matanya dibalik kacamata hitamnya. "Seharusnya ayah kalian bisa datang, tapi pekerjaan yang menumpuk itu selalu saja menumpuk. Apa daya. Salah satu dari kalian belum mengambil alih pekerjaan ayah kalian."
Courtney menghentikan aktivitasnya. Kemudian, ia menoleh pada Elyza. "Kami sudah bekerja di bidang kami masing-masing bukan, Mom?"
"Ya, kata-katamu benar. Claire di permodelan, kau dengan butikmu, dan George dengan karis baseballnya. Tidak ada yang membantu Dad, bukan?"
Courtney menghela napasnya. "Mom, kita sudah pernah membicarakan ini, bukan?"
"Maka dari itu, aku ingin segera punya cucu dari kalian. Dan tentu saja cucu-cucuku nanti akan menjadi bagian dari perusahaan keluarga kita," balas Elyza.
Courtney terdiam. Ia tentu sudah bisa menebak topik pembicaraan mereka selanjutnya. Ah, sebaiknya ia tinggal tidur saja. Perjalanan juga masih panjang.
***
Sesampainya Courney di tempat pertandingan, ia dan Elyza pun masuk ke sebuah ruangan VIP tempat menonton pertandingan. Tak lama kemudian, Claire dan Jack pun turut bergabung bersama mereka.
"Courtney?" Sontak, Courtney menoleh ke sumber suara saat tiba-tiba saja seseorang memanggilnya.
"Luke?" Courtney membelalakkan matanya saat ternyata mendapati Luke di belakangnya. Elyza, Claire, dan Jack pun turut menoleh ke Luke saat Courtney memanggilnya.
"Hei, rupanya ada Luke!" seru Elyza ceria.
"Bagaimana kabarmu, Nyoa Elyza?" tanya Luke sopan.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu dan orang tuamu? Ah, kudengar kau sempat kecelakaan beberapa hari yang lalu."
"Iya, hanya kecelakaan ringan, sekarang aku baik-baik saja," timpal Luke sambil tersenyum.
"Aku tidak tahu kau juga ikut menonton disini," ujar Courtney berbasa-basi.
"Aku hanya iseng menonton saja. Sebenarnya aku ada seminar di Birmingham besok," timpal Luke.
"Bagaimana denganmu?"
"Aku menonton adikku, George. Dia ketua tim dan kami sudah berjanji akan menonton pertandingannya yang selanjutnya," timpal Courtney dan Luke ber-o ria.
"Oh ya? Kalau begitu aku akan mendukung tim adikmu saja."
"Kenapa? Kau punya kebebasan untuk mendukung tim manapun."
"Karena itu adalah tim adikmu, jadi aku akan mendukungnya," balas Luke.
"Baiklah, terserah kau saja." Courtney mengendikkan bahunya.
"Luke, kau bisa duduk bersama kami disini!" seru Elyza.
"Benarkah? Baiklah kalau begitu, terima kasih!" seru Luke senang dan ia pun mengambil tempat duduk di samping Courtney untuk menonton dan mendukung pertandingan George.
***
Seperti pertandingan pada umumnya, para penonton yang datang saling menyuraki tim favorit mereka. Tak berbeda dengan Luke, Courtney, Elyza, dan Jack. Mereka bersurak memberi semangat pada George meski kemungkinan George tidak dapat mendengarnya dari jauh. Hingga akhirnya, kemenangan pun diraih tim George. Elyza berteriak hingga meneteskan air mata dan memeluk Claire dan Courtney karena saking senangnya dapat menyaksikan sendiri kemenangan anaknya.
"Sepulang ini, kita harus merayakannya lagi!" seru Elyza senang.
"Ah, aku sampai bosan karena dia sudah terlalu sering menang," balas Courtney asal dan mengundang tawa yang lainnya.
"Kemampuannya memang benar-benar tidak perlu dipertanyakan lagi," ujar Jack.
"Tentu saja! Itu adikku!" seru Claire setuju.
"Ah, Luke! Kau juga harus ikut kami nanti malam untuk merakan kemenangan George!" ajak Elyza dengan senarng.
"Aku sangat ingin bergabung dengan kalian, Nyonya. Tapi, maaf sekali aku harus berada di sini hingga dua hari kedepan karena ada seminar kesehatan," jelas Luke.
"Ah, sayang sekali. Tapi, tidak apa-apa. Terima kasih, ya, karena kau sudah ikut mendukung George," balas Elyza.
"Tenang saja, aku akan selalu mendukung George," timpal Luke sambil tersenyum tulus.
"Terima kasih, Luke. Kalau begitu kami menjemput George dulu ke bawah sana," pamit Elyza yang langsung keluar disusul oleh Claire dan Jack. Courtney yang hendak menyusul tiba-tiba terhenti karena tangannya dicekal oleh Luke.
Courtney menoleh. "Apa?" tanyanya bingung.
Luke maju dan menyamakan pandangan mereka. "Kau juga pulang sekarang?" tanya Luke.
"Tentu saja, aku datang bersama keluargaku dan aku pulang bersama mereka juga," jawab Courtney merasa geli karena pertanyaan Luke. "Jangan bilang kau memintaku untuk tinggal." Courtney berniat bercanda.
"Apa itu bisa?"
"Apa?"
"Apa kau bisa tinggal saja disini?"
Seketika Courtney terdiam menatap Luke yang juga tengah menatapnya dalam-dalam. Laki-laki ini... memintanya untuk tinggal? Apa dia sadar dengan apa yang dia katakan barusan? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya.
Setelah beberapa saat hening, Courtney berdeham agar tidak terlalu jauh terbawa suasana. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain dan kemudian terkekeh kecil.
"Sadly, aku tidak bisa. Setiap kali George membawa kemenangan, malamnya kami semua pasti akan merayakannya bersama di rumah. Jadi, aku harus pulang malam ini," ujar Courtney.
"Sayang sekali," ucap Luke sedikit kecewa. "Padahal aku ingin mengajakmu jalan-jalan disini."
"Courtney, ayo!" Tiba-tiba Claire berteriak memanggil Courtney dari jarah yang agak jauh.
Sontak, Courtney pun langsung menoleh dan membalas berteriak, "Iya!"
"Sepertinya panggilanmu sudah datang," celetuk Luke.
Courtney terkekeh. "Ya. Panggilan untuk pulang."
Tiba-tiba, suasana menjadi hening. Courtney tahu ia harusnya berpamitan dan pergi dari sana, tapi dia seolah-olah menunggu Luke mengatakan sesuatu padanya yang akan membuatnya tenang malam ini.
"Jadi..." Luke bersuara dan Courtney mendongak menatapnya. "Saat di London nanti, apa kita akan bertemu lagi?" tanyanya kemudian.
"Mmmm...." Courtney tampak sedang berpikir. "Jika Tuhan menghendaki pertemuan kita, maka kita akan bertemu lagi di lain waktu."
"Kalau begitu aku sangat berharap Tuhan menghendaki pertemuan kita," balas Luke. Sedangkan Courtney hanya terkekeh, padahal Luke tidak tahu, kalau sebenarnya Courtney benar-benar sedang gugup sekarang.
"Aku yang traktir, bagaimana?" tanya Luke.
"Sounds good."
"Tapi, aku ingin kau berjanji lagi," ucap Luke menatap Courtney dalam-dalam.
"Apa?" tanya Courtney sambil terkekeh.
"Jangan abaikan telepon dan pesanku lagi, kumohon."
"Iya, aku janji tidak akan mengabaikannya lagi," timpal Courtney terkekeh.
"Kalau begitu... sampai jumpa di London nanti?"
Courtney tersenyum manis. "Sampai jumpa di London nanti."
Setelah itu, Courtney berbalik untuk pulang. Sementara Luke mengamati Courtney dari belakang dengan senyum sumringahnya.
Courtney berjalan dengan senyum lebarnya menuju mobil bersama dengan Claire di sampingnya yang sedari tadi hanya mengamati Courtney yang senyumnya tak luntur-luntur. Hari ini, Claire dan Jack akan ikut pulang ke mansion untuk merayakan kemenangan George.
Saat mobil sedang dalam perjalanan, tiba-tiba ponsel Courtney berdenting. Courtney pun membaca pesan yang masuk tanpa menyadari seseorang yang sedari tadi memperhatikannya. Ya, dia Claire. Sudah sejak tadi semenjak pertandingan selesai, ia memperhatikan tingkah adiknya selama bersama Luke yang terlihat sedikit seperti tidak biasanya.
Dr. Green-Eyed :
Aku tidak sabar Tuhan akan menghendaki pertemuan kita.
Sampai jumpa di London, Coco.
Aku menantikanmu.
Courtney tersenyum membaca pesan itu. Entah kenapa rasanya seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di perutnya. Ah, apa yang harus ia balas, ya? Oh, aku tahu!
Coco :
Aku tidak ingin berharap, tapi aku juga menantikannya.
——————————————————————————
Tbc.
Thursday, 1 October 2020