"Woy! Ngapain lo kemarin lari?" Tanya Dito ketika melihat Dina saat masuk kedalam kelas, lalu Dito menghampiri Dina dibangkunya.
"Eh monyet, nggak pake ngagetin juga kali'!" Protes Bunga.
"Lebay lo!" Ucap Dito yang mendapat dengusan dari Bunga. Kemudian Dito mengalihkan perhatiannya kembali ke arah Dina.
"Heh, ngapain lo kemarin lari?
"Aku takut sama orang tuanya Gavin." Jawab Dina dengan wajah memelas.
"Ngapain mesti takut sih?"
"Aku takut mereka marah dan nyalahin aku. Trus mereka nggak ngebolehin aku deket sama Gavin gimana?"
"Orang tua Gavin nggak kayak yang lo kira. Mereka baik banget, apalagi nyokapnya Gavin. Kemarin aja nyokapnya Gavin nanyain elo." Ucap Dito.
Jantung Dina langsung berdegup dengan kencang. Rasa takut langsung menyelimutinya.
"Trus kamu bilang apa?"
"Ya udah aku bilang kamu belum ijin nyokap lo makanya lo pulang karena takut nyokap lo nyariin." Jawab Dito.
"Fiuuuh!" Dina menghembuskan nafasnya lega.
"Ntar lo pulang sekolah ikut ke RS nggak?" Tanya Dito.
"Umm... gimana ya Dit? Aku sih pengen banget, tapi ntar kalo ada orang tuanya Gavin gimana?" Tanya Dina cemas.
"Udah gue bilang mereka nggak seperti apa yang lo kira! Gue yang tanggung jawab deh!" Ucap Dito.
"Ya udah aku ikut. Kamu ikut juga nggak nga?" Jawab Dina pasrah kemudian bertanya pada Bunga.
"Aku besok aja rame-rame sama anak-anak sekelas." Jawab Bunga.
"Oh oke!" Ucap Dina.
-----
"Dit, aku takut!" Ucap Dina saat mereka sudah berada di parkiran rumah sakit.
"Din, sumpah gue bosen dengernya!" Ucap Dito.
"Habisnya gimana?"
"Lo nggak kepengen ketemu sama Gavin?"
"Pengenlah, pengen banget."
"Ya udah ayuk!"
Dina akhirnya terpaksa mengangguk sebagai jawaban dan mengikuti langkah Dito menuju ke kamar tempat dimana Gavin dirawat.
Saat mereka tiba di delan kamar Gavin, Dina bernafas lega saat orang tua Gavin ternyata sedang tidak berada disana.
Gavin menatap ke arah pintu saat melihat pintu kamarnya terbuka. Gavin melihat Dito masuk kemudian disusul oleh Dina.
Tatapan tajam Gavin membuat Dina salah tingkah.
"Mana nyokap lo Vin?" Tanya Dito mengalihkan fokus Gavin kembali ke arah Dito.
"Pulang, adek gue rewel kalo nggak ada nyokap." Jawab Gavin.
"Oh, si Misca sama si Misya?" Tanya Dito.
"Hm!" Jawab Gavin.
Dito yang merasa suasana menjadi canggung, akhirnya memutuskan untuk keluar memberikan kesempatan untuk Dina dan Gavin agar bisa lebih leluasa untuk berbicara.
"Eh, gue haus nih. Gue mau ke kantin, lo nitip apa Vin?"
Gavin menggeleng sebagai jawaban, lalu Dito bertanya kepada Dina.
"Lo nitip apa Din?"
"Umm...air mineral aja." Jawab Dina.
"Oke, gue ke kantin dulu ya!" Ucap Dito.
Setelah mendapat anggukan dari Gavin dan Dina, Dito akhirnya meninggalakan mereka berdua.
Dina yang berdiri di dekat kaki Gavin, akhirnya memutuskan untuk mendekat dan duduk di kursi disamping sebelah kiri brangkar Gavin.
"Gimana keadaan kamu Vin?" Tanya Dina dengan hati-hati.
"Seperti yang lo liat, gue baik-baik aja." Jawab Gavin.
"Maaf, gara-gara aku kamu jadi sampai terluka kayak gini." Ucap Dina dengan mata berkaca-kaca.
"Bukan salah lo dan nggak ada yang nyalahin lo! Lo nggak perlu minta maaf ke gue!" Jawab Gavin santai.
Mendengar jawaban Gavin, malah membuat Dina menangis.
"Kenapa lo malah nangis sih? Dasar cewek!"
"Tapikan kamu terluka gara-gara belain aku." Ucap Dina lirih.
"Emang bener gue terluka karena belain lo, tapikan itu maunya gue sendiri. Lo nggak pernah nyuruh gue kan? Udah deh berhenti nyalahin diri lo sendiri!" Pinta Gavin.
Dina mengangguk.
"Gavin." Panggil Dina dengan suara bergetar.
"Hm?" Jawab Gavin.
"Umm....."
"A..aku udah tau semuanya dari Dito. Tentang masa lalu kamu dan tentang ketakutan kamu selama ini." Dina menghentikan ucapannya lalu melirik kearah Gavin hanya untuk melihat reaksinya. Dina melanjutkan lagi ucapannya setelah melihat Gavin ternyata terlihat santai.
"Te...tentang pe...perasaan kamu ke aku, a...aku juga tau. A..aku..." Ucapan Dina terpotong oleh Gavin.
"Sini!" Perintah Gavin.
"Hah?" Dina mendongak, lalu menatap Gavin terlihat tidak mengerti.
"Gue bilang sini!" Ucap Gavin sambil menggerakkan jari telunjuknya maju dan mundur agar Dina mengerti maksudnya.
Dina berdiri lalu mendekat ke arah kepala Gavin.
"Sini!" Pinta Gavin.
Dina mengerutkan dahinya lalu menurunkan wajahnya.
"Lebih deket!" Pintanya lagi.
Begitu wajah Dina hanya sejengkal dari wajah Gavin, telapak tangan Gavin langsung menahan tengkuk kepala Dina agar Dina tidak bisa menggerakkan kepalanya lagi.
Mata Dina terbelalak.
"G...Gavin?" Ucap Dina tergagap.
"Tunggu gue!"
"Hah?" Tanya Dina tidak mengerti perkataan Gavin.
"Gue lagi berusaha nyembuhin semua ketakutan gue. Gue lagi berusaha ngelupain masa lalu gue. Gue minta lo tunggu gue sampai gue bisa lewatin itu semua. Agar nanti saat gue jalanin hubungan ini sama lo, nggak ada lagi beban dihati gue. Gue pengen saat kita bersama nanti, gue sama lo bisa sama-sama bahagia!"
Dina menangis karena terharu, lalu Dina mengangguk.
"Iya, aku mau! Aku bakalan nungguin kamu Gavin! Tapi kamu nggak boleh cabut kata-kata kamu barusan ya! Kalo kamu php in aku awas aja, aku nggak akan berhenti ngejar-ngejar kamu sampe kamu jadi pacar aku!" Ucap Dina dengan masih meneteskan air matanya.
Gavin tersenyum, lalu menghapus air mata Dina dengan menggunakan ibu jari tangannya. Air mata Dina tak juga berhenti mengalir, kejadian selanjutnya membuat mata Dina terbelalak saat Gavin menurunkan wajah Dina dan mengecup lembut bibir Dina untuk membuatnya berhenti menangis.
"Bilang dong kalo minta cium! Kalo cuman nangis aja gue nggak ngerti kode dari lo!" Ucap Gavin sambil tersenyum.
"Ih Gavin!" Protes Dina kemudian menegakkan tubuhnya dengan menekan dada Gavin. Sontak hal itu membuat luka di perut Gavin sedikit tertarik.
"Aduduh... sssh... aaaah!" Rintihan kesakitan Gavin membuat Dina merasa bersalah.
"Ya ampun Gavin maaf aku lupa. Sakit ya. Aduh... a..aku panggilin dokter dulu ya!" Ucap Dina kemudian berbalik untuk keluar dari kamar Gavin. Tetapi Gavin mencegahnya.
"Nggak perlu, cuman sakit dikit!" Ucap Gavin. Melihat Dina akan menangis lagi, Gavin akhirnya mengeluarkan ancamannya.
"Setiap lo nangis, lo harus cium gue!"
"Ih kok gitu?" Protes Dina yang membuat Gavin tertawa. Ancamannya berhasil kali ini. Dina tidak jadi menangis, dan malah ekpresi wajah cemberut Dina saat ini membuat Gavin merasa gemas padanya.
"Ya udah sini! Gue laper lo harus tanggung jawab!" Ucap Gavin.
"Kamu yang laper kok aku yang harus tanggung jawab?" Protes Dina.
"Karena... gue mau lo nyuapin gue!" Ucap Gavin dengan tersenyum.
Senyum Gavin menular. Lalu Dina melihat ke arah meja didekat brangkar Gavin.
"Cuman ada buah-buahan, kamu mau apa biar aku beliin dulu diluar?"
"Yang ada aja, apel juga nggak papa." Jawab Gavin.
Dina mengambil buah apel dan pisau kemudian mengupas kulitnya dan memotong apel tersebut menjadi potongan-potongan kecil kemudian Dina duduk kembali ke kursinya dan mulai menyuapi Gavin.
Tatapan Gavin terus saja tak lepas menatap Dina. Sedangkan Dina yang ditatap oleh Gavin bergerak gelisah menjadi salah tingkah karena nervous.
"Gavin! Jangan liatin terus dong!" Ucap Dina sambil menyuapkan apel ke mulut Gavin.
Gavin membuka mulutnya kemudian menginyah apel tersebut dengan perlahan kemudian menelannya.
"Makasih." Ucap Gavin tiba-tiba.
Dina menatap Gavin dengan menaikkan kedua alisnya.
"Hm?"
"Terima kasih karena lo masih belum menyerah sama gue! Terima kasih karena elo, gue bisa merubah mindset gue tentang ketakutan gue selama ini. Semuanya karena elo, gue akhirnya berani membuka hati gue yang selama ini gue kunci rapat-rapat agar nggak ada cewek satu pun yang bisa memasuki kehidupan gue. Tapi elo berhasil membuka kunci itu Dina. Elo satu-satunya cewek yang bisa ngeluluhin hati gue. Gue harap lo masih mau sedikit bersabar lagi sama gue!"
Dina tersenyum kepada Gavin. "Kamu tau nggak? Entah kenapa aku seneng banget denger kamu ngomong kayak gini tentang aku. Aku nggak nyangka kalau ternyata memang aku orang yang sedang kamu bicarain barusan. Sebegitu besarnya peran aku dihidup kamu Gavin. Dan kamu pikir setelah yang aku lalui selama ini aku bakalan menyerah gitu aja sama kamu? Itu nggak akan terjadi. Bahkan jika nanti kamu berubah pikiranpun, itu akan sia-sia karena udah terlambat buat kamu bikin aku menjauh. Karena kamu selamanya milik aku. Apapun yang terjadi."
Gavin tersenyum. Gavin percaya pada setiap ucapan Dina. Ucapan Dina terdengar tulus. Kali ini ia memang harus menyerah pada gadis di depannya ini. Gadis yang sudah membuat hatinya jungkir balik. Gadis periang yang pantang menyerah untuk mendapatkan hatinya.
Tentu saja ia tidak akan menyia-nyiakan lagi kesempatan kedua ini. Ia akan menjadikan Dina satu-satunya miliknya dan akan membuatnya bertahan disisinya walau apapun yang terjadi.
Dina salah jika mengira Gavin akan berubah pikiran suatu hari nanti. Karena yang sebenarnya adalah Dinalah yang harusnya bersiap. Bersiap untuk sulit terlepas dari genggaman tangan Gavin. Karena Gavin sudah menganggap Dina adalah miliknya. Dan apa yang sudah menjadi milik Gavin, sampai kapanpun Gavin tidak akan pernah melepaskannya.
-bersambung-
Lama ya pada nungguinnya? Maaf ya, fertigo aku lagi kambuh soalnya.
Kecapekan deh kayaknya.
Maaf yah baru bisa up hari ini😆
Happy reading everyone!😉